Sunday, October 17, 2004

SAYA SUKA GADUHNYA DEMOKRASI
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 16/10/2004


Kita kini memiliki pemerintahan baru. Tetapi bukan saatnya rakyat untuk tertidur dan baru terbangun lagi menjelang Pemilu 2009. Kita harus terus mengawasi jalannya pemerintahan. Rakyat harus terus melakukan kontrol, baik terhadap legislatif mau pun eksekutif. Beragam media, bahkan juga kolom ini, merupakan sarana ampuh kita dalam melakukan kontrol itu.

Melalui kolom ini Epistoholik Indonesia (EI) terus mengajak rakyat agar mau cerewet bila ada pemimpin yang melenceng, berperilaku tak sesuai hati nurani dan akal sehat kita. Mereka itu manusia biasa, walau satrio piningit sekali pun.

Apalagi seperti kata sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, manusia bila dikaruniai kekuasaan akan cenderung sangat mudah berubah, bahkan dalam hitungan tiap detiknya pun (!), dalam upayanya terus memanipulasi kekuasaan untuk keuntungan dirinya sendiri. Atau seperti kata cendekiawan Nurcholish Madjid, seorang pemimpin yang pada awalnya nampak suci, tetapi dengan berjalannya waktu dirinya selalu cenderung melakukan pembenaran atas apa yang ia lakukan untuk kepentingannya sendiri.

Seorang penyanyi rock Amerika, Bruce Springsteen, walau mungkin tak mengenal Soeharto, tetapi ia mampu memaparkan sepak terjang pemimpin Orde Baru yang seperti disinyalir Cak Nur di atas. Lirik lagunya Badlands antara lain :

Orang miskin ingin menjadi orang kaya
Orang kaya ingin menjadi raja
Dan raja tak akan berpuas diri
apabila tidak berhasil menguasai segalanya !

Oleh karena itu, di alam demokrasi rakyat harus terus cerewet. Terutama para mahasiswa. Sebab seperti kata James Buchanan, I like the noise of democracy , saya menyukai gaduhnya demokrasi. Kegaduhan satu ini jelas jauh lebih baik daripada tenang-tenang tetapi rakyat terus di bawah gencetan rejim yang represif, penuh ancaman, membuat demokrasi mati atau terkerdilkan !

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


--------------


GENDRUWO DI SEKOLAH KITA
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 13/10/2004


Bill Cosby adalah komedian terkenal dan doktor pendidikan. Dalam salah satu lawakannya ia bilang, setiap gedung sekolah dasar selalu ada penunggunya, yaitu gendruwo yang misterius. Makhluk itulah dari tahun ke tahun mengajarkan kata-kata jorok, bernuansa kekerasan, dan mengipas-ipas kemarahan anak-anak sekolah dasar kita. Karena misteriusnya sampai-sampai kalangan guru tidak mengetahui wabah ini telah menyerang muridnya, sekaligus juga tidak mengetahui dari mana sumbernya.

Kiasan Cosby di atas sejalan dengan sinyalemen Ibu Frieda NRH, psikolog pendidikan dari Undip, yang mengatakan bahwa pendidikan kita penuh kekerasan (Kompas, 25/8). Apa solusinya ? Saya pernah membaca, sebuah sekolah dasar di Amerika Serikat mencoba menyuburkan kecerdasan emosional murid-muridnya lewat pelajaran melukis bebas. Setelah selesai, tiap-tiap anak diminta untuk memuji karya lukis teman lainnya. Tuntutan untuk memuji itu mendorong anak lebih mencermati obyek lukisan yang ia nilai, cerita yang dikandung, komposisi, warna sampai kesan yang mampu ia tangkap. Seluruh isi kelas tenggelam dalam suasana santai, banyak tertawa, saling berempati dan saling menghargai keunikan dan perbedaan tiap individu yang tercermin dalam karya lukis masing-masing.

Kegiatan ekstra lainnya, untuk tujuan yang sama, misalnya mengajak mereka mengunjungi panti jompo. Anak-anak itu membawa kucing atau anjingnya, yang kemudian dikenalkan kepada penghuni panti jompo. Mereka bercakap-cakap, dan membiarkan para lansia itu membelai-belai kucing atau anjing milik anak itu. Kunjungan ini dapat diulang pada minggu-minggu berikutnya. Atau mereka diajak ke panti-panti asuhan untuk membacakan cerita-cerita bagi anak sebayanya yang kurang beruntung.

Mungkin dengan cara seperti ini kita dapat mengurangi gangguan gendruwo-nya Bill Cosby atau cekaman atmosfir kekerasan yang diam-diam, tak teraba, begitu pekat berkabut di sekolah-sekolah kita.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


---------------


MENULISLAH DENGAN CINTA !
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 11/10/2004


Surat kabar dan profesi kewartawanan pantas jadi etalase pentingnya keterampilan menulis. Oleh karena itu sangat dihargai diadakannya program pelatihan jurnalistik, seperti dilaporkan Aman Musthofan dari SMPN 2 Purbalingga di kolom ini (Kompas, 30/8) yang lalu. Tetapi pelatihan semacam juga menimbulkan bias. Kesan saya, keterampilan menulis lalu sepertinya hanya difokuskan untuk tujuan menulis artikel di surat kabar semata. Memang tidak keliru fatal. Tetapi mengingat persaingan untuk dimuat amat ketat, penolakan demi penolakan bagi penulis pemula dapat berakibat motivasi menulis mereka terancam patah arang.

Hemat saya, program pelatihan jurnalistik itu perlu diperkaya wawasan dan perspektif, terutama pemahaman bahwa keterampilan menulis dibutuhkan oleh beragam profesi. Dari antropolog sampai zoolog, membutuhkan keterampilan menulis. Dalam tahap awal tersebut yang penting ditanamkan, walau tidak mudah, adalah kecintaan untuk menulis dan terus menulis. Sepanjang hayat. Kalau kecintaan menulis sudah membara dan menggelora, maka mudah terjadi momen ajaib seperti disebut psikolog Joice Brothers sebagai bujukan untuk komitmen total. Dalam tahap ini hal hebat pun hadir : kita melihat solusi, menemukan cara dan sarana yang sebelumnya tidak tertangkap oleh perhatian kita. Keterampilan kita menulis tersebut mudah menemukan pelbagai kemungkinan untuk diaktualisasikan.

Sekadar contoh, ketika mahasiswa bisa menulis surat pembaca, dan dimuat, membuat saya mabuk jadi epistoholik (orang kecanduan menulis surat pembaca) yang makin kronis hingga kini. Walau sadar sejak awal bakal tidak dibayar, tetapi kecintaan itu berbuntut imbalan menyenangkan. Misalnya, agar tulisan tidak klise, hanya dijejali ide-ide kuno, secara otomatis kita jadi getol belajar dan membaca pengetahuan yang mutakhir. Bonus pun berlimpah. Dari banyak teman, diprofilkan di majalah dan termasuk, baru-baru ini, dilamar setengah paksa agar mau bergabung dalam perusahaan jaringan media.

Kisah nyata ini, hemat saya, klop dengan resep sukses yang dibeber Lee Silber dalam bukunya Self-Promotion for the Creative Person (2001) : focus on what you love and the money will follow. Jadi, mari menulis dengan cinta.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


--------------

SURAT PEMBACA, MEDIA EDUKASI
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 7/10/2004


Kolom surat pembaca banyak digunakan untuk melontarkan kritik. Baik kritik terhadap layanan atau produk perusahaan, perilaku birokrat, dan pelbagai isu-isu lainnya. Biasanya kemudian fihak yang kena kritik melakukan klarifikasi, memberikan penjelasan. Di sinilah kolom ini menunjukkan manfaat yang besar bagi masyarakat, sekaligus sebagai cerminan dan perwujudan budaya demokrasi.

Agar kolom ini mampu memberi manfaat lebih besar lagi, saya usulkan agar pelbagai fihak, baik korporasi, partai politik, lembaga pendidikan, pemerintahan sampai lembaga swadaya masyarakat, tidak hanya memanfaatkan kolom ini secara reaktif atau hanya berupa reaksi ketika muncul kritikan kepada mereka. Melainkan manfaatkanlah secara proaktif, sebagai bentuk tanggung jawab dan keterlibatan sebagai warga negara.

Mereka dapat menganjurkan seluruh warganya menulis surat pembaca, guna membagikan ilmu dan opini. Tentu saja, motivasinya tidak bertujuan beriklan, menjual produk, berpromosi atau memuja-muji diri sendiri. Tetapi berbagi informasi, wawasan dan edukasi yang berguna bagi masyarakat.

Misalnya, sebelum pergantian musim, kalangan dokter/rumah sakit menulis surat pembaca tentang kiat antisipasi ancaman penyakit demam berdarah. Menjelang musim liburan tiba, para sopir menulis surat pembaca mengingatkan sejawatnya mengenai pentingnya perawatan kendaraan yang akan digunakan untuk wisata pelajar. Mahasiswa Jawa Tengah yang tinggal di Bandung misalnya, menulis surat pembaca untuk koran Jateng mengenai seluk-beluk mencari kost bagi pelajar yang akan berkuliah di Bandung. Pendek kata, surat pembaca yang memberikan solusi dan antisipasi.

Saya angankan, isi surat pembaca semakin berbobot, kaya perspektif, aktual, dan bertambah halamannya. Silakan tengok majalah luar negeri, misalnya Harvard Business Review atau Science yang prestisius, isi surat pembacanya mengimbangi bobot tulisan utamanya. Penulisnya bisa bos perusahaan besar, para profesor dan pemenang Nobel sekali pun. Sebagai epistoholik, realitas semacam itu merupakan impian yang indah. Mari kita jadikan impian itu menjadi kenyataan !

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

------------

KAYA BERKAT TUYUL
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 4/10/2004

Ia tidak punya pabrik mobil, pabrik baja, atau pula pabrik komputer. Tetapi karena sinetron komedinya penuh canda dan tawa mampu menyedot jutaan penonton, maka ia pun terangkat menjadi milyarder. Penghasilannnya 180 juta dollar di tahun 1992. Itulah sosok Bill Cosby dalam The Cosby Show.

Apa rahasia suksesnya ? Dikukuhinya rumus universal komedi bahwa humor terbaik harus berlandaskan premis kebenaran dan harus relevan. Kita lihat Huxtable, istri, anak-anaknya, kakek, nenek dan lingkaran pergaulannya, semua sosok-sosok yang realistis. Obrolan mereka semua terkait dengan hidup orang banyak, sehari-hari. Semua keluarga melihat tayangan The Cosby Show ibarat berdiri di depan cermin dan melihat masing-masing anggota keluarga mendapatkan peran di sana.

Silakan bandingkan dengan tayangan komedi kita. Apakah konsepnya juga dilandasi premis kebenaran ? Untuk berambisi memancing tawa didatangkan gerombolan hantu, jin dan tuyul beragam ukuran, juga pemuda idiot, perempuan bergelimang lemak, sosok bogel disandingkan wanita jelita, bule mengasong rokok, menimba sumur atau kejeblos amben, atau dikotomi tindak-tanduk orang desa vs orang kota yang kentara banget dibuat-buat, artifisial.

Guru komedi terkenal Judy Carter bilang bahwa komedian sejati itu pribadi-pribadi aneh. Kalau sebagian besar orang berusaha menyembunyikan cacat dan kekurangan dirinya, tetapi komedian justru membeberkannya pada dunia. Maka, komedian-komedian dunia yang laris dan dicintai adalah mereka yang jujur, termasuk jujur memperolok dirinya sendiri. Sosok-sosok seperti itu di negeri kita boleh jadi diwakili oleh Ateng, Pak Bendot atau Darto Helem, yang semuanya kini telah almarhum.

Sisanya yang ada, ya yang seperti kita lihat di televisi-televisi itu. Tampil lawakan yang pelakunya saling melecehkan atau bermain komedi-komedi situasi dengan konsep yang tidak berlandaskan premis kebenaran dan kejujuran. Mungkin justru inilah potret paling nyata dari jati diri bangsa Indonesia, di mana untuk tertawa saja menunya semata kepalsuan dan kepalsuan.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-------------

INTERNET DI SEKOLAH
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 2/10/2004


Sekolah Menengah Atas Negeri I Solo baru saja meluncurkan situs webnya di Internet. Upaya maju ini pantas menjadi pemacu sekolah lain di Solo dan sekitarnya, walau pelbagai sekolah di Bandung sudah memulainya sejak 1998. saya berharap pendayagunaan Internet untuk pendidikan itu menghormati fitrah Internet itu sendiri.

Sebab bila pendekatannya masih tradisional, di mana guru atau penguasa pendidikan menjadi fihak yang superior, merasa paling tahu, maka hal itu hanya akan menyerimpung kedigdayaan Internet itu sendiri. Demikian pula pemanfaatan Internet hanya untuk menyerap informasi dari ratusan ribu situs web, nilai edukasinya pun tidak maksimal.

Hemat saya, pelajar kita, dari SD s.d PT, harus menjadi kreator, memproduksi informasi dan mengeksploitasi kelebihan Internet yang mendunia itu. Karena Internet ampuh sebagai sarana collaborative learning, misalnya bisa digagas ada sekelompok siswa membuat proyek pengajaran bahasa Jawa. Mereka mengajar secara interaktif untuk murid-muridnya, misalnya anak-cucu orang Jawa yang tinggal di Suriname, di Liuzhov Propinsi Guanxi China Selatan, Thailand Selatan, juga mereka yang tinggal di Jakarta atau Jayapura. Sementara kelompok lain mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA di Australia, Meksiko atau Rusia.

Majalah TIME (5/1995) ketika memuat tulisan pemanfaatan Internet di sekolah sebagai revolusi pembelajaran, memberi contoh tentang guru Malcolm Thompson dari Sekolah Dalton di New York, ketika mengajarkan astronomi. Tujuh komputer di kelas itu secara real time menayangkan jagat raya hasil amatan teleskop Observatorium Palomar di California. Dengan bantuan piranti lunak, para murid diminta memilih tiga bintang dan menghitung kekuatan cahaya serta suhunya. Intinya : para pelajar itu tidak lagi belajar astronomi, melainkan mereka tampil sebagai astronom itu sendiri !

Menjadikan para pelajar sebagai pengajar, kreator dan menjadi pelaku aktif, merupakan metode terampuh guna memacu penyerapan mereka terhadap materi pelajaran. Metode ini jauh lebih menyenangkan, memorable, ketimbang metode suap dan hapalan yang merajalela di sekolah kita selama ini.

BAMBANG HARYANTO
Epistoholik Indonesia

---------------


PERGINYA LAYANGAN
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 30/9/2004




Tanggal 8 September 2004 di warung soto Terminal Angkuta Wonogiri, kau menjadi bahan pembicaraan. Seorang berkata, Munir telah meninggal. Lainnya menyahut, ya, Munir yang banyak omong itu telah meninggal. Saya mencatat dialog jujur rakyat itu. Bagi awam, omongan atau isu tentang orang hilang, hak-hak asasi manusia (HAM), kebebasan pers, penegakan hukum, sampai superioritas sipil atas militer dan sejenisnya yang kau ungkapkan bertahun-tahun, memang mengesankan dirimu banyak bicara.

Banyak omong adalah kelebihanmu, senjata utamamu. Terutama di saat terlalu banyak orang bungkam, takut bicara hal-hal yang benar. Semua omonganmu itu tidaklah sia-sia. Selain omongan, di tengah angin perubahan dan banyak orang suka tiarap, kau juga menjadi teladan banyak anak muda. Seperti kata Hamilton Mabie, jangan takut terhadap deraan angin hambatan dan kesengsaraaan. Ingatlah layang-layang, yang membubung naik bila diterpa angin daripada bila terbang bersama angin. Itulah sosokmu. Selama ini, semakin angin keras menerpamu, terbang mu pun semakin meninggi.

Saya dan kita semua, sungguh tidak tahu rencana Tuhan. Tetapi kau telah dijemput kembali ke haribaan-Nya saat kau mengapung di atas mega-mega dalam penerbangan dari Jakarta menuju Belanda, mudah-mudahan itu pertanda baik. Bahwa Tuhan menyayangimu. Seperti halnya mereka-mereka yang selama ini telah tersentuh oleh mulianya niatmu, omonganmu, juga tindakanmu.

Saya secara pribadi tidak mengenalmu, tetapi ijinkan saya ikut berdoa semoga Tuhan memberimu tempat yang layak di sisiNya. Selamat jalan, Munir. Terbanglah sang layang-layang, dalam damai, menuju keabadian.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

--------------

MENULIS VS BERBURU PEKERJAAN
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 21/9/2004


Kalau keterampilan menulis dianggap tidak menentukan hidup Anda, tanyakan pendapat bagian perekrutan pegawai di sesuatu perusahaan setelah mereka menyeleksi ratusan atau ribuan surat lamaran yang membanjiri kantornya. Jawaban yang umum mereka berikan pastilah keluhan : antara satu pelamar dan pelamar lainnya sulit dibedakan penampilannya secara tertulis. Calon yang potensial atau yang sebaliknya, semuanya menjual diri dengan format yang sama dan bahasa yang sama pula.

Mengapa demikian ? Karena mereka memang hanya menjiplak format-format surat lamaran yang telah ada. Mereka menjiplak, walau sudah lulus sarjana pun, karena keterampilan menulisnya memang menyedihkan. Akibatnya pun fatal. Oleh karena bagian perekrutan karyawan itu rata-rata hanya memerlukan waktu beberapa detik saja dalam memeriksa/menyeleksi sepucuk surat lamaran, maka dapat dibayangkan berapa banyak surat-surat yang bergaya seragam itu meluncur ke tempat sampah.

Realitas brutal dan tak kenal ampun yang terjadi akibat minusnya keterampilan menulis pada sumber daya manusia kita, adalah hukum besi yang tak mudah diiingkari. Pakar pemasaran legendaris, Al Ries dan Jack Trout, dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (McGraw-Hill, 1991) pernah bilang bahwa pemasaran yang paling teramat sulit adalah pemasaran diri kita sendiri. Jadi. kalau pencari kerja menulis karangan biasa saja tidak mampu, dapat dibayangkan seperti apa kualitas sajian surat lamaran yang dalam ranah komunikasi bisnis senyatanya merupakan karya iklan, sekaligus surat promosi, yang bertujuan menjual diri penulisnya agar lolos ke tahap krusial berikutnya, tahapan wawancara !

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia


-----------

NALAR YANG MASIH TIDAK GATHUK !
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 18/9/ 2004

Sivitas akademika Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang pantas dipuji ketika menempuh kebijakan melarang segala bentuk iklan rokok di lingkungan kampusnya. Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di Purwokerto berdemo menuntut dicabutnya sarana reklame rokok dalam suatu kegiatan di kampus. Lebih hebat lagi, Universitas Petra Surabaya menetapkan larangan merokok di lingkungan kampusnya sejak pertengahan Agustus 2004.

Berapa banyak institusi pendidikan kita dan warganya berlaku cerdas seperti ketiga kampus tadi ? Tidak banyak. Banyak kepala sekolah atau rektor yang tidak merasa bersalah bila ring basket, bangku taman di lingkungannya, terpampang merek rokok. Tidak sedikit mahasiswa yang mengadakan kegiatan di kampus, turnamen olahraga misalnya, dengan alasan lebih mudah mencari duit sponsor maka dikirimi proposal utama adalah pabrik-pabrik rokok.

Realitas yang menyedihkan. Insan-insan cendekia kita itu begitu tertabrak upaya memperoleh uang, maka mudah saja terjadi apa yang disebut sebagai cognitive dissonance (CD), kesadaran yang tak nyambung. Demi uang, mereka seolah melupakan dampak bahaya yang ditimbulkan oleh rokok dan kebiasaan merokok yang mereka kampanyekan itu. Nalar rancu, tidak gathuk ini, dikuatirkan akan mudah berlanjut bila mereka telah terjun di masyarakat. Dengan berpendapat demi uang maka apa pun suara hati, suara kesadaran, boleh dipinggirkan. Ini benih korupsi, bukan ?

Nalar rancu itu tak hanya diidap oleh insan-insan kampus kita. Pada tanggal 19/8/2004, Presiden kita mengunjungi pasukan TNI-Polri yang bertugas di Aceh, di lembah Aloe Gintong, Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Kepada para prajurit, seperti dilaporkan Kompas (20/8/04 :1), Presiden berpesan : “Jaga kesehatanmu dan berhati-hatilah dalam bertempur”. Berita yang sama telah dimuat di Solopos (20/8/04 :2) bertajuk : Di Aceh, Presiden bagikan rokok kepada prajurit.

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------

PROMOSI PERGURUAN TINGGI YANG “UNIK”
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 10/9/ 2004


Setiap kali tahun akademi baru tiba maka pelbagai perguruan tinggi menempuh aneka cara dalam beriklan. Misalnya berpromosi lewat spanduk, baliho, iklan-iklan di media massa, selebaran, dan lain cara. Untuk beriklan lewat spanduk, kadang pada satu titik tiang pancang yang strategis, terpasang lebih dari empat spanduk perguruan tinggi. Pemandangan pun jadi riuh, ruwet, dan sangat disangsikan apakah promosi mereka sampai kepada sasaran.

Saya ingin memberi usulan untuk memperkaya jalur berpromosi yang tradisional di atas.. Yaitu, dengan mendirikan pos-pos layanan informasi yang permanen di pelbagai kabupaten. Strateginya, beberapa perguruan tinggi yang bersaing itu melakukan apa yang disebut coopetition, kerja sama sekaligus berkompetisi. Hal ini lajim dilakukan oleh pabrik-pabrik raksasa komputer.

Misalnya, ada 4 perguruan tinggi yang membidik calon mahasiswa asal Wonogiri, mereka dapat berpatungan membeli sebuah komputer. Masing-masing iuran @ Rp. 500 – 750 ribu, sudah dapat diperoleh komputer yang memadai. Komputer itu lalu disumbangkan ke Perpustakaan Wonogiri, fihak yang diajak kerja sama dan mendapat tugas untuk mengelola serta mengoperasikannya.

Perguruan tinggi sponsor yang bekerjasama tadi, kemudian tinggal bersaing dalam hal memasok CD-ROM ke perpustakaan tersebut dan menyelenggarakan acara penunjangnya. Dalam CD-ROM itu bisa dikemas informasi yang kaya dan mendalam tentang PT bersangkutan, termasuk kisah-kisah sukses para mahasiswa dan alumnusnya. Sokur-sokur yang berasal dari Wonogiri. Kalau ada mahasiswanya yang berasal dari Wonogiri atau alumnusnya yang kini bertugas di Wonogiri, libatkan mereka dalam acara demo atau ceramah di perpustakaan yang dapat diagendakan sepanjang tahun. Puluhan topik dan kegiatan bisa dikreasi, baik mempromosikan minat baca, kiat menulis, ceramah kesehatan remaja, aneka lomba, dan promosi perguruan tinggi bersangkutan.

Kalau spanduk hanya berumur 1-2 minggu, pesannya pun terbatas, maka dengan adanya komputer akan dibukakan peluang-peluang baru bagi PT bersangkutan sepanjang tahun untuk mempraktekkan dharma ketiga PT, sekaligus menggalang interaksi yang edukatif dengan calon mahasiswa, mahasiswa, kalangan alumnusnya dan masyarakat luas. Selamat mencoba dan sukses untuk Anda !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

------------

SAMPAH DI WONOGIRI
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 7 /9/2004

Kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling menelorkan teori broken windows (jendela pecah) untuk menerangkan asal muasal epidemi tindak kejahatan. Mereka berpendapat, kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di lingkungan tersebut tidak ada yang peduli atau bahwa rumah tersebut tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu. Menurutnya, di sebuah kota, awal yang remeh seperti corat-coret grafiti, ketidakteraturan, dan pemalakan, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius lagi.

Teori jendela pecah itu terjadi dalam hal pembuangan sampah di Wonogiri. Walau kota ini memiliki Perda No 5/1986 yang melarang pembuangan sampah ke aliran sungai, tetapi lihatlah timbunan sampah di tebing sungai di seberang SDN Wonogiri 8, Sukorejo, Wonogiri. Sampah di area ini bakal terus menumpuk karena masyarakat juga nampak semakin hari semakin tidak merasakan bahwa perbuatannya itu sebagai suatu kesalahan. Timbunannya banyak berupa sampah plastik yang tidak bisa terurai dalam waktu puluhan tahun . Kalau sampah styrofoam, tak bakal terurai selama 500 tahun !

Siapa hirau akan ancaman polusi sampah ini ? Seperti biasanya, perilaku pemerintah dan masyarakat kita dalam menanggapi ancaman bahaya pencemaran lingkungan selalu cenderung tergerak bereaksi bila korban-korban keburu berjatuhan.

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia


Thursday, September 02, 2004

GEMPA BUMI 10,5 RICHTER !
Dimuat di kolom Redaksi Yth – Harian Kompas Jawa Tengah, 2/9/2004


Di Bithoor, Uttar Pradesh, India Utara, ada layanan becak istimewa. Becak Internet. Bentuknya mirip kereta penjual roti kelilingan itu,tetapi yang diangkut di dalamnya adalah seperangkat komputer yang mampu mengakses Internet tanpa kabel dan berkecepatan tinggi. Seperti halnya perpustakaan keliling yang menggunakan mobil (di Wonogiri belum ada), becak Internet yang djuluki infothela (gerobak informasi) itu keliling dan mangkal di sekolah-sekolah atau balai desa. Tujuannya untuk meningkatkan pendidikan, akses informasi kesehatan dan pertanian, bagi penduduk di daerah pedesaaan.

India memang terkenal agresif mengenalkan rakyatnya manfaat teknologi informasi (TI). Kalau di Indonesia rakyatnya mengalir ke luar negeri untuk jadi TKI, sering jadi korban tindak kekerasan, pemerasan sampai pemerkosaan, di India justru pekerjaan dari negara maju yang mengalir kesana.

Dikenal dengan istilah outsourcing, beberapa perusahaan TI asal AS memindahkan sebagian unit kerjanya untuk dikerjakan oleh pekerja India secara jarak jauh. Kalau Anda menelpon perusahaan yang bermarkas di AS, yang bakal menjawab dan melayani Anda adalah orang India dan bertempat tinggal di India pula. Itulah contoh kelebihan dari TI, di mana kini orang bisa bekerja dari mana saja di belahan bumi ini.

Contoh lain, di Garut, seorang guru Deny Suwarja dan muridnya dari SMP Cibatu, juga aktif menggunakan Internet. Mereka dari desanya berkolaborasi dengan seorang guru, Chona L. Maderal dan muridnya dari Makati Science High School, Filipina, menggalang proyek bersama untuk dipresentasikan dalam Konferensi IV Asia Europe Classroom di Gromitz, Jerman, 27 September-1 Oktober 2004 mendatang.

Pak Deny yang hebat itu dan para muridnya setiap kali harus berkunjung ke warnet, yang jauhnya 6 kilometer dari desanya. Ujar beliau, seperti dikutip Kompas (30/7/2004) : kelak anak-anak akan banyak belajar sendiri dengan menggunakan Internet.

Betul, Pak Deny. Internet membawa perubahan dahsyat dalam pendidikan. Seperti kata begawan digital dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Nicholas Negroponte, Internet adalah gempa bumi berkekuatan 10,5 skala Richter yang mengguncang sendi-sendi ekonomi dan peradaban.

Tetapi seberapa banyak kalangan guru–guru di Jawa Tengah, sudah melek Internet ? Juga mampu secara proaktif dan produktif memanfaatkan keguncangan dahsyat yang sedang terjadi ini hingga dapat memberi manfaat besar bagi sekolah, siswa dan diri mereka sendiri ?

Kisah gerobak info dari India dan pandangan masa depan yang hebat dari Pak Deny Suwarja tadi, semoga mampu menjadi inspirasi bagi kita semua.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

------------


BANTAI KREATIVITAS ANAK KITA !
Dimuat di kolom Redaksi Yth – Harian Kompas Jawa Tengah, 31/8/2004



Sebagai mantan mentor melukis anak-anak, saya prihatin atas maraknya kegiatan seni lukis anak-anak yang tidak terkait dengan pengembangan kreativitas anak-anak. Kegiatan itu adalah lomba lukis anak-anak dan lomba mewarnai yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan acara non-seni, entah dikaitkan dengan peringatan hari nasional tertentu, peresmian gedung, perintah birokrat, ulang tahun perusahaan atau peluncuran produk tertentu.

Dalam pandangan pengembangan kreativitas anak-anak, lomba seperti itu berpotensi merusak kreativitas dan rasa percaya diri anak-anak. Apalagi hal itu terjadi dalam masa emas, masa-masa paling berkesan dalam hidup dan pertumbuhan mereka. Dampak negatifnya akan tergurat sepanjang hayat.

Aktivitas melukis yang seharusnya mendorong anak-anak berkreasi bebas, dalam lomba mewarnai mereka didorong untuk berkompromi. Mereka cenderung memberi warna sesuai patron, misalnya tokoh kartun yang ia kenal, gambar pemandangan yang bercorak realis, atau bahkan warna logo suatu produk atau perusahaan yang sudah baku. Tak tersisa lagi untuk pengembaraan imajinasi dan dorongan mencipta bagi mereka.

Dr. Ashfaq Ishaq dari ICAF (International Child Art Foundation) di AS menulis, di Indonesia terdapat 20 juta anak-anak (1998) yang beresiko besar terkikis habis daya kreativitasnya (risk of diminishing creativity) ketika bersekolah, pada usia 8-12 tahun.

Ia sebutkan, anak-anak itu ketika duduk di kelas 4 SD mengalami apa yang disebut sebagai fourth-grade slump, karena cenderung mulai berkompromi, tidak berani lagi ambil resiko, takut bermain-main ide dan luntur spontanitasnya. Cara pencegahannya adalah, dengan memaksimalkan usia sebelum 8 tahun untuk ditumbuhsuburkan daya-daya kreativitasnya secara benar.

Merujuk rekomendasi ICAF di atas, maka sungguh menyedihkan dan juga mengerikan betapa kita secara besar-besaran terus melakukan pembantaian terhadap daya-daya kreativitas anak-anak kita, justru sebelum mereka memasuki bangku TK. Sayangnya pula, fenomena kritis semacam tak pernah digubris oleh kalangan seniman, akademisi, mahasiswa seni rupa atau pun guru-guru seni rupa !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia


---------------


SUKSES CARI KERJA A LA THREE MUSKETEERS
Dimuat di kolom Redaksi Yth-Harian Kompas Jawa Tengah, 24/8/2004


Sebagai pengunjung setia perpustakaan, saya sering mengamati anak-anak muda yang menyimaki iklan-iklan lowongan pekerjaan di pelbagai koran. Di antaranya banyak yang saling kenal, tetapi perilakunya nampak canggung ketika bersama, sepertinya saling gengsi untuk mengaku kalau mereka kini sedang menganggur dan mencari lowongan pekerjaan. Mereka seperti tak tertarik menggalang kerja sama atau menggalang network antarmereka.

Tabiat ini mungkin akibat pola pikir yang membekas saat mereka di bangku sekolah/kuliah. Sesama murid adalah pesaing yang berebut jadi nomor satu. Sikap mental individualis semacam, sejujurnya, justru tidak kondusif bila nanti dipraktekkan di dunia kerja yang mementingkan kerja tim. Juga sangat tidak menguntungkan diri mereka saat mereka berburu pekerjaan.

Konsultan strategi berburu pekerjaan Richard Lathrop dalam bukunya Who’s Hiring Who ? (1989) memberi nasehat : daripada bersaing, sebenarnya sesama pencari kerja dapat saling membantu. Bentuklah klub pencari kerja.

Tulus berbagi informasi, baik data diri dan lowongan. Tulis dalam kartu indeks, 12,5 cm x 7,5 cm, berisi data nama, alamat, data lulusan, pekerjaan sasaran, dan data penting lainnya. Satu kartu satu orang. Lebih baik sertakan fotokopi curriculum-vitae (CV) dan gambaran perusahaan yang diinginkan. Saling kontak lewat SMS atau e-mail, bila ada lowongan.

Dalam wawancara, kalau suasananya enak, jelaskan bahwa Anda juga siap memberikan informasi adanya pelamar yang mungkin dibutuhkan oleh perusahaan bersangkutan. Kalau peluang terbuka, sodorkan fotokopi CV rekan se-klub Anda.

Kunci sukses kerjasama dalam klub pencari kerja ini dapat mengambil ilham dari kekompakan tiga tokoh rekaan Alexander Dumas, Three Musketeers, yang bersemboyan bagus. Tous pour un, un pour tous. Semua untuk satu, satu untuk semua. Selamat mencoba !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

Sunday, August 22, 2004

BONUS ROKOK DI TIKET OLAHRAGA
Dimuat di kolom Redaksi Yth – Kompas Jawa Tengah, 20/8/2004


Pengumuman aneh tertera di loket penjualan tiket kejuaraan bola voli yunior se-Jawa Tengah yang berlangsung di GOR Wonogiri, 7/8/2004 yang lalu. Tertulis harga tiket Rp. 3.000 dan pembeli dapat bonus sebungkus rokok. Saya batal nonton dan berpikir, bukankah pabrik rokok itu melakukan dumping harga untuk mempromosikan produknya ? Bukankah ini rekayasa bisnis tak etis, untuk produk yang berpotensi besar mengakibatkan kecanduan dan sekaligus membahayakan kesehatan ? Apalagi sasarannya anak-anak muda, di pentas yang tujuannya mempromosikan pentingnya kesehatan, yaitu ajang olahraga ?

Rokok, produk yang membahayakan kesehatan, tampil sebagai sponsor pertandingan olahraga sudah lumrah di tanah air kita. Modus serupa juga gencar dalam pertunjukan musik dan acara lain yang diperkirakan menyedot kehadiran anak-anak muda. Memang, anak-anak muda seumuran SMP-SMA kini jadi target utama produsen rokok. Sebab sekali mereka kecanduan rokok di usia rawan itu, kebiasaan buruk tersebut akan sulit hilang sampai dewasa atau meninggal di usia muda.

Peristiwa di GOR Wonogiri itu, dalam skala besar, mencerminkan pribadi bangsa kita yang terbelah. Kita adakan ajang untuk mempromosikan kesehatan, tapi sponsornya produk yang membahayakan kesehatan. Semakin banyak dibangun tempat-tempat ibadah, tetapi seperti kasus ramai di DPRD-DPRD, mereka pun tak malu berkorupsi secara berjamaah. Kita mengaku mendukung reformasi, tapi sosok-sosok Orde Baru tetap berjaya di panggung. Gembar-gembor tak tergiur kembali terjun ke politik, tapi tetap glibat-glibet dan ngotot mengajukan RUU yang bertabiat sebaliknya. Mengaku harus netral dalam pemilu, tapi bukti VCD yang bocor ke masyarakat berkata sebaliknya pula. Itulah anomali kepribadian kita sebagai bangsa.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

Tuesday, August 17, 2004

KETERAMPILAN MENULIS, ITU PENTING !
Dimuat di kolom Redaksi Yth – Kompas Jawa Tengah, Sabtu 14 Agustus 2004

Lomba penulisan resensi buku guna meningkatkan minat baca untuk siswa SD/MI se-Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh LPPSP Semarang dan Perpustakaan Jawa Tengah (Kompas, 29/7/2004), pantas mendapatkan sambutan. Sebab orang yang menulis itu otomatis orang yang membaca, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Dengan demikian, menurut hemat saya, untuk meningkatkan minat baca maka yang harus dipacu adalah justru kebiasaan menulis pada anak didik kita. Pelajaran mengarang, menulis kreatif, harus digalakkan. Para guru/orang tua dapat memberikan apresiasi dengan menempelkan karya anak-anak itu di majalah dinding sekolah atau rumah, mengirimkannya ke media massa, atau memajangnya di media Internet.

Menulis adalah proses terpenting untuk mengawetkan ilmu pengetahuan. Thomas L. Madden dalam bukunya F.I.R.E – U.P. Your Learning : Bangkitkan Semangat Belajar Anda – Petunjuk Belajar Yang Dipercepat Untuk Usia 12 Tahun Keatas (Gramedia, 2002), memberi petunjuk hebat. Agar segala pengetahuan yang telah kita pelajari tidak mudah punah maka pengetahuan baru itu harus digunakan, dengan membagikannya kepada orang lain. Caranya : dengan menulis.

Terlebih lagi, menulis merupakan tindak pembelajaran untuk meningkatkan diri kita sendiri secara terus-menerus. Penggunaan pengtahuan yang sama itu sebaiknya lewat cara yang berbeda-beda, sebab semakin variatif pemanfaatannya akan semakin banyak tercipta koneksi dalam otak kita yang semakin memudahkan kita bila diperlukan untuk mengingatnya kembali.


Seorang ahli periklanan legendaris, David Ogilvy, pernah berujar bahwa ilmu pengetahuan itu tidak ada manfaatnya kecuali Anda tahu cara mengkomunikasikannya – secara tertulis !

Sayang sekali, tidak banyak kalangan pendidik atau orang tua yang memiliki wawasan mengenai pentingnya keterampilan menulis atau mengungkapkan buah pikiran ke dalam bahasa, bagi setiap insan. Mungkin mereka masih berpikiran kuno bahwa keterampilan penting itu hanya cocok untuk wartawan, sastrawan, penulis skenario atau penulis naskah iklan semata. Padahal semakin tinggi pendidikan atau profesi seseorang, keterampilan menulis merupakan bekal utama pendorong seseorang agar sukses dalam pekerjaan dan kariernya !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------------

PEREMPUAN, FOBI TEKNOLOGI INFORMASI
Dimuat di Redaksi Yth-Harian Kompas Jawa Tengah, Senin 9 Agustus 2004


Teknologi Informasi : Industri Tanpa Perempuan. Itulah judul artikel Kendra Mayfield di situs gaya hidup teknologi informasi Wired (1/12/2001), yang menggambarkan minimnya perempuan berkiprah dalam industri TI di Eropa Barat. Fenomena buram itu juga meruyak di Indonesia.

Kajian BPPT memperkirakan kaum perempuan Indonesia yang memanfaatkan Internet pada tahun 2002 hanya 24,14 persen. Sementara itu peran kaum Kartini kita pun dalam ketenagakerjaan TI lebih dominan pada posisi administratif, seperti menangani surat elektronik, memasukkan data, atau operator komputer. Masih sedikit sekali perempuan pada posisi tenaga ahli dan profesional, apalagi dalam struktur pengambilan keputusan dalam industri TI. Bahkan tidak banyak perempuan berperan sebagai ilmuwan komputer dan programmer.

Mengapa karier bidang TI tidak menarik kalangan perempuan ? Antara lain, karena selama ini citra TI yang tertanam dalam pandangan murid-murid perempuan adalah terlalu geeky, sangar campur aneh, dan bukan sesuatu yang glamor dan memincut hati wanita.

Juga akibat adanya kesenjangan jender yang selama ini terjadi pada mereka di sekolah dan di rumah. Anak perempuan sering ditakut-takuti angkernya pelajaran sains dan matematika, tidak hanya oleh sekolah, tetapi juga oleh orang tua mereka. Beragam isyarat atau teror halus yang tidak direncanakan itu, baik oleh guru, baik pria atau pun wanita, dan juga orang tuanya, berdampak serius dengan terciptanya harapan yang lebih rendah di kalangan pelajar perempuan untuk terpacu menguasai sains dan teknologi.

Bagaimana solusi terbaiknya ? Saya sebagai seorang epistoholik, orang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca di media, baru mampu memunculkan problema kronis ini di Harian Kompas ini. Semoga bermanfaat adanya, sokur-sokur dapat memancing diskusi. Saya akan bersenang hati bila ada fihak yang sudi bergabung dalam Epistoholik Indonesia (http://epsia.blogspot.com) dan mau menyisihkan perhatian dengan menulis surat-surat pembaca bertopik perempuan Indonesia dalam kaitannya dengan penguasaan teknologi informasi. Saya tunggu !

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------------

FENOMENA AFI DAN RESEP SUKSES
Dimuat di Kolom Redaksi Yth- Harian Kompas Jawa Tengah, Kamis 5 Agustus 2004


Sungguh asyik mengamati hiruk-pikuk anak-anak muda Indonesia yang bernafsu jadi selebriti secara instan melalui ajang Akademi Fantasi Indosiar (AFI) atau Indonesian Idol. Seorang teman menulis bahwa kita akan banyak melihat generasi mendatang mempunyai cita-cita sebagai artis, selebritis, penyanyi, dan sulit menemui anak-anak yang bercita-cita untuk menjadi guru, profesor atau tentara.

Pendapat yang menarik. Bagi saya, fenomena AFI atau pun Indonesian Idol itu hanyalah fads, mode sekejap dari dunia hiburan televisi. Di LN menunjukkan, penyanyi hasil karbitan ajang semacam tidak berumur lama. Easy come, easy go. Demam itu segera surut dan sebagian besar orang akan terantuk untuk menyadari bahwa proses alami menuju sukses yang berkelanjutan tidak bisa diraih secara instan.

Penjelasan psikolog Richard W. Brislin dalam bukunya The Art of Getting Things Done : A Practical Guide to the Use of Power (Praeger, 1991), pantas disimak. Brislin telah mengkaji keputusan terbaik para orang tua dari kalangan atas menengah dalam memberi bekal untuk kesuksesan anak-anaknya di masa depan. Bekal penting itu bukan keterampilan menyanyi, melainkan keterampilan menulis dan lancar berbicara di depan umum.

Merujuk kedua keterampilan penting di atas, coba simak sosok para calon presiden dan calon wakil presiden kita. Menurut saya, para capres/cawapres yang memiliki keterampilan menulis mumpuni adalah Amien Rais, Siswono Yudhohusodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Shalahudin Wahid. Yang terampil dan menarik ketika bicara di depan umum adalah Amien Rais, Siswono Yudhohusodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Hazim Musadi.

Anda setuju ? Anda boleh tidak menyetujui analisis saya di atas. Saya tunggu komentar Anda di kolom harian ini. Teruslah Anda menulis. Teriring salam dari kaum epistoholik Indonesia (http://epsia.blogspot.com), yaitu :

Episto ergo sum !

Saya menulis surat pembaca karena saya ada !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

Thursday, July 22, 2004

KAMPANYE ANTI ROKOK MODEL SINGAPURA
Diemailkan ke Harian Bernas (Yogyakarta), 22/7/2004


Singapura, negeri mini yang mempunyai nilai indeks pengembangan manusia yang jauh di atas Indonesia, mempunyai kepedulian tinggi terhadap kesehatan warganya. Salah satu bukti dari komitmen yang ditunjukkan adalah lebih majunya kampanye anti merokok di sana.

Tercatat mulai tanggal 16 Juli 2004, pemerintah Singapura mengharuskan produsen rokok memasang foto yang menggambarkan dampak buruk kebiasaan merokok pada setiap bungkus rokok. Foto-foto itu bagi mereka yang peduli betapa bernilainya kesehatan, memang nampak mengerikan. Misalnya pada slogan peringatan yang berbunyi, merokok dapat mengakibatkan serangan stroke (Warning : Smoking Causes Stroke) terdapat foto yang menggambarkan pecahnya pembuluh darah di otak. Slogan peringatan lainnya antara lain, merokok dapat mengakibatkan kanker paru-paru, merokok merusak kesehatan keluarga Anda, merokok mengakibatkan beragam penyakit mulut, merokok dapat membunuh bayi-bayi dan juga merokok mengakibatkan kematian yang menyakitkan.

Hal positif lainnya dari peringatan tersebut adalah dicantumkannya ajakan untuk berhenti merokok dengan dibukanya saluran telepon bebas pulsa bagi siapa saja yang ingin berkonsultasi untuk berhenti dari kebiasaan merokok yang terbukti merugikan kesehatan si pengisap dan insan-insan tak berdosa di sekitarnya. Kapan kampanye serupa segera diberlakukan di Indonesia ?

Dalam rangka ikut berperanserta mengkampanyekan isu di atas, kami dari Epistoholik Indonesia mengimbau kepada para penulis surat pembaca yang peduli atas bahaya merokok untuk sudi bergabung dalam jaringan EI. Dengan bersenjatakan pena dan niatan mulia, mari kita saling bersinergi untuk aktif mengkampanyekan isu kesehatan yang penting tetapi justru sering dipandang sebelah mata oleh pemerintah kita selama ini.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

------------------


KAMPANYE MELEK KOMPUTER UNTUK LANSIA
Dimuat di kolom Media Anda Harian Media Indonesia (Jakarta), 18/7/2004
Dimuat di kolom Redaksi Yth. Harian Kompas Edisi Jawa Tengah, 19/7/2004
Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Suara Merdeka (Semarang), 20/7/2004


Penguasaan teknologi informasi, yaitu komputer dan jaringannya yang mendunia, yaitu Internet, dipercayai sebagai senjata dan bekal imperatif tiap insan guna mampu memenangkan persaingan dalam kehidupan antarbangsa. Di negara kita, selama ini, yang sering terdengar adalah upaya pembekalan keterampilan di atas untuk generasi muda kita. Hal itu, tentu tidak salah. Kini ijinkanlah saya mengajukan usul tambahan, mengenai juga pentingnya kampanye pengenalan dan praktek pemanfaatan komputer & Internet bagi lansia.

Begawan digital dari MIT (AS), Nicholas Negroponte dalam buku tersohornya, Being Digital , mengatakan bahwa di Amerika Serikat, terdapat 30 juta anggota AARP (organisasi kaum pensiunan, seperti PWRI) sebagai sumber kolektif ilmu pengetahuan dan kearifan yang masih terbengkalai. Dengan bantuan komputer & Internet maka harta karun pengetahuan dan kearifan jutaan kaum lansia dapat dikomunikasikan dengan generasi anak-cucu mereka, hanya dengan beberapa ketuk tombol mesin ketik saja.

Merujuk cita-cita di atas, alangkah bijak bila mulai kini pimpinan lembaga tempat asal kaum lansia dulu bekerja atau institusi terkait seperti PWRI dan lainnya, tergerak menindaklanjuti ide Negroponte tadi. Misalnya dengan me-lungsur-kan komputer lama untuk organisasi pensiunannya, melakukan penataran penggunaan komputer dan Internet secukupnya, dan aktivitas lainnya yang menunjang.

Saya sebagai pencetus Epistoholik Indonesia (EI), yaitu komunitas penulis surat-surat pembaca di media massa yang kebetulan banyak warganya para pensiunan, salah satu misi EI adalah mengenalkan komputer dan Internet untuk mereka. Yang saya lakukan adalah, koleksi surat-surat pembaca kaum lansia yang kaya kearifan dan canggih-canggih itu, telah saya album di Internet (http://epsia.blogspot.com) agar mudah diakses peminat dari mana pun di dunia. Semoga gagasan sederhana ini memperoleh sambutan dan pengayaan secukupnya. Terima kasih.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------------

KONTES AFI DI PERPUSTAKAAN WONOGIRI
Dimuat di kolom Redaksi Yth.
Harian Kompas Edisi Jawa Tengah, 13/7/2004


Mirip mekanisme kontes AFI atau Indonesian Idol, Perpustakaan Umum Wonogiri menempuh kebijakan serupa yang patut dipuji, dengan memberi kebebasan kepada anggota dan pengunjung perpustakaan mengajukan pilihan buku yang diinginkannya untuk menjadi koleksi perpustakaan. Peluang untuk memilih buku itu terbuka di bulan Juni –Juli 2004 ini !

Oleh karena itu, kepada warga Wonogiri yang haus ilmu pengetahuan demi meningkatkan kualitas diri dengan gigih belajar terus tanpa henti, saya imbau untuk memanfaatkan peluang emas ini. Sebab seperti kata sejarawan dan filsuf politik Skotlandia, Thomas Carlyle (1795-1881), the true University of these days is a collection of books atau universitas sejati masa kini adalah perpustakaan, maka biasakanlah berkunjunglah ke perpustakaan yang berada di kompleks bagian depan GOR Wonogiri ini. Termasuk kali ini, silakan ajukan data buku yang Anda inginkan agar menjadi koleksinya dan suatu saat akan Anda reguk ilmunya.

Untuk pengadaan tahun anggaran 2005 mendatang yang memperoleh penekanan untuk dikoleksi adalah buku-buku bersubjek pendidikan dan kewiraswastaan. Anda dapat mengajukan buku bersubjek penting di atas bila kebetulan Anda sudah memiliki data bibliografinya (nama pengarang, penerbit, tahun terbit dan harga). Atau silakan memeriksa pelbagai katalog penerbit yang sudah tersedia di sana untuk membantu menentukan pilihan Anda.

Sementara itu, untuk warga Wonogiri yang sudah sukses dan kini merantau, tak ada salahnya Anda kini ikut berperanserta dalam pengembangan sumber daya generasi muda Wonogiri dengan menyumbangkan buku-buku untuk perpustakaan Wonogiri. Jangan lupa, tuliskan data nama Anda di buku tersebut, sehingga kami akan selalu mampu mengenang amal dan kebaikan Anda di dalam hati kami. Siapa tahu, suatu saat nanti kami akan meneladani perbuatan bijak dan mulia Anda tersebut. Terima kasih.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
dan Suporter Perpustakaan Wonogiri


---------------------


“SEPARATISME” MODEL KOMPAS
Dimuat di kolom Redaksi Yth. Harian Kompas Edisi Jawa Tengah, 10/7/2004


Sebagai orang yang pernah sekolah/tinggal di Yogya, Solo, Jakarta dan kini tinggal di Wonogiri, saya memperoleh kecocokan dengan harian ini. Harian ini saya beli, saya kliping berita atau artikelnya yang menarik, bahkan sebagai epistoholik saya pun mengirimkan surat pembaca atau artikel di Kompas.

Saya senang ketika terbit suplemen Kompas edisi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Harapan saya saat itu, semoga halamannya ditambah. Tetapi baru-baru ini, mungkin bermotifkan niat untuk memperbesar kue iklannya, muncul semangat “separatisme “ dalam diri pengelola Kompas Jawa Tengah/Yogyakarta. Pemisahan edisi tersebut, dimana edisi Jawa Tengah dan edisi Yogya terbit tersendiri, menimbulkan rasa aneh. Rasa kehilangan. Saya yang di Wonogiri menjadi kehilangan sentuhan Yogya. Mungkin rasanya seperti saat Timor Timur terpisah dari NKRI dulu-dulu itu.

Hal lain, Kompas suka menulis topik dengan berpanjang-panjang, seperti terbitan tiap Sabtu. Panjangnya sih OK saja, tetapi Kompas menulisnya tidak diimbangi dari perspektif pembaca. Saya bandingkan dengan kolom News You Can Use dari majalah US News & World Report, di sana disajikan artikel (istilah kerennya : service journalism) yang benar-benar berguna dan dapat dimanfaatkan pembaca. Jadi, kalau Kompas menulis bab pemberantasan korupsi atau perusakan lingkungan, harap sajikan pula informasi, kiat atau tips, yang mendorong tiap individu pembaca mampu tergerak melakukan sesuatu aksi (betapa pun kecilnya) yang sesuai dengan misi tulisan-tulisan itu. Jadi modelnya seperti mekanisme kontes AFI atau Indonesian Idol, di mana penonton rela mengeluarkan uang untuk beli pulsa karena aksi dan eksistensinya merasa dihargai sebagai fihak yang terlibat secara signifikan dalam suatu aksi, pertunjukan atau perubahan !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia


-----------------

MESIN REPRESIF ORBA ITU MUNCUL LAGI !
Diemailkan ke Harian Bernas (Yogyakarta), 31/5/2004


Sebagai rakyat, saya mendukung reaksi keras tokoh masyarakat dan LSM yang mencemaskan pernyataan Kepala BIN Hendropriyono yang mengandung intimidasi terhadap sejumlah organisasi masyarakat dan perorangan yang sedang menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia di Tanah Air. Tokoh terhormat itu antara lain, Nurcholish Madjid, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Bambang Harymurti, Nono Anwar Makarim, Ulil Abshar Abdalla dan lainnya di Jakarta (Kompas, 31/5/2004).

Sebelumnya, Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) di depan komisi I DPR (25/5) membeberkan 20 LSM DN atau pun LN yang diduga bisa mengganggu keamanan. BIN menilai, antara lain, bahwa Sidney Jones (aktivis International Crisis Group/ICG) atau siapa pun juga orang Indonesia yang merugikan bangsanya sendiri, yang menjual untuk dapat uang, akan dicatat dan bukan akan dibiarkan.

Para tokoh tadi menilai, pernyataan itu mengulangi cara-cara lama untuk menciptakan rasa takut, dengan tidak menyebut secara spesifik fihak yang dituju, sehingga semua orang caling curiga. Keadaan ini menghidupkan kembali mesin represi dengan alasan keamanan. Di jaman Orde Baru yang represif, cara lama serupa adalah dilontarkannya eksistensi organisasi tanpa bentuk (OTB) yang mengancam negara. Jargon jadi ledekan mahasiswa ITB dan memelesetkannya sebagai singkatan Oinstitut Teknologi Bandung.

Sementara itu bagi pemerhati strategi karier masa depan, justru sosok OTB itulah yang merupakan lahan berkarier/bekerja yang ideal di masa masa depan. Simak bukunya professor Harvard, Rosabeth Moss Kanter dalam When The Giants Learn to Dance (1989), disebutkan bahwa perusahaan masa depan itu sosoknya mirip proyek penggarapan film di Hollywood. Para pekerjanya tidak ada yang berstatus pegawai tetap, dipilih karena reputasi dan profesionalitas yang telah ditunjukkan sebelumnya, dan setelah proyek filmya selesai maka bubarlah organisasi itu. Itulah OTB a la Hollywood, dan Anda tahu, karya-karya mereka selalu menguasai dunia !

Sayang sekali, anak-anak muda kita yang membanjiri pelbagai bursa kerja yang lagi mode saat ini, entah karena kepicikan yang ia timba dari alma maternya, rasanya OTB a la Hollywood itu belum nyantol di benak mereka. Semua cenderung berparadigma karier lama, pengin kayak pegawai negeri dan jadi pegawai tetap sampai pensiun tiba. Benarkah ?

Ilustrasi di atas menyiratkan betapa kita, kalau tak waspada, suka cenderung memakai pola lama dalam mengantisipasi masa depan. Menakut-nakuti rakyat a la mesin represi Orde Baru yang kini terdengar lagi itu, adalah juga pola lama yang harus terus dikritisi demi lajunya penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Bumi Pertiwi.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-------------------------


FENOMENA AFI DAN CALON PRESIDEN KITA
Diemailkan ke Harian Bernas (Yogyakarta), 31/5/2004


Sungguh menarik analisis sobat saya sesama warga Epistoholik Indonesia, Dion Desembriarto (http://dionds.blogspot.com) di Bernas, 26 April 2004, mengenai hiruk-pikuk anak-anak muda Indonesia yang bernafsu menjadi selebriti secara instan melalui ajang Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Dion malah menuliskan, kita mungkin akan banyak melihat generasi berikutnya yang mempunyai cita-cita sebagai artis, selebritis, penyanyi dan sejenisnya. Kita mungkin tidak akan menemui lagi anak-anak yang bercita-cita untuk menjadi guru, profesor atau tentara….

Bagi saya, fenomena AFI atau pun Indonesian Idol itu hanyalah fads, mode sekejap saja, dari dunia hiburan televisi. Di LN menunjukkan, penyanyi hasil karbitan ajang semacam itu tidak berumur lama. Easy come, easy go. Hiruk-pikuk dan demam semacam akan segera surut, dan sebagian besar orang akan selalu menyetujui bahwa proses alami menuju sukses yang berkelanjutan itu tidak bisa diraih secara instan. Silakan baca artikel saya berjudul Budaya Selebritis, Budaya Kriminalitas (Kompas edisi Jateng-Jogia, 22/5/2004).

Psikolog Richard W. Brislin dalam bukunya The Art of Getting Things Done : A Practical Guide to the Use of Power (Praeger, 1991), pantas disimak. Brislin telah mengkaji keputusan para orang tua dari kalangan atas menengah dalam memberi bekal untuk kesuksesan anak-anaknya di masa depan. Bekal penting itu bukan keterampilan menyanyi, melainkan keterampilan menulis dan lancar berbicara di depan umum.

Merujuk kedua keterampilan penting di atas, coba simak sosok para calon presiden dan calon wakil presiden kita. Menurut saya, para capres/cawapres yang memiliki keterampilan menulis yang mumpuni adalah Amien Rais, Siswono Yudhohusodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Shalahudin Wahid. Yang terampil dan menarik ketika bicara di depan umum adalah Amien Rais, Siswono Yudhohusodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Hazim Musadi.

Anda boleh tidak menyetujui analisis saya di atas dan Anda tetap boleh memilih capres/cawapres yang pintar menyanyi atau pun yang pelit dalam berkata-kata. Saya tunggu komentar Anda di kolom terhormat harian Bernas ini. Teruslah Anda mengamuk, dengan terus menulis. Salam Epistoholik Indonesia !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------------------

SINETRON GOOD COP-BAD COP DAN MILITERISME
Dikirimkan ke Majalah Tempo (Jakarta), 14/5/2004

Kebrutalan polisi terhadap mahasiswa UMI Makassar yang berdemo menentang kembalinya militer di kancah politik Indonesia, adalah sebuah fenomena gunung es. Sebab polisi sebelumnya juga menyerang demo mahasiswa pada saat keputusan mengenai kasasi kasus Akbar Tanjung dijatuhkan oleh Mahkamah Agung.

Menurut tesis psikolog Richard Brislin dalam bukunya The Art of Getting Things Done : A Practical Guide to The Use of Power (1991), menunjukkan militer dan polisi saat ini sedang memainkan sinetron good cop-bad cop, polisi baik dan polisi jahat, untuk memuluskan kembalinya militer di gelanggang politik Indonesia. Polisi kita saat ini dalam menghadapi kasus-kasus demo yang mengangkat isu penentangan terhadap militer, diskenariokan tampil sebagai sosok polisi jahat. Polisi pula yang harus pasang badan, baik dalam melakukan tindak represi, lalu menerima kecaman dan hukuman.

Di jaman rezim Soeharto, sosok-sosok bad cop pernah dimainkan oleh Mendagri Amir Machmud, tetapi yang paling masif adalah dimainkan oleh Pangkopkamtib sejak dari Soedomo sampai Benny Moerdani.

Untuk memahaminya, Anda mungkin masih ingat film seri Miami Vice atau Starsky & Hutch, dimana ditampilkan dua sosok polisi yang kepribadiannya saling bertentangan tetapi mampu bersinergi. Salah satunya berperilaku kasar, pemarah dan suka mengancam ketika menginterogasi seseorang tersangka. Ketika selesai melakukan interogasi, ia akan keluar ruang sembari mengancam akan memperlakukan si tersangka lebih kejam lagi.

Sesaat kemudian, datanglah sosok polisi satunya. Polisi satu ini, disebut polisi baik, tampil lebih tenang, penuh perhatian, dan sopan. Ia pun berkata, “dia selalu begitu dan jangan dimasukkan dalam hati. Tetapi, kalau boleh saya berterus terang, ia bisa bertindak lebih brutal lagi”. Si tersangka ketika mendapat perlakuan manis dan merasakan pengalaman berbeda antara kedua polisi itu, akhirnya tergerak untuk mengaku dan memberikan informasi-informasi penting kepada polisi baik itu.

Lalu, siapakah sosok good cop dalam konteks perpolitikan di Indonesia ? Tentu saja, militer. Simak saja, akhir-akhir ini senantiasa terdengar suara-suara “merdu” dari Panglima TNI yang berkali-kali menyatakan, misalnya militer tak akan kembali ke politik, militer akan bersikap netral dalam Pemilu sampai pernyataan bahwa para capres yang berlatar belakang pensiunan militer (SBY dan Wiranto) tidak mewakili institusi militer dan dilarang membawa gerbong militer untuk mendukung, dan sejenisnya. Sementara itu pula, dari pintu lainnya mesin kehumasan terus berjalan dengan mengusung citra bahwa kedua capres yang jenderal pensiunan itu adalah good cop, polisi-polisi yang baik.

Sokurlah, antene para mahasiswa kita telah juga mengendus skenario sinetron semacam ini. Ilmuwan seperti Mochtar Pabottinggi, Ikrar Nusa Bhakti dan tokoh masyarakat sipil lainnya terus berkali-kali memberikan sinyal yang sama betapa ancaman militer yang kepingin kembali ke gelanggang politik bukan isapan jempol belaka.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

-----------------------------

IKLAN ROKOK TERSELUBUNG DI TELEVISI
Dimuat di kolom Redaksi Yth Harian Kompas Edisi Jateng/Jogia,29/5/2004


Stasiun tv RCTI (7/5/2003 dan 28/4/2004) menayangkan film 3000 Miles to Graceland, berkisah tentang sekawanan perampok kasino berdandan a la penyanyi legendaris yang meninggal di WC karena overdosis obat bius, Elvis Presley. Adegan mencoloknya adalah banyak tokohnya yang tak henti-hentinya merokok. Ada tokoh Murphy, sementara tokoh lainnya, Michael, juga merokok dan malah tampak permisif mengajari anak di bawah umur untuk merokok. Belum lagi detektifnya juga tak kalah dalam hal seringnya merokok. Apakah tukang pilih film di RCTI tidak terusik oleh adegan-adegan merokok yang sangat mencolok itu ? Atau memang film ini sengaja dipilih (!) atas pesanan terselubung industriawan rokok yang kaya-kaya itu untuk mengiklankan kebiasaan merokok ? Sinetron Dara Manisku, juga di RCTI, mencolok adegannya yang mengumbar pelakunya seperti saling berlomba-lomba dalam merokok !

Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam upaya kampanye global anti-rokok telah mengimbau kalangan produser film di Hollywood dan Bollywood dan kalangan industri mode untuk menghentikan tayangan yang mengglamorisasikan aksi merokok. Caranya dengan menghindari adegan film yang menayangkan aksi merokok yang nampak penuh gaya dan meminta industri fashion untuk tidak menggunakan rokok sebagai asesorinya.

Survei tentang Bollywood, ternyata 320 dari 400 film India menayangkan adegan merokok sebagai sesuatu hal yang cool untuk dilakukan. Rokok bisa mencitrakan kejantanan atau feminitas, canggih atau kasar, sexy atau sporty, semuanya karena kecerdikan strategi pemasaran. Dua dari konteks yang mendukung citra tersebut adalah industri film dan mode. Disebutnya, kalangan film dan fashion memang tidak dapat dituding sebagai penyebab kanker, tetapi seharusnya mereka tidak mempromosikan produk-produk yang menyebabkan kanker.

“Merokok itu tidak cool, yang nampak cool adalah perokoknya”, simpul Gladwell (2002) yang mengkampanyekan strategi radikal dalam kampanye anti-merokok yang selaras dengan langkah WHO di atas. Jadi selayaknyalah bila stasiun TV, terutama RCTI, berlaku bijak dengan tidak mempromosikan kebiasaan merokok secara penuh gaya dalam film-film tayangannya pada jam-jam iklan rokok tidak diijinkan untuk ditayangkan. Epistoholik Indonesia (EI) saat ini juga mengundang untuk bergabung para penulis surat pembaca yang sudi concern mengkritisi kampanye/promosi rokok yang tanpa etika itu.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

-----------------------

PEREMPUAN, FOBI TEKNOLOGI INFORMASI ?
Diposkan ke Majalah Kartini (Jakarta), 15/5/2004
Diemailkan ke Harian Bernas (Yogyakarta), 27/5/2004


Teknologi Informasi : Industri Tanpa Perempuan. Itulah judul artikel Kendra Mayfield di situs gaya hidup teknologi informasi Wired (1/12/2001), yang menggambarkan minimnya perempuan berkiprah dalam industri TI di Eropa Barat. Fenomena buram itu juga meruyak di Indonesia. Kajian BPPT memperkirakan kaum perempuan Indonesia yang memanfaatkan Internet pada tahun 2002 hanya 24,14 persen. Sementara itu peran kaum Kartini kita pun dalam ketenagakerjaan TI lebih dominan pada posisi administratif, seperti menangani surat elektronik, memasukkan data, atau operator komputer. Masih sedikit sekali perempuan pada posisi tenaga ahli dan profesional, apalagi dalam struktur pengambilan keputusan dalam industri TI. Bahkan tidak banyak perempuan berperan sebagai ilmuwan komputer dan programmer.

Mengapa karier bidang TI tidak menarik kalangan perempuan ? Antara lain, karena selama ini citra TI yang tertanam dalam pandangan murid-murid perempuan adalah terlalu geeky, sangar campur aneh, dan bukan sesuatu yang glamor dan memincut hati wanita. Juga akibat adanya kesenjangan jender yang selama ini terjadi pada mereka di sekolah dan di rumah. Anak perempuan sering ditakut-takuti angkernya pelajaran sains dan matematika, tidak hanya oleh sekolah, tetapi juga oleh orang tua mereka. Beragam isyarat atau teror halus yang tidak direncanakan itu, baik oleh guru, baik pria atau pun wanita, dan juga orang tuanya, berdampak serius dengan terciptanya harapan yang lebih rendah di kalangan pelajar perempuan untuk terpacu menguasai sains dan teknologi.

Bagaimana solusi terbaiknya ? Saya sebagai seorang epistoholik, orang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca di media, baru mampu memunculkan problema kronis ini di Harian Bernas ini. Semoga bermanfaat adanya, sokurlah bila dapat memancing diskusi. Saya akan bersenang hati bila ada fihak yang sudi bergabung dalam EI dan mau menyisihkan perhatian dengan menulis surat-surat pembaca bertopik perempuan Indonesia dalam kaitannya dengan penguasaan teknologi informasi. Saya tunggu !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

Monday, May 17, 2004

INDONESIAN IDOL 2004 DAN LAGU-LAGU FAVORITNYA
Dimuat di kolom Mimbar Demokrasi, Kompas (Jakarta), 15/5/2004


Megawati Sukarnoputri : Don’t Let Me Down (The Beatles)

Susilo Bambang Yudhoyono : Words (The Bee Gees, “It’s only words/And words are all I have/To take your heart away”)

Amien Rais : Here’s Come The Sun (The Beatles). Tapi, sorry George Harrison, liriknya kuubah menjadi : “Here’s come the sunset, little darling ”)

Wiranto : We Will Rock You (Queen, “You got blood on your face/You big disgrace/Waving your banner all over the place/We will, we will rock you”). Yang menyanyikannya justru para mahasiswa dan pejuang HAM.

Prabowo Subijanto : Army Dreamers (Kate Bush, “Should have been a politician ? But he never had a proper education...What a waste/ Army dreamers, army dreamers....”)

Akbar Tanjung : I Will Survive (Gloria Gaynor).


BAMBANG HAYANTO (Wonogiri)

-------------------

SERBUAN CHINA : DARI PENITI HINGGA PIALA THOMAS
Dimuat di kolom Smes – Piala Thomas & Uber 2004
Harian Kompas (Jakarta), 15/5/2004


Simak produk yang diasong di KRL Bogor-Jakarta. Dari jarum, peniti, gunting kuku, korek kuping, korek api gas dan seabrek produk manufaktur lainnya, hampir dipastikan buatan Cina. Kini serbuan Cina juga telah menghancurkan tim Uber dan tim Thomas kita, di kandang kita sendiri. Apa lagi yang bisa dibanggakan dari negeri yang top budaya korupsinya ini ?


Bambang Haryanto, (epsia@plasa.com)

--------------------

Wednesday, April 14, 2004

EPISTOHOLIK, CARI KERJA DAN KIAT KGB
Diemailkan ke Harian Bernas (Yogyakarta), 11 April 2004


Apa sikap Anda bila ada sesorang yang belum Anda kenal lalu dirinya meminta Anda untuk mencarikan pekerjaan untuknya ? Salah satu surat yang sampai ke markas Epistoholik Indonesia (http://epsia.blogspot.com), berisikan permintaan demikian. Hal ini membuat saya sedih dua kali.

Pertama, karena saat itu saya tidak bisa membantu dirinya memperoleh pekerjaan itu. Kedua, mungkin karena dia kecewa atas jawaban saya tersebut, dia kemudian tidak meneruskan niatnya sebagai warga EI. Mungkin karena di surat jawaban itu saya hanya mampu memberikan masukan. Antara lain, berburulah pekerjaan dengan sikap mental sebagai bagian dari pemecahan masalah dan jangan jadi pengemis pekerjaan alias sebagai bagian masalah dari perusahaan sasaran. Juga saya tambahkan, focus on what you love and the money will follow.

Dia yang mengaku gemar menulis surat-surat pembaca, akhirnya memang tidak bergabung dalam wadah EI. Bagi saya, hal itu tidak apa-apa. Tetapi menurut hemat saya, mungkin karena tuntutan perut, membuatnya jadi kurang bersabar. Semoga ia terus saja menulis. Dengan dengan aktif menulis, selain memacu otak untuk terus jalan, dirinya pun mengasah kredibilitas dengan terpapar pengetahuan yang mutakhir. Apalagi menulis merupakan life skill yang mutlak dibutuhkan untuk menunjang sukses pekerjaan-pekerjaan papan atas di era informasi ini.

Sebenarnya, walau bukan suatu jaminan, terjun berinteraksi dengan sesama kaum epistoholik, atau komunitas lainnya, jelas membukakan peluang bagi dirinya memperoleh pekerjaan. Dengan aktif menyapa dan tulus memberi apresiasi kepada warga EI lainnya, di mana pun, berarti dirinya otomatis sedang menggalang network, koneksi, jaringan pergaulan, demi teraksesnya info-info lowongan.

Tirulah kiat agen rahasia, karena salah satu strategi sukses berburu pekerjaan adalah memang mengharuskan seseorang berperilaku sebagai agen rahasia. Bukunya Harry Rositzke, The KGB : The Eyes of Russia (1981), ketika menceritakan kiat sukses agen KGB legendaris, Richard Sorge, pantas Anda catat. Sorge punya ajimat, kata mutiara, bahwa agen rahasia yang berhasil adalah mereka yang justru menjadikan dirinya sebagai sumber informasi yang kaya. Memanglah, seperti alam menentukan, mereka yang berhasil adalah mereka yang memberi !

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------------------

BAPAK NURCHOLISH MADJID : EKSPLOITASILAH INTERNET UNTUK MEN-VIRUS-KAN IDE-IDE HEBAT ANDA SEHINGGA LEBIH DAHSYAT DAN MELUAS.
Diemailkan ke ke voaindonesia@voanews.com, Jumat 2/4/2004,



Wonogiri, 2 April 2004

Yth. mBak Nadia Madjid di VOA Seksi Indonesia di Washington,

Assalamu alaikum Wr.Wb.

Salam sejahtera. Senang sekali saya beberapa waktu lalu bisa menonton acara VOA yang Anda pandu di televisi, antara lain mengenalkan kisah Cak Sabairi asal Madura yang sukses mengelola bisnis salon di Amerika Serikat. Hasil liputan yang bagus dan inspiratif.

Tetapi, maaf, e-mail nyasar ke Anda ini bukan hendak melanjutkan obrolan seputar kisah sukses Cak Subairi itu. Melainkan, saya ingin minta bantuan mBak Nadia Madjid, yaitu mohon sudi kiranya usul-usil ini dapat Anda sampaikan kepada ayah Anda, Bapak Nurcholish Madjid.

Beliau sebagai bapak bangsa, selalu saya ikuti arahannya lewat media massa. Termasuk yang terakhir, saya baca di Kompas hari ini (2/4/2004), bahwa beliau dan banyak tokoh lainnya (Edi Sudrajat, Siswono Yudo Husodo, Hidayat Nur Wahid, Harry Roesli, Faisal Basri dll.) mencetuskan Aliansi Besar Untuk Perubahan.

Saya ingin mendukung gerakan beliau dkk di masa depan dengan beriur usulan : ayolah, eksploitasi Internet, untuk men-virus-kan ide-ide hebat Anda sehingga lebih dahsyat dan meluas. Terutama, jangkaukan ide-ide Anda itu kepada anak-anak muda Indonesia. Sehingga nanti setiap kali insan-insan bersih Indonesia itu mencetuskan sesuatu gerakan, sebagian suasananya saya bayangkan seperti di bawah ini :

Picture a hotel conference room filled with a couple of hundred people, most of them men, most of them white and nearly all of them either in their 20s or boomers in their middle-age years, attending the Digital Democracy Teach-In in San Diego, hosted by Tim O'Reilly, a publisher and industry futurist, as part of his annual Emerging Technology conference....

While the speaker talks, at least half the people in the room are tapping away on laptop computers. At least a quarter are noting down the speaker's remarks in real time and posting them, with their own pungent observations, on their weblogs (or blogs, i.e., continuously updated web pages that are part stream-of-consciousness diaries and part forums for news commentary and analysis).

Simultaneously, many of them are engaging in a back-channel conversation on an Internet relay chat that allows hundreds of people--both those in the room and others watching the event on a live webcast--to share wisecracks, ponder dinner options and zap the speaker for everything from his clothing to his conceptualizing.

Some of the more intrepid are also jointly taking notes on a document that exists only in cyberspace but appears on their computers and shows each other their comments, in real time (can't show you that--I use a Windows-based system and this only works for Macintosh users). A handful are snapping photos with digital cameras and cell-phone cameras and posting them to the web.

Go here for Ito's gallery of attendees, if you like. All of them are also busy checking their e-mail, reading their friends' blogs and surfing news sites--while still managing to listen to the speaker up front.........
(Lengkapnya di : Tripping on Internet Populism).

Mungkinkah harapan ideal saya di atas itu hanya impian ? Semoga saja tidak.
Terima kasih untuk atensi Anda. Sukses untuk Anda dan juga salam untuk seluruh kerabat VOA seksi Indonesia !

Wassalam.

Hormat saya,


Bambang Haryanto
Wonogiri-Jawa Tengah

Peternak/pengrajin situs blog :
Bambang Haryanto : http://beha.blogspot.com,
Amien Membolos ! http://amienrais.blogspot.com
Epistoholik Indonesia : http://epsia.blogspot.com
Suporter Indonesia : http://suporter.blogspot.com

---------------------------------------------------

Wednesday, April 07, 2004

MENGGOJLOK CALEG MODEL WONOGIRI
Diemailkan ke Harian Bernas, Yogyakarta, 6/4/2004



Seorang jenderal yang pernah menguatirkan Pemilu 2004 akan berdarah-darah, sokurlah keliru. Di daerah saya, di TPS 18, Kajen, Giripurwo, Wonogiri Kota , Pemilu berlangsung aman, tertib, bahkan suasananya jadi lebih bergairah saat penghitungan suara caleg DPD terjadi.

Dimotori Mas Jito, yang KPPS dan seorang guru yang jenaka, ditimpali anggota PPS dan warga Kajen lainnya, membuat caleg-caleg DPD itu kebanjiran kado, yaitu beragam nama julukan. Sumber idenya dari foto-foto diri mereka yang mengundang rangsang untuk dikomentari secara cerdas dan jenaka..

Ada caleg gondrong, berpeci, dijuluki Wiro Sableng. Tapi ia tak sakti, hanya muncul beberapa kali, lalu menghilang. Diganti tokoh Taksi Gelap, sebutan sinis untuk bekas pejabat yang sarat isu bahwa korupsinya waktu menjabat dipakai berbisnis taksi. Tokoh ini karismanya sudah jauh memudar.

Muncul kemudian tokoh yang fotonya memakai caping, memancing gojlokan sebagai Tukang Mancing. Sayang, pancingannya hanya teri saja di TPS kami. Yang mendapat suara banyak adalah tokoh kontraktor asal Semarang, yang konon royal menyumbangkan puluhan titik lampu penerangan jalan di Wonogiri dengan lampu merkuri. Ia yang pernah berkampanye di Wonogiri itu langsung dijuluki sebagai Kapten Merkuri. Ia cukup sakti, julukannya itu disebutkan berkali-kali.

Tetapi Kapten Merkuri tersebut tidak mampu menandingi tokoh tampan dan berkarisma, walau tak pernah berkampanye langsung di Wonogiri. Di fotonya, dia memang tampil paling beda : berbusana Jawa lengkap dan berblangkon-ria. Dia adalah Sri Paduka Mangkunegoro IX. Tak pelak kado nama gojlokan ala pemilih di Wonogiri untuk beliau itu muncul puluhan kali di TPS kami :

Blangkon,
Blangkon,
Blangkon,
Blangkon,
Blangkon......

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

Monday, March 29, 2004

MIMBAR DEMOKRASI – HARIAN KOMPAS
Diemailkan : Kamis, 18/3/2004


(1) RESEP JITU MENGHALAU KAMPANYE PEMILU LESU
Kampanye Pemilu 2004, nampak lesu. Untuk menggairahkannya, saya punya usulan. Alangkah hebohnya bila Akbar Tanjung berani berkampanye di bekas kampus saya, UI, baik di Salemba atau Depok, lalu Prabowo Subijanto di kampus Universitas Trisakti, Megawati di UGM Yogyakarta, sementara Tutut dan R. Hartono silakan kampanye di ITB atau IPB. Bayangkanlah ! (Dimuat di Kompas, Minggu 21/3/2004)


(2) PUTRI KORUPTOR....
Monologer asal Yogya, Butet Kertarajasa, ketika pentas di Solo menyebutkan bahwa PKPB adalah singkatan dari Puteri Koruptor Pingin Bertahan. Lelucon yang bernas dan cerdas. Mungkin itukah cara Butet membalas lelucon naif dari Tutut dan R. Hartono yang mengajak warga kotanya untuk mau beramai-ramai menjadi antek Soeharto ?

(3) MOMEN MENYEDIHKAN !
Sejarawan Ong Hok Ham pernah bilang, hal yang menyedihkan adalah bahwa Soeharto akan selalu diingat pada saat kejatuhannya dan bukan atas prestasi yang telah diraihnya (TIME, 26/5/1997 : hal. 23). Di masa kini, setelah menonton iklan PKPB di televisi, apakah bangsa Indonesia mereka anggap telah melupakan peristiwa menyedihkan itu ?


(4) HANTU-HANTU DI KAMPANYE PEMILU 2004
Hampir semua TV swasta kini mabuk sinetron bertema hantu-hantuan. Wabah ini sialnya menulari iklan partai peserta Pemilu 2004, sehingga ada yang berterus terang menjual hantu-hantu masa lalu. Tetapi seperti halnya cerita-cerita hantu di TV Indonesia, iklan parpol berhantu itu pun nampak mencolok mengingkari akal sehat. Waspadalah ! .

(5) HIDUP GOLPUT !
Henry David Thoreau (1817–1862), penulis Amerika, dalam bukunya An Essay on Civil Disobedience (1849) menulis , Voting for the right is doing nothing for it. Ajaran ini saya tulis di buku harian tertanggal 23 April 1987, saat jadi golput pada Pemilu hari itu. Setelah bergairah ikut Pemilu 1999, kini ajaran Thoreau itu kembali menghantuiku menjelang Pemilu 2004 nanti !

Friday, March 05, 2004

Wonogiri, 5 Maret 2004


Yth. Pengelola Acara Selamat Datang Pagi di RCTI,

Salam sejahtera. Agar sajian SDP makin sukses, makin menarik, dan makin bermanfaat bagi pemirsanya, saya mau kirim uneg-uneg mengenai acara SDP hari Kamis (4/3/2004) yang bertopik kanker pada anak-anak. Topik yang menarik, walau bahasannya masih bisa ditingkatkan lagi bobotnya. Tetapi menurut saya, ada beberapa hal yang tidak serasi dalam suguhan SDP kali ini.


MIING MERUSAK SDP !
Bintang tamu saat itu, pelawak Miing, sosok citra mau pun ucapannya serasa tidak harmoni dengan topik yang dibahas. Antara lain, seperti halnya perilaku adiknya Didin (yang juga pernah jadi bintang tamu SDP), dirinya selalu ingin nyeletuk untuk menampilkan lawakan-lawakan “blue material”, low taste jokes, cenderung porno. Saya tidak anti terhadap humor-humor blue, tetapi harus mempertimbangkan topik dan audiensnya. Penampilan Miing saat itu sungguh tidak serasi dengan topik mau pun mood acara SDP hari itu.

Apalagi pada ending acara SDP kali ini, entah ini ulah improvisasi Miing pribadi atau memang sudah direncanakan oleh tim kreatif SDP, terasa tidak harmoni dengan pesan yang ingin disampaikan dalam perbincangan serius sebelumnya. Mungkin Miing begitu gatal ingin melawak tetapi membuat pesan total acara SDP yang sampai kepada penonton, antara lain, menunjukkan ketidakseriusan, kurang peka, karena tidak berempati dengan mereka yang menderita kanker. Semoga hal ini menjadi perhatian ketika memilih bintang tamu di SDP yang akan datang.

FERDY HASAN VS BLUE MATERIAL
Oh ya, ini usul-usil kecil untuk Bung Ferdy Hasan. Begini bung, saya harap Anda sudi berfikir ketika tiba-tiba gatal tergoda untuk mencoba berimprovisasi dengan meluncurkan humor atau celetukan yang menyerempet “blue material”. Seperti dulu pernah Anda celetukkan, misalnya “burung saya selalu bersamaku” sampai “melemparkan celana dalam Becky ke atas genting agar tidak turun hujan”.

Mengapa Anda sebaiknya berhati-hati ? Karena lelucon porno itu dalam vocabulary para komedian disebut sebagai hack, alias rahasia umum, di mana ending leluconnya sudah banyak diketahui. Jadi 90-an persen tak lucu lagi. Apalagi, tidak banyak orang yang mampu menuturkan lelucon secara cermat dan berhasil meledakkan tawa.

Terlebih lagi, menyangkut diri pribadi Anda, sosok dan image pribadi Anda itu tidak fit, tidak match, tidak cocok dengan lelucon porno. Biarkan topik itu menjadi porsinya Miing atau Didin. Kalau orang Jawa, Anda dan mBak Becky itu pantesnya adalah sebagai priyayi. Yaitu sebagai orang terhormat yang imejnya adalah pribadi-pribadi yang terjaga sopan-santunnya, baik hati, bertingkah laku dan bertutur kata yang terpuji. Usul saya : pertahankan imej Anda itu dengan memilih lelucon-lelucon yang clean. Seperti lelucon keluarga dari The Cosby Show yang melegenda itu. Bisa tentang anak-anak, binatang, pokoknya bukan seks yang vulgar.

Tetapi kalau Anda memang ingin benar-benar serius ingin melucu di SDP atau ketika jadi MC, pakailah resep ampuh (tetapi mungkin amat menakutkan) ini : “talk about your own fears and faults...” Suhu saya dalam menulis humor, Judy Carter, bilang : “We (comedian) think differently. Normal people express their sense of humor by memorizing jokes ; comedian transform their life experiences into punch lines and write their own jokes....Most people (terutama selebritis - BH) hide their defects, we comedians show them to the world”. Anda, berani ?

SDP DAN PROFIT ZONE : PELUANG BISNIS RCTI
Seorang pakar pemasaran AS bernama Adrian J. Slywotzky, pernah bilang : “ For any product on the market, there exists a larger economic content or equation, of which the product itself is only a subset”. Kalau Anda ingin tahu lebih lanjut, tanyakan kepada Pak Hermawan Kartajaya atau Rhenald Kasali. Atau beli bukunya di QB World of Books, saya pernah melihatnya tersedia di cabangnya, Jl. Sunda, deket Sarinah, Jakarta Pusat.
Merujuk ajaran di atas, acara SDP adalah subset, sehingga menurut saya acara SDP itu berpeluang dikembangkan untuk menjadi lahan bisnis sampingan RCTI lebih lanjut. Yang terlintas saat ini di kepala saya : menerbitkan buku berisikan kiat-kiat yang selama ini dimunculkan dalam SDP ini, baik kesehatan, psikologi, karier, gaul sehat, dan lain-lainnya. Juga membangun komunitas, yang bila sudah terbentuk maka terbuka segala hal yang memungkinkan terciptanya peluang-peluang baru ke depan.


MOHON BANTUAN INFORMASI : WHO WANT...MILLIONAIRE DAN LUGAS
Acara mega kuis Who Wants To Be A Millionaire, punya sedikit perubahan menarik. Yaitu di awal acara kini disertakan intro mengenai sesuatu topik “santapan rohani”. Sekedar pertanyaan : kepada siapakah di RCTI saya dapat mencoba mengirimkan contoh-contoh tulisan “intro”, yang saya harapkan dapat menyemarakkan acara mega kuis tersebut ?

Juga saya tertarik dengan rencana penayangan acara “Lugas”, variety show menyambut masa kampanye Pemilu 2004. Ijinkanlah saya minta informasi : kepada siapakah di RCTI saya dapat mengirimkan contoh rutin (naskah monolog komedi) untuk bisa mengisi acara Lugas tersebut ?

Terima kasih untuk bantuan Anda.

BUNUH DIRI ITU WABAH
Beberapa hari yang lalu SDP menampilkan topik bunuh diri. Topik yang relevan. Untuk sekedar berbagi cakrawala mengenai topik ini, ijinkanlah bersama surat ini saya sertakan artikel bertopik serupa yang pernah saya tulis beberapa waktu lalu. Semoga ada manfaatnya.


Mohon maaf bila surat ini terlalu panjang. Harap maklum, saya adalah seorang epistoholik (orang yang kecanduan menulis surat, terutama surat untuk media massa) dan kini membentuk komunitas Epistoholik Indonesia. Anda bisa melongoki situs saya : http://beha.blogspot.com atau situs Epistoholik Indonesia, http://epsia.blogspot.com.


Sekian dulu obrolan ini. Sukses selalu untuk SDP dan juga RCTI !

Hormat saya,

Bambang Haryanto
Penulis/Humoris/Konsultan Komunikasi


------------------------------------

BUNUH DIRI SEBAGAI EPIDEMI


Oleh : Bambang Haryanto


Heryanto (12), siswa kelas VI SDN Sanding IV, Garut, akhir Agustus 2003 lalu mencoba mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Ia melakukan hal tragis itu karena terdorong rasa malu sesudah mengetahui ibunya tidak memiliki uang sebesar Rp. 2.500 yang ia minta untuk membayar kegiatan ekstrakurikuler sekolahnya. Lalu Bambang Surono Suratman (11 tahun), siswa kelas V SDN Bulusan 01-02 Tembalang, Semarang, tewas dengan menggantung diri pula (Suara Merdeka, 8/10/03).

Eksekutif utama perusahaan Hyundai, Chong Mong-hun, bunuh diri. Dia resah dituduh terlibat skandal suap di balik KTT Korea Utara dan Korea Selatan tahun 2000. Dia dituduh menyuap pemimpin Korut. Chung tewas bunuh diri dengan melompat dari lantai 12 kantor Hyundai di Seoul, 4 Agustus 2003. Sehari kemudian, usahawan tekstil Grup Texmaco, Marimutu Manimaren, ditemukan tewas karena terjun dari kamarnya di lantai 56 di Hotel Aston, Jakarta Selatan.

Apakah Bambang Surono bunuh diri karena tertular percobaan bunuh dirinya Heryanto ? Apakah Manimaren juga melakukan bunuh diri akibat tertular perbuatan bunuh dirinya Chong Mong-hun, sehari sebelumnya ? Sosiolog David Phillips dari Universitas California di San Diego, pasti menjawabnya dengan positif. Dia adalah pencetus utama teori menggegerkan, bahwa seseorang bunuh diri karena tertular oleh orang lain yang bunuh diri.

Dalam risetnya ia membuat daftar cerita bunuh diri yang dimuat di halaman depan surat kabar terkemuka selama 20 tahun (1940-1960) dan mencocokkannya dengan statistik bunuh diri untuk rentang waktu yang sama. Ia ingin tahu apakah di antara keduanya terdapat hubungan. Hasilnya, mengejutkan. Menurutnya, tidak lama setelah cerita bunuh diri muncul, bunuh diri di daerah pemasaran koran tersebut melonjak. Apabila kisah itu berskala nasional, angka bunuh diri secara nasional pun meningkat. Seperti dikutip Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point (2000), kematian Marylin Monroe (1926-1962) selama beberapa waktu diikuti kenaikan angka bunuh diri nasional sampai 12 persen.

Phillips berpendapat, keputusan seseorang yang terkenal untuk mengakhiri hidupnya itu memiliki efek membujuk yang halus, keputusan itu memberi ijin kepada orang lain, terutama mereka yang mudah terpengaruh, entah karena belum dewasa atau bermental lemah, untuk juga melakukan perbuatan menyimpang. Cerita bunuh diri adalah semacam iklan alami tentang salah satu cara memecahkan masalah. Kalau khotbah agama merupakan iklan pemecahan masalah secara relijius, nonton televisi sebagai cara untuk lari dari masalah, sedangkan cerita tentang bunuh diri tentunya juga menjadi alternatif pemecahan masalah pula. Orang yang mati bunuh diri itu menjadi pemicu, yang kematiannya seolah-olah sebuah “izin” untuk mati, hingga mengakibatkan meluasnya epidemi bunuh diri.

Dalam kajian lanjutannya, Phillips mengaitkan kasus bunuh diri dengan kecelakaan lalu lintas. Ia mengambil kisah bunuh diri di koran Los Angeles Times dan San Francisco Chronicle, kemudian membandingkannya dengan kematian akibat kecelakaan lalu lintas di negara bagian California, asal terbit keduanya. Satu hari setelah kisah bunuh diri diterbitkan, jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas rata-rata naik 5,9 persen dari taksiran. Dua hari kemudian, naiknya 4,1 persen. Tiga hari setelah itu, naiknya 3,1 persen dan empat hari kemudian 1,8 persen. Selewat sepuluh hari, angka kematian itu kembali normal.

Phillips menemukan pola yang jelas. Kisah-kisah tentang bunuh diri berakibat meningkatnya kecelakaan lalu lintas tunggal dengan pengemudi sebagai korban. Kisah bunuh diri disertai pembunuhan berakibat meningkatnya kecelakaan berganda yang mencelakai atau menewaskan pengemudi berikut penumpang. Kisah tentang pelaku bunuh diri yang masih muda berakibat kecelakaan lalu lintas fatal di kalangan usia muda. Kisah tentang pelaku bunuh diri yang sudah tua berakibat kecelakaan lalu lintas fatal yang melibatkan orang tua. Dengan kata lain, “izin” yang diberikan lewat tindakan bunuh diri pertama bukan hanya sebuah ajakan umum bagi mereka yang rentan. Fungsinya lebih seperti seperangkat petunjuk sangat rinci, khusus bagi orang tertentu dalam situasi tertentu, yang memilih mati dengan cara tertentu. Peristiwa bunuh diri itu bukan isyarat atau perintah, tetapi lebih seperti ceramah.

Dalam studi lain, kembali dikutip Gladwell (2000), peneliti Inggris tahun 1960-an menganalisis 135 orang yang dirawat di RSJ setelah gagal bunuh diri. Studi menemukan, secara sosial kelompok itu saling terhubung dengan kuat, kebanyakan merupakan anggota perkumpulan yang sama. Menurut kesimpulan, ini bukan kebetulan. Bagi orang-orang ini bunuh diri pada dasarnya menjadi seperti sebuah “bahasa tersendiri” di antara sesama anggota subkultur yang sama.

“Bahasa tersendiri” itu kini semakin mencemaskan ketika berwujud sebagai bom bunuh diri. Berbeda dengan bunuh diri yang lajim, kematian pelaku pengebom bunuh diri itu sengaja ditujukan untuk membunuh fihak yang dianggapnya sebagai musuh, sebanyak-banyaknya. Dan kini, modus yang mengerikan itu semakin meruyak di dunia. Meledak tiga kali di Riyadh 12/5/2003, di Casablanca, Maroko, 16/5/2003. Tanggal 4/7/2003 di Quetta, Pakistan, bom bunuh diri menewaskan 53 orang dan sehari sesudahnya, tanggal 5/7/2003, dua perempuan melakukan bom bunuh diri di festival rock terbuka di Bandara Tushino Moskwa, menewaskan 20 orang. Kemudian bom bunuh diri meledak di Hotel JW Marriott Jakarta, 5/8/2003, dan disusul markas PBB di Baghdad, 19/8/2003, mengalami pula bencana maut yang sama !

Tindak kekejaman beruntun di beragam tempat itu semakin menunjukkan bahwa bom bunuh diri benar-benar menjadi epidemi. Sekali terjadi bom bunuh diri, di mana pun di bagian dunia ini, mau tak mau Indonesia harus juga bersiap dan waspada. Sebagai konsekuensi globalisasi, kita kini tidak kebal lagi terhadap penularan epidemi dahsyat yang satu ini !

* Bambang Haryanto, penulis dan konsultan komunikasi. Alumnus UI.

Wednesday, February 04, 2004

YEL SUPORTER VS POLITISI BUSUK

Bebas, bebas, bebaskan Ferry,
Bebaskan Ferry, sekarang juga !

Saya berempati saat TV menayangkan ratusan jurnalis Jakarta berdemo, meneriakkan yel-yel di atas, di bundaran Hotel Indonesia. Mereka menuntut pembebasan kameraman RCTI yang kini masih disekap GAM dan jadi komoditas tarik ulur dengan TNI di bumi Aceh sana. Saya sebagai suporter sepakbola (pemegang rekor MURI sebagai Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli) selain terbelit sedih dan haru, saya pun ikut bangga karena yel-yel para jurnalis itu diadopsi dari yel-yel suporter sepakbola.

Penghargaan itu harus memacu gairah untuk semakin terlibat. Menurut saya, suporter sepakbola Indonesia kini dapat mengambil bagian, dengan menularkan kreasi gubahan yel dan lagu, guna ikut serta mengobarkan gerakan yang bertujuan menyelamatkan bangsa dan negara dari kehancuran yang lebih parah lagi. Misalnya gerakan memerangi korupsi, gerakan antipolitisi busuk dalam Pemilu 2004 mendatang, sampai gerakan menangkal konspirasi model Orba, yaitu penetrasi lembaga intel ke daerah-daerah yang berpotensi memberangus demokrasi.

Untuk maksud di atas, kita dapat mengadopsi kreativitas suporter Liga Inggris. Mereka punya ratusan lagu, bahkan seringkali terdapat lagu yang khusus didedikasikan kepada seorang pemain. Sekadar contoh, inilah lagu suporter Manchester United yang didendangkan seirama Brown Girl in the Ring-nya Boney M. yang penuh gairah untuk mengelukan jago tembak mereka asal Belanda :

Ruud van Nistelrooy, la.. la.. la..la,
Ruud van Nistelrooy..la..la..la..la..la,
Ruud van Nistelrooy, la..la..la..la..la,
He’s Dutch, and scores a lot of goals !

Atau refrain Season In The Sun (di Indonesia dikenalkan lagi oleh Westlife) dipakai suporter MU saat itu untuk menyemangati gelandang gundul elegan, si “no hair” asli Argie (Argentina) :

We had joy, we had fun,
Juan Sebastian Veron.
He’s got style, but no hair
He’s an Argie, (and) we don’t care !


Untuk demo antikoruptor dan antipolitisi busuk, liriknya tinggal digubah secara kreatif dengan mencantumkan nama oknum hitam bersangkutan. Lalu kita nyanyikan di saat demo, jalanan, stadion, depan kantor atau rumah mereka, warung-warung, taman kampus, kafe, festival, atau bahkan di bis-bis kota (tanpa menarik bayaran). Di mana saja. Sebuah syair terkenal Amerika Latin berbunyi, “Kalau kita disuruh diam, kita tidak diam, melainkan kita mulai bernyanyi”. Ayo suporter sepakbola, juga warga Indonesia yang masih punya nurani, mari kita terus berjuang dan bernyanyi. Apalagi ketika terdengar nyaring panggilan negeri dan hati nurani !


Bambang Haryanto
Sekjen Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI)
humorline@plasa.com