Sunday, December 04, 2011

Solo Cyber Day 2011, Onno W. Purbo dan Trah Martowirono





Dear Kang Onno,

Semoga sehat-sehat dan sudah sembuh capeknya setelah menggembleng anak-anak muda Solo dalam ber-Internet secara cerdas dan memberikan manfaat di ajang Solo Cyber Day 2011, Solo, 4 Desember 2011.

Catatan yang akan saya ingat antara lain tentang seruan Anda agar warga Solo ngeblog setiap hari. Sayang, kayaknya hanya saya saat itu yang menyambut dengan tepuk tangan. Mungkin akan lebih heboh bila Kang Onno bilang, "update statusmu di FB setiap hari."

Tak apalah, tepuk tangan saya itu akan tetap saya lanjutkan di dunia maya, untuk menyebarkan pesan bahwa menulis di blog itu cenderung lebih bermakna dibanding menulis status wkwkwkwk di Facebook.

Catatan kedua, tentang perpustakaan digital Kang Onno yang Anda wariskan ke Apkomindo Solo ? Saya lupa mencatat. Kemana atau URL mana untuk bisa mengaksesnya ? Tentang perpustakaan, saat ketemuan Anda itu saya lupa menyampaikan titipan pesan dari priyayi asal Solo tetapi kini tinggal di Jakarta.

Beliau adalah Pak Blasius Sudarsono dari PDII-LIPI. "Titip salam, lama ga jumpa," katanya. Lalu beliau menambahkan info yang saya belum tahu, bahwa Kang Onno itu pernah menjadi kepala perpustakaan pusat ITB. Oh ya, Pak Blasius itu dosen saya. Saya pernah belajar di jurusan ilmu perpustakaan di Rawamangun, FSUI. Pernah pula main ke ITB, saat itu kepalanya Pak Adjat Sakri.

Moga-moga banyak email yang Kang Onno terima dari anak-anak muda Solo. Saya dan warga Trah Martowirono berterima kasih kepada Kang Onno, juga Mas Donny BU, yang telah sudi menorehkan tanda tangan di kanvas memorabilia trah (keluarga besar) kami.

Dalam foto jepretan jenius dari aktivis Internet asal Solo, Sadrah Deep, nampak dari kiri saya (Bambang Haryanto), Kang Onno dan Mayor Haristanto. Kanvas itu akan menjadi bahan cerita yang berlanjut di trah kami.

Sukses selalu.
Sampai ketemu lagi.


Bambang Haryanto
trah.blogspot.com
komedian.blogspot.com

Monday, October 10, 2011

Indonesia, Surga Kaum Koruptor, Juga Koruptor Pulsa !




Dari tabu menjadi lawakan. Itulah judul artikel dosen UIN Sunan Kalijaga, Al Makin, di situs The Jakarta Post (4/9/2011), yang menggambarkan betapa merajalelanya korupsi di Indonesia.

Antara lain ia bertanya : apakah kita punya waktu untuk terbebas dari korupsi ? Jawabnya : “Seperti tikus, kaum koruptor tak pernah berhenti, mencuri uang negara dari Senin sampai Minggu, dari Januari sampai Desember, termasuk di hari Kemerdekaan, di bulan Ramadhan, hari Natal, hari Nyepi, dan hari-hari libur lainnya.”

Apakah kita mampu menemukan tempat yang terbebas dari korupsi ? Jawabnya lagi : “Hantu korupsi bergentayangan di jalan-jalan, kantor, lapangan sepakbola, lautan, suangai jembatan, bandara, terminal bis, stasiun kereta api, sekolah, universitas, bahkan di udara, tanah dan air.”

Terima kasih, Pak Al Makin.

Heboh terbaru adalah kasus korupsi yang meruyak di udara, yaitu kasus pencurian pulsa. Seperti yang pernah saya tulis di kolom ini, saya adalah salah satu korbannya.

Ketika HP saya tiba-tiba mendapat kuis-kuis keagamaan yang dangkal-dangkal dan tidak saya perlukan dari nomor “9393” dan kemudian tahu-tahu pulsa tersedot 2000 rupiah, saya komplain di status di akun FB saya ini. Banyak teman yang memberi saran agar mengirim “Unreg” ke operator konten itu.

Terima kasih, teman-teman.
Saya melakukan saran Anda. Bunyi sms mereka :

“Anda sudah berhenti berlangganan SMS 9393.”
Pengirim : 9393.
Pusat pesan : +6281100000
Dikirim : 19 September 2011 : 09.41.38”

Tetapi tetap juga dengan hati gondok.


Karena untuk keluar itu pun pulsa saya tetap terpotong 350 rupiah. Datang tidak diundang, pergi-pergi tetap meninggalkan hati yang meradang.

Kemaruk 500 SMS Gratis. Sebelumnya, saya juga merasa tidak beres ketika dari nomor “222” memberikan bonus gratis 500 sms. Iming-iming itu tiba-tiba muncul ketika secara beruntun saya harus mengirimkan sms kepada, kira-kira, belasan orang.

Apakah nomor “222” ini milik Telkomsel ? Kalau tidak, mengapa operator “222” seperti tahu aktivitas saya ber-sms saat itu ? Apa Telkomsel telah membocorkan kecenderungan saya ber-sms-ria saat itu kepada operator “222” tersebut ? Kira-kira rahasia konsumen apa lagi yang diketahui oleh operator dan berpeluang dibocorkan kepada penyedia isi untuk keuntungan salah satu atau keduanya

Ketika menerima pertama kali, tentu hal itu nampak seperti menyenangkan. Di benak saya kemudian tiba-tiba muncul keinginan untuk mengirimkan sms, sekadar “say hello” atau kirim kabar remeh temeh kepada teman atau kerabat yang semula tidak masuk agenda.

Angka 500 sms gratis seolah memberi kita ilusi keleluasaan tanpa batas. Dan menggoda untuk harus dan segera dimanfaatkan. Karena begitu meliwati tengah malam, layanan itu hapus. Bahkan ketika layanan 500 sms itu baru saya pakai sekitar 30-an sms, sudah muncul layanan baru lagi. tersedia 100 sms gratis untuk bisa saya gunakan.

Tetapi begitu saya gunakan, kuota sms yang berkurang justru pada kelompok “100” itu dan bukan dari kuota yang “500.” Kerancauan pun terjadi. Kemudian saya akhirnya menduga, kedua layanan ini sebenarnya merupakan jebakan. Konsumen dikilik-kilik untuk memanfaatkan iming-iming gratis itu, di mana nafsu serakah kita dikobar-kobarkan, sekaligus membuat sikap kehati-hatian dan correct menjadi tergusur.

Kita kemudian tergiur untuk tidak menghitung berapa kali sms yang telah kita kirimkan, termasuk pula tidak tergerak untuk teliti atau rewel dengan menghitung saldo pulsa yang tersisa setelah melakukan pengiriman sms. Nilai nominal yang “hanya” sebesar 100-150 rupiah juga membuat kita mudah untuk tidak waspada.

Padahal, saya pernah melihat iklan dari perusahaan konsultan kelas dunia, Accenture, yang menggambarkan bisnis masa depan ibarat gulungan ombak. Ombak itu bila dilihat secara detil terdiri dari keeping-keping mata uang. Inilah, boleh jadi, sekarang ini merupakan era micropayment, era mengonsumsi barang atau jasa dengan pembayaran bernilai recehan. Korupsi 100-150 rupiah bila terjadi pada diri konsumen sebanyak 10 juta orang, tentu nominal akhirnya jelas bukan jumlah yang kecil lagi.

Syukurlah, kita kini hidup di era media sosial. Cerita-cerita korupsi pulsa seharusnya tidak hanya disuarakan oleh seorang Feri Kuntoro saja. Warga Matraman, Jakarta Timur ini, mengaku pulsanya disedot (pelakunya oleh artikel ini disebut sebagai cellular bandit) hingga sebesar 180-200 ribu tiap bulannya karena menerima sms-sms iklan yang tak ia kehendaki setiap harinya.

Kemarin sore (10/10/2011), anggota DPR dari Partai Demokrat, Roy Suryo, mengatakan bahwa para kurban pencurian pulsa itu kebanyakan tidak tahu. Gumam saya, tentu saja tidak tahu. Karena sms-sms bermasalah itu operatornya tidak menjelaskan secara detil tentang peluang sampai konsekuensi dari tawaran yang mereka sodorkan tersebut.

Bayangkan, apabila Anda pun membalas sms itu dengan sikap marah, dan sms itu Anda kirimkan kepada operator, oleh mereka akan dianggap bahwa Anda setuju untuk menjadi pelangggan layanan sms-sms tersebut.

Sebelumnya, di acara bincang-bincang di TVRI, kejelasan informasi kepada pengguna HP bila menerima tawaran-tawaran sms itu, juga digugat oleh fihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Tetapi dari fihak pemerintah, saat itu diwakili oleh Dr. Henry Subiyakto yang staf ahli Menkominfo, nampak tidak ngeh atas gugatan dari YLKI itu. Jadi kayaknya idem ditto dengan Roy Suryo di atas.

Nampaknya mereka berdua belum pernah menerima sms-sms berisi sampah-sampah belaka itu. Jadi keduanya tidak bisa berempati kepada Feri Kuntoro dan jutaan korban lainnya.

Saat mengetik ini, HP saya tiba-tiba muncul sms dari Telkomsel : HANYA UNTUK ANDA SD 18 Oktober 2011. BONUS PULSA 4000 ke sesama Telkomsel setelah isi ulang mencapai 20 rb. Bonus diterima max 1x24 jam. Cek Bonus*889#.S28”

Lampu merah di benak saya segera menyala.


Wonogiri, 11/10/2011

Sunday, September 18, 2011

Telkomsel 9393, Si Perampok Pulsa Berkedok Kuis Agama ?




Sejak bulan puasa yang lalu tiba-tiba di hp saya muncul kiriman info berupa sms yang secara rutin berasal dari nomor 9393. Hampir tiap hari. Isinya rupa-rupa info dan atau kuis keagamaan yang tidak saya perlukan. Setiap kali muncul, biasanya terdiri dua sms, dan langsung saya buang.

Tetapi akhir-akhir ini saya baru sadar, ternyata tiap pemunculan sms itu akan menggerogoti saldo pulsa sebesar Rp. 2.200. Ikut atau tidak ikut kuis, saldo Anda pasti terpenggal sebesar angka itu.

Sungguh menjengkelkan. Anda tahu solusinya agar saya bisa segera terbebas dari aksi perampokan seperti ini ? Tolong saya.Korban lain infonya dapat di klik disini, disini dan disini pula.

Friday, September 09, 2011

Waspadailah, Ketika Memanfaatkan Bonus 500 SMS Telkomsel !




Hati-hati bila menerima bonus Opr 1 sebesar 500 SMS dari Telkomsel. Tiga hari ini saya memperoleh bonus itu, juga tiga kali. Malah dua kali ketika baru menggunakan sekitar 20-an sms, sudah ditambahi bonus 100 SMS lagi. Tetapi ketika rada sering mencek saldo saya, muncul hitung-hitungan yang misterius.

Saya hari ini (9/9/2011) jam 9.39 telah menerima bonus itu saat saldo saya 69971. Malam ini, dengan memencet *889# segera tersaji info berbunyi “Anda memiliki 484 SMS Opr 1.” Artinya dari bonus itu tercatat telah saya gunakan sebanyak 16 sms sampai malam ini pula.

Pada hal saat jam 19.15, ketika mencek, kok tiba-tiba saldo saya anjlok 64571 ? Harusnya kan tetap. Karena saya tidak melakukan telepon sama sekali. Saya hanya kirim-kirim sms. Kalau ada layanan sms gratis, lalu mengapa harus terjadi pengurangan sebesar Rp. 5400,00 tersebut ?

Dihitung-hitung, dan bila angka 5400 itu dibagi biaya kirim 150 rupiah /sms, akan diperoleh angka 36 sms dan bukan angka 16 seperti kalau kita mencek memakai *889#. Bila satu sms sebesar 120 rupiah, maka sama dengan biaya pengiriman sebanyak 45 sms.

Dengan demikian, operator Telkomsel itu dengan meluncurkan iming-iming bonus 500 SMS gratis itu senyatanya patut diduga menjebak saya sebagai konsumen untuk tidak sadar mengirimkan sms SECARA TIDAK GRATISAN sebanyak :

36-16 = 20 SMS @ 150 rupiah.
Atau : 45-16 : 29 SMS @ 120 rupiah.

Ini sungguh keteledoran saya sebagai konsumen yang lumayan bodoh, bukan ?

Tuesday, June 14, 2011

Ramalan Jaya Suprana 1998 : Sri Mulyani Indrawati Sebagai Presiden Indonesia !




Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Yth. Bang Wimar Witoelar,

Salam SMIK.
Semoga revolusi SMIK yang Anda gelindingkan dari Lampung akan menjadi bola salju yang makin besar, lalu mampu membangkitkan inspirasi bagi kaum muda seluruh Indonesia.

Saya membaca beritanya di The Jakarta Post, dimana terkait Ibu Ani itu saya bisa bernostalgia, surut ke tahun 1998.

Sesudah Solo dan Jakarta terbakar Mei 1998, atas dorongan teman-teman, saya dan adik saya ingin mengadakan seminar ekonomi di Solo. Penyokongnya, pebisnis mebel Solo, Jokowi, yang kini jadi walikota.

Pembicara tunggal seminar itu, Ibu SMI. Moderatornya, Mas Jaya Suprana. Itu terjadi tanggal 14/8/1998. Saya sendiri yang mengantar uang transport ke Ibu SMI, diterima asistennya di FEUI Salemba. Ini ibarat pulang kampung, karena saya pernah kuliah di UI pula, tetapi di kampus Rawamangun.

Di acara seminar di Solo itu, Mas Jaya kok ya sudah meluncurkan wacana bila Ibu Ani merupakan presiden Indonesia masa depan. Di Facebook, cerita terkait momen itu sudah berkali-kali saya tuliskan.

Kini, rupanya ramalan Mas Jaya itu semakin membumi. Antara lain dengan hadirnya gerakan SMIK yang Bang Wimar dkk gulirkan tersebut. Saya di Wonogiri, ingin bergabung di dalamnya. Untuk itu, saya ingin iuran usul-usil berikut ini.

Beberapa hari yang lalu, saya memperoleh email siaran pers tentang peresmian SMIK Jawa Timur. Kabar baik dan menggembirakan. Sayang, siaran persnya itu “kaku” :-):-) dan sulit untuk dijadikan sebagai virus gagasan a la bukunya Seth Godin, Unleashing The IdeaVirus (2001) yang terkenal itu.

Foto-foto yang disertakan masih seperti foto arisan, kurang menarik bagi orang lain. Juga tidak disertakan logo atau karya grafis yang inspiratif menggambarkan semangat sampai visi-misi SMIK, yang bisa kita pajang di FB atau blog, atau kita bagi-bagikan sebagai virus di media-media digital yang ada.

John Naisbitt bilang : Orang beli mobil bukan karena teks, tetapi karena foto.

Moga-moga di SMIK ada sosok-sosok seperti Joel Benenson sampai David Axelrod yang buah pikirannya ikut pula menentukan sukses kampanyenya Obama.

Begitulah, Bang Wimar, usul-usil saya. Semoga obrolan ini bermanfaat. Kabar lain, buku lanjutan saya, Komedikus Erektus 2 : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau kini memasuki tahap digarap oleh penerbit.

Hormat saya dari Wonogiri,

Bambang Haryanto
26 mei 2011

Thursday, April 07, 2011

Amazing Grace, Victoria Monk, Baluwarti 1970-an


Obrolan Dengan Oyos HN Saroso di Facebook, 8/4/2011


Tks,Mas Oyos.
Judulnya "Amazing Grace."
Lagu umat Kristiani yang ditulis penyair dan pendeta Inggris John Newton (1725–1807).

Pesannya, walau pun besar dosa-dosa yang kiat perbuat bila kita bertaubat kepada Tuhan, kita akan memperoleh pencerahan jiwa,terbebas dari putus asa.

Saya pertama kali dengar tahun 1975-an di Baluwarti, Solo. Ada tetangga 3-4 bule Australia yang kost di situ.Ada salah satu cewek artistik, Victoria Monk, bermata biru, suka melukis, suka keluyuran bersama, yang menceritakan lagu itu.

Walau saya bukan Kristiani, lagu itu indah sekali.

Cerita lebih komplit di Wikipedia ini

Saturday, March 05, 2011

Reuni Rawamangun 80-an dan Museum



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Mas Djulianto Susantio,

Salam sejahtera. Terima kasih banyak. Karena tulisan tentang museum dari kacamata orang awam, non-arkeo, bisa ikut mengisi blog museum menarik yang Anda kelola itu.

Sekadar obrolan : dari banyak sekali alumnus sesuatu jurusan, rasanya hanya sedikit (sekali) yang suka dan setia menulis tentang disiplin ilmu yang pernah mereka pelajari. Dari Arkeologi-FSUI, Mas Djulianto Susantio merupakan buktinya.

Sejak saya masuk di Ilmu Perpustakaan FSUI tahun 1980, secara sepintas lintas saya sering menemui nama Anda dan tulisan Anda. Kalau ga salah di Sinar Harapan. Juga di tabloid Mutiara. Tentu masih banyak media yang lain,mungkin majalah ilmiah/profesional, tapi yang saya tahu ya media yang kantornya di Dewi Sartika itu. Kalau ga salah, untuk ambil honornya di lantai tiga ya ?

Penulis dari Arkeo lainnya, selain almarhum Norman Edwin, adalah juga Bernard Sinaulan. Tapi sayangnya, saat kita sama-sama di bawah satu lindungan rimbun daun-daun akasia di Kampus Rawamangun, mungkin ijazahnya sama-sama ditandatangani Pak Nurhadi Magetsari, kita "ditakdirkan" tidak saling mengenal saat itu. Untung Internet kini bisa menfasilitasi :-).

Ada mahasiswi Arkeologi yang dulu sempat saya kenal. Antara lain : Anez (1982). Sesudah lama tak ada kabar, pada tanggal 22 Desember 2005 yang lalu, saya dapat email dari kakaknya (ia dapat alamat email saya itu dari blog), tentang dirinya. Sayang, kabar sedih tentang dirinya.

Hal lain Mas Djulianto Susantio, saya minta sedikit info tentang museum.
Mohon info-info nama museum dan situsnya, yang sudah memajang koleksinya di dunia maya.Moga tak merepotkan.

Sekian dulu obrolan dari Wonogiri.
Sukses selalu.


Bambang Haryanto

Wonogiri,6/3/2011

Thursday, February 17, 2011

Aksi Teror, Wimar dan Menjaga Indonesia Kita



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Peristiwa kekerasan di Cikeusik terus saja mengusik.

Tanda-tanda pita biru yang dikenakan oleh kelompok penyerang, nampaknya sebuah kesengajaan. Sengaja agar bisa dikenali, sekaligus sengaja dirancang oleh sang aktor intelektual untuk kemudian riuh-rendah menjadi bagian dari cerita-cerita sirkus di media. Utamanya media televisi.

Karena tanpa televisi, semua aksi kekerasan itu hanya seperti sebuah batang pohon yang tumbang di hutan. Tak ada yang mendengar. Tidak menimbulkan dampak psikologis, sementara tujuan utama serangan, aksi kekerasan atau pun terorisme dirancang untuk menimbulkan dampak psikologis pada masyarakat seluas-luasnya. Televisi kita segera rakus mencaploknya.

“RT @nd_nir: Televisi kita adalah lahan subur bagi para pembenci dan pembela kaum perusak & pembunuh,” itulah pendapat budayawan Goenawan Mohammad dalam re-tweet pada akun Twitternya, 10/2/2011 yang lalu.

Media televisi sebagai pengompor aksi kekerasan juga menjadi keprihatinan cendekiawan muslim dan pengamat politik Timur Tengah, Zuhairi Misrawi. Dalam akun Twitternya (15/2/2011) ia menulis : “ Media juga kurang selektif memilih ulama sebagai narasumber. Jika konflik horisontal meruncing, maka media juga berperan dlm proliferasi kekerasan.”

Selanjutnya Goenawan Mohamad mengindikasikan betapa penyerangan di Pandeglang Banten, dan disusul di Temanggung itu juga sebagai aksi kelompok tertentu untuk memberikan pesan :

“Banten, Temanggung...Mafia Hukum di luar kepolisian memberi aba2: "Siapa yg ganggu kami tak akan selamat di th 2014 - atau sebelumnya." (8 Februari 2011).

“Banten, Temanggung...Ini isyarat Mafia Hukum di Kepolisian: "Jangan ganggu kami, sebab kami bisa ganggu kamu, dan kamu akan perlu kami" (8 Februari 2011).

Déjà vu !

Rentetan kejadian kekerasan itu mudah mengingatkan sinyalemen pengamat politik Wimar Witoelar sekitar 9 tahun yang lalu. Ia menulis artikel berjudul “Terror has deep roots in Indonesia,” di surat kabar Inggris, The Guardian, 16 Oktober 2002, setelah bom Bali meledak, 12 Oktober 2002.

Intinya : budaya aksi terror itu sudah berurat dan berakar di tubuh pengelolaan kekuasaan di Indonesia. Utamanya sejak Orde Baru berkuasa, yang ia sebut sebagai terorisme Negara. Petikannya :

“Di tahun 70-an, Suharto berkeyakinan bahwa bahaya komunis membutuhkan militer dan kelompok radkal Islam untuk bekerja sama. Hal ini berujung kepada pendirian organisasi Jemaah Islamiyah, yang sekarang disebut sebagai cabang local dari al-Qaida. Kaum militer garis keras terus berlanjut dalam menyokong milisi radikal Islam secara “on” dan “off” sepanjang tahun, untuk muncul dalam jaringan “operasi-operasi khusus.”

Ketika Suharto jatuh, kaum garis keras militer ini memindahkan markas mereka keluar dari Indonesia, tetapi jaringannya masih utuh. Mereka menjadi apa yang dikenal sebagai “kekuatan hitam,” terdiri dari elemen-elemen preman di dalam atau pun di luar tubuh militer. Kerusuhan Mei 1998 menunjukkan kekuatan mereka, yang membuahkan ribuan nyawa melayang…”

Mungkin saja “kekuatan hitam” itu kini kembali bermain. Mungkin dengan mitra-mitra baru mereka. Indikasinya kuat, seperti kembali tulis Zuhairi Misrawi dalam akun Twitternya (13/2/2011) berikut ini :

“Di negeri ini, ekstremisme menjadi mata pencaharian, bukan ideologi an sich.”

“Kalangan ekstremis di negeri manapun dgn jantan mengakui aksi kekerasan. Krn itu menjadi ideologinya. Tp di negeri ini beda.”

“Penyakit ekstremis di negeri ini, mereka kerap membantah perilaku kekerasannya.”

Mungkin karena begitu besar dan begitu kuatnya “kekuatan hitam” itu, sehingga ketidaktegasan SBY yang menonjol dalam menyikap peristiwa di Banten atau pun Temanggung, bisa kita anggap sebagai penegasan dari eksistensi mereka.

Masa depan Indonesia berada di tangan kita semua.
Mari kita jaga dengan akal sehat dan kewaspadaan.

Wonogiri, 18/2/2011

Wednesday, January 19, 2011

Revolusi Locavore, Harga Cabe dan EI Kita



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Salam episto ergo sum.
Anda sudah mengenal istilah ini : locavore ?
Saya ketabrak istilah itu gara-gara cabe.

Ceritanya, kemarin saya memperoleh cerita tentang cabe itu dari penjual mi ayam Mas Jan di Wonogiri. mBaknya baru pulang dari pasar, dan mengeluh. Ia baru saja membeli cabe seperempat kilogram dengan harga gila-gilaan.

"Satu kilogram cabe rawit, kini masih seratus ribu rupiah," katanya.

Pagi ini (20/1/2011), mungkin karena masih dihantui harga cabe, ketika buka-buka situs koran The Jakarta Globe, saya menemukan istilah locavore itu dalam artikel yang inspiratif. Tentang revolusi memperkuat pengadaan pangan.

Disitu, penulisnya, Magfirah Dahlan-Taylor yang kandidat PhD bidang perencanaan, tatalaksana dan globalisasi dari Virginia Tech (AS), membahas gagasan revolusi memperkuat daya tahan pengadaan pangan di negara kita ini melalui upaya pemanfaatan halaman kebun rumah-rumah kita.

Ia lalu merujuk ikhtiar Ibu Negara AS, Michelle Obama, yang berkebun tanaman sayuran di kompleks Gedung Putih. Aksi mulia Ibu Negara AS itu sejalan dengan tren gerakan masyarakat di AS yang berlabel locavore (ada yang menyebut localvore). Gerakan itu pada intinya berusaha mendekatkan sumber makanan kepada konsumen yang selama ini terbiasa mengambil makanan dari rak-rak di pasar-pasar swalayan ketimbang langsung dari tanaman.

Dengan gerakan ini kita diajak mengonsumsi makanan-makanan hasil budi daya lokal. Selain lebih murah, karena tidak terbebani biaya transportasi [baca kisah mBak Bea yang kini tinggal di Perancis ketika kangen makanan asal Indonesia], kita juga diajak/diajar untuk mengetahui ikhtiar apa saja yang membuat tanaman itu tumbuh. Misalnya, apakah memakai pupuk kimia ataukah pupuk organik ?

Dengan rendah hati, bersama ini saya ajak warga EI untuk mengabarkan revolusi pola pikir locavore yang luhur ini kepada siapa saja. Saya yakin, Mas Joko Suprayoga yang di artikel-artikelnya di Kompas Jawa Tengah sering dengan bangga menyebut sebagai anak petani, akan mampu memperkaya gagasan ini dengan cerita dan panduan yang lebih komprehensif. Beri kami, kalau bisa, bimbingan untuk menjadi gerakan.

Sehingga ketika Anda bersedia membaca berita berikut ini yang mengabarkan harga cabe mampu mencapai seperempat juta rupiah per kilogramnya, semoga tanda bahaya itu, yang juga bisa menjalar ke komoditas pertanian lainnya, mampu menginspirasi kita untuk mulai bergerak. Dimulai dari hal kecil, dari diri kita, dari rumah kita, dan sekarang juga.

Bisnis benih epistoholik. Bagi saya, imbauan seperti ini bukan hal baru. Sedikit bernostalgia, di tahun 1998 ketika badai krisis moneter menggebuk Indonesia yang membuat saya harus pulang kampung ke Wonogiri setelah ngendon di Jakarta lebih dari 18 tahun, saya sempat membuat isu dan gerakan berkebun tanaman sayuran di halaman rumah sendiri. Juga saya sebarkan dan promosikan melalui kolom-kolom surat pembaca.

Saya mengajak pembaca, dengan memanfaatkan kaleng-kaleng bekas cat, untuk berkebun tanaman cabe, sawi, kangkung, sampai kacang panjang. Saya bahkan berbisnis benih-benih tanaman sayuran itu, juga pupuk organik, melalui jasa pos.

Cerita jadul itu sempat saya tulis di blog Esai Epistoholica pada bulan Agustus 2005 : "Bisnis pertanian melalui surat pembaca juga pernah saya terjuni. Akibat krismon di awal 1998, saya pun harus hengkang dari Jakarta. Kembali mudik ke Wonogiri.

Dalam perjalanan bis Solo-Wonogiri, saya temukan penjaja asongan yang menawarkan produk unik. Yaitu paket kecil berisi sepuluh jenis biji-bijian, benih tanaman sayuran. Ada bayam, kangkung, lombok, sawi, tomat, gambas sampai mentimun. Saya membeli dan minta alamat penjualnya. Dirinya tinggal di daerah Sukoharjo. Harga satu paket, Rp. 1.000. Kalau belinya banyak, harganya Rp. 600 per paket.

Pertanian adalah subjek yang saya buta sama sekali. Saya anak tentara, bukan anak petani. Selama 18 tahun saya pun tinggal di Jakarta. Kini tiba saatnya, pikir saya, untuk belajar menjadi petani. Saya segera mencari info ke Departemen Pertanian. Bahkan kemudian menemukan tempat yang menjual pupuk organik. Juga membaca-baca majalah pertanian Trubus yang terkenal itu.

Di masa krisis moneter itu cabe harganya mencapai puluhan ribu per kilogram, aku pikir, gerakan swadesi alias mencukupi kebutuhan diri sendiri model Mahatma Gandhi sebaiknya dicoba untuk dipromosikan."

Dalam artikel ini sempat muncul pula topik obrolan tentang "partai epistoholik indonesia" yang gagasan Mas Purnomo Iman Santoso, artikel ini juga membuat saya dapat kejutan di tahun 2010, ditelepon adik dari seseorang yang cantik, yang saya rasani di artikel ini pula. Kalau Anda ada waktu, cerita komplitnya bisa Anda klik disini.

Sekian dulu obrolan saya tentang harga cabe, gerakan locavore, dan inspirasi dari Mahatma Gandhi ini.Terima kasih untuk atensi Anda.

Salam episto ergo sum !


PS : Saat ini saya memelihara 6-7 tanaman cabe. Walau tak begitu lebat, saya masih bisa mengonsumsi sayuran favorit ini, untuk diganyang menemani tempe mendoan.

bh

Thursday, January 13, 2011

Thomas Sutasman, FS Hartono dan Pesan Moral Anthony Parakal



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Salam episto ergo sum !
Pertama, semoga Anda warga Epistoholik Indonesia, sehat-sehat semua.
Kedua, terima kasih untuk Pak Thomas Sutasman di Cilacap.
Karena beliau yang mengajar di SMP Pius Cilacap itu telah sudi berbaik hati, mengirimkan hasil scan halaman majalah Utusan, edisi Januari 2011.

Isinya menarik : tentang profil penulis surat pembaca dari Purwosari, Sinduadi,Mlati, Yogyakarta, yang bernama Bapak Floribertus Soeryo Hartono (72).

Apakah warga EI sudah mengenal beliau, yang sering menulis dengan nama terkenalnya FS Hartono ?

Seingat saya, beliau sering menulis untuk kolom surat pembaca di Majalah Tempo. Isinya bernas, daya kritiknya tajam, mengiris, dan inspiratif [lihat contoh di bawah]. Beberapa waktu lalu saya pernah berkorespondensi dengan beliau, tetapi melalui surat dan sms.


Kalau hari Lebaran, beliau yang seorang pemeluk Katholik (baru saya ketahui dari info majalah Utusan tadi),seringkali mengirimi saya kartu Lebaran. Terima kasih, Pak FS Hartono.

Waktu Radio Geronimo Yogyakarta meminta nara sumber dari EI untuk acaranya, Agustus 2010, selain Mas Tuwarji, saya juga sms ke Pak Hartono (foto). Kiranya, yang punya cukup waktu saat itu adalah Mas Tuwarji.

Kalau Anda sempat melongoki blog Epistoholik Indonesia kita [http://episto.blogspot.com], nama beliau sudah terpajang di sana sebagai warga Epistoholik Indonesia pula.Sekali lagi, terima kasih, Mas Thomas untuk kiriman infonya yang menarik.

Pesan moral Pak Parakal. Mungkin sebagai kebetulan, sebelum membuka email dari Cilacap itu, pagi harinya saya meriset situs majalah TIME. Mau mencari kisah Pak Anthony Parakal, di edisi 6 April 1992.

Inilah majalah yang menginspirasi berdirinya komunitas EI kita ini. Majalahnya sih ketemu, termasuk juga gambar sampulnya (foto), tetapi artikel tentang Pak Parakal kok malah tidak ketemu.

Dari sumber lainnya,situs DNAIndia edisi 27 Januari 2006 ["ajaib, karena tanggalnya bertepatan satu tahun deklarasi EI dan penetapan sebagai Hari Epistoholik Nasional" :-)] saya kemudian memperoleh info mutakhir tentang beliau.

Pak Parakal sudah pensiun menulis surat pembaca. Selain sepuh, gangguan penyakit gulanya juga menjadi penghalang untuk berkarya. Anaknya, dua perempuan dan satu lelaki, semuanya berpendidikan tinggi. Tetapi tak ada yang meneruskan "karier"-nya sebagai epistoholik.

Malah keponakannya, Anup Mathew (20), mengikuti jejak beliau sebagai penulis surat pembaca. "Sepertinya warisan saya akan tetap ada yang meneruskan," canda Pak Parakal.

Pak Parakal sudah pula menulis surat pembacanya yang terakhir pada majalah TIME, edisi 12 Desember 2005. Isinya, sarat banget sentuhan keprihatinan beliau yang mendalam tentang nasib umat manusia.Benar-benar tulisan seorang epistolaureate, seorang empu penulis surat pembaca.

Petikannya :

"Satu hal yang mengherankan, mengapa manusia yang mampu berjalan di bulan dan mengeksplorasi planet Mars, tetapi tidak mampu mencegah planet bumi kita menjadi benar-benar sebuah neraka.."

Lengkapnya :

"This world is blessed with enough human and material resources for every human being to live in peace and prosperity. Yet human suffering continues to grow. Most disheartening is the fact that many precious resources that should have been used for human welfare have been wasted on war.

One wonders why man, who has walked on the moon and explored Mars, cannot prevent Earth from becoming a virtual hell."

Anthony Parakal
Bombay

Terima kasih, Pak Parakal. Semoga inspirasi dan keteladanan dari Pak FS Hartono dan Pak Anthony Parakal itu selalu mampu memperteguh pegangan pena kita dalam menggurat pesan, menyumbangkan sesuatu bagi kemaslahatan bersama.

Salam episto ergo sum.
Selamat terus menulis, sahabat.
Semoga obrolan ini bermanfaat.


Wonogiri, 13/1/2011

Arsip surat-surat pembaca Bapak FS Hartono :

Berfikirlah Positif, majalah Tempo, 29 November 2010.
Melecehkan Profesi Legal, majalah Tempo, 3 Mei 2010.
Mawas Diri, majalah Tempo, 22 Februari 2010.
THR Untuk Pejabat, Koran Tempo, 22 September 2008.

bh

Friday, January 07, 2011

Kompas Jateng Pergi, Tribun Jateng Menanti ?



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Salam episto ergo sum !
Semoga Anda sehat-sehat di tahun yang baru, 2011.

Sebagai kaum epistoholik, awal tahun saya membaca koran pertama kali, yaitu Kompas 3/1/2011. Tampak tipis. Sudah tidak ada lagi lembaran Jawa Tengah.

Di halaman pertama,terpajang manifesto dari Pemrednya, Rikard Bagun, mengenai dihapuskannya lembaran daerah itu. Kompas, katanya, ingin "tetap" atau ingin "kembali" sebagai koran nasional.

Toh, tetap ada sesuatu perasaan yang hilang ketika tak bisa melihat lembaran Kompas Jawa Tengah itu lagi. Boleh jadi, karena lembaran itu, ketika baru terbit di tahun 2004, dapat dikatakan sebagai mitra dekat komunitas Epistoholik Indonesia kita.

Saat-saat itu Mas Joko Suprayoga, Mas Triyas dan saya, disusul Mas Purnomo Iman Santoso, seperti berlomba berkontribusi melalui kolom terhormat tersebut. Sehingga sampai ada penulis surat pembaca dari Semarang perlu meresensi sabetan pedang-pedang pena dari trio pendekat EI itu.

Muncul tahun 2004 dan surut tahun 2011, melewati masa 7 tahun. Mungkin angka ini yang membuat beberapa aktifis EI memperoleh cenderamata perpisahan, berupa 7 mug Kompas itu. Terima kasih, Kompas.

Alfa-Omega.
Awal dan akhir.

Kolom surat pembaca Kompas Jawa Tengah, sebagai catatan sejarah komunitas EI kita, untuk penerbitan yang terakhir kalinya, 31 Desember 2010, telah dihiasi oleh tulisan Mas FX Triyas Hadi Prihantoro. Judulnya, "Tahun Baru, Etika Baru." Salut Mas Triyas untuk pesan perpisahan yang mencerahkan.

Menatap ke masa depan. Seperti kabar dari Nurfita, mungkin Kompas Jawa Tengah akan digantikan dengan koran baru, Tribun Jawa Tengah. Begitukah ?

Saya baru saja baca-baca situs Kompas, mengenai laporan aktivitas menyambut Liga Premier Indonesia di Solo sore nanti (8/1/2011) yang ditulis wartawan Tribun Jogja. Apakah koran Tribun Jogja sudah terbit ?

Merujuk data dari media maya itu, sepertinya dugaan Nurfita itu akan jadi kenyataan. Sebagai kaum epistoholik di Jawa Tengah, mungkin kita akan memperoleh mitra baru, wahana baru untuk berkarya.

Ada cerita ekstra. Saat beli Kompas itu, saya sempat melongoki koran Suara Merdeka, 3/1/2011. Halaman untuk surat pembaca tidak ada. Karena diduduki oleh iklan berita duka. Satu halaman sendiri.

"Orang yang meninggal tetapi mendatangkan uang, rupanya lebih baik daripada karya orang yang hidup tetapi tidak menghasilkan uang," gitu celetuk jahil saya.Sori, Mas Kukrit. Tak apa-apalah.

Peniadaan halaman semacam ini, bagi saya seperti menjadi ironi. Utamanya bila merujuk heboh baru tentang Gayus Tambunan yang pergi lagi ke Singapura, Makau dan Kuala Lumpur itu.

Orang ini kekuatan negosiasinya, hebat bener. Sampai-sampai di Facebook saya tulis, karena kagum atas powernya yang satu itu, sehingga membuat ia bisa pergi-pergi kemana saja ia mau.Saya tulis,bahwa kepergiannya kali ini membawa misi mulia.

"Gayus lagi melaksanakan tugas/mandat dari Sekjen PBB, Ban Ki-moon. Untuk mendamaikan konflik Korea Utara vs Korea Selatan."

Mas Pur berbaik hati, menimpali cerita lebay itu dengan ha-ha-ha...

Tetapi Anda tahu siapa pemicu kabar heboh tentang Gayus itu lagi ? Saat ia keluyuran di Bali, pengungkapnya wartawan foto Kompas, Agus Susanto. Kali ini pemicunya, Devina, yang menulis surat pembaca di Kompas Minggu, 2/1/2011.

Gumam saya : kalau ada kolom sehebat itu manfaatnya, seperti pula isi surat pembaca Hendra NS yang bikin geger RI-1 karena mengkritisi aksi sewenang-wenang pengawal presiden, mengapa koran-koran kita justru terkesan berlomba untuk menghapuskannya ?

Anda punya jawaban ?
Saya nantikan.
Salam episto ergo sum,


Bambang Haryanto

PS : Saat ini saya lagi mabuk baca-baca surat jenis lainnya. Yaitu surat berisi rayuan untuk menjadi kaya-raya tanpa perlu bekerja.Kalau di kotak sampah email Anda menemukan surat dari orang tak Anda kenal, tapi menawari Anda uang jutaan dollar hanya dengan mengirim data diri sampai nomor rekening bank Anda, itulah surat resep kaya a la Nigeria. Istilah lainnya, "scam 419" sampai "nigerian scam." Ketik saja di Google, Anda akan kebanjiran cerita tentang surat-surat ajaib itu.

Saya mabuk, bukan karena ingin meniru hal itu. Tetapi saya sedang berusaha mencari celah-celah kreatif untuk mencari sisi-sisi humornya. Baik bagi kreatornya mau pun dari sisi korbannya. Karena setiap hari, setiap membuka email, surat gaya Nigeria itu selalu saja ada.Bahkan tak hanya satu-dua surat. Itu menandakan : bisnis mereka itu berjalan dengan sentosa.

Siapa tahu, aktivitas ini bisa mengisi kegiatan ketika kolom-kolom surat pembaca di koran-koran kita sudah dihapus kaplingnya sama sekali :-((

Terkait humor, kabar tak penting, buku saya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania, 2010), masih belum jelas situasinya. Syukurlah, ada kabar bagus dari Bandung, bahwa "serapannya lumayan di toko Togamas Bandung." Mungkin ini gara-gara saya dibantu promosi oleh Putri Adityowati, mahasiswi jurnalistik Unpad, yang jadi mewawancarai saya di Wonogiri untuk pengin tahu tentang EI, beberapa hari yang lalu.

Saat mengobrol ekstra, ia saya beri bonus, tentang kiat penguatan memory muscle, myelin (kata pak Rhenald Kasali), yang kiranya wajib dilakukan oleh para penulis, jurnalis dan juga kaum epistoholik. "Menulislah setiap hari !," begitu ajakan saya untuk Putri.Menulis secara "berdarah-darah," bukan menulis a la status di Facebook, atau berkomentar seperti "xixixi" atau "wakakakkka" dan sejenisnya itu.

Ketamuan Putri yang mahasiswi Unpad itu, rupanya lalu menular hingga saya punya kaitan dengan Badui U. Subhan, alumnus Sastra Indonesia, dari Unpad juga. Ia telah berbaik hati menulis resensi untuk buku humor politik saya di atas.

Bila Anda punya waktu dan minat, silakan segera klik disini.

Mungkin Mas Purnomo Iman Santoso saja yang sudah tahu akan isi resensi itu, sehingga berbaik hati menulis komentar di status saya di FB. Kabarnya, dirinya telah membeli buku Komedikus Erektus. Terima kasih, Mas Pur. Moga bisa jadi inspirasi warga EI untuk menulis buku juga.

Kembali bab EI. Dua tahun lalu, Hendro,kakak angkatannya Putri, juga mau bersusah-susah tur cari info bab EI sampai Wonogiri. Kayaknya EI klop banget sama Unpad ? Tetapi belum "klop" sama Undip, UKSW, UNS, sampai UGM ?


Wonogiri, 8/1/2011