Friday, July 31, 2009

Selamat Berkarier Baru, Mas Chandra Prabantoro


Email dikirimkan via Solopos, Jumat, 31 Juli 2009


Dear Mas Chandra,
Thanks untuk SMS kejutannya. Pariwisata memang punya prospek bagus, Mas. Karena semakin maraknya aksi terorisme, seperti bom di Ritz-Carlton dan JW Marriott, dampaknya akan sangat menggairahkan pariwisata. Saya yakin itu. Lho koq ?

Karena bayangkan, sesudah pengeboman itu terjadi, para aktor (selain yang mati, yang berwisata ke sorga, kata mereka yang yakin) dan dalangnya pasti sibuk berwisata. Mereka (harus) asyik berpindah-pindah, berwisata dari satu kota ke kota lainnya.

Demikian juga puluhan anggota Densus 88, juga giat berwisata, mengejar si aktor plus dalang pengeboman itu.

Selamat berkarya di karier baru. Nanti kita ngobrol lagi ya.

Salam dari Wonogiri,


Bambang Haryanto
Blogger pengelola blog Esai Epistoholica : http://esaiei.blogspot.com, Komedikus Erektus : http://komedian.blogspot.com, dan beberapa lagi lainnya.

PS : Usul-usil : untuk membuka cakrawala kedepan para peserta bimbingan penulisan artikel di Solopos, apa juga diberikan bimbingan untuk mengelola blog ? Bagi saya, penulis tanpa mengelola blog, ibarat ayam. Bisa lari cepat, tetapi tidak akan mampu terbang.


bh

Menulis dan Bersuara Mendampingi Khoe Seng Seng


Dikirimkan ke Milis EI , Kamis, 30 Juli 2009


Yth. Warga Milis Epistoholik Indonesia,

Salam episto ergo sum. Salam sejahtera. Pertama, terima kasih untuk Mas E. Musyadad yang beberapa hari lalu mengirimkan info tentang jatuhnya vonis bagi penulis surat pembaca, Pak Khoe Seng Seng dan Ibu Kwee Meng Luan. Agak lambat, email tersebut menjadi inspirasi saya untuk, apa lagi kalau bukan untuk menulis surat pembaca.

Untuk ikut mendukung dan mendampingi dari jauh perjuangan Pak Khoe Seng Seng [“makasih Pak Khoe untuk SMS ucapan Hari Isra Mikraj yang lalu..”]. Isi blog Esai Epistoholica saya yang terbaru, juga menyangkut kasus Pak Khoe yang saya kaitkan dengan budaya blog, dimana saya mencoba meminjam pemikiran dari Robert Scoble. Maaf, tulisan ini baru saya unggah 1/3-nya….

Inilah surat pembaca saya tersebut. Saya kirim 28 Juli 2009, esoknya sudah muncul di Kompas Jawa Tengah. Sayang, ada beberapa info yang menurut saya penting, justru disunting oleh Redaksi. Silakan membandingkan dengan foto surat pembaca saya yang terdapat pada attachment.

Semoga bermanfaat. Walau mungkin tidak lagi gencar, saya harap Anda semua masih terus menulis. Apa saja. Baik surat pribadi, surat pembaca, komentar di situs atau facebook, blog mau pun artikel.

Khusus untuk hal ini, saya telah menghidupkan blog lama saya (http://beha.blogspot.com) untuk mengalbum isi uneg-uneg saya selama ini, di luar blog. Intinya adalah : mari kita manfaatkan karunia Tuhan yang demokratis ini, yaitu karunia yang ada di antara kedua kuping kita. Menulis, adalah salah satu cara terbaiknya.

Salam episto ergo sum.
Salam dari Wonogiri,


Bambang Haryanto
Twitter : www.twitter.com/bambangharyanto

bh

Pelajaran Khoe Seng Seng


Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Kompas Jawa Tengah, Rabu 29 Juli 2009


src="http://i143.photobucket.com/albums/r150/wonogiri/bh_spkhoe_420.jpg" border="0" alt="Photobucket">


Catatan : di bawah ini saya sertakan naskah lengkap surat pembaca tersebut. Mungkin karena keterbatasan ruang, surat pembaca ini memperoleh penyuntingan dari redaksi. Simak tip lanjutan dari Pak Khoe yang tidak termuat dalam surat pembaca yang dimuat itu. (BH)

Sebagai warga komunitas penulis surat pembaca Epistoholik Indonesia, berita Kompas berjudul “Penulis Surat Pembaca Dihukum Enam Bulan” (16/7/2009 : hal.26), sungguh menyesakkan.

Sebagai konsumen yang merasa ditipu oleh PT Duta Pertiwi, dan mengeluarkan uneg-unegnya di kolom surat pembaca, membuat Khoe Seng Seng dan Kwee Meng Luan divonis hukuman enam bulan penjara dan satu tahun masa percobaan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan surat pembaca keduanya divonis mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi. Lucunya, dalam kasus itu, saksi korban, yaitu PT Duta Pertiwi sendiri tidak pernah dihadirkan dalam sidang.

Saya berkomunikasi via sms dan email dengan Khoe Seng Seng sejak tahun lalu. Sementara kasus ini dalam proses banding, ia sempat memberikan tip dalam surat pembacanya agar penulis surat pembaca tidak terjebak dalam perkara hukum seperti dirinya.

Antara lain, ketika menulis surat pembaca berupa keluhan atas produk/layanan jasa dari pelaku usaha, gunakan kata-kata yang tidak berkonotasi negatif, dan hindari rangkaian kalimat yang berarti menuduh pelaku usaha berbuat sesuatu.

Hindari penggunaan kata "ditipu", "tertipu", "menipu", "bohong", "berbohong", "dibohongi", "mencuri", "dicuri", dan sebagainya, karena kata-kata ini bisa membawa akibat penulis dipidanakan dan digugat. Pelaku usaha yang memang berniat berbuat curang akan menyatakan belum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan pelaku usaha ini menipu, berbohong, ataupun mencuri.

Jadi tidak bolehlah penulis menghujat dengan menuduh bahwa pelaku usaha ini menipu, berbohong, ataupun mencuri. Jika penulis tetap ingin menggunakan kata-kata ini, tambahkanlah kata "diduga" di depan kata-kata di atas. Jadi susunan katanya menjadi "diduga menipu", "diduga berbohong", ataupun "diduga mencuri".

Penggunaan kata "diduga" ini pun belum 100 persen menjamin keamanan penulis. Sebab, kalau saya tidak salah ingat, ada putusan perkara antara majalah Tempo dan Asian Agri di Pengadilan Jakarta Pusat, di mana majalah Tempo dihukum bersalah karena pemberitaannya yang menggunakan kata "diduga" ini dianggap telah menuduh oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Terima kasih, Pak Khoe. Kami senantiasa berdoa untuk kebebasan Anda. Hukuman bagi Anda jelas memberikan sinyal yang keliru dalam upaya penegakan hak-hak mengeluarkan pendapat dan kehidupan berdemokrasi di negara kita.

Bambang Haryanto
Pendiri/Warga Epistoholik Indonesia

bh

Mabuk Anti Facebook


Dikirimkan ke kolom Surat Pembaca Harian Kompas Jawa Tengah, 28 Juli 2009


Situs jejaring Facebook memang fenomenal. Kabar mutakhir, Birmingham City University di Inggris membuka program pascasarjana untuk kajian bidang media sosial ini. Di sini, para mahasiswa bakal diajar intensif dengan materi kuliah mengenai situs jejaring seperti Facebook, Twitter dan Bebo.

Tentu saja ikut pula dikaji beragam manfaat sampai dampak negatifnya seperti ditulis dengan judul “Candu Maya” oleh Nur Latifah Umi Satiti di Kompas Jawa Tengah (16/7/2009). Pendapatnya itu menarik untuk ditanggapi.

Ia sebut dengan istilah candu untuk menunjukkan keterlibatan penggunanya secara sangat berlebihan. Tidak proporsional. Tentu, kita tahu, semua hal yang berlebihan seringkali tidak baik. Agama pun bila menjadi candu, misalnya, dapat menghasilkan teroris berlatar belakang faham agama pula, bukan ?

Facebook menjadi fenomenal karena di sana kita berinteraksi dengan orang-orang yang asli, sebagian merupakan teman kita di dunia nyata. Termasuk teman puluhan tahun lalu yang bisa ketemuan lagi. Identitas mereka asli pula.

Facebook merupakan media yang membuka penggunanya untuk berekspresi, sesuatu yang selama selama ini sulit dilakukan karena mahal, tidak efisien, lamban, tidak interaktif, bila menggunakan media yang berbasis atom, alias kertas. Saya sendiri sebagai penulis surat dan surat pembaca sejak 1973, dan kini sebagai blogger, merasakan perbedaan besar itu.

Manfaat Facebook masih terbuka untuk dijelajah. Tetapi ketika saya ingin mendiskusikannya dengan Nur Latifah Umi Satiti secara langsung, nampaknya ia tidak memiliki akun Facebook. Di dunia maya ia pernah mengelola blog sejak 2005, lalu terbengkalai sejak tahun 2007. Saya kini jadi tahu mengapa ia condong menulis hal-hal berbau negatif tentang Facebook. Ia bukan warga Facebook.


Bambang Haryanto
Pendiri/Warga Epistoholik Indonesia

bh

Bapak Tak Pernah Salah


Dikirimkan ke kolom Surat Pembaca Harian Kompas Jawa Tengah, 28 Juli 2009


Di masa lalu,bangsa ini mencatat sejarah ketika Presiden Soeharto memperoleh gelar Bapak Pembangunan. Gelar “bapak” itu sering menunjukkan pemahaman bahwa yang bersangkutan berperilaku mulia, sebagai teladan, tidak pernah bersalah dan selalu kita turuti segala titahnya. Pola pikir semacam itu kiranya belum luntur dalam budaya birokrasi kita.

Sekadar contoh, seorang bupati di Jawa Tengah murka ketika memperoleh pertanyaan kritis dari wakil rakyat terkait dengan pengiriman misi kesenian ke manca negara yang ia pimpin. Alih-alih bupati itu membuka dialog secara proporsional dan profesional, dia malah berekspresi marah dengan ucapan bahwa dia adalah “bapak” dari para wakil rakyat itu.

Sekaligus mengklaim dirinya berjasa sehingga para wakil rakyat itu bisa duduk pada kursinya sekarang ini. Sedihnya lagi, para wakil rakyat itu kemudian justru terdiam karenanya.

Pola Orde Baru masih lestari di tengah kita, tatkala eksekutif merasa berhak menjadi “bapak,” bahkan bapak yang tidak pernah merasa salah, bagi legislatif. Bayangkan, betapa penyalahgunaan wewenang akan merajalela karena kontrol dari wakil rakyat begitu mudah ditelikung hanya dengan marah-marah !

Bambang Haryanto
Pendiri/Warga Epistoholik Indonesia


bh

Tuesday, July 28, 2009

Komedi Empat Alternatif a la Jay Sankey


Komentar di Facebook untuk artikel Darminto M Sudarmo, Lawak Indonesia Mau ke Mana?, diunggah Selasa, 28 Juli 2009


Mas Ali Mahmudin dan Mas Darminto.

Ini lanjutan obrolan kita tentang lawakan jadul atau tidak jadul. Saya ingin mengutip pendapat Jay Sankey dalam Zen and The Art of Stand-Up Comedy (1998) tentang 4 pola alternatif sajian komedi : model lama disajikan dengan cara lama, model lama disajikan dengan cara baru, model baru dengan cara lama, dan model baru disajikan dengan cara baru. Keempat pola itu ada plus-minusnya masing-masing.

Moga mampu lebih lebar membuka [lagi ?] pintu-pintu kreativitas kita.
Selamat berkarya !



bh

Monday, July 27, 2009

Workshop Komedi dan Resep Judy Carter 26 Hari
Komentar di Facebook untuk artikel Darminto M Sudarmo, Lawak Indonesia Mau ke Mana?, diunggah Senin, 27 Juli 2009


Mas Darminto, tentang silabus, ada info. Di appendix bukunya Melvin Helitzer, Comedy Writing Secrets (1987) terdapat 58 lembaga yang memberikan kursus komedi/humor di AS. Apa kita tak perlu menengok, mencari tahu dan mempelajari, apa yang telah mereka lakukan selama ini ? Workshop mereka itu ada yang tergabung di jurusan Komunikasi, Sastra Inggris sampai Sosiologi.

Sedang kurikulum dalam workshop untuk komedi tunggal dari Judy Carter “hanya” terdiri 26 hari kegiatan. Secara teoritis, dalam waktu kurang sebulan itu workshop mampu mencetak komedian baru, yang mampu menulis lawakan orisinal karena berdasar pengalaman hidup tiap-tiap individu mereka masing-masing dan berpentas.

Tentang isi workshop yang terkait dengan klub komedi, disebut Judy Carter sebagai kewajiban yang harus dilakukan pada hari pertama calon komedian itu. Ketika dirinya belum mendapat pembekalan ini atau itu, tetapi harus berani berpentas tunggal 3-5 menit pada dua tempat yang berbeda.

Ia dipaksa harus mandi keringat (dingin ?) dulu, dan pengalaman itu diharapkan menjadi bekal berharga dirinya untuk melangkah ke depan. Pada hari kedua, barulah teori konstruksi lelucon diberikan.Urut-urutan 26 hari kegiatan itu, bila ada minat dan waktu bisa Anda klik di : http://komedian.blogspot.com/2005/06/kiat-sukses-26-hari-menjadi-pelawak.html

Kemampuan intelektual merupakan faktor penting dalam mengapresiasi komedi telah mendorong Stevie Ray dalam bukunya Stevie Ray’s Medium-sized Book of Comedy (1999) membuat kategorisasi apa yang ia sebut sebagai piramida komedi. Urutan terbawah sampai teratasnya sebagai berikut : komedi fisik, obscenity & profanity, storyline, language, imitation, character contradiction dan satir.

Semua sajian komedi dari tiap tingkat dari tujuh tingkat piramida ini, tentu saja, layak untuk hidup guna memenuhi kebutuhan khas audiensnya masing-masing. Aksi Mr. Bean dan pantomim Milan Sladek adalah termasuk komedi fisik, tetapi karena digarap dengan kepiawaian yang tinggi, kualitasnya pun hebat.

Begitulah, obrolan kita ini ditujukan, idealnya, mencari ikhtiar bagaimana tiap-tiap tingkat dari piramid komedi tersebut lebih berkualitas daripada apa yang tersaji sekarang ini di Indonesia. Isyarat ini mungkin bisa menolong : kalau Anda mengetikkan kata “comedy” di mesin pencari Google, saya yakin yang akan dominan muncul adalah topik “comedy writing” dan bukan “comedy improvisation.”

Dari hasil ini Anda dapat tahu kira-kira apa langkah terbaik yang harus ditempuh untuk memperbaiki dunia komedi di Indonesia

bh
Komedi Indonesia, Ekonomi Kreatif, dan Inovasi Komedi
Komentar di Facebook untuk artikel Darminto M Sudarmo, Lawak Indonesia Mau ke Mana?, diunggah Jumat, 24 Juli 2009



Tks, Mas Darminto. Untuk lelucon malapropism a la Tukul, yaitu fish to fish, akan terjadi bila Tukul ketemu Omas. Satu arwana, satunya koki. Di Fakultas Fishologi. Tentang kultur oral, saya juga suka kok. Tetapi sebagai bujangan tua, saya lama tidak mempraktekkan lagi kultur oral satu itu, walau gaya favorit saya adalah gaya “densus 69.”

Tentu mas, saya bukan anti pertemuan lho. Maksud saya, mari kita maksimalkan media, utamanya yang berbasis Internet yang sudah tersedia itu, sebelum dan bahkan sesudah nantinya ada pertemuan itu.

Memperindag Marie Pangestu pernah bilang, ekonomi kreatif itu hanya bisa hidup subur bila tingkat kemelekan komunitas pendukungnya terhadap Teknologi Komunikasi dan Informasi (TKI) yang tinggi. Padahal komedi adalah lahan ekonomi/industri kreatif yang menantang untuk diolah dan dijelajah.

Tidak hanya di televisi, radio, juga media-media baru seperti telepon seluler yang audiensnya melonjak dari hari ke hari. Termasuk fenomena non-linearnya mBah Surip.

Kalau warga komunitas komedi tidak melek TKI, ya progres kita tentu terganjal karenanya. Mau tak mau kita memang harus mau meng-up date diri kita sendiri. Kalau tidak, kita terjebak dalam sindrom menunggu dan hanya menunggu.

Dengan terus berdiskusi, berbisik-bisik di dunia maya, minimal kita berbuat agar dunia komedi itu terus mampu buzzing, mbrengengeng kayak tawon. Berdengung dan berdengung. Siapa tahu bisik-bisik kita itu nanti akan meledak seperti bisik-bisiknya Prita Mulyasari. Untuk itu memang harus ada movement, dimulai dari kelompok-kelompok kecil dulu.

Sejarah menunjukkan, begitu Clay Shirky (bisa dicari di Google) bilang, bahwa inovasi akan muncul “dari kelompok kecil dari sejumlah besar warga yang saling berdiskusi.” Untuk dunia komedi Indonesia, ya Anda semua dan kita-kita ini sebagai warga kelompok kecil itu, dari suku komedi yang harus berdiskusi. Mungkin suku yang aneh dan rada terasing, tetapi semoga saja bukan sebagai suku yang segera terancam punah :-(.

Tentang ide Mas Darminto agar saya ketiban pulung menjadi “tukang dobrak,” kiranya harapan itu berlebihan. Karena begitu banyak poros dalam dunia ini untuk digulirkan. Simak saja apa yang disebutkan oleh Mas Uki Bayu Sedjati, yang bilang “kepingin melibatkan telaah terhadap pelawak ke dalam kehidupan di sekitar kita, misal: kondisi & status sosial-ekonomi-pendidikan, industri & kapitalisasi, peran media massa, dll.”

Luas sekali. Bisa ga, beliau menuliskan uneg-unegnya tersebut ? Mungkin dalam blognya pribadi ? Atau nunut di My Note-nya Mas Dar ini ? Saking luasnya telaah untuk dunia komedi, sering saya tulis, bahwa saya ibarat seekor nyamuk dalam perkampungan kaum nudis. Tahu apa yang saya perbuat, tetapi belum tahu harus dimulai dari mana….Buzz, buzzz, buzz. Nguing, nguing, nguing. Bingung.

Bagaimana bila dimulai dari isu klub komedi amatir tadi ? Engga maksa lho.

Bambang Haryanto
Pengelola Blog Komedikus Erektus ! :
http://komedian.blogspot.com

bh
Komedi Indonesia vs Klub Komedi
Komentar di Facebook untuk artikel Darminto M Sudarmo, Lawak Indonesia Mau ke Mana?, diunggah Jumat, 24 Juli 2009



Tks, Mas Ali Mahmudin/TPI, untuk pengayaan infonya. Cita-cita luhur Anda tentang lawakan cerdas itu saya kira juga menjadi komitmen kita semua. Saya yakin cita-cita itu akan tercapai. Mari kita semua pemangku kepentingan dunia komedi Indonesia menghimpun iuran gagasan untuk langkah demi langkah menuju progres.

Mas Ali berbicara dari kacamata seorang eksekutif televisi, kan ? Kalau benar maka bisa dimaklumi bila para komedian muda itu menjadi sulit bersaing untuk tampil di layar kaca. Tayangan di TV jelas terlalu mahal sebagai tempat mereka mengasah keterampilan. Apa alternatifnya ?

Saya pernah kirim gagasan lama, ke Shola dan Mas Darminto, dan teman lainnya, sesudah acara diskusi Jogja itu. Yaitu gagasan membangun komunitas klub komedi amatir. Sori, ide lama itu saya ulang lagi di sini, karena email saya terkait gagasan tersebut babar blas ga ada yang mau mengomentari :-( Kali karena kuno idenya.

Topik klub komedi itu pernah saya tulis di harian Suara Merdeka. Moga-moga artikel ini masih hidup dan masih bisa Anda akses.

Untuk klub komedi yang sudah digarap sebagai bisnis, rasanya kita bisa belajar dari Raymond Tommybenz dari Comedy Café di Pasar Festival Kuningan, Jakarta. Sekadar info : dia dan saya pernah diwawancarai oleh radio BBC Siaran Indonesia mengenai tidak suburnya budaya lawak tunggal di Indonesia.

Di komunitas klub komedi amatir itu, secara teoritis, semua fihak dapat berinteraksi. Dari calon komedian, penulis naskah, produser televisi, pencari bakat, dan fihak-fihak terkait lainnya. Jadi cita-cita ingin ketemu, pengin ngobrol-ngobrol demi melepas kangen dari Mas Darminto dan teman lainnya, mungkin dapat terpenuhi.

Tentang komunitas klub komedi amatir di dunia maya, menurut saya akun Facebook-nya Mas Darminto ini agak kurang memenuhi syarat. Mohon bikin saja akun grup, Komedi Indonesia. Atau nama lainnya. Saya sudah masuk grup Persatuan Humor Indonesia (PHI), tetapi tak aktif. Isinya berbagi lelucon, tetapi bukan lelucon orisinal, jadi males.

Moga obrolan ini ada manfaatnya.


Bambang Haryanto
Pengelola Blog Komedikus Erektus !


bh
Komedi Jadul, Ali Mahmudin dan Isu-Isu Baru
Komentar di Facebook untuk artikel Darminto M Sudarmo, Lawak Indonesia Mau ke Mana?, diunggah Selasa, 21 Juli 2009


Dear mas Ali Mahmudin. Setuju sama pendapat Anda terkait artikel Mas Darminto [beliau th 80-an jd redaksi yang membayari honor untuk kiriman lelucon saya di koran Jayakarta].

Lawak jaman dulu masih berpotensi besar untuk memperoleh sentuhan baru. Revitalisasi. Lawak jaman dulu kan merupakan akar kita. Tinggal bagaimana kita mem-blend antara "kemasan" yang lama itu dengan isu-isu baru. TPI dan Anda pasti kaya dengan hal ini.

Sukses selalu. Salam untuk Mas Harris Cinnamon.

bh
Internet vs Kegaptekan Komunitas Komedi Indonesia
Komentar di Facebook untuk artikel Darminto M Sudarmo, Lawak Indonesia Mau ke Mana?, diunggah Selasa, 21 Juli 2009



Wah, kalau diskusi/obrolan antar stakeholder atau pemangku kepentingan dunia komedi Indonesia baru diadakan bila kita bisa BERKUMPUL dan bicara secara TATAP MUKA, maka menurut saya, kayaknya mindset kita kembali ke “jaman batu.” Alias jaman sebelum ada Internet.

Padahal, waktu terus berdetak. Padahal kita sudah menggunakan sarana email dan beragam media sosial di Internet, dari blog sampai facebook ini. Tanpa dibatasi oleh jarak dan posisi geografi, kita sudah bisa bertemu dan berbagi gagasan. Padahal kita tinggal mengetik gagasan-gagasan kita itu, mengelaborasinya.

Sayang, bila diskusi semacam ini lalu berhenti, tidak bertenaga, karena “kemalasan” kita semua :-( ?

bh
Budaya Menulis Dalam Komunitas Komedi Indonesia
Komentar di Facebook untuk artikel Darminto M Sudarmo, Lawak Indonesia Mau ke Mana?, diunggah Selasa, 13 Juli 2009



Tulisan yang bertopik luas dan inspiratif. Demikian juga tulisan Indra Tranggono itu. Usul : kalau ada minat, tulisan-tulisan tersebut berpeluang dipecah secara lebih detil fokusnya, yang menurut saya lebih dari sepuluh topik.

Bagi saya, juga sering ditulis di media massa, problem utama kemandegan komedi Indonesia adalah masih saja (abadi ?) bertumpu pada sinyalemen yang selalu diungkapkan oleh Arwah Setiawan.

Dua belas tahun lalu, intelektual humor Indonesia itu dalam bukunya Humor Zaman Edan (Jakarta : Grasindo, 1997 : 379), sudah berujar : “Betapa pun pentingnya pelawak atau komediwan untuk menyukseskan suatu pertunjukan komedi, tetapi kalau pertunjukan itu tidak didasarkan pada naskah cerita yang jenaka dan rapi, pertunjukan tersebut niscaya tidak akan dinikmati oleh para pemirsa...

Keberhasilan suatu pertunjukan komedi memang bertumpu pada penulisan naskah komedi yang jenaka, rapi dan masuk akal…Untuk itu perlu diadakan lomba penulisan naskah komedi.”

Selama tidak ada upaya serius dan berkesinambungan dalam menumbuhkan budaya menulis dalam dunia komedi kita, jangan berharap akan ada perkembangan yang lebih baik bagi dunia komedi kita.

Malah saya sendiri di era merebaknya media sosial yang egaliter di Internet dewasa ini, berkesimpulan rada selfish, bahwa : komedian itu HARUS seorang blogger*. Titik. Period.

PS : *)Sayang banget, blognya Jojon Center dibiarkan terbengkalai. Makalah Anda ini belum terpajang di sana. Padahal sebaiknya, sebelum acara sudah mejeng di sana :-(. ...

Oh ya, saya juga sudah kirim email terkait upaya menindaklanjuti ikhtiar + obrolan di Jojon Center itu, demi memajukan komedi Indonesia melalui penyelenggaraan klub-klub komedi amatir di kota-kota kantong budaya di Indonesia.

bh
Kampanye Makan Ikan, Surat Pembaca, dan Blog Sepakbola
Email ke Joko Suprayoga (Kendal), Minggu, 19 Juli 2009, Jam 9-an. JetixNet, K1.

Pro : Mas Joko Suprayoga,

Salam episto ero sum. Moga sehat-sehat. Moga Musashi juga tambah pinter. Apa juga suka makan sushi, ikan mentah a la orang Jepang ? Saya tertarik dengan SP Anda di SM (“he-he, koran ini sudah memasukkan saya dalam black list mereka, engga boleh nulis SP, gara-gara saya menulis kritik, entah di blog atau my note di FB saya…”), terkait kampanye makan ikan. Seingat saya, saya makan ikan kalau mancing saya ke Bengawan Solo dapat ikan. Tetapi itu sudah puluhan tahun yang lalu.

Itulah cermin Wong Wonogiri, barangkali, terkait konsumsi ikan. Saya sudah pula kliping berita di Solopos tentang kampanye makan ikan itu. Ditulis, bahwa orang Wonogiri itu masih rendah konsumsi ikannya. Mungkin cerita berikut ini mencerminkan mengapa warga kabupaten saya ini tergolong rendah dalam mengonsumsi ikan.

kampanye makan ikan, wonogiri

Suatu saat, saat saya jalan ke Perpustakaan Wonogiri. Di dekatnya ada restoran Ayam Bakar Ari. Tiba-tiba ada mobil Dinas Perikanan Wonogiri berhenti di depan restoran itu. Di mobil itu terpajang slogan, “Orang Pintar Gemar Makan Ikan.” [Lihat foto].

Naluri sebagai warga EI segera berjalan. Segera saya jepret momen menarik itu dengan kamera saya. Nampak dua PNS sedang memasukkan dus-dus makanan ke mobil yang menurut saya “mewah,” (Mitsubishi Strada ?), kelas gas guzzler (istilah orang AS untuk mobil ber-CC besar, boros konsumsi BBM).

Dari foto itu menimbulkan pertanyaan : apakah PNS dari Dinas Perikanan Wonogiri itu memesan makanan ayam bakar atau ikan bakar ? Saya tidak tahu jawabnya.

Sekian dulu kabar dari Wonogiri.
Salam episto ergo sum.

Bambang Haryanto
Twitter : http://twitter.com/bambangharyanto

PS : Usul-usil. Koran itu umurnya “sehari.” Jadi sayang bila tulisan-tulisan Anda yang inspiratif itu juga ikut hanya berumur sehari. Alangkah baiknya bila semisal SP Anda tentang sepakbola itu dibuatkan blog tersendiri.

Semakin banyak orang cerewet tentang sepakbola kita, saya kira akan lebih baik bagi masa depan sepakbola kita. Apalagi di dunia sepakbola kita, menurut saya, terlalu banyak “useful idiot” yang begitu mudah dipergunakan oleh para penguasa untuk agenda mereka sendiri.

Dengan blog, Anda dan kita lebih “abadi” dalam berbagi wawasan, uneg-uneg dan pengetahuan.

bh
Siswa St.Josef dan Relawan Habitat for Humanity di Solo
Email ke FX Triyas Hadiprihantoro, Kamis, 16 Juli 2009


Salam episto ergo sum,

Moga sehat-sehat. Thanks untuk SP Anda terkait dengan pendayagunaan air secara bijak. Apalagi kemarau segera datang, plus El Nino 7 tahunan. Mindset baru ini memang harus terus dikampanyekan.

Oh ya, Anda sempat memerhatikan foto di Kompas Jawa Tengah, 15/7/09, tentang bule-bule cewek yang relawan dari Habitat for Humanity Indonesia (HfH) sedang ikut membantu pembangunan rumah korban banjir di Mojosongo ?

Organisasi ini sudah lama saya kagumi, utamanya visi sang pendirinya, Millard Fuller ; dulu saya baca dari majalah Reader’s Digest tahun 80-an. Anda bisa mencarinya via Google, termasuk cabangnya di Indonesia. Yang paling dekat dari Solo ada di Yogya.

Ada usul nih : untuk memberi bekal wawasan pergaulan (antarbangsa) dan mengasah kepekaaan sosial murid-murid Anda, bisa ga sebagian peserta MOS Anda kirim agar ikut sehari-dua hari, bahu-membahu membantu para relawan bule dari HfH ini ?

Minimal, mereka bisa saling menambahkan teman baru di facebook mereka. Syukur-syukur, murid-murid Anda itu bisa wawancara untuk mengetahui dan menghayati niat luhur para relawan itu, yang jauh-jauh datang dan mereka rela bekerja sampai di kota Solo ini. Lalu hasil wawancara bisa dipajang di situs sekolah. Atau ditulis (sesuai visi kita sebagai warga Epistoholik Indonesia) di kolom, seperti biasa, surat pembaca.

Menurut Kompas, mereka akan ada di Solo sampai 24 Juli 2009 ini. OK ?
Moga asal-usul dan usil ini bermanfaat.
Salam episto ergo sum.

Bambang Haryanto

bh
Komedi Indonesia, Klub Komedi dan Intellectual Capital
Email ke Jojoncenter Dokumentasi Komedi Indonesia, Selasa, 7 Juli 2009



Dear Mas Sholahuddin dkk
Di Jojoncenter Dokumentasi Komedi Indonesia


Salam humor.

Moga sehat-sehat. Terima kasih untuk kiriman transkrip dari diskusi di JJC, 27-28/6/2009, dengan topik menggagas masa depan lawak Indonesia.

Saya menikmati isi perbincangan yang terjadi. Juga asyik berusaha mencerna sebaik-baiknya semua materi obrolan, dimana dari tukar-pendapat itu saya banyak belajar dari semua fihak yang menjadi kontributor gagasan atau pengalaman, yang semuanya menarik untuk dikaji satu demi satu.

Intinya, sebagaimana isi email saya ke Mas Shola 6 Juni lalu, ketika saya berpendapat bahwa Jogja dan Jojon Center berpeluang menjadi “pusat gempa baru” yang lebih menggelegar untuk dunia komedi kontemporer di Indonesia, kini saya semakin optimis akan harapan itu.

Sebagai orang Wonogiri yang kebetulan punya kaitan emosional dengan Jogja (saya pernah sekolah di STM 2 di Jetis dan bapak saya pernah jadi Danramil di Gedongtengen), saya ingin sedikit urun rembug. Utamanya terkait dengan salah satu isu besar dalam diskusi itu, juga isu sentral dunia komedi tanah air yang aktual, yaitu bagaimana memperkuat SDM dunia komedi Jogyakarta (dan tentu saja juga kota-kota lainnya).

Hemat saya, nampaknya ikhtiar untuk itu dapat segera dilakukan, dengan mengambil analogi kegiatan kecil di laboratorium. Kita membuat laboratorium lawak melalui kegiatan klub komedi. Kecil-kecilan dulu. Bila percobaan itu sukses, nanti bisa di-virus-kan ke daerah lain.

Tentu saja ikhtiar itu tidak hanya berfokus pada pencarian sampai dengan pengembangan SDM untuk pelawak semata. Tetapi juga merangkul para calon penulis naskah humor/gag writer, manajemen, dan aspek-aspek penunjang industri komedi lainnya. Untuk saat ini saya ingin mengusulkan dulu tentang dua hal.

Pertama, pertemuan di JJC itu sebuah awal yang baik untuk memulainya. Moga-moga mereka yang hadir itu, juga yang hadir dalam aktivitas JJC sebelumnya, dimasukkan ke dalam bank data JJC. Semacam halaman kuning dalam buku telepon.

Data yang nanti terhimpun tidak hanya nama, alamat, tetapi juga data minat spesifik mereka terhadap beragam aspek dalam dunia komedi. Sangat ideal bila mereka sudi menyumbangkan esai tentang cita-cita dan harapan tentang masa depan dunia komedi kita. Bagi saya, setiap orang itu spesial. Suatu saat spesialisasi mereka itu pasti dibutuhkan. Untuk itu, ya harus kita data, untuk diketahui bersama.

Ikhtiar semacam ini, saya dibocori oleh mBak Tika Bisono dan Mas Ito (Sarlito Wirawan Sarwono) sebagai manifestasi dari manajemen ilmu pengetahuan. Bila ingin tahu lebih serius mengenai topik satu ini, di tengah gelombang wacana pengembangan ekonomi/industri kreatif di Indonesia saat ini, silakan baca bukunya Thomas A. Stewart (wartawan senior majalah bisnis Fortune), Intellectual Capital/Modal Intelektual : Kekayaan Baru Organisasi (ElexMedia, 2002).

Tampilkan mereka, di blog JJC (dibuatkan blog baru). Jadi gagasan mereka terbuka untuk publik, sebagaimana kaidah Web 2.0., yaitu user generated content, sehingga parade atau pamer gagasan ini diharapkan memacu gelombang aksi diskusi, baik komentar pro atau kontra, meneladani revolusi Wikipedia-nya Jimmy Wales yang fenomenal itu.

Kedua, merintis kegiatan klub komedi di Yogyakarta. Syukur-syukur juga paralel di kota-kota lainnya. Kantong-kantong kecil budaya untuk pengembangan komedi yang menurut saya dapat segera direalisasikan.

Untuk pemicu diskusi lebih lanjut, di bawah ini ada tulisan mini tentang hal tersebut. Gagasan klub komedi ini pernah saya tulis di Suara Merdeka, kolom Spot/Hiburan, Senin, 19 Februari 2007 [http://www.suaramerdeka.com/harian/0702/19/bud03.htm] :

Klub Komedi

Ada kesalahan mendasar dari API, kontes calon pelawak di stasiun televisi TPI selama ini. Sebagai acara televisi mungkin bisa disebut berhasil. Tetapi untuk tujuan pengkaderan pelawak di tanah air, termasuk di Jawa Tengah, program itu salah konsep sejak awal.

API hanyalah program ikut-ikutan reality show yang lebih dulu terkenal, seperti AFI (Akademi Fantasi Indosiar) dan Indonesia Idol. Kontes untuk menemukan penyanyi tersebut dicontek mentah-mentah oleh konseptor API. Mereka hanya mengganti pelakunya, semula calon penyanyi digantikan calon pelawak. Mereka tidak sadar bahwa dunia komedi tidak sama dengan dunia menyanyi.

Dalam dunia menyanyi, sebuah lagu halal dinyanyikan berulang-ulang, oleh beragam penyanyi, dalam pelbagai kesempatan. Di pentas ini tidak ada penonton bakal berteriak melarang seseorang menyanyikan sesuatu lagu karena lagu tersebut pernah ia dengar sebelumnya. Tetapi lawakan tidak. Kalau Anda melucukan sesuatu, mungkin di antara kawan-kawan ada yang menyeletuk ia sudah pernah mendengarnya.

Realitas ini menandakan bahwa tuntutan orisinalitas yang tinggi terhadap materi lawakan membuatnya tidak mudah untuk dipenuhi. Apalagi materi lawakan baru itu begitu tampil di media akan langsung usang. Tuntutan orisinalitas itulah yang membuat banyak kelompok lawak di Indonesia, termasuk alumni API, tidak punya nafas dan umur panjang. Salah satu solusi untuk meningkatkan kreativitas dunia komedi Indonesia adalah belajar dari industri komedi di Amerika Serikat.

Calon komedian di sana menggembleng diri melalui pentas di pelbagai klub komedi. Klub komedi tidak berbeda dengan kafe atau klub, dengan sajian utama pentas komedi. Calon komedian tampil dalam sesi open mike, mikrofon yang boleh digunakan oleh siapa saja, dari klub komedi tersebut.

Sesi serupa dapat dilakukan di restoran, galeri, toko-toko buku, sampai pelataran kampus. Dengan pengorganisasian tertentu, calon komedian berpentas 5-10 menit di pelbagai lokasi tersebut untuk menjajal nyali, mentes kreativitas karya dan gaya lawakan mereka.

Pada tahun 1970-an di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) Sasonomulyo, Solo, dikenal acara Pentas Kecil, pentas eksperimen untuk kelompok teater dan pembacaan puisi. Sesudah pentas diadakan diskusi. Acara open mike bagi calon pelawak dapat meniru acara serupa, sehingga ajang penggemblengan calon komedian kini bisa dilakukan di pelbagai kota-kota kantong budaya di Jawa Tengah.

Dalam habitat klub komedi tersebut akan berbaur calon komedian, penulis naskah, sutradara, management agency, wartawan, pemerhati, orang-orang televisi, sampai juragan klub komedi itu sendiri.

Dari pergaulan semacam kita berharap munculnya lebih banyak talenta-talenta baru demi semaraknya industri komedi Indonesia !


Demikianlah sekadar asal-usil dan usil dari Wonogiri. Mohon maaf bila hanya mampu sebagai penambah masalah baru bagi dunia komedi di Indonesia. Sukses selalu untuk Anda semua.

Salam humor !

Bambang Haryanto
Pengelola blog Komedikus Erektus ! :
http://komedian.blogspot.com


PS : Anda sudah membaca tulisan Indra Tranggono berjudul “Negeri Yang Suka Tertawa" di kolom Teroka, Kompas (20/6/2009), yang menarik mengenai wajah dunia lawak Indonesia mutakhir ?

Sebagaimana Michael Jackson punya lagu “Heal The World,” yang mengajak kita semua saling bahu-membahu berusaha membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi sesama, the entire of human race, Indra Tranggono juga mencita-citakan lawak/komedi/humor (di) Indonesia sebagai pengemban misi untuk memuliakan kemanusiaan. “Apakah Anda yang pertama ?,” begitu tutup dan tantangnya.

Bila Anda berminat menyimakinya, silakan Anda klik di : http://cabiklunik.blogspot.com/2009/06/teroka-negeri-yang-suka-tertawa.html. Karena saya rada kesulitan memperoleh akses blog atau email Mas Indra Tranggono (“lalu saya minta bantuan Mas Kuss Indarto untuk mem-FWD email saya kepadanya. Nuwun Mas Kuss, untuk bantuannya”), saya lalu hanya mampu menemukan blog ini yang memajang tulisan inspiratif itu.

Oh ya, saya juga menulis obrolan tanggapan di blog itu pula. Tetapi dari Mas Indra Tranggono, mungkin karena kesibukan, saya belum memperoleh email balasan darinya.

bh
Ekonomi Kreatif, Ridwan Kamil dan Ide David Parrish
Dikirimkan via kompas@kompas.com, Kamis, 25 Juni 2009


Kepada Yth. Redaksi Kompas,

Dengan hormat,

Mohon bantuan. Tertarik dengan artikel yang ditulis oleh Bapak Ridwan Kamil di Kompas (23/6/2009), “Menaklukkan Dunia Lewat Kreativitas,” saya berkeinginan untuk membina kontak dengan beliau. Tentu saja, dalam ikut mendukung misi Kompas sendiri yang akhir-akhir ini juga gencar mewacanakan perkembangan ekonomi kreatif yang antara lain, sesuai tema Hut 44 Kompas, untuk membangkitkan optimisme pada bangsa Indonesia.

Terkait dengan hal tersebut, semoga tidak terlalu merepotkan bila Anda sudi mem-forward email ini kepada email Bapak Ridwan Kamil. Terima kasih untuk bantuan Anda.

Hormat saya,


Bambang Haryanto
Blogger, tinggal di Wonogiri
HP : +6281329306300


=====

Salam sejahtera, Bapak Ridwan Kamil.

Artikel Anda di Kompas (23/6/2009), “Menaklukkan Dunia Lewat Kreativitas” telah saya klipping dan menjadi inspirasi saya. Saya tinggal di Wonogiri dan seorang blogger. Bersama email nyelonong ini saya berniat meminta arahan dan nasehat Anda, terkait info di bawah ini.

Melalui Facebook saya telah berkenalan jarak jauh :-) dengan David Parrish. Ia seorang konsultan Inggris yang memadukan antara kreativitas, yang ia simbolkan dengan kaos, T-Shirts dengan bisnis yang ia simbolkan dengan jas, Suits. Konsepnya itu ia hadirkan dalam bentuk e-book yang dapat Anda [Download free eBook. T-Shirts and Suits] unduh secara gratis di :

http://daveparrish.typepad.com/tshirts_and_suits/tshirts_and_suits/index.html

David pada saat kenal pertama kali via FB ia langsung meminta bantuan saya, untuk membina kontak dengan fihak terkait, yang mungkin tertarik untuk menerjemahkan buku/ebooknya tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Kutipan pesannya via Facebook sebagai berikut :

In Taiwan, the British Council arranged for the book to be translated into Chinese. See http://www.facebook.com/l.php?u=http://www.tss-translations.com

Maybe it should be translated and published as an eBook in Indonesia too? What do you think? Do you have any contacts in the British Council or Government Agencies who would be interested in this idea?

Please let me know.

Begitulah kabar nyelonong saya untuk Bapak Ridwan Kamil. Mungkin sesuai tesisnya Richard Florida, saya yang tinggal di Wonogiri ini boleh disebut tinggal di kawasan yang bukan kawasan kreatif. Sehingga, jelasnya, saya kekurangan kontak dan sumber daya untuk bisa mewujudkan ide menarik dari David Parrish itu.

Pada bulan Maret 2009 yang lalu, terinspirasi tulisan mBak Ayu Utami dalam kolomnya di koran Sindo (14/9/2008) berjudul “Bangkitnya Kelas Kreatif,” saya kabarkan pula kepadanya mengenai maksud David Parrish di atas. Ayu Utami membalas, ia berusaha menghubungi British Council. Sejak email itu, saya tidak mengetahui kelanjutan gagasan di atas.

Begitulah, Bapak Ridwan Kamil, kabar dari saya. Karya David Parrish itu bagus sekali untuk pengembangan ekonomi kreatif (kerakyatan ?) di Indonesia. Saya menunggu nasehat dan arahan Anda untuk membantu David, yang saya kira karyanya itu sangat bermanfaat bagi kita semua. Atau Bapak Ridwan Kamil dapat juga langsung mengobrol bersama David Parrish. Silakan.

Terima kasih untuk perhatian Anda.

Hormat saya,


Bambang Haryanto
Blog EE : http://esaiei.blogspot.com
HP : +6281329306300


PS : Di lingkaran pertemanan bersama David Parrish dalam FB itu juga ada John Howkins, penulis buku The Creative Economy itu. Yang antara lain menarik dari buku ini, adalah ketika ada perbandingan penghasilan pemain basket Michael Jordan selama tahun 1992 yang dibayarkan oleh Nike untuk mereknya, sama dengan gaji buruh Indonesia sebanyak 30.000 sepanjang tahun yang sama.

[Catatan : sampai 28 Juli 2009, tak ada balasan terkait email saya ini. Mungkin harian Kompas sibuk, tak mau memforward. Atau Ridwan Kamil juga sibuk, atau tidak antusias membalas obrolan ini. Tak apa, bisa dicoba cara lain. Lain kali. – bH].

bh

Monday, July 20, 2009

Fokus Milis Kaum Epistoholik dan Ajakan Terus Menulis
Dikirimkan ke milis Epistoholik Indonesia, epistoholik-indonesia@yahoogroups.com, Rabu, 11 Februari 2009


Sobat warga milis Epistoholik Indonesia,

Salam episto ergo sum. Salam sejahtera. Senang sekali, saya masih sering menemui nama-nama Anda semua dalam mengisi kolom-kolom surat pembaca. Juga menulis di blog Anda ya ?

Tesis saya di tengah dunia media yang berubah saat ini (saya tulis di blog saya, EE No. 66) adalah : jadikan surat pembaca sebagai appetizer, umpan tekak, yang memancing pembaca untuk lebih jauh mengenal Anda dan pemikiran Anda.

Kemudian, jadikan blog Anda sebagai sajian utama, main course Anda. Karena di blog Anda bisa menulis “seenak” Anda sendiri. Di sini pula Anda dapat berdialog, berinteraksi dengan fans Anda, pembaca Anda, sesuatu yang mustahil terjadi di media cetak yang bukan “milik” Anda sendiri.

Tesis itulah yang membuat saya, yang sempat libur sejak Agustus 2008, kini tergerak untuk menulis lagi surat-surat pembaca di koran-koran.

Sebagai warga Jawa Tengah, saya tertarik kembali menulis surat pembaca ke koran Suara Merdeka. Koran ini relatif “murah hati,” karena sering memuat secara penuh surat-surat pembaca kita. Sementara di Kompas Jawa Tengah, pisau suntingnya tajam sekali, sampai hal-hal yang saya nilai esensial pun ikut terpotong.

Bahkan data saya untuk menyatakan sebagai “Warga Epistoholik Indonesia” tidak pernah dimuat. Padahal warga lain, data yang mewakili komunitas itu bisa dimuat. Mungkin saya lagi apes ya ?

Tetapi koran Suara Merdeka saat ini bikin frustrasi. Penyebabnya, mereka kini nampaknya (?) bisa menerima surat pembaca melalui email (saya bersorak, karena printer saya lagi rusak), dengan akun email : aspirasi.sm@gmail.co.id. Tetapi apa yang saya alami ?

Mungkin lagi-lagi saya apa lagi apes, karena email saya ke alamat itu tidak bisa nembus. Sudah saya coba dengan dua email yang berbeda. Apa pengalaman Anda tentang emailnya koran Semarang ini ? Halo, mas Purnomo ?

Fokus milis kita. Terakhir, ini titipan khusus untuk Mas E. Musyadad, penjaga gawang milis EI kita ini. Begini, hemat saya, milis ini punya cakupan sangat khusus, seputar seluk-beluk kaum kita, kaum epistoholik. Jadi isi milis kita seharusnya juga berfokus ke topik satu itu : seputar bagaimana membangun atau menyebarkan mazhab kaum epistoholik itu, dengan pelbagai aspeknya yang relevan.

Jadi, POSTINGAN YANG DILUAR TOPIK KHUSUS ITU, walau ditulis oleh warga EI dan anggota milis ini, ya jangan dipajang dong disini. Pernah ada tulisan berbau ajakan bisnis, kok ya bisa muncul disini. Untuk mas Hariyanto Imadha, hemat saya, isi surat-surat pembaca Anda yang semuanya berisi ide brilyan itu, menurut saya, sebaiknya lebih tepat dikirim ke milis lain yang relevan.

Kalau Anda pas ada gagasan cemerlang menulis dengan topik seputar surat pembaca dan kaum epistoholik, tentu sangat dinanti untuk diposting di milis kita ini. Untuk berbagi wawasan. OK ?

Di bawah ini ada surat pembaca saya yang mengajak para caleg untuk menulis artikel dan juga surat pembaca. Mereka kan bisa kita ajak untuk berkampanye, melalui kolom-kolom surat pembaca. Anda tertarik untuk juga menyebarluaskan ide sederhana ini ? Terima kasih saya ucapkan.

Caleg Kita dan Melek Media

Pamer tampang dan pamer gelar akademis. Itulah yang mencolok dan mudah ditemui dalam papan peraga kampanye caleg-caleg kita. Ditambah slogan atau janji yang normatif, membuat konstituen kekurangan informasi mengenai visi-misi dan utamanya tentang kualitas intelektual caleg bersangkutan. Saya heran, mengapa mereka tidak memanfaatkan media massa ?

Kalau kantongnya tak mampu untuk pasang iklan, mengapa mereka tidak menulis artikel atau surat pembaca ? Atau membuat blog. Dengan menulis mereka mengasah ketajaman berpikir atau pengamatannya terhadap masalah yang dihadapi para konstituen, terbuka untuk berdiskusi dan kemudian memberikan solusi.

Inilah saatnya mereka berdiri disamping rakyat dan berbicara memakai kacamata rakyat, sebuah sikap yang harus terus mereka pertahankan bila terpilih kelak sebagai wakil rakyat. Bukti tertulis dan dibaca banyak orang itu juga bermanfaat untuk menagih janji para wakil rakyat yang ingkar janji !


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Sekian dulu. Mohon maaf bila kabar ini bisa merepotkan. Diskusi dari Anda, sangat saya nantikan. Salam saya dari Wonogiri.


Bambang Haryanto
Obama vs Caleg-Caleg Kita
Dimuat di kolom Surat Pembaca-Harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 3 Februari 2009


Sukses Obama menjadi presiden Amerika Serikat ke-44 ditunjang pemanfaatan sarana teknologi komunikasi dan informasi (TKI) yang cerdas dalam kampanyenya. Intinya, sarana TKI itu digunakan untuk mendengar, menyerap aspirasi konstituen, dan lalu mensosialisasikannya sebagai isu bersama. Meminjam kata-kata Bung Karno, Obama sukses sebagai penyambung lidah rakyat.

Bagaimana wajah kampanye para caleg kita ? Mereka sangat elitis, egois, untouchable dan tidak merakyat, karena tidak mau membuka dialog dengan konstituennya. Simak saja peraga kampanye mereka, isinya lebih banyak mementingkan diri mereka sendiri. Memuji-muji diri sendiri.

Dalam sarana itu tidak terpajang data alamat, situs web/blog, email, telepon/HP (apalagi yang bebas pulsa) sebagai gestur kesediaan mereka membuka akses guna bersosialisasi dan berinteraksi dengan rakyat banyak yang mereka wakili. Pemilih kini benar-benar ibarat dipaksa untuk memilih kucing dalam karung !


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

bh
Intelektual Indonesia Terancam Dibelenggu UU ITE
Dikirimkan ke milis Epistoholik Indonesia, epistoholik-indonesia@yahoogroups.com, Rabu, 9 April 2008


Radio BBC London mengutip isi berita Koran Tempo (9/4/2008) mengenai 4 orang penulis surat pembaca di Jakarta yang divonis untuk membayar denda sebesar 1 milyar karena didakwa melakukan pencemaran nama baik. Mereka menulis surat pembaca karena merasa hak-haknya diingkari oleh sebuah perusahaan pengembang ternama di Jakarta.

Kasus ini sejak lama menjadi perhatian dan keprihatinan kami, para penulis surat pembaca yang tergabung dalam komunitas Epistoholik Indonesia (EI).

Salah satu penulis surat pembaca itu, Bapak Khoe Sheng Seng dalam SMS-nya (9/4/2008) menceritakan bahwa putusan ini dibaca dengan gemetar oleh ketua majelis hakim dengan suara yang pelan sekali dan ia yang hadir tidak bisa mendengar.

Setelah sidang ia baru tahu kalau dia dikalahkan dan menurutnya putusan ini sangat berbeda dengan putusan sebelumnya yang membebaskan mereka. Bahkan kesaksian ahli dari Dewan Pers sama sekali tidak dipertimbangkan, di mana sudah dijelaskan bahwa yang bertanggung jawab adalah pemimpin redaksi koran yang memuatnya.

Kasus sangkaan melakukan pencemaran nama baik saya pikir akan semakin membelenggu warga negara RI di masa datang. Utamanya juga akibat dari disahkannya RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Yang terancam masuk penjara 6 tahun dan denda 1 milyar itu kalau bukan pelaku mainstream journalism (MSM) yang mengelola medianya di Internet, tetapi nampak kecenderungan yang dibidik adalah para pelaku jurnalisme warga, citizen journalism dan blogger yang memanfaatkan jurnal di Internet untuk mengkritisi pemerintah atau pun pengusaha seperti kasus yang menimpa Pak Khoe dan kawan-kawan saat ini.

Kalau hal itu terjadi, dimana hukum analog dipaksakan untuk mengatur dunia digital, maka Indonesia akan semakin menjadi paria saja. Karena semakin banyak kaum terdidik kita ramai-ramai masuk penjara gara-gara dituduh melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. Kita diam-diam kembali ke era Orde Baru, bahkan ke jaman batu.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia (EI)

bh
Wayang, Membunuh Demokrasi ?
Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Kompas Jawa Tengah, Kamis, 27 Maret 2008


Dalang sebagai seniman, bila menurut Rendra, seharusnya berumah di angin. Ia seorang resi yang tidak lagi berorientasi ke hal-hal duniawi, senantiasa menyuarakan kebenaran dan hati nurani rakyat. Wahana untuk itu terbuka ketika berlangsungnya adegan goro-goro yang menampilkan para punakawan, Semar dan anak-anaknya. Semar yang konon setengah manusia dan setengah dewa itu merupakan personifikasi “suara rakyat adalah suara Tuhan” pula.

Tetapi di jaman industri dewasa ini banyak resi alias dalang wayang yang juga ingin kaya raya. Maka pesan-pesan dalam pertunjukan wayangnya pun tidak luput dari filosofi “maju tak gentar, membela yang bayar.” Saya pernah mendengarkan adegan Limbukan yang seluruh isi adegannya memuji-muji kebijakan pimpinan perusahaan besar yang menyewa dalang bersangkutan. Padahal perusahaan itu memproduksi barang-barang yang bila dikonsumsi berpotensi mengancam kesehatan.

Kini pun marak fenomena aneh lainnya, ketika resi di depan kelir atau layar itu ternyata pejabat pemerintahan. Atau tokoh politik. Jadi mudah dibayangkan, wayang terkooptasi menjadi abdi atau pelayan agenda para pejabat bersangkutan. Barangkali bisa disebut sebagai wayang top-down.

Wayang yang dibajak pengusaha dan pejabat. Merujuk fakta itu kita mudah ingat analisis klasik ahli politik George McTurnan Kahin yang berujar bahwa salah satu penghalang demokrasi di Indonesia adalah kultur politik masyarakat yang senantiasa menyandarkan segala sesuatu kepada arahan dari atas.

Jadi pertunjukan wayang yang diperkirakan semakin marak menjelang dan selama kampanye Pilgub Jawa Tengah 2008 nanti, ujung-ujungnya justru menyerimpung dan bahkan membunuh kehidupan demokrasi di Indonesia ?


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

bh
Hotspot Mubazir di UNS
Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 18 Maret 2008


Laporan harian ini mengenai UNS Sebelas Maret yang sedang merayakan dies natalisnya menarik untuk dibincangkan. Antara lain laporan mengenai tersedianya fasilitas hotspot atau sambungan Internet tanpa kabel di kampusnya yang memanjakan para mahasiswa dalam mengakses informasi global. Tetapi apakah para mahasiswa UNS itu hanya puas sebagai konsumen informasi ? Sepertinya kok begitu.

Sekadar ilustrasi, ketika mewakili komunitas Epistoholik Indonesia (EI) dan menjadi pemakalah pada Seminar Nasional “Jurnalisme Warga : Ancaman Bagi Media Massa ?” yang diadakan Lembaga Pers Mahasiswa VISI – FISIP UNS (28/2), saya sempat bertanya kepada hadirin yang sebagian besar mahasiswa. Seberapa banyak dari mereka yang telah mengelola blog atau jurnal di Internet ? Dari sekitar seratusan hadirin hanya 1-2 yang menunjukkan jarinya.

Arti dari gambaran kasar di atas adalah, kiranya masih dibutuhkan tekad dan kerja keras sivitas akademika UNS dalam memanfaatkan Internet secara produktif. Dalam artian, tidak hanya puas berhenti sebagai konsumen informasi belaka, tetapi juga harus menjadi produsen informasi bercakupan global.

Ketika masih terlalu banyak dosen dan mahasiswa mereka tidak memiliki blog, maka suara gagah sang Rektor UNS bahwa UNS Sebelas Maret sekarang ini mengincar cita-cita sebagai universitas kelas dunia, akan hanya sebagai ilusi, realitas yang jauh panggang dari api.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

bh
Ketika Media Sebagai Ancaman Demokrasi
Dikirimkan ke milis Epistoholik Indonesia, epistoholik-indonesia@yahoogroups.com, Selasa, 11 Maret 2008


Dear Warga EI dan Simpatisannya,

Salam sejahtera. Apakah heboh tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan saat memakan suap 660.000 dollar kini jadi perhatian Anda ? Itukah cermin mewabahnya budaya korupsi pada tubuh bangsa ini ?

Bagaimana kalau Anda dapat info bahwa ada wartawan surat kabar nasional memiliki rumah untuk tetirah, senilai 4 milyar ? Dari fenomena ini, masihkah Anda mempercayai media massa ? Danny Schechter malah bilang : media massa kini justru mengancam demokrasi !

Kabar mengenai rumah wartawan senilai 4 milyar itu saya dengar dari Ana Nadhya Abrar (pria), dosen Ilmu Komunikasi FISIP UGM. Kami bertemu, bersama Aulia A. Muhammad, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka CyberNews, di kampus UNS, 28/2/08 yang lalu. Saya bersama mereka menjadi pembicara dalam Seminar Nasional, Jurnalisme Warga : Ancaman Bagi Media Massa ?

Dalam acara itu saya, sebagai warga EI, telah didaulat sebagai “pelaku” jurnalisme warga. Apakah kemudian kiprah warga EI mampu menjadi ancaman bagi media massa ? Bagaimana pendapat Anda ?

Saya punya pendapat sendiri. Komplitnya bisa Anda nikmati di blog Esai Epistoholica, http://esaiei.blogspot.com dan di http://epistoholica.blogspot.com. Pada awal cerita, saya mengajak Anda untuk mengenang kembali film blockbuster tahun 1993, Jurassic Park.

Kabar lain, tanggal 1 April 2008, jam 15.30, saya akan menjadi (bintang ?) tamu dalam Acara TTSC di TATV Solo. Tentu saja, mempromosikan EI kita ini. Lumayanlah, saya sudah lama engga menulis SP, bisa tetap berpromosi melalui media lainnya. Anda juga bisa, kalau mau.

Sekian dulu kabar saya dari Wonogiri. Salam episto ergo sum.
Sukses selalu untuk sobat semua.

Bambang Haryanto

bh
Hukuman Pidana 17 Milyar Mengancam Penulis Surat Pembaca !
Dikirimkan ke milis Epistoholik Indonesia, epistoholik-indonesia@yahoogroups.com, Senin, 21 Januari 2008.


Yth. Sobat Warga Epistoholik Indonesia dan aktivis penulisan surat-surat pembaca,

Salam episto ergo sum,
Salam “saya menulis surat pembaca karena saya ada,”

Salam sejahtera. Langsung saja : Apakah Anda masih ingat isi email saya bulan Agustus 2007, yang berkisah mengenai penulis surat pembaca yang terancam hukuman pidana sebesar 17 milyar ? Beliau itu bernama Bapak Khoe Seng Seng dari Jakarta.

Terlecut adanya ancaman penerapan hukum secara anomali alias menyimpang terhadap aktivitas kita sebagai kaum epistoholik, pencandu penulisan surat-surat pembaca, telah saya tulis uneg-uneg saya di kolom Surat Pembaca Harian Suara Merdeka (Jumat, 30 November 2007 : M) :


Epistoholik, Profesi Berbahaya ?
Dimuat : Jumat, 30 November 2007 : M.


Bila Anda menekuni hobi dan panggilan hati sebagai seorang epistoholik, pencandu penulisan surat-surat pembaca, waspadalah. Anda dapat tersandung kasus yang bersifat anomali, menyimpang, di Indonesia. Kita dapat berkaca dari tiga peristiwa yang terjadi, berikut ini.

Pertama, kisah Abidin Taher, Ketua BPD Desa Kanibungan, Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru. Ia telah menulis surat pembaca dan dimuat di suratkabar Banjarmasin Pos, tanggal 2 Oktober 2003. Isi suratnya, berupa keluhan terhadap penambangan batubara oleh PT BCS.

Ia tuliskan, PT bersangkutan melakukan “perusakan sungai dan merusak hutan mangrove di desa kami untuk kepentingan aktifitas pertambangannya padahal aktifitas mereka bisa dikatakan tindakan kejahatan lingkungan karena telah melaksanakan aktifitas tersebut tanpa disertai perijinan atau dokumen–dokumen seperti AMDAL dan dokumen lainya.”

Buntut dari penulisan surat pembaca itu, Abidin Taher harus menjalani pemeriksaan polisi karena dituduh oleh PT BCS melakukan pencemaran nama baik. Bahkan Abidin Taher telah ditetapkan menjadi tersangka.

Peristiwa kedua, situs berita detik.com (23/8/2007) mewartakan "Penulis Surat Pembaca Digugat PT Duta Pertiwi Rp 17 Miliar.” Gara-garanya adalah Khoe Seng Seng, yang telah menulis surat pembaca di Kompas, Suara Pembaruan dan Warta Kota. Dalam surat pembaca itu penulis mengaku tertipu oleh pengembang karena harga dan kondisi kios yang dibelinya tidak sesuai dengan perjanjian awal.

Peristiwa ketiga, dimuat di kolom surat pembaca harian Seputar Indonesia (9/10/2007). Termuat penuturan Lim Ping Kiat, gara-gara menulis surat pembaca berisi keluhannya ketika menggunakan jasa perantara properti Era Indonesia, pada September 2005 ia dilaporkan secara perdana oleh perusahaan itu. Syukurlah, kasus itu diberhentikan oleh polisi karena bukan merupakan kasus pidana.

Kini Lim Ping Kiat justru melaporkan balik secara pihana fihak Era Indonesia karena telah membuat laporan tidak benar tentang dirinya melalui laporan kepolisian tahun 2007 ini. Ulah perusahaan tersebut, menurutnya, merupakan contoh yang sangat buruk terhadap hak konsumen dan demokrasi, yakni kebebasan berekspresi (mencerita fakta) dan menyampaikan pendapat (untuk kepentingan umum), diancam dengan tuntutan pidana.

Pelaku usaha yang bertanggung jawab, beriktikad baik dan tidak arogan, seharusnya menanggapi keluhan, menghubungi, bahkan mendatangi konsumen untuk menjelaskan masalah, menerima saran dan kritik untuk memperbaiki usaha, bukan malah tidak menanggapi komplain secara baik, bahkan menuntut konsumen secara pidana.

Harapannya, “saya memohon dukungan dan bantuan masyarakat, khususnya media massa, untuk memantau kasus saya (No. LP 2046 di Polres Jakarta Barat) supaya bisa berjalan bersih tanpa ada campur tangan dari pihak-pihak lain atau pun oleh mafia pengadilan.”

Kaum epistoholik Indonesia, mari terus kita rapatkan barisan. Asah terus otak dan pena bijak Anda. Karena masih banyak ketidakadilan yang menunggu solusi dengan goresan pena-pena Anda. Termasuk tiga kasus di atas yang menantang akal sehat kita itu.


Bambang Haryanto
Wonogiri


Sobat Warga EI yang terhormat,

Kabar hot dari saya : hari ini, Minggu, 20/1/2008, saya mendapat kejutan. Bapak Kho Seng Seng itu telah sudi menelpon saya. Ia telah membaca surat pembaca saya di atas, kemudian berbaik hati dengan menelpon saya di Wonogiri ini.

Beliau mengobrolkan tentang masalah yang ia hadapi, termasuk dipanggil ke Mabes Polri dengan status tersangka. Ia kini sedang bertarung melawan konglomerat nomor tiga di Indonesia. Ia cerita-cerita itu agar kita kaum epistoholik tidak mengalami kejadian serupa, termasuk upaya harus bangkit melawan tindakan kriminalisasi terhadap para penulis surat pembaca.

Anda punya pendapat tentang ancaman semacam ini ? Anda punya ide atau gagasan kreatif, kira-kira apa upaya kita sebagai Warga EI untuk “melawan” ancaman itu ?

Saya teringat gagasan seorang Bernard Weber asal Swiss. Ia seorang penjelajah alam, pembuat film dan kurator museum, yang meluncurkan gagasan melakukan polling mendunia guna menentukan Tujuh Keajaiban Baru Dunia pada tahun 1999. Hasil polling itu telah diumumkan 07-07-07 di Lisabon.

Untuk maksud itu, sebelumnya ia mendirikan lembaga nirlaba The New7Wonders Foundation guna mengajak warga dunia bekerja sama menyelamatkan alam dan warisan budaya buatan manusia. Warisan sejarah budaya yang terancam rusak atau hancur, menurutnya, berpotensi terselamatkan apabila keadaannya dipublikasikan secara meluas melalui media cetak, TV, Internet, sampai buku sehingga menjadi perhatian warga dunia.

Jadi menurut saya, dengan mengikuti idenya Pak Weber, kita dapat menggunakan senjata andalan kita : menulis surat pembaca. Sebar luaskan adanya ancaman “aneh” di era demokrasi ini. Tajamkan pena dan mata batin Anda. Menulislah !

Umpama pun Anda belum sanggup (masa sih ?), ya minimal, please, kalau Anda menjadi tersentuh atau tergerak untuk membesarkan semangat Bapak Kho Seng Seng, Anda bisa kontak beliau via email ke : surat_sengseng@yahoo.co.id. Terima kasih.

Kabar berikutnya, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk email dari Mas Dion Desembriarto (Yogyakarta). Rasa ingin tahu warga EI yang lama libur, tak menulis SP ini, semoga terjawab dengan balasan ini. Ayo menulis lagi, Mas Dion.

Buku Si Buntut Panjang. Terakhir : saya baru saja kirim iming-iming ke Mas Purnomo Iman Santoso, Warga EI asal Semarang, yang memiliki bisnis needlework. Iming-iming saya adalah, agar ia sudi membeli buku karya Chris Anderson, The Long Tail (Gramedia, 2007).

Kata saya kepada Mas Pur, “menurut saya sih, buku ini akan mampu memberi Anda dan istri lebih bersemangat dalam mengelola bisnis unik Anda. Buku ini saya baca ketika masih berwujud artikel di majalah Wired. Ini majalah kesukaan saya. Kemarin, saat baca Jawapos Minggu (13/1), ada resensi tentang buku itu. Buku itu sudah diterjemahkan oleh Gramedia.

”Kalau Anda sebagai blogger, Anda banyak disanjung dalam buku yang memiliki tajuk “ekonomi baru dalam bisnis dan kultur” ini. Kalau Anda belum menjadi blogger, buku ini moga menjadi dorongan Anda.

Untuk Warga EI dan simpatisan aktivitas penulisan surat-surat pembaca, saya anjurkan untuk membeli buku dahsyat tersebut. Harganya : Rp. 67.500,00. Setuju ?

Well, sekian dulu kabar saya di bulan Januari 2008 ini.
Selamat terus mengamuk, kaum epistoholik.
Salam saya dari Wonogiri


Bambang Haryanto

bh
Setelah Amuk Bengawan Solo
Dimuat di kolom Surat PembacaHarian Kompas Jawa Tengah, Sabtu 12 Januari 2008


Rasanya belum terhapus dari ingatan pelbagai rekomendasi penting hasil Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 terhadap penyelamatan masa depan sungai legendaris itu. Isu-isu tersebut beberapa hari ini telah diungkap kembali oleh wartawan Kompas, pelaku ekspedisi sekaligus saksi hidup yang mencatat pelbagai kerusakan sungai kita itu dari hulu sampai hilir.

Saya sebagai warga Wonogiri dan kebetulan jadi saksi peresmian ekspedisi itu pada tanggal 9 Juni 2007, di kolom ini telah mengusulkan agar tanggal itu dijadikan sebagai hari peduli dan cinta Bengawan Solo. Rasanya usulan saya itu harus dicabut, atau direvisi.

Karena setelah Bengawan Solo mengamuk dan mengakibatkan banjir yang konon lebih besar dibanding tahun 1966 melanda Solo hingga Bojonegoro, kepedulian dan aksi terhadap upaya penyelamatan bengawan itu harus dilakukan setiap hari. Mulai saat ini.

Semua fihak harus terus saling mengingatkan, terlebih karena kita adalah bangsa yang sangat pelupa dan sangat mudah alpa mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

bh