Tuesday, December 29, 2009

Mengapa Waktu Cepat Berlalu


Diposting di My Note Facebook, Rabu, 30 Desember 2009


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Tiba-tiba kita sudah diujung tahun 2009.

Penyair Inggris, Ralph Hodgson (1871–1962) menyebut waktu sebagai old gipsy man, jipsi tua yang mengembara, dan tidak mau berhenti barang sehari pun. Waktu kita untuk tahun 2009 menjelang habis, dan ia tak akan kembali.

Setiap menjelang pergantian tahun, saya mudah ingat artikel yang saya temukan di Perpustakaan LIA Jakarta, 14 Mei 1992.

Judulnya, “Why time flies and how to slow down”, ditulis Bruce Schechter, penulis sains bergelar Ph.D Fisika yang tinggal di New York. Dimuat di majalah McCall’s (10/1991).

Bruce Schechter menulis, “waktu [psikologis itu] dapat melesat terbang atau merangkak lamban, tergantung bagaimana kita mengisinya. Semenit menunggu lift terasa lebih lama dari sepuluh menit saat coffee break. Tetapi kalangan psikolog mencacat bahwa satuan waktu yang lebih besar, bulan atau tahun, terasa melesat lebih cepat ketika umur seseorang bertambah.”

Ilmuwan menyebut hal terakhir ini sebagai fenomena “akselerasi waktu subyektif yang terkait dengan penuaan.” Salah satu teori pendukungnya berupa matematika sederhana. Satu tahun bagi anak berumur 5 tahun adalah 20 persen dari hidupnya, dan bagi mereka berussia 50 tahun hanya 2 persen saja. Jadi, setahun itu lebih lama bagi anak-anak dibanding bagi orang dewasa.

Lalu ada faktor lain yang merubah persepsi kita tentang waktu. Charles E. Joubert, psikolog Universitas North Alabama, yang juga mengkaji akselerasi waktu mencatat bahwa semakin waktu itu terstruktur, berisi skedul dan janji, semakin cepat pula waktu itu melintas.

Sebagai contoh : seharian di kantor itu tak ada apa-apanya dibanding seharian bersantai di pantai wisata. Oleh karena sebagian besar kita lebih sedikit menghabiskan waktu di pantai, tetapi lebih banyak di kantor seiring meningkatnya umur, maka peningkatan waktu yang terstruktur itu pantas dituding sebagai biang kerok mengapa waktu terasa semakin cepat terbang seiring bertambahnya umur kita.

Akselerasi atau bergegasnya waktu, mungkin juga diakibatkan oleh fenomena fisiologis. Di tahun 1932, istri Hudson Hoagland, seorang ahli ilmu faal, terserang flu. Ketika suhu tubuhnya mencapai 104 derajat Fahrenheit, Hoagland segera bergegas menuju apotik untuk membeli obat.

Perjalanannya hanya selama 20 menit, tetapi istrinya justru marah-marah, mengatakan lebih lama. Kalau suami lain pasti masalah ini mampu memicu saling tarik urat, Hoagland justru menaruh perhatian secara serius terhadap keluhan istrinya.

Hoagland pernah membaca bukunya psikolog Perancis, Henri Pieron, bahwa kecepatan proses psikologis seseorang itu dipengaruhi oleh suhu, demikian pula persepsinya tentang waktu. Karena semakin meningginya suhu akan pula meningkatkan reaksi kimia lebih cepat, hingga Pieron menyimpulkan bahwa waktu pun akan terasa lewat lebih cepat dibanding yang senyatanya.

Hoagland lalu melakukan tes untuk teori di atas, dengan meminta istrinya menghitung angka sampai 60 dengan keras-keras. Ia memperkirakan satu hitungan memakan waktu satu detik. Ia mengukurnya dengan stopwatch. Yang terjadi, istrinya menghitung paling cepat ketika demamnya meninggi, yang menjelaskan mengapa istrinya tersebut merasakan waktu senyatanya berjalan begitu lamban.

Kita sebagai babi hutan. Ekspektasi dan keakraban juga membuat waktu terasa lebih cepat melesat. Hampir semua orang merasakan pengalaman ketika berkendara menuju tempat yang terasa asing. Dikepung pemandangan yang belum dikenal, dengan tanpa bayangan kapan akan sampai di tujuan, perjalanan terasa begitu lama.

Tetapi ketika kembali, walau jarak kilometernya tetaplah sama, nampak waktu tempuh terasa lebih pendek rasanya. Hal-hal baru dalam perjalanan kemudian seakan-akan menjadi rutin.

Apalagi kemudian rata-rata orang cenderung menjadi nyaman dengan rutinitas, ibarat bertabiat model babi hutan atau celeng. Binatang ini konon ketika pergi atau pulang selalu melewati rute yang sama, bertahun-tahun, waktu pun akhirnya terasa seperti cepat berlalu. Sehingga apabila kita setiap kali berinisiatif mengambil rute perjalanan yang berbeda, hal tersebut membuat kita seperti mampu memperlambat waktu.

Tatkala hari-hari yang kita lalui saling identik satu sama lain, ibarat bulir-bulir tasbih yang bergerombol dalam satu rangkaian, berkelompok bersama, maka waktu sebulan pun hanya nampak seperti satu hari belaka. Tidak aneh bila waktu kemudian nampak seperti cepat sekali melejit pergi.

Untuk menangkis penggerombolan hari, maka buatlah setiap hari hidup kita seunik sidik jari. Sebagaimana dikatakan oleh Joubert bahwa struktur cenderung membuat waktu cepat berlalu. Oleh karena itu, carilah cara cerdik untuk menginterupsi struktur hari-hari Anda, untuk menghentikan laju terbangnya, ibarat kita melakukan rehat kopi di tengah jam-jam kerja kita.

Bruce Schechter memberi contoh seseorang wanita yang punya pekerjaan sibuk, tetapi saat makan siang ia memutuskan untuk menjelajah kota tempat ia berkarier itu.

Ia mengunjungi kebun binatang, yang merupakan kunjungannya yang pertama. Piknik kecil-kecilan tersebut, sekadar lepas dari tuntutan kerja kantornya, telah memberikan waktu rehat yang pantas untuk dikenang, yang bila tidak maka hari-hari-hari kerjanya hanya merupakan segumpal blok yang identik satu sama lainnya.


Jangan Takut Jadi Pemula. Mempelajari sesuatu hal yang baru merupakan cara ampuh lain untuk memperlambat gerak terbangnya waktu. Salah satu alasan mengapa hari-hari ketika kita masih muda terasa penuh dan panjang, karena hari-hari tersebut dipenuhi dengan masa kegairahan untuk belajar dan menemukan.

Learning and discovery.

Bagi kebanyakan kita, masa-masa belajar itu memang terkadang selesai begitu kita meninggalkan bangku sekolah atau kuliah. Tetapi bagi seorang Ronald Graham, matematikawan terkenal dari AT&T Bell Laboratories, punya kiat jitu untuk mengerem waktu : “Jangan takut menjadi pemula”.

Graham pun selalu gigih berburu keterampilan baru untuk ia kuasai. Dalam masa waktu 40 tahun terakhir Ronald Graham mampu menguasai bahasa Cina, main piano, juggling, akrobat, menulis lusinan makalah ilmiah, dan berwisata sampai ke pojok-pojok dunia.


Mengurai masa lalu. Bruce Schechter memperluas cakarawala kita ketika ia mengatakan bahwa mengerem laju jarum jam tidak hanya berlaku untuk masa kini, tetapi juga ketika meninjau masa lalu.

Menulis buku harian (saya lakukan setiap hari), menulis otobiografi dan menulis blog, merupakan cara bagus untuk menyortir kekaburan masa-masa lalu. Sehingga masa lalu tidak lagi hanya berupa satu gumpal campur aduk segala hal tanpa makna.

Masa-masa lalu tersebut dapat diurai untuk membentuk pola tertentu yang membahagiakan, membanggakan, baik susunan yang terdiri dari kejadian atau pun prestasi-prestasi tertentu.

“Mendekati usia 65 tahun”, begitu tutur Bruce Schechter, “ayah saya memulai menulis kenangan hidupnya”. Ia semula beranggapan tulisan itu hanya pendek saja, tetapi ternyata tiap kenangan itu beranak pinak dengan kenangan lainnya. Karya tulisnya kemudian membengkak memenuhi sebuah buku.

Anak-anaknya kemudian membelikannya sebuah komputer, kini tulisan kenangan tersebut mencapai 400 halaman yang menghadirkan pola kehidupan yang telah ia lalui, betapa indah dan ajaib kehidupan yang telah ia jalani.”

Candu dan boros waktu? Kehidupan yang indah dan ajaib itu, saya tidak tahu apakah dapat saya (kita) bekukan dan abadikan dalam tulisan-tulisan status dan komentar-komentar yang saya tulis di Facebook ini.

Saya juga tidak tahu, apakah tulisan semacam di Facebook tersebut akan bermanfaat di masa depan. Penulis Julie Weishaar menyebut Facebook sebagai ” too easy to become addicted and wastes time”. Memicu kita untuk mudah kecanduan dan buang-buang waktu.

Tulisan-tulisan di Facebook yang sepertinya sering ditulis tanpa pikir panjang, tanpa renungan, semudah meludah itu, bila kelak saya himpun dan suatu saat dibaca-baca kembali, mampukah mengurai jumble, gumpal-gumpal campur aduk waktu, yang telah saya lewati ? Saya tidak tahu.


Selamat Tahun Baru 2010.
Semoga sukses dan sejahtera senantiasa memayungi Anda semua.

Wonogiri, 30 Desember 2009

PS : Versi lebih panjang dari tulisan ini dapat Anda klik di : http://esaiei.blogspot.com/2006/01/mengapa-waktu-cepat-sekali-berlalu.html

Friday, December 11, 2009

Batik, The Google Economy dan Inovasi


Posting untuk My Note di Facebook, Sabtu, 12 Desember 2009


“Jangan menjadi pionir yang miskin.”

Itulah tutur teman FB saya asal Inggris yang pakar ekonomi kreatif kelas dunia, David Parrish. Untuk melindungi karya-karya kepioniran Anda dari incaran para predator, maka daftarkanlah karya inovasi Anda itu. Baik sebagai paten, hak cipta atau pun pendaftaran merek.

Ujaran David Parrish itu berkelebat di kepala ketika menjadi saksi saat lima pengusaha batik UMKM Yogyakarta mendaftarkan merek mereka yang difasilitasi Deperindagkoptan Kota Yogyakarta dan Klinik HKI DIY Yogyakarta. Lokasi di Gedung UMKM, Jl. Taman Siswa, di tengah berlangsungnya gelar karya batik “Batik Jogja Untuk Indonesia,” 4-6 Desember 2009 yang lalu.

Saya bisa hadir antara lain karena berjabatan sebagai speech writer pocokan berkat orderan Persada Promosindo, penyelenggara acara itu. Wah, rada lucu juga, teks berisi visi saya seputar dunia batik Indonesia masa kini yang saya ketik di Wonogiri, bisa dipidatokan dan sekaligus menjadi materi buku pengantar acara itu.

“Dunia kini kan dunia datar,” kata kolumnis Thomas Friedman. Akibatnya, berkat Internet inovasi kini bisa muncul di mana saja. Gerakan perlawanan Cicak vs Buaya di Facebook yang sukses merekrut pendukung melewati angka sejuta itu toh tidak muncul di Jakarta. Bukan pula tercetus dari insan kampus-kampus universitas mapan.

Salah seorang blogger favorit saya, Jeff Jarvis, pengarang buku What Would Google Do?, menyebutkan bahwa di era web 2.0. ini Anda dan kita semua berpeluang mampu membangun aplikasi, produk atau pun perusahaan seperti Google, Amazon, eBay atau Etsy atau piranti open source sebagai platform tanpa butuh uang, tak perlu kredit, juga tak butuh kontrol terhadapnya.

Tegasnya : “Apa yang Anda butuhkan adalah apa yang lajim Anda butuhkan untuk meraih sukses di dunia rasional yang kita kenal : kecerdasan, wawasan, inovasi dan keberanian. Semua formula itu tidaklah berubah.”

Terima kasih, Pak Jarvis.

Apakah inovasi di dunia batik pun kini juga akan mengalami fenomena yang sama ? Yang saya tahu, batik kini juga dapat dibuat di mana saja. Itulah pula yang membuat saya kejeblos di tengah acara itu. Sikap sok tahu yang membawa bencana.

Saat saya mencoba membatik kain sebesar sapu tangan warna biru (foto di atas), dengan tulisan “ Trah Martowirono,” hadir seorang bule perempuan. Lalu saya ajak dia untuk mencoba menjajal canting dan membatik. Oh, ternyata ia seorang pakar batik.

brigitte willach

Pembatik dari Jerman. “Saya sudah membatik sejak 40 tahun yang lalu,” kata si bule yang bernama Brigitte Willach itu. Pada kartu namanya terdapat label : Batik-Atelier. Nampak dalam foto ia didampingi Shinta Pertiwi, ST (kiri) dan Antik Anggreni dari stan Gama Blue Indigo ND.

Kota asalnya adalah Hannover, Jerman. “Duh, ini kota asal Robert Enke, kiper timnas Jerman yang kronis dirundung depresi dan bunuh diri menabrakan diri ke kereta api, 10 November yang lalu”.

Lalu kami bisa mengobrol. Tentang batik. Bukan tentang Robert Enke yang tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahir saya. Bila ada waktu ceritanya dapat Anda klik di sini.

Pulang dari Yogya saya dihantui niat : apa godaan berat ingin membuat blog (lagi) seputar ekonomi kreatif yang terkait dengan hak cipta, apa bisa saya bendung gelegaknya di hari-hari mendatang ini ?


Wonogiri, 12/12/2009