Sunday, October 17, 2004

SAYA SUKA GADUHNYA DEMOKRASI
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 16/10/2004


Kita kini memiliki pemerintahan baru. Tetapi bukan saatnya rakyat untuk tertidur dan baru terbangun lagi menjelang Pemilu 2009. Kita harus terus mengawasi jalannya pemerintahan. Rakyat harus terus melakukan kontrol, baik terhadap legislatif mau pun eksekutif. Beragam media, bahkan juga kolom ini, merupakan sarana ampuh kita dalam melakukan kontrol itu.

Melalui kolom ini Epistoholik Indonesia (EI) terus mengajak rakyat agar mau cerewet bila ada pemimpin yang melenceng, berperilaku tak sesuai hati nurani dan akal sehat kita. Mereka itu manusia biasa, walau satrio piningit sekali pun.

Apalagi seperti kata sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, manusia bila dikaruniai kekuasaan akan cenderung sangat mudah berubah, bahkan dalam hitungan tiap detiknya pun (!), dalam upayanya terus memanipulasi kekuasaan untuk keuntungan dirinya sendiri. Atau seperti kata cendekiawan Nurcholish Madjid, seorang pemimpin yang pada awalnya nampak suci, tetapi dengan berjalannya waktu dirinya selalu cenderung melakukan pembenaran atas apa yang ia lakukan untuk kepentingannya sendiri.

Seorang penyanyi rock Amerika, Bruce Springsteen, walau mungkin tak mengenal Soeharto, tetapi ia mampu memaparkan sepak terjang pemimpin Orde Baru yang seperti disinyalir Cak Nur di atas. Lirik lagunya Badlands antara lain :

Orang miskin ingin menjadi orang kaya
Orang kaya ingin menjadi raja
Dan raja tak akan berpuas diri
apabila tidak berhasil menguasai segalanya !

Oleh karena itu, di alam demokrasi rakyat harus terus cerewet. Terutama para mahasiswa. Sebab seperti kata James Buchanan, I like the noise of democracy , saya menyukai gaduhnya demokrasi. Kegaduhan satu ini jelas jauh lebih baik daripada tenang-tenang tetapi rakyat terus di bawah gencetan rejim yang represif, penuh ancaman, membuat demokrasi mati atau terkerdilkan !

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


--------------


GENDRUWO DI SEKOLAH KITA
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 13/10/2004


Bill Cosby adalah komedian terkenal dan doktor pendidikan. Dalam salah satu lawakannya ia bilang, setiap gedung sekolah dasar selalu ada penunggunya, yaitu gendruwo yang misterius. Makhluk itulah dari tahun ke tahun mengajarkan kata-kata jorok, bernuansa kekerasan, dan mengipas-ipas kemarahan anak-anak sekolah dasar kita. Karena misteriusnya sampai-sampai kalangan guru tidak mengetahui wabah ini telah menyerang muridnya, sekaligus juga tidak mengetahui dari mana sumbernya.

Kiasan Cosby di atas sejalan dengan sinyalemen Ibu Frieda NRH, psikolog pendidikan dari Undip, yang mengatakan bahwa pendidikan kita penuh kekerasan (Kompas, 25/8). Apa solusinya ? Saya pernah membaca, sebuah sekolah dasar di Amerika Serikat mencoba menyuburkan kecerdasan emosional murid-muridnya lewat pelajaran melukis bebas. Setelah selesai, tiap-tiap anak diminta untuk memuji karya lukis teman lainnya. Tuntutan untuk memuji itu mendorong anak lebih mencermati obyek lukisan yang ia nilai, cerita yang dikandung, komposisi, warna sampai kesan yang mampu ia tangkap. Seluruh isi kelas tenggelam dalam suasana santai, banyak tertawa, saling berempati dan saling menghargai keunikan dan perbedaan tiap individu yang tercermin dalam karya lukis masing-masing.

Kegiatan ekstra lainnya, untuk tujuan yang sama, misalnya mengajak mereka mengunjungi panti jompo. Anak-anak itu membawa kucing atau anjingnya, yang kemudian dikenalkan kepada penghuni panti jompo. Mereka bercakap-cakap, dan membiarkan para lansia itu membelai-belai kucing atau anjing milik anak itu. Kunjungan ini dapat diulang pada minggu-minggu berikutnya. Atau mereka diajak ke panti-panti asuhan untuk membacakan cerita-cerita bagi anak sebayanya yang kurang beruntung.

Mungkin dengan cara seperti ini kita dapat mengurangi gangguan gendruwo-nya Bill Cosby atau cekaman atmosfir kekerasan yang diam-diam, tak teraba, begitu pekat berkabut di sekolah-sekolah kita.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


---------------


MENULISLAH DENGAN CINTA !
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 11/10/2004


Surat kabar dan profesi kewartawanan pantas jadi etalase pentingnya keterampilan menulis. Oleh karena itu sangat dihargai diadakannya program pelatihan jurnalistik, seperti dilaporkan Aman Musthofan dari SMPN 2 Purbalingga di kolom ini (Kompas, 30/8) yang lalu. Tetapi pelatihan semacam juga menimbulkan bias. Kesan saya, keterampilan menulis lalu sepertinya hanya difokuskan untuk tujuan menulis artikel di surat kabar semata. Memang tidak keliru fatal. Tetapi mengingat persaingan untuk dimuat amat ketat, penolakan demi penolakan bagi penulis pemula dapat berakibat motivasi menulis mereka terancam patah arang.

Hemat saya, program pelatihan jurnalistik itu perlu diperkaya wawasan dan perspektif, terutama pemahaman bahwa keterampilan menulis dibutuhkan oleh beragam profesi. Dari antropolog sampai zoolog, membutuhkan keterampilan menulis. Dalam tahap awal tersebut yang penting ditanamkan, walau tidak mudah, adalah kecintaan untuk menulis dan terus menulis. Sepanjang hayat. Kalau kecintaan menulis sudah membara dan menggelora, maka mudah terjadi momen ajaib seperti disebut psikolog Joice Brothers sebagai bujukan untuk komitmen total. Dalam tahap ini hal hebat pun hadir : kita melihat solusi, menemukan cara dan sarana yang sebelumnya tidak tertangkap oleh perhatian kita. Keterampilan kita menulis tersebut mudah menemukan pelbagai kemungkinan untuk diaktualisasikan.

Sekadar contoh, ketika mahasiswa bisa menulis surat pembaca, dan dimuat, membuat saya mabuk jadi epistoholik (orang kecanduan menulis surat pembaca) yang makin kronis hingga kini. Walau sadar sejak awal bakal tidak dibayar, tetapi kecintaan itu berbuntut imbalan menyenangkan. Misalnya, agar tulisan tidak klise, hanya dijejali ide-ide kuno, secara otomatis kita jadi getol belajar dan membaca pengetahuan yang mutakhir. Bonus pun berlimpah. Dari banyak teman, diprofilkan di majalah dan termasuk, baru-baru ini, dilamar setengah paksa agar mau bergabung dalam perusahaan jaringan media.

Kisah nyata ini, hemat saya, klop dengan resep sukses yang dibeber Lee Silber dalam bukunya Self-Promotion for the Creative Person (2001) : focus on what you love and the money will follow. Jadi, mari menulis dengan cinta.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


--------------

SURAT PEMBACA, MEDIA EDUKASI
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 7/10/2004


Kolom surat pembaca banyak digunakan untuk melontarkan kritik. Baik kritik terhadap layanan atau produk perusahaan, perilaku birokrat, dan pelbagai isu-isu lainnya. Biasanya kemudian fihak yang kena kritik melakukan klarifikasi, memberikan penjelasan. Di sinilah kolom ini menunjukkan manfaat yang besar bagi masyarakat, sekaligus sebagai cerminan dan perwujudan budaya demokrasi.

Agar kolom ini mampu memberi manfaat lebih besar lagi, saya usulkan agar pelbagai fihak, baik korporasi, partai politik, lembaga pendidikan, pemerintahan sampai lembaga swadaya masyarakat, tidak hanya memanfaatkan kolom ini secara reaktif atau hanya berupa reaksi ketika muncul kritikan kepada mereka. Melainkan manfaatkanlah secara proaktif, sebagai bentuk tanggung jawab dan keterlibatan sebagai warga negara.

Mereka dapat menganjurkan seluruh warganya menulis surat pembaca, guna membagikan ilmu dan opini. Tentu saja, motivasinya tidak bertujuan beriklan, menjual produk, berpromosi atau memuja-muji diri sendiri. Tetapi berbagi informasi, wawasan dan edukasi yang berguna bagi masyarakat.

Misalnya, sebelum pergantian musim, kalangan dokter/rumah sakit menulis surat pembaca tentang kiat antisipasi ancaman penyakit demam berdarah. Menjelang musim liburan tiba, para sopir menulis surat pembaca mengingatkan sejawatnya mengenai pentingnya perawatan kendaraan yang akan digunakan untuk wisata pelajar. Mahasiswa Jawa Tengah yang tinggal di Bandung misalnya, menulis surat pembaca untuk koran Jateng mengenai seluk-beluk mencari kost bagi pelajar yang akan berkuliah di Bandung. Pendek kata, surat pembaca yang memberikan solusi dan antisipasi.

Saya angankan, isi surat pembaca semakin berbobot, kaya perspektif, aktual, dan bertambah halamannya. Silakan tengok majalah luar negeri, misalnya Harvard Business Review atau Science yang prestisius, isi surat pembacanya mengimbangi bobot tulisan utamanya. Penulisnya bisa bos perusahaan besar, para profesor dan pemenang Nobel sekali pun. Sebagai epistoholik, realitas semacam itu merupakan impian yang indah. Mari kita jadikan impian itu menjadi kenyataan !

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

------------

KAYA BERKAT TUYUL
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 4/10/2004

Ia tidak punya pabrik mobil, pabrik baja, atau pula pabrik komputer. Tetapi karena sinetron komedinya penuh canda dan tawa mampu menyedot jutaan penonton, maka ia pun terangkat menjadi milyarder. Penghasilannnya 180 juta dollar di tahun 1992. Itulah sosok Bill Cosby dalam The Cosby Show.

Apa rahasia suksesnya ? Dikukuhinya rumus universal komedi bahwa humor terbaik harus berlandaskan premis kebenaran dan harus relevan. Kita lihat Huxtable, istri, anak-anaknya, kakek, nenek dan lingkaran pergaulannya, semua sosok-sosok yang realistis. Obrolan mereka semua terkait dengan hidup orang banyak, sehari-hari. Semua keluarga melihat tayangan The Cosby Show ibarat berdiri di depan cermin dan melihat masing-masing anggota keluarga mendapatkan peran di sana.

Silakan bandingkan dengan tayangan komedi kita. Apakah konsepnya juga dilandasi premis kebenaran ? Untuk berambisi memancing tawa didatangkan gerombolan hantu, jin dan tuyul beragam ukuran, juga pemuda idiot, perempuan bergelimang lemak, sosok bogel disandingkan wanita jelita, bule mengasong rokok, menimba sumur atau kejeblos amben, atau dikotomi tindak-tanduk orang desa vs orang kota yang kentara banget dibuat-buat, artifisial.

Guru komedi terkenal Judy Carter bilang bahwa komedian sejati itu pribadi-pribadi aneh. Kalau sebagian besar orang berusaha menyembunyikan cacat dan kekurangan dirinya, tetapi komedian justru membeberkannya pada dunia. Maka, komedian-komedian dunia yang laris dan dicintai adalah mereka yang jujur, termasuk jujur memperolok dirinya sendiri. Sosok-sosok seperti itu di negeri kita boleh jadi diwakili oleh Ateng, Pak Bendot atau Darto Helem, yang semuanya kini telah almarhum.

Sisanya yang ada, ya yang seperti kita lihat di televisi-televisi itu. Tampil lawakan yang pelakunya saling melecehkan atau bermain komedi-komedi situasi dengan konsep yang tidak berlandaskan premis kebenaran dan kejujuran. Mungkin justru inilah potret paling nyata dari jati diri bangsa Indonesia, di mana untuk tertawa saja menunya semata kepalsuan dan kepalsuan.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-------------

INTERNET DI SEKOLAH
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 2/10/2004


Sekolah Menengah Atas Negeri I Solo baru saja meluncurkan situs webnya di Internet. Upaya maju ini pantas menjadi pemacu sekolah lain di Solo dan sekitarnya, walau pelbagai sekolah di Bandung sudah memulainya sejak 1998. saya berharap pendayagunaan Internet untuk pendidikan itu menghormati fitrah Internet itu sendiri.

Sebab bila pendekatannya masih tradisional, di mana guru atau penguasa pendidikan menjadi fihak yang superior, merasa paling tahu, maka hal itu hanya akan menyerimpung kedigdayaan Internet itu sendiri. Demikian pula pemanfaatan Internet hanya untuk menyerap informasi dari ratusan ribu situs web, nilai edukasinya pun tidak maksimal.

Hemat saya, pelajar kita, dari SD s.d PT, harus menjadi kreator, memproduksi informasi dan mengeksploitasi kelebihan Internet yang mendunia itu. Karena Internet ampuh sebagai sarana collaborative learning, misalnya bisa digagas ada sekelompok siswa membuat proyek pengajaran bahasa Jawa. Mereka mengajar secara interaktif untuk murid-muridnya, misalnya anak-cucu orang Jawa yang tinggal di Suriname, di Liuzhov Propinsi Guanxi China Selatan, Thailand Selatan, juga mereka yang tinggal di Jakarta atau Jayapura. Sementara kelompok lain mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA di Australia, Meksiko atau Rusia.

Majalah TIME (5/1995) ketika memuat tulisan pemanfaatan Internet di sekolah sebagai revolusi pembelajaran, memberi contoh tentang guru Malcolm Thompson dari Sekolah Dalton di New York, ketika mengajarkan astronomi. Tujuh komputer di kelas itu secara real time menayangkan jagat raya hasil amatan teleskop Observatorium Palomar di California. Dengan bantuan piranti lunak, para murid diminta memilih tiga bintang dan menghitung kekuatan cahaya serta suhunya. Intinya : para pelajar itu tidak lagi belajar astronomi, melainkan mereka tampil sebagai astronom itu sendiri !

Menjadikan para pelajar sebagai pengajar, kreator dan menjadi pelaku aktif, merupakan metode terampuh guna memacu penyerapan mereka terhadap materi pelajaran. Metode ini jauh lebih menyenangkan, memorable, ketimbang metode suap dan hapalan yang merajalela di sekolah kita selama ini.

BAMBANG HARYANTO
Epistoholik Indonesia

---------------


PERGINYA LAYANGAN
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 30/9/2004




Tanggal 8 September 2004 di warung soto Terminal Angkuta Wonogiri, kau menjadi bahan pembicaraan. Seorang berkata, Munir telah meninggal. Lainnya menyahut, ya, Munir yang banyak omong itu telah meninggal. Saya mencatat dialog jujur rakyat itu. Bagi awam, omongan atau isu tentang orang hilang, hak-hak asasi manusia (HAM), kebebasan pers, penegakan hukum, sampai superioritas sipil atas militer dan sejenisnya yang kau ungkapkan bertahun-tahun, memang mengesankan dirimu banyak bicara.

Banyak omong adalah kelebihanmu, senjata utamamu. Terutama di saat terlalu banyak orang bungkam, takut bicara hal-hal yang benar. Semua omonganmu itu tidaklah sia-sia. Selain omongan, di tengah angin perubahan dan banyak orang suka tiarap, kau juga menjadi teladan banyak anak muda. Seperti kata Hamilton Mabie, jangan takut terhadap deraan angin hambatan dan kesengsaraaan. Ingatlah layang-layang, yang membubung naik bila diterpa angin daripada bila terbang bersama angin. Itulah sosokmu. Selama ini, semakin angin keras menerpamu, terbang mu pun semakin meninggi.

Saya dan kita semua, sungguh tidak tahu rencana Tuhan. Tetapi kau telah dijemput kembali ke haribaan-Nya saat kau mengapung di atas mega-mega dalam penerbangan dari Jakarta menuju Belanda, mudah-mudahan itu pertanda baik. Bahwa Tuhan menyayangimu. Seperti halnya mereka-mereka yang selama ini telah tersentuh oleh mulianya niatmu, omonganmu, juga tindakanmu.

Saya secara pribadi tidak mengenalmu, tetapi ijinkan saya ikut berdoa semoga Tuhan memberimu tempat yang layak di sisiNya. Selamat jalan, Munir. Terbanglah sang layang-layang, dalam damai, menuju keabadian.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

--------------

MENULIS VS BERBURU PEKERJAAN
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 21/9/2004


Kalau keterampilan menulis dianggap tidak menentukan hidup Anda, tanyakan pendapat bagian perekrutan pegawai di sesuatu perusahaan setelah mereka menyeleksi ratusan atau ribuan surat lamaran yang membanjiri kantornya. Jawaban yang umum mereka berikan pastilah keluhan : antara satu pelamar dan pelamar lainnya sulit dibedakan penampilannya secara tertulis. Calon yang potensial atau yang sebaliknya, semuanya menjual diri dengan format yang sama dan bahasa yang sama pula.

Mengapa demikian ? Karena mereka memang hanya menjiplak format-format surat lamaran yang telah ada. Mereka menjiplak, walau sudah lulus sarjana pun, karena keterampilan menulisnya memang menyedihkan. Akibatnya pun fatal. Oleh karena bagian perekrutan karyawan itu rata-rata hanya memerlukan waktu beberapa detik saja dalam memeriksa/menyeleksi sepucuk surat lamaran, maka dapat dibayangkan berapa banyak surat-surat yang bergaya seragam itu meluncur ke tempat sampah.

Realitas brutal dan tak kenal ampun yang terjadi akibat minusnya keterampilan menulis pada sumber daya manusia kita, adalah hukum besi yang tak mudah diiingkari. Pakar pemasaran legendaris, Al Ries dan Jack Trout, dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (McGraw-Hill, 1991) pernah bilang bahwa pemasaran yang paling teramat sulit adalah pemasaran diri kita sendiri. Jadi. kalau pencari kerja menulis karangan biasa saja tidak mampu, dapat dibayangkan seperti apa kualitas sajian surat lamaran yang dalam ranah komunikasi bisnis senyatanya merupakan karya iklan, sekaligus surat promosi, yang bertujuan menjual diri penulisnya agar lolos ke tahap krusial berikutnya, tahapan wawancara !

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia


-----------

NALAR YANG MASIH TIDAK GATHUK !
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 18/9/ 2004

Sivitas akademika Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang pantas dipuji ketika menempuh kebijakan melarang segala bentuk iklan rokok di lingkungan kampusnya. Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di Purwokerto berdemo menuntut dicabutnya sarana reklame rokok dalam suatu kegiatan di kampus. Lebih hebat lagi, Universitas Petra Surabaya menetapkan larangan merokok di lingkungan kampusnya sejak pertengahan Agustus 2004.

Berapa banyak institusi pendidikan kita dan warganya berlaku cerdas seperti ketiga kampus tadi ? Tidak banyak. Banyak kepala sekolah atau rektor yang tidak merasa bersalah bila ring basket, bangku taman di lingkungannya, terpampang merek rokok. Tidak sedikit mahasiswa yang mengadakan kegiatan di kampus, turnamen olahraga misalnya, dengan alasan lebih mudah mencari duit sponsor maka dikirimi proposal utama adalah pabrik-pabrik rokok.

Realitas yang menyedihkan. Insan-insan cendekia kita itu begitu tertabrak upaya memperoleh uang, maka mudah saja terjadi apa yang disebut sebagai cognitive dissonance (CD), kesadaran yang tak nyambung. Demi uang, mereka seolah melupakan dampak bahaya yang ditimbulkan oleh rokok dan kebiasaan merokok yang mereka kampanyekan itu. Nalar rancu, tidak gathuk ini, dikuatirkan akan mudah berlanjut bila mereka telah terjun di masyarakat. Dengan berpendapat demi uang maka apa pun suara hati, suara kesadaran, boleh dipinggirkan. Ini benih korupsi, bukan ?

Nalar rancu itu tak hanya diidap oleh insan-insan kampus kita. Pada tanggal 19/8/2004, Presiden kita mengunjungi pasukan TNI-Polri yang bertugas di Aceh, di lembah Aloe Gintong, Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Kepada para prajurit, seperti dilaporkan Kompas (20/8/04 :1), Presiden berpesan : “Jaga kesehatanmu dan berhati-hatilah dalam bertempur”. Berita yang sama telah dimuat di Solopos (20/8/04 :2) bertajuk : Di Aceh, Presiden bagikan rokok kepada prajurit.

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------

PROMOSI PERGURUAN TINGGI YANG “UNIK”
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 10/9/ 2004


Setiap kali tahun akademi baru tiba maka pelbagai perguruan tinggi menempuh aneka cara dalam beriklan. Misalnya berpromosi lewat spanduk, baliho, iklan-iklan di media massa, selebaran, dan lain cara. Untuk beriklan lewat spanduk, kadang pada satu titik tiang pancang yang strategis, terpasang lebih dari empat spanduk perguruan tinggi. Pemandangan pun jadi riuh, ruwet, dan sangat disangsikan apakah promosi mereka sampai kepada sasaran.

Saya ingin memberi usulan untuk memperkaya jalur berpromosi yang tradisional di atas.. Yaitu, dengan mendirikan pos-pos layanan informasi yang permanen di pelbagai kabupaten. Strateginya, beberapa perguruan tinggi yang bersaing itu melakukan apa yang disebut coopetition, kerja sama sekaligus berkompetisi. Hal ini lajim dilakukan oleh pabrik-pabrik raksasa komputer.

Misalnya, ada 4 perguruan tinggi yang membidik calon mahasiswa asal Wonogiri, mereka dapat berpatungan membeli sebuah komputer. Masing-masing iuran @ Rp. 500 – 750 ribu, sudah dapat diperoleh komputer yang memadai. Komputer itu lalu disumbangkan ke Perpustakaan Wonogiri, fihak yang diajak kerja sama dan mendapat tugas untuk mengelola serta mengoperasikannya.

Perguruan tinggi sponsor yang bekerjasama tadi, kemudian tinggal bersaing dalam hal memasok CD-ROM ke perpustakaan tersebut dan menyelenggarakan acara penunjangnya. Dalam CD-ROM itu bisa dikemas informasi yang kaya dan mendalam tentang PT bersangkutan, termasuk kisah-kisah sukses para mahasiswa dan alumnusnya. Sokur-sokur yang berasal dari Wonogiri. Kalau ada mahasiswanya yang berasal dari Wonogiri atau alumnusnya yang kini bertugas di Wonogiri, libatkan mereka dalam acara demo atau ceramah di perpustakaan yang dapat diagendakan sepanjang tahun. Puluhan topik dan kegiatan bisa dikreasi, baik mempromosikan minat baca, kiat menulis, ceramah kesehatan remaja, aneka lomba, dan promosi perguruan tinggi bersangkutan.

Kalau spanduk hanya berumur 1-2 minggu, pesannya pun terbatas, maka dengan adanya komputer akan dibukakan peluang-peluang baru bagi PT bersangkutan sepanjang tahun untuk mempraktekkan dharma ketiga PT, sekaligus menggalang interaksi yang edukatif dengan calon mahasiswa, mahasiswa, kalangan alumnusnya dan masyarakat luas. Selamat mencoba dan sukses untuk Anda !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

------------

SAMPAH DI WONOGIRI
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 7 /9/2004

Kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling menelorkan teori broken windows (jendela pecah) untuk menerangkan asal muasal epidemi tindak kejahatan. Mereka berpendapat, kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di lingkungan tersebut tidak ada yang peduli atau bahwa rumah tersebut tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu. Menurutnya, di sebuah kota, awal yang remeh seperti corat-coret grafiti, ketidakteraturan, dan pemalakan, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius lagi.

Teori jendela pecah itu terjadi dalam hal pembuangan sampah di Wonogiri. Walau kota ini memiliki Perda No 5/1986 yang melarang pembuangan sampah ke aliran sungai, tetapi lihatlah timbunan sampah di tebing sungai di seberang SDN Wonogiri 8, Sukorejo, Wonogiri. Sampah di area ini bakal terus menumpuk karena masyarakat juga nampak semakin hari semakin tidak merasakan bahwa perbuatannya itu sebagai suatu kesalahan. Timbunannya banyak berupa sampah plastik yang tidak bisa terurai dalam waktu puluhan tahun . Kalau sampah styrofoam, tak bakal terurai selama 500 tahun !

Siapa hirau akan ancaman polusi sampah ini ? Seperti biasanya, perilaku pemerintah dan masyarakat kita dalam menanggapi ancaman bahaya pencemaran lingkungan selalu cenderung tergerak bereaksi bila korban-korban keburu berjatuhan.

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia