Monday, July 27, 2009

Komedi Indonesia, Klub Komedi dan Intellectual Capital
Email ke Jojoncenter Dokumentasi Komedi Indonesia, Selasa, 7 Juli 2009



Dear Mas Sholahuddin dkk
Di Jojoncenter Dokumentasi Komedi Indonesia


Salam humor.

Moga sehat-sehat. Terima kasih untuk kiriman transkrip dari diskusi di JJC, 27-28/6/2009, dengan topik menggagas masa depan lawak Indonesia.

Saya menikmati isi perbincangan yang terjadi. Juga asyik berusaha mencerna sebaik-baiknya semua materi obrolan, dimana dari tukar-pendapat itu saya banyak belajar dari semua fihak yang menjadi kontributor gagasan atau pengalaman, yang semuanya menarik untuk dikaji satu demi satu.

Intinya, sebagaimana isi email saya ke Mas Shola 6 Juni lalu, ketika saya berpendapat bahwa Jogja dan Jojon Center berpeluang menjadi “pusat gempa baru” yang lebih menggelegar untuk dunia komedi kontemporer di Indonesia, kini saya semakin optimis akan harapan itu.

Sebagai orang Wonogiri yang kebetulan punya kaitan emosional dengan Jogja (saya pernah sekolah di STM 2 di Jetis dan bapak saya pernah jadi Danramil di Gedongtengen), saya ingin sedikit urun rembug. Utamanya terkait dengan salah satu isu besar dalam diskusi itu, juga isu sentral dunia komedi tanah air yang aktual, yaitu bagaimana memperkuat SDM dunia komedi Jogyakarta (dan tentu saja juga kota-kota lainnya).

Hemat saya, nampaknya ikhtiar untuk itu dapat segera dilakukan, dengan mengambil analogi kegiatan kecil di laboratorium. Kita membuat laboratorium lawak melalui kegiatan klub komedi. Kecil-kecilan dulu. Bila percobaan itu sukses, nanti bisa di-virus-kan ke daerah lain.

Tentu saja ikhtiar itu tidak hanya berfokus pada pencarian sampai dengan pengembangan SDM untuk pelawak semata. Tetapi juga merangkul para calon penulis naskah humor/gag writer, manajemen, dan aspek-aspek penunjang industri komedi lainnya. Untuk saat ini saya ingin mengusulkan dulu tentang dua hal.

Pertama, pertemuan di JJC itu sebuah awal yang baik untuk memulainya. Moga-moga mereka yang hadir itu, juga yang hadir dalam aktivitas JJC sebelumnya, dimasukkan ke dalam bank data JJC. Semacam halaman kuning dalam buku telepon.

Data yang nanti terhimpun tidak hanya nama, alamat, tetapi juga data minat spesifik mereka terhadap beragam aspek dalam dunia komedi. Sangat ideal bila mereka sudi menyumbangkan esai tentang cita-cita dan harapan tentang masa depan dunia komedi kita. Bagi saya, setiap orang itu spesial. Suatu saat spesialisasi mereka itu pasti dibutuhkan. Untuk itu, ya harus kita data, untuk diketahui bersama.

Ikhtiar semacam ini, saya dibocori oleh mBak Tika Bisono dan Mas Ito (Sarlito Wirawan Sarwono) sebagai manifestasi dari manajemen ilmu pengetahuan. Bila ingin tahu lebih serius mengenai topik satu ini, di tengah gelombang wacana pengembangan ekonomi/industri kreatif di Indonesia saat ini, silakan baca bukunya Thomas A. Stewart (wartawan senior majalah bisnis Fortune), Intellectual Capital/Modal Intelektual : Kekayaan Baru Organisasi (ElexMedia, 2002).

Tampilkan mereka, di blog JJC (dibuatkan blog baru). Jadi gagasan mereka terbuka untuk publik, sebagaimana kaidah Web 2.0., yaitu user generated content, sehingga parade atau pamer gagasan ini diharapkan memacu gelombang aksi diskusi, baik komentar pro atau kontra, meneladani revolusi Wikipedia-nya Jimmy Wales yang fenomenal itu.

Kedua, merintis kegiatan klub komedi di Yogyakarta. Syukur-syukur juga paralel di kota-kota lainnya. Kantong-kantong kecil budaya untuk pengembangan komedi yang menurut saya dapat segera direalisasikan.

Untuk pemicu diskusi lebih lanjut, di bawah ini ada tulisan mini tentang hal tersebut. Gagasan klub komedi ini pernah saya tulis di Suara Merdeka, kolom Spot/Hiburan, Senin, 19 Februari 2007 [http://www.suaramerdeka.com/harian/0702/19/bud03.htm] :

Klub Komedi

Ada kesalahan mendasar dari API, kontes calon pelawak di stasiun televisi TPI selama ini. Sebagai acara televisi mungkin bisa disebut berhasil. Tetapi untuk tujuan pengkaderan pelawak di tanah air, termasuk di Jawa Tengah, program itu salah konsep sejak awal.

API hanyalah program ikut-ikutan reality show yang lebih dulu terkenal, seperti AFI (Akademi Fantasi Indosiar) dan Indonesia Idol. Kontes untuk menemukan penyanyi tersebut dicontek mentah-mentah oleh konseptor API. Mereka hanya mengganti pelakunya, semula calon penyanyi digantikan calon pelawak. Mereka tidak sadar bahwa dunia komedi tidak sama dengan dunia menyanyi.

Dalam dunia menyanyi, sebuah lagu halal dinyanyikan berulang-ulang, oleh beragam penyanyi, dalam pelbagai kesempatan. Di pentas ini tidak ada penonton bakal berteriak melarang seseorang menyanyikan sesuatu lagu karena lagu tersebut pernah ia dengar sebelumnya. Tetapi lawakan tidak. Kalau Anda melucukan sesuatu, mungkin di antara kawan-kawan ada yang menyeletuk ia sudah pernah mendengarnya.

Realitas ini menandakan bahwa tuntutan orisinalitas yang tinggi terhadap materi lawakan membuatnya tidak mudah untuk dipenuhi. Apalagi materi lawakan baru itu begitu tampil di media akan langsung usang. Tuntutan orisinalitas itulah yang membuat banyak kelompok lawak di Indonesia, termasuk alumni API, tidak punya nafas dan umur panjang. Salah satu solusi untuk meningkatkan kreativitas dunia komedi Indonesia adalah belajar dari industri komedi di Amerika Serikat.

Calon komedian di sana menggembleng diri melalui pentas di pelbagai klub komedi. Klub komedi tidak berbeda dengan kafe atau klub, dengan sajian utama pentas komedi. Calon komedian tampil dalam sesi open mike, mikrofon yang boleh digunakan oleh siapa saja, dari klub komedi tersebut.

Sesi serupa dapat dilakukan di restoran, galeri, toko-toko buku, sampai pelataran kampus. Dengan pengorganisasian tertentu, calon komedian berpentas 5-10 menit di pelbagai lokasi tersebut untuk menjajal nyali, mentes kreativitas karya dan gaya lawakan mereka.

Pada tahun 1970-an di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) Sasonomulyo, Solo, dikenal acara Pentas Kecil, pentas eksperimen untuk kelompok teater dan pembacaan puisi. Sesudah pentas diadakan diskusi. Acara open mike bagi calon pelawak dapat meniru acara serupa, sehingga ajang penggemblengan calon komedian kini bisa dilakukan di pelbagai kota-kota kantong budaya di Jawa Tengah.

Dalam habitat klub komedi tersebut akan berbaur calon komedian, penulis naskah, sutradara, management agency, wartawan, pemerhati, orang-orang televisi, sampai juragan klub komedi itu sendiri.

Dari pergaulan semacam kita berharap munculnya lebih banyak talenta-talenta baru demi semaraknya industri komedi Indonesia !


Demikianlah sekadar asal-usil dan usil dari Wonogiri. Mohon maaf bila hanya mampu sebagai penambah masalah baru bagi dunia komedi di Indonesia. Sukses selalu untuk Anda semua.

Salam humor !

Bambang Haryanto
Pengelola blog Komedikus Erektus ! :
http://komedian.blogspot.com


PS : Anda sudah membaca tulisan Indra Tranggono berjudul “Negeri Yang Suka Tertawa" di kolom Teroka, Kompas (20/6/2009), yang menarik mengenai wajah dunia lawak Indonesia mutakhir ?

Sebagaimana Michael Jackson punya lagu “Heal The World,” yang mengajak kita semua saling bahu-membahu berusaha membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi sesama, the entire of human race, Indra Tranggono juga mencita-citakan lawak/komedi/humor (di) Indonesia sebagai pengemban misi untuk memuliakan kemanusiaan. “Apakah Anda yang pertama ?,” begitu tutup dan tantangnya.

Bila Anda berminat menyimakinya, silakan Anda klik di : http://cabiklunik.blogspot.com/2009/06/teroka-negeri-yang-suka-tertawa.html. Karena saya rada kesulitan memperoleh akses blog atau email Mas Indra Tranggono (“lalu saya minta bantuan Mas Kuss Indarto untuk mem-FWD email saya kepadanya. Nuwun Mas Kuss, untuk bantuannya”), saya lalu hanya mampu menemukan blog ini yang memajang tulisan inspiratif itu.

Oh ya, saya juga menulis obrolan tanggapan di blog itu pula. Tetapi dari Mas Indra Tranggono, mungkin karena kesibukan, saya belum memperoleh email balasan darinya.

bh

No comments:

Post a Comment