Wednesday, December 17, 2003

SIARAN VOA DAN BBC DI RADIO PTPN SOLO :
SERING DIPUTUS DI TENGAH JALAN DAN MENGECEWAKAN !

Dikirim via e-mail ke
VOA/Voice of America (Washington), BBC (London) dan Radio PTPN Solo
17/12/2003


Hari ini, Rabu 17/1//2003, saya kecewa berat ketika siaran sore (Jam 19.00) Radio VOA diputus di tengah jalan oleh Radio PTPN Solo yang merelaynya. Saat itu sedang disiarkan bahasan mengenai buku tentang impian warga Asia-Amerika di Amerika, karya Helen Shia (?). Sebagai pencinta buku, saya berminat mengikuti sampai tuntas. Sayang, bahasan itu belum tuntas, lalu siaran VOA pun putus.

Mengecewakan !

Sebab ketika VOA (1/12/2003) menyiarkan bahasan mengenai buku karya Prof. Elizabeth Warren dari Harvard Law School dan putrinya Amelia Warren Tyagi, yang berjudul The Two-Income Trap: Why Middle-Class Mothers & Fathers are Going Broke, saya pun tergerak mencari info komplit tentang buku tersebut dari Internet. Jadi terputusnya siaran VOA itu juga berarti memutus akses saya terhadap informasi yang saya nilai penting.

Kebiasaan mengecewakan dari Radio PTPN Solo itu juga tak jarang terjadi ketika merelay Radio BBC, terutama dalam bagian akhir siaran Jam 20.00. Padahal dalam bagian akhir ini adalah siaran yang saya sukai, karena menyajikan berita-berita olahraga.

Hello, Radio PTPN, mengapa Anda mengecewakan salah satu pendengar Anda ?


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------------

KESENJANGAN DIGITAL DAN PEMILU 2004
Dikirimkan tanggal 17/12/2003 ke Harian Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Majalah Tempo


Pemimpin Indonesia banyak yang gagap teknologi. Ini terbukti dengan kemangkiran presiden kita dalam Konferensi Tingkat Tinggi Masyarakat Informasi yang berlangsung di Jeneva, Swiss, pertengahan Desember 2003 yang lalu. Ketidakhadiran itu seolah menunjukkan tiadanya komitmen pemerintah secara maksimal untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam bidang teknologi informasi.

Setelah digempur dengan hasil riset mancanegara yang menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara pemuncak dalam gelimang budaya korupsi, disusul potret buramnya kualitas sumber daya manusia, kini negara besar ini juga tidak elok dalam hal penetrasi teknologi informasi. Tergambar jelas, bahwa penggunaan komputer baru 1 di antara 100 penduduk dan akses Internet hanya menjangkau 4 juta di antara 200 juta penduduk Indonesia.

Kesenjangan digital (digital divide) di Indonesia ini ternyata mengusik kepedulian beberapa perusahaan asing. Mereka tergerak melakukan aktivitas untuk mengenalkan anak didik kita terhadap sarana teknologi informasi, yaitu komputer dan Internet. Contoh ini seharusnya segera disusul oleh pelbagai perusahaan lokal kita, misalnya dengan mengadakan pusat-pusat belajar TI bagi anak-anak dari karyawan mereka sendiri. Atau menyumbangkan komputer-komputer lama untuk perpustakaan lokal, sampai mengirim pegawainya untuk jadi relawan mengajari pegawai perpustakaan dan anak-anak dengan keterampilan dasar mengoperasikan komputer dan memanfaatkan Internet.

Dalam helat besar nasional Pemilu 2004 mendatang, semoga ada partai yang mau mengangkat isu krusial yang juga ikut mempertaruhkan masa depan bangsa ini. Bahkan kalau boleh usul, tirulah aksi kandidat dari Partai Demokrat AS, Howard Dean dan John F. Kerry, yang sukses spektakuler mengeksploitasi Internet dalam menggalang gerakan rakyat, grassroot, untuk menghadang George Walker Bush di Pemilu AS, November 2004 nanti. Kunci sukses Dean dan Kerry adalah dengan justru memberi kebebasan pendukungnya mengeksploitasi Internet dalam menunjang kampanye mereka. Pesan moral dari Internet : biarlah rakyat bicara dan para kandidatlah yang harus menjadi pendengarnya, untuk kemudian melaksanakannya.

Kedahsyatan Internet sebagai tulang punggung demokrasi seperti di atas mungkin di Indonesia justru ditakuti oleh para calon presiden kita. Buktinya, tak ada yang canggih mengeksploitasi Internet sebagai senjata kampanye mereka. Jadi, begitulah wajah para pemimpin kita : sudah gaptek ditambah takut terhadap teknologi yang berpeluang membawa rakyatnya memperkuat otot-otot demokrasi !

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

--------------------

MATILAH PEMERINTAH ! HIDUPLAH PEMERINTAH !
Dikirimkan tanggal 17/12/2003 ke Harian Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Majalah Tempo


Postmodernisme dipercaya telah melakukan dekonstruksi terhadap dominasi atau hegemoni negara. Kini negara bukan lagi diterima sebagai satu-satunya kekuasaan yang sah. Hegemoni seperti itu sudah lewat, sebab sekarang sentra legitimasi sudah menyebar kemana-mana, dan kehidupan pun berubah menjadi majemuk. Perkembangan tersebut di Indonesia semakin dipercepat karena rendahnya prestasi negara dan pemerintahan dalam memenuhi pelayanan kepada masyarakat secara baik, di bidang ekonomi, keamanan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

Merespons aksi pemerintah yang banyak gagal itu maka masyarakat tidak dapat dibendung untuk tidak mencari solusinya sendiri. Mereka tidak memberontak kepada negara, tetapi bersikap “lupakanlah negara, lupakanlah pemerintah, marilah kita bertindak”. Oleh sosiolog hukum Satjipto Rahardjo, gerakan di atas disebut sebagai kekuatan sosial otentik dalam masyarakat yang tidak ingin larut dalam keterpurukan. Kini gerakan itu sedang menggeliat, bergerak dan makin kuat, dan harus kita jaga dan memupuknya sehingga menjadi kekuatan alternatif di luar pemerintahan.

Tetapi di masyarakat kita juga terjadi anomali. Bahkan ironi. Pemerintahan yang gagal itu ternyata tetap mempunyai magnet kuat. Sekedar contoh, terjadi di daerah saya : lowongan pegawai negeri sipil di Solo yang hanya 200-300-an posisi, telah diserbu sampai 60 puluhan ribu pelamar, mengentak kita : ada apa dengan anak-anak muda kita ? Mengapa mereka antusias ingin menjadi pegawai negeri yang selalu dicitrakan sebagai pekerja yang lamban, birokratis, dan juga korup itu ?

Apakah badai reformasi yang membuat semua sendi kehidupan jadi labil, gonjang-ganjing hingga kini, justru mendorong mereka untuk mencari tempat berlindung yang ia rasa aman, dengan menjadi pegawai negeri ? Kalau anak-anak muda saja tidak berani ambil resiko, lalu dari siapa kita mampu berharap adanya perubahan ?

Matilah pemerintah ! Hidup pemerintah !


Bambang Haryanto
Warga Jaringan Epistoholik Indonesia

------------------

PENULIS SURAT PEMBACA SE-INDONESIA, BERGABUNGLAH !
Dikirimkan tanggal 17/12/2003 ke Harian Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Majalah Tempo

Majalah internasional Time (6/4/1992) pernah memuat profil seorang epistoholik, istilah Time untuk seseorang yang keranjingan menulis surat-surat pembaca (letter to the editor) di pelbagai media massa. Tokoh unik dan mengesankan itu adalah Anthony Parakal (kini 72 tahun) dari India yang sudah melakoni hobinya sejak tahun 1953. Saat muncul di Time, koleksi surat pembaca karyanya sudah mencapai : 3.760 surat !

Adakah penulis surat pembaca di Indonesia yang memiliki rekor mendekati angka setinggi itu ? Antara lain untuk mendata prestasi semacam, saya sebagai seorang epistoholik berharap para penulis surat pembaca di Indonesia sudi bergabung dalam wadah jaringan Epistoholik Indonesia (EI). Seperti halnya karakter sebuah jaringan (network), EI bukan organisasi formal. Semangat antarwarganya egaliter, sebagai wahana bersosialisasi, bertukar gagasan, berasas asah-asih-asuh, guna saling mendukung semua warganya dalam kiprah intelektual menyebarkan gagasan kritis melalui media surat-surat pembaca.

Di masa depan, diangankan EI mampu menyusun direktori berisi data diri warga jaringan, spesialisasi minat masing-masing, sampai upaya membuat album elektronik untuk seluruh karya surat pembaca tiap individu anggota jaringan. Baik yang telah dimuat atau pun yang tidak dapat dimuat, sehingga dapat diakses oleh para peminat setiap saat.

Aktivitas menulis adalah intellectual exercise yang berguna bagi kebugaran otak, menyehatkan rohani dan jasmani, yang baik sekali dilakukan oleh siapa saja tidak memandang usia. Aktivitas menulis adalah upaya pembelajaran sepanjang hayat bagi setiap individu, yang seharusnya digencarkan sejak SD hingga PT kita. Kolom surat-surat pembaca di media adalah salah satu wahana penting untuk tujuan mulia tersebut.

Mari bergabung dalam keluarga jaringan Epistoholik Indonesia. Untuk memperoleh info awal realisasi gagasan ini, silakan Anda kirimkan surat ke alamat saya, berisi data diri peminat, satu contoh surat pembaca Anda yang pernah dimuat, dan usulan/harapan Anda. Untuk balasan, sertakan 2 buah perangko @ Rp. 1.500,00. Atau terkirim melalui e-mail bersubjek “Epistoholik/12” ke alamat e-mail : epsia@plasa.com. Terima kasih.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia



-----------------

KRL HANTU BOGOR-JAKARTA
DAN SUPORTER SEPAKBOLA INDONESIA

Diposkan ke Milis ASSI, 17/12/2003



Bogor geger. Diserang UFO ?
Makhluk-makhluk aliens itu konon tidak menyerang Istana Bogor atau ikut mengeduk harta karun di Istana Batutulis, juga bukan mengobrak-abrik pepohonan tinggi atau makam mBah Jeprak di Kebon Raya Bogor. Melainkan beraksi di Stasiun Bogor, minggu lalu.

Aksinya menakjubkan : dini hari tiba-tiba KRL Bogor-Jakarta, tanpa awak dan tanpa penumpang, bisa jalan sendiri. Atas kesigapan penjaga lintasan pertama di Bogor yang mengontak penjaga-penjaga lintasan berikutnya, membuat kereta api slononk boy itu mampu mencapai Manggarai, Jakarta, dan tidak mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.

Apakah aliens yang menyopiri KRL ajaib itu ? Ataukah hantu ?
Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Tapi ngomong-ngomong, apakah Anda punya pengalaman unik tentang KRL Bogor-Jakarta itu ? Saya pernah terjatuh di Stasiun Cawang. Gara-garanya, akibat berjubelnya penumpang, saya terlambat turun. Saya loncat ketika kereta sudah kembali bergerak. Saya kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kelingking tangan kiri agak terkilir. Hanya itu. Tentu saja, malu jadi tontonan banyak orang. Tetapi saya yakin, orang-orang itu akan kembali berfokus pada isi benak masing-masing. Artinya, musibah yang saya alami itu bakal tidak menjadi hal penting bagi mereka. Juga tidak berharga untuk jadi sekedar gurauan atau bahan cerita di kantor mereka.

Tetapi di bulan Agustus 2001, di Asrama Haji Cempaka Putih saat menjelang Deklarasi ASSI, saya mendengar kisah sedih seputar KRL Bogor-Jakarta yang sama. Salah seorang pentolan suporter Jakarta tewas akibat kecelakaan menyangkut KRL tersebut. Bahkan kalau dirunut ke belakang lagi, juga tercatat peristiwa kecelakaan tertabrak KRL Bogor-Jakarta hingga menewaskan enam suporter PSIS (Panser Biru belum lahir, bukan ?) dan juga seorang suporter kelompok yang sama harus tewas karena dihakimi massa di stasiun Manggarai.

Kereta api di Indonesia rupanya tak sepi dari cerita-cerita menyangkut ulah suporter sepakbola Indonesia. Bagi saya sebagai warga Pasoepati, interaksi dengan PT KAI terasa monumental. Yaitu ketika pertama kali Pasoepati melawat ke Surabaya, 6/4/2000. Dengan tema From Solo With Love kita mencarter 12 rangkaian gerbong senilai 27 juta rupiah yang bahkan disebut sebagai Kereta Api Luar Biasa Pasoepati.

KLB ini berangkat dan pulang berdasarkan jam yang ditentukan oleh Pasoepati sendiri. Esoknya pun, Pasoepati dapat bonus. Harian Surya (7/4/2000) memuat pernyataan Sugeng Priyono, Wakil Kepala Stasiun Kereta Api Gubeng. Ia semula merasa was-was ketika melihat kedatangan ribuan suporter Pelita Solo. Maklum saja, ribuan suporter fanatik tersebut mengenakan kaos merah dengan dandanan aneh-aneh sambil mengibarkan bendera kesebelasan yang didukungnya. “Tapi alhamdullilah, ternyata mereka tidak bertingkah macam-macam. Baru kali ini saya melihat suporter bersikap santun”, ujar Sugeng Priyono.

Tetapi toh di sebalik cerita manis di atas juga ada berita lain yang tak masuk koran. Tapi masuk Tabloid BOLA (14/4/2000) : sekitar 10 menit kereta meninggalkan Stasiun Gubeng menuju pulang, kereta mendapatkan sambitan batu. Tiga baris kursi di depan saya, seorang warga suku Pasoepati Lovina (Jagalan), Rudi, alis kirinya harus dijahit karena tersambar batu-batu tersebut.

Peristiwa yang menimpa Rudi di kereta api tadi pasti hanya cerita kecil sekali bila dibandingkan dengan cerita-cerita yang dimuat dalam buku berjudul Bonek : Berani Karena Bersama (Hipotesa, 1997), yang menyajikan cerita dan analisis seru mengenai pendukung fanatik tim runner-up Piala Emas Bang Yos 2003 yang baru usai itu. Buku ini saya beli di kaki lima Stasiun Cawang, 15 Agustus 2002. Terdapat 13 tulisan di dalamnya.

Buku tipis dengan sampul berwarna kehijauan dan merah, didominasi gambar bola yang superimpose dengan gambar tengkorak, merupakan kumpulan artikel dari pelbagai kalangan di Jawa Timur. Ada akademisi, pejabat, anggota LSM dan wartawan. Bagi saya yang menarik, adalah tulisan Guru Besar Hukum Unair, Prof. Soetandyo Wignyosoebroto. Saya pribadi belum kenal Prof. Tandyo, tetapi Ibu Tandyo pernah mengikuti kelas di mana saya menjadi asisten mata kuliah fotografi untuk presentasi audio-visual di kampus Rawamangun, Jakarta, sebelum pindah ke Depok.

Kalau di artikel sebelumnya muncul pernyataan keras dari Basofi Sudirman, Gubernur Jawa Timur saat itu yang menyebut para bonek juga sebagai boling (bondho maling) yang harus ditindak keras, maka Prof. Soetandyo menuliskan bahwa “tindakan tegas saja tak cukup”. Menurutnya, para bonek itu toh anak-anak kita, sehingga harus direngkuh dan di-openi, sebab mereka bagian dari warga masyarakat kita yang terampas. Terampas sumber dayanya, pendidikannya, asosiasi sosialnya, dan pertumbuham kejiwaannya.

Bahkan disebutnya, yang masuk kategori bonek itu bukan hanya suporter sepak bola. Anak-anak muda yang suka bertualang seperti mendaki tebing sampai arung jeram pun, termasuk bonek. Juga anak-anak muda Surabaya yang ikut memanggul bedil dalam revolusi. Bedanya, jiwa petualang para bonek satu ini masih terarah. Sedangkan bonek yang ngeluruk ke Stadion Senayan, nonton sepakbola, selain tidak terarah, juga termasuk kategori bonek akut dan kronis.

Bonek akut dan kronis, menurut Prof Tandyo, memerlukan pendekatan khusus. Mereka dibimbing untuk terwadahi dalam organisasi fans club, memiliki aktivitas konkret, terstruktur dan diakui keberadaannya. Saluran semacam itu akan lebih positif daripada membiarkan mereka mengorganisir diri dan memberikan kesempatan munculnya tindak anti-ketertiban.

Pendekatan terhadap bonek akut dan kronis seharusnya dilakukan dalam dua bentuk. Untuk mereka yang akut dan sering jadi trouble maker, tindakan tegas kepadanya pantas dilakukan. Tetapi untuk bonek kronis, tindakan tegas saja tidak cukup. Mereka harus pula dibimbing, diorganisir, diarahkan dan diawasi.

Pendeknya, faktor-faktor tertentu yang membentuk struktur perilaku bonek harus diputus rantainya. Itu artinya, mengatasi bonek merupakan pekerjaan raksasa karena tak ada bedanya dengan program pemerintah dalam mengentas kemiskinan.

Apakah ada kemiripan antara problem bonek yang diutarakan oleh Prof. Tandyo tadi dengan persoalan dalam kelompok suporter Anda ? Silakan Anda bercerita. Sementara itu, bagian lainnya dari buku itu, semoga dapat saya ceritakan lagi kepada Anda, di lain kesempatan. Sekian dulu obrolan saya, minggu ini.

Au Revoir !


Sobat Anda,

Bambang Haryanto
Penulis Buku HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA MATI
Wonogiri 17/12/2003


P.S. Mengapa saya memakai salam Au Revoir, berbahasa Perancis ? Bukan karena ikut demam film Eifel…I’m In Love (novel dan skenarionya ditulis cewek tingkat satu program diploma bahasa Perancis UI), tetapi karena organisasi saya Epistoholik Indonesia ternyata juga diminati seseorang madame yang nulis e-mail dari Paris !


Tuesday, December 09, 2003

PERSIB-O-HOLIC, ALCOHOLIC, EPISTOHOLIK, SPORTIVOHOLIC ?
Diposkan ke milis ASSI, 9/12/2003


Darah baru. Ide-ide baru.
Akhir-akhir ini di milis ASSI kita telah tampil milister-milister (mohon dikoreksi kalau istilah ini kurang tepat) baru. Sangat menggembirakan. Mungkin penilaian saya keliru, sebab siapa tahu sobat-sobat yang saya anggap wajah baru itu sebenarnya warga lama tetapi selama ini terlalu berendah hati dengan memilih sebagai “lurker” semata. Istilah “lurker” adalah sebutan untuk peserta/anggota milis di mana mereka merasa sudah cukup senang untuk hanya menjadi pembaca saja. Tetapi bagi saya, keberadaan sobat-sobat “lurker” itu kadang mengejutkan.

Sebab saya pernah disapa seseorang (suporter) yang namanya sama sekali tidak pernah muncul dalam diskusi di milis ASSI kita ini. Tapi, surprisenya, ia bisa menceritakan topik-topik yang pernah muncul dalam konferensi meja bundar antarsuporter Indonesia a la digital di milis yang dimandori Sam Idoer van Aremania yang unix ini.

Nama milister ASSI baru yang bagi saya unik, adalah Persib-O-Holic. Ketika dunia suporter Indonesia sejak tahun 2000 seolah inflasi istilah “mania” (gara-gara kharisma kera-kera Ngalam : Aremania !), nama berakhiran “oholic” itu cukup menggelitik. Memang akhiran mania dan oholic itu artinya bermiripan, yaitu obsesi, kecanduan, kegetolan atas sesuatu.

Sebagai contoh, saya ambil dari kamus unik yang rasanya cocok dimiliki mereka yang ingin tampil di kuis Who Wants To Be a Millionaire-nya RCTI. Kamus itu karya Irene M. Frank, “On The Tip of Your Tongue”, Signet Book, 1990. Saya beli tanggal 14/4/1991 di TB Gramedia Matraman, Jakarta. Pada hal 160-162 terdapat daftar istilah untuk obsesi, kecanduan atau kegetolan atas………


buku disebut bibliomania
membeli apa saja : onlomania
menulis : graphomania/scribomania
wanita sangat bernafsu terhadap pria : nymphomania
pria sangat bernafsu terhadap wanita : satyromania
musik : melomania/musicomania
merasa penting sendiri : megalomania
merasa sebagai Tuhan : theomania
ngomong jorok : coprolalomania
penis : mentulomania
nafsu sex : erotomania
organ sex : edeomania
kata-kata : logomania/verbomania
alcohol : dipsomania/potomania
rindu rumah : philpatridomania
kerumunan orang : demomania/ochlomania
(masih banyak lagi…)

Istilah berakhiran “oholic” pertama kali saya temui dari kata alcoholic, orang yang kecanduan minuman beralkohol. Di kalangan suporter Indonesia, saya kira tak sulit menemukan kaum alcoholic ini. Di kalangan Pasoepati Solo, minuman beralkohol yang dirasa murah meriah disebut ciu cangkol. Saya tidak tahu berapa persen kadar alkoholnya, tetapi cairan coklat keruh berbau keras itu akan menyala bila disundut korek api. Dengan beverage tradisional itu, beberapa warga Pasoepati sering mengajak pesta kelompok suporter lainnya yang datang ke Solo. Lalu cerita-cerita mengenai suporter tamu yang teler atau mabuk berat, sudah menjadi bahan guyonan tersendiri di kalangan Pasoepati.

Istilah alcoholic yang saya ketahui itu berasal dari Alcoholic Anonymous/AA (Mereka Yang Kecanduan Alkohol Tanpa Nama). Ini sebuah gerakan swadaya masyarakat di AS yang menghimpun para pencandu minuman keras untuk saling berbagi pengalaman, bagaimana menyembuhkan ketergantungan mereka terhadap minuman yang berpotensi merusak hati/liver itu.

Mereka bertemu secara teratur, dipandu relawan yang psikolog, guna saling mengingatkan dan saling menguatkan demi keberhasilan mereka masing-masing demi terbebas dari cengkeraman alkohol. Well, apakah ASSI kita ini perlu ditambah dengan divisi AASI : Alcoholic Anonymous Suporter Indonesia ?

Istilah berakhiran “oholic” lainnya, saya temukan tahun 1992. Gara-garanya majalah Time (6/4/1992) memberi julukan manis manis untuk seseorang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca di pelbagai media massa. Julukan itu adalah epistoholik. Dari asal kata epistle, surat.

Tokoh unik dan mengesankan yang diberi label epistoholik oleh majalah Time itu adalah Anthony Parakal (kini 72 tahun) dari Mumbay, India. Beliau sudah melakoni hobinya sejak tahun 1953. Saat ia muncul di Time, koleksi surat pembaca karyanya sudah mencapai : 3.760 surat, dan prestasinya ini tercatat di buku Guinnes Book of World Records Versi India.

Kini, di bulan November 2003 yang lalu, menurut Mid-day (http://web.mid-day.com/metro/malad/2003/november/68003.htm), ia sudah menulis surat pembaca sebanyak 5.000 buah, semuanya berbahasa Inggris, dan dikirimkan ke pelbagai surat kabar di dunia.

Kepada wartawan Pooja Kumar (5 November 2003) ia bilang : “Writing letters has become an obsession for me and not a single day passes by without me spotting at least three of my letters in dailies. It is because of my faith in the immense impact of the media that I choose to address these issues.”


Saya sebagai logomania/verbomania plus graphomania/scribomania, sejak tahun 1992 sudah langsung terkena virusnya Bapak Parakal ini. Saya yang memang suka menulis di kolom-kolom surat pembaca, selain menulis artikel/buku, tergerak merintis pendirian Epistoholik Indonesia/EI di tahun 1994. Yaitu upaya menghimpun para penulis surat pembaca se-Indonesia. Ide itu saya lontarkan di koran-koran, dan mendapatkan sambutan.

Sayang, realisasi ide itu tak berlangsung lama saat itu. Saat itu saya berdomisili di Jakarta, merasa kekurangan waktu dan sarana. Komunikasi masih memakai layanan snail-mail (surat keong – baca : Pak Pos !), lamban dan mahal. Mesin ketik juga manual. Tetapi toh ada seseorang dari Medan, mengadopsi ide tersebut. Sapi punya susu, kerbau punya nama (apa kebalik ?), Bang Medan itu tampil ke depan untuk memproklamasikan diri sebagai ketua organisasi semacam EI ini. Salah satu kiprah awalnya, ia akan mengajukan proposal ke Sekretariat Negara RI untuk minta sumbangan dana bagi operasi organisasinya tersebut.

Saya pasif atas prakarsa Bang Medan itu. Ada perbedaan visi di antara kita. Sebab sejak awal saya mengangankan EI sebagai jaringan yang independen, warganya juga independen, sehingga bebas bersuara atau menulis kritik kepada (terutama) pemerintah Orba (saat itu). Tetapi oleh Bang Medan itu kok tiba-tiba dibelokkan untuk mau terkooptasi oleh kepentingan pemerintah yang ditukar dengan bantuan/kucuran rupiah ? Entah kenapa, rupanya upaya Bang Medan yang berbaik hati meneruskan gagasan EI saya itu, juga memudar.

Kini di tahun 2003, ketika komunikasi makin murah, instan dan canggih telah hadir, yaitu Internet, membuat embrio EpistoholikIndonesia/EI dulu itu menggoda lagi di benak saya. Dan saya memutuskan mempromosikan EI kembali. Dimuat di suratkabar Bernas (Yogya), Suara Merdeka (Semarang) dan Solopos (Solo), kini ada sekitar 10 orang dari Solo, Yogya, Sukoharjo, Wonogiri (selain saya), Pekalongan, Purbalingga, juga Jakarta, menyatakan bergabung dalam jaringan EI.

Kalau Anda sempat membaca Tabloid BOLA (2 Des 2003), di kolom “Forum Pembaca”, ada seorang anak muda mahasiswa Arsitektur UNS (sekaligus pencinta/penulis sastra, yang berarti kalau menurut tesis multiple intelligence-nya Howard Gardner dirinya memiliki skill visual-spatial dan verbal, “kombinasi minat yang hebat !”) bernama Wahyu Priyono, telah ikut berbaik hati mempromosikan Epistoholik Indonesia.

Surat di BOLA itu atas prakarsanya sendiri. Saya tak nyangka, kalau Tabloid BOLA jadi incaran Wahyu untuk mempromosikan EI. Kebetulan sih, dia juga seorang warga Pasoepati, tetapi seingatku (sorry, Wahyu…), aku justru belum pernah ketemu secara tatap muka dan pribadi selama aku berkiprah di Pasoepati.

Makasih berat, Wahyu. Gara-gara kedahsyatan Internet maka Wonogiri dan Karangpandan bisa muncul sedikit sebagai “center of gravity”-nya para epistoholik Indonesia. Gara-gara surat Wahyu itu pula, aku bisa dikontak lagi sama Aan Permana/Garut, sobat lama yang dulu pernah ngobrol via e-mail gara-gara tulisanku di BOLA, tahun 2000 lalu, bab julukan nama-nama untuk pemain Pelita Solo.

Wahyu yang antusias bergabung dalam EI, aku rasa sebagai pribadi anak muda yang rada unik. Sebab warga jaringan lainnya, seperti halnya Pak Parakal, banyak yang sudah sepuh, kaum wredatama dan manula. Ada yang sudah berusia 80 tahun, Hadiwardoyo (Kaliurang), tetapi semangat belajarnya untuk mengenal hal-hal baru sungguh mengagumkan. Termasuk memutuskan memiliki acoount e-mail pribadi gara-gara semangatnya untuk bergabung dalam EI. Kunjungi situsnya di : http://hwar.blogspot.com.

EI memang membidik, antara lain, para senior seperti Pak Hadiwardoyo itu. Ide EI diilhami isi bukunya Nicholas Negroponte, Being Digital, bahwa Internet mampu menyambungkan komunikasi antargenerasi, kaum pensiunan dengan generasi anak-cucu mereka. Para pensiunan itu adalah the untapped resources, sumber daya intelektual dan kebijakan yang belum digali. Padahal mereka itu memiliki kecerdasan, wawasan, pengalaman, wisdom, juga optimisme, sampai perasaan semakin dekat sama Tuhan, yang alangkah baiknya bila kita-kita yang lebih muda ini sudi belajar banyak dari mereka.

Untuk menghormat dan menghargai dedikasi mereka, telah saya rintis pembuatan situs untuk menghimpun dan memajang karya surat-surat pembaca mereka. Silakan kunjungi di : http://epsia.blogspot.com dan tersedia links untuk situs mereka. Untuk semua itu, ya saya harus sedikit kerja bakti, belajar telaten dan sabar dalam memindahkan isi surat-surat para senior itu ke bentuk digital. Walau hanya mampu mengetik 2 jari saja, saya ketik kembali karya-karya mereka. Di situlah saya mendapatkan hikmah dan ganjaran : saya tak sengaja malah jadi banyak belajar dari gagasan dan wisdom mereka !

Begitulah, gara-gara munculnya sobat baru di milis ASSI yang berjulukan Persib-O-holic, telah memicu saya untuk bercerita tentang epistoholik. Siapa tahu, wabah oholic-oholic ini akan juga merasuki kalangan suporter sepakbola Indonesia di ajang Liga Indonesia 2004 mendatang. Sehingga kita tidak hanya kenal dan berkawan dengan Persib-O-holic, Slemanoholic, Soloholic, Petroholic dan Nurdin Holic (he-he-he), moga-moga suporter Indonesia nantinya juga kecanduan sportivitas yang bagaimana kalau kita sebut saja dengan: Sportivoholic ?



Bambang Haryanto
Penulis Buku HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA MATI
Wonogiri, 8/12/2003.











Thursday, December 04, 2003

MATILAH PEMERINTAH ! HIDUPLAH PEMERINTAH !
Dikirimkan ke Harian Solopos, 4 Desember 2003.


Postmodernisme dipercaya telah melakukan dekonstruksi terhadap dominasi atau hegemoni negara. Kini negara bukan lagi diterima sebagai satu-satunya kekuasaan yang sah. Hegemoni seperti itu sudah lewat, sebab sekarang sentra legitimasi sudah menyebar kemana-mana, dan kehidupan pun berubah menjadi majemuk.

Perkembangan tersebut di Indonesia semakin dipercepat karena rendahnya prestasi negara dan pemerintahan dalam memenuhi pelayanan kepada masyarakat secara baik, di bidang ekonomi, keamanan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

Merespons aksi pemerintah yang banyak gagal itu maka masyarakat tidak dapat dibendung untuk tidak mencari solusinya sendiri. Mereka tidak memberontak kepada negara, tetapi bersikap “lupakanlah negara, lupakanlah pemerintah, marilah kita bertindak”.

Oleh sosiolog hukum Satjipto Rahardjo, gerakan di atas disebut sebagai kekuatan sosial otentik dalam masyarakat yang tidak ingin larut dalam keterpurukan. Kini gerakan itu sedang menggeliat, bergerak dan makin kuat, dan harus kita jaga dan memupuknya sehingga menjadi kekuatan alternatif di luar pemerintahan.

Tetapi di masyarakat kita juga terjadi anomali. Bahkan ironi. Pemerintahan yang gagal itu ternyata tetap mempunyai magnet kuat. Lowongan CPNS di Solo yang hanya beberapa ratus posisi, telah diserbu sampai puluhan ribu pelamar, menghentak kita : ada apa dengan anak-anak muda kita ? Mengapa mereka antusias ingin menjadi pegawai negeri yang selalu dicitrakan sebagai pekerja yang lamban, birokratis, dan juga korup itu ?

Apakah badai reformasi yang membuat semua sendi kehidupan jadi labil, gonjang-ganjing hingga kini, justru mendorong mereka untuk mencari tempat berlindung yang ia rasa aman, dengan menjadi pegawai negeri ? Kalau anak-anak muda saja tidak berani ambil resiko, lalu dari siapa kita mampu berharap adanya perubahan ?


Matilah pemerintah ! Hidup pemerintah !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

----------------

EPISTOHOLIK INDONESIA DAN WISDOM WARGA MANULA
Dikirimkan ke Harian Solopos, 4 Desember 2003.


Terima kasih, Solopos. Gagasan pembentukan jaringan komunikasi penulis surat pembaca se-Indonesia, Epistoholik Indonesia (EI) yang dimuat di kolom ini, 28/10/2003, membuahkan sambutan tak terduga.

Para epistoholik senior Yogyakarta yang telah mengontak antara lain RM Pradiko Reksopranoto, FS Hartono, R. Suhardjo, dan juga Hadiwardoyo (80 th, Kaliurang). Dari Solo yang secara khusus saya kirimi surat, sokurlah kemudian juga bergabung, adalah Bapak Moegono, SH dan Bapak Soeroyo. Dari Pekalongan ikut bergabung Bapak Soeroto dan Bapak Supardjo dari Purbalingga. Para yunior Wahyu Priyono (Karanganyar), Hanung Kuncoro dan Umar Yuwono (Sukoharjo) serta Sri Hastuti, SE (Wonogiri), ikut bergabung pula.

Dari beberapa kali kontak, termasuk rumah saya dirawuhi Pak Moegono, SH, saya belajar banyak dari wawasan yang kaya dan wisdom para epistoholik senior tersebut. Untuk menghormat dedikasinya, maka untuk Bapak Hadiwardoyo, Moegono dan Soeroyo, telah EI luncurkan situs di Internet yang memajang surat-surat pembaca mereka. Untuk akses silakan kunjungi situs Epistoholik Indonesia/EI (http://epsia.blogspot.com) dan disana telah disajikan link yang diperlukan. Situs warga EI lainnya, akan segera menyusul.

Karena sebagian surat-surat pembaca mereka itu pernah dimuat di Solopos, maka surat ini pun sekaligus sebagai pemberitahuan kepada Redaksi mengenai kiprah EI yang aktif pula menyebarluaskan materi koran ini kepada khalayak yang lebih luas.

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

----------


BUDAYA MENULIS DAN MASA DEPAN ANAK-ANAK KITA
Dikirimkan ke Harian Solopos, 4 Desember 2003



Wartawan Solopos, Niken Syahirul (Espos,11/10/2003) mengutarakan keprihatinannya mengenai betapa semakin terkikisnya budaya baca. Koran ini ketika melaporkan aktivitas mempromosikan minat baca di SDN Cemara Dua (Espos, 11/11/2003), juga menulis keprihatinan yang sama. Hal ini sangat mengerikan. Apakah pendidikan kita selama ini tidak mampu mengintegrasikan aktivitas intelektual yang disebut membaca itu menjadi habit anak-anak kita ? Kalau pendidikan gagal dalam hal vital ini, lalu apa yang jadi bekal bagi peserta didik untuk mengarungi masa depan penuh guncangan dan perubahan sangat cepat tersebut ?

Konsultan karier Carole Hyatt dalam bukunya Shifting Gears : Mastering Career Change and Find the Work That’s Right for You (1990), menulis bahwa begitu lulus PT maka ilmu para wisudawan sebenarnya telah daluwarsa. Agar setiap individu selalu mutakhir ilmunya, dirinya dituntut terus-menerus belajar, dan satu-satunya cara belajar itu adalah dengan membaca. Kuncinya kini : bagaimana budaya membaca ditumbuhsuburkan ?

Menurut hemat saya, dengan menumbuhkan budaya menulis pada anak-anak sejak dini. Menumbuhkan budaya baca saja tidaklah cukup. Ajak dan dorong anak-anak untuk menulis, baik puisi atau prosa, menceritakan pengalamannya secara tertulis, dan memajang karyanya di majalah dinding rumah atau sekolah. Kenalkan sejak dini untuk menggunakan komputer sebagai alat bantu menulis. Anak-anak itu lebih cerdas dalam menggunakannya dibanding kita-kita para orang tua. Dorong pula untuk menulis di kolom-kolom surat pembaca, baik di majalah anak-anak/remaja atau media massa umum.

Saya sendiri dengan situs Poetrysolo (http://poetrysolo.blogspot.com) telah merintis gerakan serupa, mengajak dan menampung puisi anak-anak untuk tampil di Internet. Selain menyuburkan budaya menulis, mereka secara alamiah mengenal manfaat teknologi informasi. Sayang, beberapa sekolah dasar di Solo pernah saya kirimi ajakan tentang gagasan ini, ternyata belum ada yang menyambutnya Mari kita budayakan membaca pada diri anak-anak lewat cara memupuk budaya menulis pada diri mereka !

Bambang Haryanto
Pengelola situs puisi anak-anak PoetrySolo
e-mail : poetrysolo@plasa.com

----------


EPISTOHOLIK INDONESIA
DAN WISDOM WARGA MANULA
Dikirim via e-mail ke harian Bernas, 3/12/2003


Terima kasih, Bernas. E-mail saya mengenai gagasan pembentukan jaringan komunikasi penulis surat pembaca se-Indonesia, Epistoholik Indonesia (EI) yang dimuat di kolom ini, 18/10/2003, membuahkan sambutan yang tak terduga.

Para epistoholik senior Yogyakarta yang telah mengontak saya, antara lain Romo RM Pradiko Reksopranoto, Bapak FS Hartono, Bapak R. Suhardjo, dan juga Bapak Hadiwardoyo (Kaliurang). Juga ada yang yunior, sdr. Dion Desembriarto. Dari Solo yang secara khusus saya kirimi surat, sokurlah kemudian juga bergabung, antara lain Bapak Moegono, SH dan Bapak Soeroyo. Dari Pekalongan juga ikut bergabung adalah Bapak Soeroto dan Bapak Supardjo dari Sokawera, Purbalingga.

Terima kasih atas sambutan yang membanggakan itu, dan saya telah mencoba membalasnya untuk menggelindingkan program-program EI di masa depan untuk menunjang kiprah beliau sebagai warga EI. Dari beberapa kontak, termasuk rumah saya dirawuhi Pak Moegono, SH dari Solo, saya dapat belajar banyak dari wawasan mereka yang kaya dan wisdom para epsitoholik senior. Juga saya tak menyangka, kalau Bapak Hadiwardoyo yang sudah berusia 80 tahun itu sampai keroyo-royo ke warung Internet di Kaliurang untuk membalas surat saya melalui e-mail. Beliau menyebut sendiri sebagai wong Jowo yang inovatif, dan itu terbukti !

Untuk menghormat dedikasi para epistoholik senior tersebut, untuk Bapak Hadiwardoyo, Bapak Moegono dan Bapak Soeroyo, telah kami luncurkan situs di Internet yang khusus memajang koleksi surat-surat pembaca beliau. Untuk mengaksesnya, silakan kunjungi situs Epistoholik Indonesia (http://epsia.blogspot.com) dan disana telah disajikan link yang diperlukan. Situs untuk para warga EI lainnya, selangkah demi selangkah, akan segera menyusul. Karena sebagian surat-surat pembaca mereka itu pernah dimuat di Bernas, maka surat ini pun sekaligus sebagai pemberitahuan kepada Redaksi Bernas mengenai kiprah EI yang ikut pula menyebarluaskan materi koran ini kepada khalayak yang lebih luas.


Sekali lagi, terima kasih Bernas !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia