Thursday, February 17, 2011

Aksi Teror, Wimar dan Menjaga Indonesia Kita



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Peristiwa kekerasan di Cikeusik terus saja mengusik.

Tanda-tanda pita biru yang dikenakan oleh kelompok penyerang, nampaknya sebuah kesengajaan. Sengaja agar bisa dikenali, sekaligus sengaja dirancang oleh sang aktor intelektual untuk kemudian riuh-rendah menjadi bagian dari cerita-cerita sirkus di media. Utamanya media televisi.

Karena tanpa televisi, semua aksi kekerasan itu hanya seperti sebuah batang pohon yang tumbang di hutan. Tak ada yang mendengar. Tidak menimbulkan dampak psikologis, sementara tujuan utama serangan, aksi kekerasan atau pun terorisme dirancang untuk menimbulkan dampak psikologis pada masyarakat seluas-luasnya. Televisi kita segera rakus mencaploknya.

“RT @nd_nir: Televisi kita adalah lahan subur bagi para pembenci dan pembela kaum perusak & pembunuh,” itulah pendapat budayawan Goenawan Mohammad dalam re-tweet pada akun Twitternya, 10/2/2011 yang lalu.

Media televisi sebagai pengompor aksi kekerasan juga menjadi keprihatinan cendekiawan muslim dan pengamat politik Timur Tengah, Zuhairi Misrawi. Dalam akun Twitternya (15/2/2011) ia menulis : “ Media juga kurang selektif memilih ulama sebagai narasumber. Jika konflik horisontal meruncing, maka media juga berperan dlm proliferasi kekerasan.”

Selanjutnya Goenawan Mohamad mengindikasikan betapa penyerangan di Pandeglang Banten, dan disusul di Temanggung itu juga sebagai aksi kelompok tertentu untuk memberikan pesan :

“Banten, Temanggung...Mafia Hukum di luar kepolisian memberi aba2: "Siapa yg ganggu kami tak akan selamat di th 2014 - atau sebelumnya." (8 Februari 2011).

“Banten, Temanggung...Ini isyarat Mafia Hukum di Kepolisian: "Jangan ganggu kami, sebab kami bisa ganggu kamu, dan kamu akan perlu kami" (8 Februari 2011).

Déjà vu !

Rentetan kejadian kekerasan itu mudah mengingatkan sinyalemen pengamat politik Wimar Witoelar sekitar 9 tahun yang lalu. Ia menulis artikel berjudul “Terror has deep roots in Indonesia,” di surat kabar Inggris, The Guardian, 16 Oktober 2002, setelah bom Bali meledak, 12 Oktober 2002.

Intinya : budaya aksi terror itu sudah berurat dan berakar di tubuh pengelolaan kekuasaan di Indonesia. Utamanya sejak Orde Baru berkuasa, yang ia sebut sebagai terorisme Negara. Petikannya :

“Di tahun 70-an, Suharto berkeyakinan bahwa bahaya komunis membutuhkan militer dan kelompok radkal Islam untuk bekerja sama. Hal ini berujung kepada pendirian organisasi Jemaah Islamiyah, yang sekarang disebut sebagai cabang local dari al-Qaida. Kaum militer garis keras terus berlanjut dalam menyokong milisi radikal Islam secara “on” dan “off” sepanjang tahun, untuk muncul dalam jaringan “operasi-operasi khusus.”

Ketika Suharto jatuh, kaum garis keras militer ini memindahkan markas mereka keluar dari Indonesia, tetapi jaringannya masih utuh. Mereka menjadi apa yang dikenal sebagai “kekuatan hitam,” terdiri dari elemen-elemen preman di dalam atau pun di luar tubuh militer. Kerusuhan Mei 1998 menunjukkan kekuatan mereka, yang membuahkan ribuan nyawa melayang…”

Mungkin saja “kekuatan hitam” itu kini kembali bermain. Mungkin dengan mitra-mitra baru mereka. Indikasinya kuat, seperti kembali tulis Zuhairi Misrawi dalam akun Twitternya (13/2/2011) berikut ini :

“Di negeri ini, ekstremisme menjadi mata pencaharian, bukan ideologi an sich.”

“Kalangan ekstremis di negeri manapun dgn jantan mengakui aksi kekerasan. Krn itu menjadi ideologinya. Tp di negeri ini beda.”

“Penyakit ekstremis di negeri ini, mereka kerap membantah perilaku kekerasannya.”

Mungkin karena begitu besar dan begitu kuatnya “kekuatan hitam” itu, sehingga ketidaktegasan SBY yang menonjol dalam menyikap peristiwa di Banten atau pun Temanggung, bisa kita anggap sebagai penegasan dari eksistensi mereka.

Masa depan Indonesia berada di tangan kita semua.
Mari kita jaga dengan akal sehat dan kewaspadaan.

Wonogiri, 18/2/2011