Sunday, August 22, 2004

BONUS ROKOK DI TIKET OLAHRAGA
Dimuat di kolom Redaksi Yth – Kompas Jawa Tengah, 20/8/2004


Pengumuman aneh tertera di loket penjualan tiket kejuaraan bola voli yunior se-Jawa Tengah yang berlangsung di GOR Wonogiri, 7/8/2004 yang lalu. Tertulis harga tiket Rp. 3.000 dan pembeli dapat bonus sebungkus rokok. Saya batal nonton dan berpikir, bukankah pabrik rokok itu melakukan dumping harga untuk mempromosikan produknya ? Bukankah ini rekayasa bisnis tak etis, untuk produk yang berpotensi besar mengakibatkan kecanduan dan sekaligus membahayakan kesehatan ? Apalagi sasarannya anak-anak muda, di pentas yang tujuannya mempromosikan pentingnya kesehatan, yaitu ajang olahraga ?

Rokok, produk yang membahayakan kesehatan, tampil sebagai sponsor pertandingan olahraga sudah lumrah di tanah air kita. Modus serupa juga gencar dalam pertunjukan musik dan acara lain yang diperkirakan menyedot kehadiran anak-anak muda. Memang, anak-anak muda seumuran SMP-SMA kini jadi target utama produsen rokok. Sebab sekali mereka kecanduan rokok di usia rawan itu, kebiasaan buruk tersebut akan sulit hilang sampai dewasa atau meninggal di usia muda.

Peristiwa di GOR Wonogiri itu, dalam skala besar, mencerminkan pribadi bangsa kita yang terbelah. Kita adakan ajang untuk mempromosikan kesehatan, tapi sponsornya produk yang membahayakan kesehatan. Semakin banyak dibangun tempat-tempat ibadah, tetapi seperti kasus ramai di DPRD-DPRD, mereka pun tak malu berkorupsi secara berjamaah. Kita mengaku mendukung reformasi, tapi sosok-sosok Orde Baru tetap berjaya di panggung. Gembar-gembor tak tergiur kembali terjun ke politik, tapi tetap glibat-glibet dan ngotot mengajukan RUU yang bertabiat sebaliknya. Mengaku harus netral dalam pemilu, tapi bukti VCD yang bocor ke masyarakat berkata sebaliknya pula. Itulah anomali kepribadian kita sebagai bangsa.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

Tuesday, August 17, 2004

KETERAMPILAN MENULIS, ITU PENTING !
Dimuat di kolom Redaksi Yth – Kompas Jawa Tengah, Sabtu 14 Agustus 2004

Lomba penulisan resensi buku guna meningkatkan minat baca untuk siswa SD/MI se-Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh LPPSP Semarang dan Perpustakaan Jawa Tengah (Kompas, 29/7/2004), pantas mendapatkan sambutan. Sebab orang yang menulis itu otomatis orang yang membaca, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Dengan demikian, menurut hemat saya, untuk meningkatkan minat baca maka yang harus dipacu adalah justru kebiasaan menulis pada anak didik kita. Pelajaran mengarang, menulis kreatif, harus digalakkan. Para guru/orang tua dapat memberikan apresiasi dengan menempelkan karya anak-anak itu di majalah dinding sekolah atau rumah, mengirimkannya ke media massa, atau memajangnya di media Internet.

Menulis adalah proses terpenting untuk mengawetkan ilmu pengetahuan. Thomas L. Madden dalam bukunya F.I.R.E – U.P. Your Learning : Bangkitkan Semangat Belajar Anda – Petunjuk Belajar Yang Dipercepat Untuk Usia 12 Tahun Keatas (Gramedia, 2002), memberi petunjuk hebat. Agar segala pengetahuan yang telah kita pelajari tidak mudah punah maka pengetahuan baru itu harus digunakan, dengan membagikannya kepada orang lain. Caranya : dengan menulis.

Terlebih lagi, menulis merupakan tindak pembelajaran untuk meningkatkan diri kita sendiri secara terus-menerus. Penggunaan pengtahuan yang sama itu sebaiknya lewat cara yang berbeda-beda, sebab semakin variatif pemanfaatannya akan semakin banyak tercipta koneksi dalam otak kita yang semakin memudahkan kita bila diperlukan untuk mengingatnya kembali.


Seorang ahli periklanan legendaris, David Ogilvy, pernah berujar bahwa ilmu pengetahuan itu tidak ada manfaatnya kecuali Anda tahu cara mengkomunikasikannya – secara tertulis !

Sayang sekali, tidak banyak kalangan pendidik atau orang tua yang memiliki wawasan mengenai pentingnya keterampilan menulis atau mengungkapkan buah pikiran ke dalam bahasa, bagi setiap insan. Mungkin mereka masih berpikiran kuno bahwa keterampilan penting itu hanya cocok untuk wartawan, sastrawan, penulis skenario atau penulis naskah iklan semata. Padahal semakin tinggi pendidikan atau profesi seseorang, keterampilan menulis merupakan bekal utama pendorong seseorang agar sukses dalam pekerjaan dan kariernya !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------------

PEREMPUAN, FOBI TEKNOLOGI INFORMASI
Dimuat di Redaksi Yth-Harian Kompas Jawa Tengah, Senin 9 Agustus 2004


Teknologi Informasi : Industri Tanpa Perempuan. Itulah judul artikel Kendra Mayfield di situs gaya hidup teknologi informasi Wired (1/12/2001), yang menggambarkan minimnya perempuan berkiprah dalam industri TI di Eropa Barat. Fenomena buram itu juga meruyak di Indonesia.

Kajian BPPT memperkirakan kaum perempuan Indonesia yang memanfaatkan Internet pada tahun 2002 hanya 24,14 persen. Sementara itu peran kaum Kartini kita pun dalam ketenagakerjaan TI lebih dominan pada posisi administratif, seperti menangani surat elektronik, memasukkan data, atau operator komputer. Masih sedikit sekali perempuan pada posisi tenaga ahli dan profesional, apalagi dalam struktur pengambilan keputusan dalam industri TI. Bahkan tidak banyak perempuan berperan sebagai ilmuwan komputer dan programmer.

Mengapa karier bidang TI tidak menarik kalangan perempuan ? Antara lain, karena selama ini citra TI yang tertanam dalam pandangan murid-murid perempuan adalah terlalu geeky, sangar campur aneh, dan bukan sesuatu yang glamor dan memincut hati wanita.

Juga akibat adanya kesenjangan jender yang selama ini terjadi pada mereka di sekolah dan di rumah. Anak perempuan sering ditakut-takuti angkernya pelajaran sains dan matematika, tidak hanya oleh sekolah, tetapi juga oleh orang tua mereka. Beragam isyarat atau teror halus yang tidak direncanakan itu, baik oleh guru, baik pria atau pun wanita, dan juga orang tuanya, berdampak serius dengan terciptanya harapan yang lebih rendah di kalangan pelajar perempuan untuk terpacu menguasai sains dan teknologi.

Bagaimana solusi terbaiknya ? Saya sebagai seorang epistoholik, orang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca di media, baru mampu memunculkan problema kronis ini di Harian Kompas ini. Semoga bermanfaat adanya, sokur-sokur dapat memancing diskusi. Saya akan bersenang hati bila ada fihak yang sudi bergabung dalam Epistoholik Indonesia (http://epsia.blogspot.com) dan mau menyisihkan perhatian dengan menulis surat-surat pembaca bertopik perempuan Indonesia dalam kaitannya dengan penguasaan teknologi informasi. Saya tunggu !

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------------

FENOMENA AFI DAN RESEP SUKSES
Dimuat di Kolom Redaksi Yth- Harian Kompas Jawa Tengah, Kamis 5 Agustus 2004


Sungguh asyik mengamati hiruk-pikuk anak-anak muda Indonesia yang bernafsu jadi selebriti secara instan melalui ajang Akademi Fantasi Indosiar (AFI) atau Indonesian Idol. Seorang teman menulis bahwa kita akan banyak melihat generasi mendatang mempunyai cita-cita sebagai artis, selebritis, penyanyi, dan sulit menemui anak-anak yang bercita-cita untuk menjadi guru, profesor atau tentara.

Pendapat yang menarik. Bagi saya, fenomena AFI atau pun Indonesian Idol itu hanyalah fads, mode sekejap dari dunia hiburan televisi. Di LN menunjukkan, penyanyi hasil karbitan ajang semacam tidak berumur lama. Easy come, easy go. Demam itu segera surut dan sebagian besar orang akan terantuk untuk menyadari bahwa proses alami menuju sukses yang berkelanjutan tidak bisa diraih secara instan.

Penjelasan psikolog Richard W. Brislin dalam bukunya The Art of Getting Things Done : A Practical Guide to the Use of Power (Praeger, 1991), pantas disimak. Brislin telah mengkaji keputusan terbaik para orang tua dari kalangan atas menengah dalam memberi bekal untuk kesuksesan anak-anaknya di masa depan. Bekal penting itu bukan keterampilan menyanyi, melainkan keterampilan menulis dan lancar berbicara di depan umum.

Merujuk kedua keterampilan penting di atas, coba simak sosok para calon presiden dan calon wakil presiden kita. Menurut saya, para capres/cawapres yang memiliki keterampilan menulis mumpuni adalah Amien Rais, Siswono Yudhohusodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Shalahudin Wahid. Yang terampil dan menarik ketika bicara di depan umum adalah Amien Rais, Siswono Yudhohusodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Hazim Musadi.

Anda setuju ? Anda boleh tidak menyetujui analisis saya di atas. Saya tunggu komentar Anda di kolom harian ini. Teruslah Anda menulis. Teriring salam dari kaum epistoholik Indonesia (http://epsia.blogspot.com), yaitu :

Episto ergo sum !

Saya menulis surat pembaca karena saya ada !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia