Tuesday, December 28, 2010

AFF 2010,Chappy Hakim dan Budaya Korupsi Kita



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Indonesia mabuk kemenangan. Di arena olahraga yang menjadi favorit berat warganya. Di Piala AFF 2010. Tetapi ketika impian itu terancam terempas, tidak banyak yang mau berusaha menggali akar penyebab mengapa semua bencana itu terjadi.

Di antara warga Indonesia yang terpanggil untuk membedah tragedi kekalahan timnas Indonesia 3-0 ditekuk Malaysia pada laga leg pertama final Piala AFF, di Bukit Jalil 26 Desember 2010, adalah Chappy Hakim. Ia pensiunan marsekal, pernah menjabat sebagai KSAU, dan kini aktif sebagai blogger Kompasiana yang kemudian karya-karyanya diterbitkan sebagai buku.

Ulasan menarik dia berjudul Belajar Dari Tragedi Bukit Jalil, yang antara lain merujuk semacam excuse dari pelatih timnas, Alfred Riedl, yang berkali-kali mengatakan bahwa timnya itu sebagai tim yang "belum jadi."

Chappy Hakim menulis : "Sejatinya,jawaban dari hal tersebut sudah diutarakan oleh sang pelatih Alfred Riedl dari sejak awal. Dia berulang kali mengatakan bahwa tim ini sebagai tim yang “belum jadi”. Maknanya adalah, dalam meraih prestasi olahraga, harus diingat bahwa tidak akan pernah sukses itu diraih dengan tiba-tiba. Sukses dalam olahraga tidak bisa tidak harus dijalani melalui tahapan-tahapan berlapis yang harus dilakoni.

Kematangan satu tim sepak bola hanya akan diperoleh dari pengalaman bertanding yang panjang.Kekompakan dalam kerja sama tim hanya akan dapat diraih dari seringnya mereka bermain bersama, tidak hanya latihan, tetapi juga lebih-lebih dalam bertanding.

Tidak hanya bertanding di kandang sendiri, tetapi juga bertanding di kandang lawan. Tidak hanya satu dua kompetisi yang harus diikuti, tetapi juga harus banyak dan sering mengikutinya.Juara hanya dapat diraih dengan “jam terbang” yang cukup."

Bemper seksi Chappy. Pendapat Chappy Hakim di atas adalah pendapat yang masuk akal. Tetapi nampaknya dia kurang menyadari betapa dunia persepakbolaan Indonesia telah hidup dalam "atmosfir busuk" selama ini. Bukan hanya belitan budaya instan yang hidup di kepala para suporter dan semua pemangku kepentingan dunia sepakbola kita, termasuk melakukan naturalisasi Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim sebagai upaya menelan pil ajaib mendongkrak prestasi, tetapi terdapat "lubang hitam" lainnya yang lebih dahsyat.

Fenomena "lubang hitam" itu sudah sering saya ungkapkan berkali-kali. Tetapi, tidak ada salahnya saya tuliskan lagi,untuk menanggapi buah pemikiran Chappy Hakim tadi. Inilah pendapat saya selengkapnya :

“Bemper” seksi yang dipasang Pak Chappy Hakim (beda dengan milik Jupe) dengan merujuk pendapat Alfred Riedl bahwa timnya adalah tim “yang belum jadi,” menarik untuk terus dibincangkan. Namun ijinkanlah saya ingin menambahi, betapa “penyakit” sepakbola Indonesia lebih serius dan lebih kronis. Sering sekali untuk blog saya, saya mengutip ucapan Sekjen Asian Football Confederation (AFC), Peter Velappan, di majalah Asiaweek (5/6/1998) menjelang Piala Dunia 1998.

Ia tegaskan : “Indonesia adalah Brazilnya Asia. Pesepakbola Indonesia bermain dengan intelejensia dan bakat unik yang tidak ada duanya di dunia. Bakat-bakat mereka lebih baik dibanding pemain Korea atau Jepang. Pada era 50 dan 60-an, tim-tim Asia jangan bermimpi mampu menaklukkan tim Asia Tenggara.” Tetapi dalam setengah abad terakhir tim-tim Asia Tenggara, termasuk Indonesia hanya bisa memble berat.

Karena menurutnya, "akibat pengelolaan manajemen yang amburadul dan dan tidak bisa membersihkan dirinya dari belitan budaya korupsi." Ada foto Rocky Puitiray lagi melompat (ditulis sebagai Perry Sandria), dengan teks : "Pemain Indonesia banyak yang berbakat, tetapi pengaturan skor meruyak dimana-mana."

Penyakit kronis persepakbolaan kita lainnya, kita bisa belajar dari Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, mengungkap bahwa posisi sepak bola Indonesia dalam percaturan dunia kini berada dalam posisi periferi, pinggiran.

Dalam artikel "View from the Periphery : Football in Indonesia" dalam buku Garry Armstrong dan Richard Giulianotti (ed.), Football Cultures and Identities (1999), ia menggarisbawahi keterpurukan prestasi sepakbola Indonesia sebagai akibat masih meruyaknya budaya kekerasan di teater sepak bola kita dan belum kokohnya budaya demokrasi di negeri ini. Seolah memberi garis bawah realitas itu, seorang Emil Salim baru-baru ini menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia ibarat anak-anak yang masih berusia 2-3 tahun.

Tanggal 8/1/2005 dan 16/1/2005, sebagai warga Wonogiri saya ikut mendukung timnas di final Piala Tiger 2004. Baik di Senayan mau pun di Kallang, Singapura. Saat itu saya memakai kaos bertuliskan slogan, "I Believe The Withe Magic." Saya percaya akan kepiawaian pelatih timnas saat itu, Peter Withe yang asal Inggris. Toh kita gagal. Padahal, sebelum melatih timnas kita Peter Withe berjaya melatih tim Thailand.

Kalau dia mampu sukses hebat melatih tim Gajah Putih, mengapa dirinya gagal total ketika melatih tim Indonesia ? Pertanyaan itu dan ucapan Peter Velappan atau pun Freek Colombijn, terus saja berdengung di telinga saya bila timnas berlaga di ajang internasional. Sampai saat ini. Mungkin akan kembali mengeras bila nanti Alfred Riedl gagal membuahkan keajaiban di Senayan, Rabu Malam, 29 Desember 2010."

Apa pendapat Anda ?


Wonogiri, 29 Desember 2010

Thursday, December 23, 2010

Nyanyian Angsa Untuk Kompas Jawa Tengah


Untuk milis Epistoholik Indonesia, 23 Desember 2010


Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Salam episto ergo sum,

Selamat bersiap merayakan Hari Natal untuk Mas FX Triyas Hadi Prihantoro di Solo, Mas Kukuh Widyatmoko di Malang, juga Mas Thomas Sutasman di Cilacap, dan warga EI yang siap merayakannya.

Juga untuk redaksi dan wartawan Harian Kompas Jawa Tengah yang siap menyambut Natal, Tahun Baru 2011, dan juga situasi baru koran ini pula.

Kemarin, Rabu 22 Desember 2010, saya memperoleh SMS dari Mas Joko Suprayoga (Kendal) : “Kabar buruk pak BH, mulai 2 Jan 2011 nanti Kompas Jateng akan ‘ditutup,’ semua akan dinasionalkan, jadi benar kata pak BH, saatnya buat blog untuk menulis.” [10.23.17].

Balasan saya : “Tks. Wah kok ya sedih juga. 7 mug yll itu salam perpisahan ? Kita lihat 2/1/11 nanti. Ttp ngeblog hrs terus/dimulai, demi terus memperkuat otot2 menulis kita, bukan ?” [10.59.25].

Swan song, itu salah satu lagu dari The Bee Gees.
Nyanyian angsa, itu salah satu judul puisinya Rendra.
Intinya sama : lagu perpisahan.

Warga Epistoholik Indonesia (EI) yang berdomisili di Jawa Tengah, akan segera (atau sudah ?) mendengarkan lagu perpisahaan, sembari didera rasa kehilangan salah satu mitra terdekat sekaligus lahan bhakti untuk berkiprah, ketika nanti tak ada lagi lembaran Kompas Jawa Tengah yang bisa kita pergoki setiap pagi ?

Ada seorang tokoh berpendapat, bila sebuah koran yang paling jelek pun mati, hal itu merupakan kabar buruk bagi demokrasi. Lalu bagaimana kita harus bersikap ketika koran sebaik Kompas ternyata memutuskan untuk melikuidasi edisi Jawa Tengah-nya dan seperti kata Mas Joko, lalu “menasional”-kan diri ?

Apakah hal itu akan membuat kiprah kita sebagai kaum epistoholik, utamanya yang tinggal di Jawa Tengah, menjadi kehilangan arena untuk ikut menyumbangkan pikiran sebagai pengejawantahan mekanisme checks and balances dalam kehidupan berdemokrasi ?

Kita lihat pada tanggal 2 Januari 2011 nanti.

Tetapi seperti tergambar dalam paparan profil komunitas Epistoholik Indonesia di koran Solopos (5/12/2010), kita harus membuka mata betapa kolom surat pembaca di pelbagai surat kabar nampak kian hari, kian menyusut. Ada yang menghapuskannya, ketika kaplingnya laku dijual untuk iklan. Bentuk kolomnya juga sering “pletat-pletot” ketika dijepit sana-sini untuk pemajangan iklan-iklan pula.

Kapling yang menyusut, membuat semangat kita (minimal saya) untuk menulis juga ikutan mengkerut. Rupanya “penyakit” ini diam-diam juga menyebar, sehingga saya sudah dua kali mendapat info dari “orang dalam” surat kabar itu sendiri : ketika stok surat pembaca tidak ada sama sekali, terpaksa muncul surat pembaca “banjelan,” yang hasil rekayasa, karena ditulis oleh sang wartawan surat kabar itu sendiri.

Baguskah ini semua untuk demokrasi ?
Pendapat Anda kami tunggu.

Yang pasti, harapan saya, kondisi eksternal, yang diluar kuasa kita, boleh saja berubah. Tetapi kini tiba saatnya kita harus menanggapi semua perubahan itu secara kreatif. Ketika satu pintu tertutup, semoga masih banyak lagi jendela-jendela lainnya yang akan terbuka.

Seperti diingatkan kembali oleh Mas Joko Suprayoga, kita dapat saja terus menulis dengan media blog, seperti telah saya berusaha kampanyekan selama ini.

Jadi kalau Mas Triyas, seperti dikutip di Solopos Minggu (5/12/2010) telah bilang bahwa media blog adalah media alternatif, maka kini tiba saatnya mendaulat blog itu sebagai episenter aktivitas menulis kita sebagai warga e-pistoholik.

Huruf “e” sengaja saya pisah, sebagai penekanan betapa kepanjangannya, yaitu “electronic,” akan mengantar (Anda semua tahu) buah-buah pemikiran kita yang kita tulis di media digital itu mampu,secara teoritis, merangkul audien dunia.

Harapan saya : kalau Anda selama ini mampu menulis surat-surat pembaca atau artikel di media-media berbasis atom (baca =kertas) dengan cinta, dengan bersemangat, maka hal serupa juga dibutuhkan ketika Anda menulis untuk media-media berbasis bits, sinyal-sinyal elektronik, yaitu blog-blog Anda.

Karena tanpa cinta, tanpa semangat, tanpa passion, tanpa adanya panggilan hati, gagasan-gagasan itu tidak akan mampu terbang jauh untuk menyelinap ke sanubari pembaca-pembaca Anda.

D. H. Lawrence (1885–1930), novelis dan penyair Inggris, telah bilang : “Duduk-duduk manis sajalah bila kau tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi bila panggilan hati menggerakkanmu, katakanlah yang harus kau katakan, dan katakan semuanya dengan sepenuh gelora.”

Bermediakan blog, dimana Anda adalah penulis, editor, penerbit, sekaligus sebagai pemilik media, ujaran D.H. Lawrence itu dapat Anda lakukan secara paripurna. Sekarang juga !

Salam episto ergo sum !


Bambang Haryanto

PS : Apakah saya sebagai warga EI sebaiknya tinggal di kota besar ? Saya baru saja dapat SMS dari “Putri” mahasiswa Ilmu Komunikasi Unpad Bandung. Ia mendapat tugas kuliah, menulis features, dan ia memilih topik kiprah kaum epistoholik. Dalam SMS ia bertanya : “kapan saya bisa mewawancarai Bapak ?”

SMSnya belum saya balas.

Apakah ia kira-kira tahu kalau domisili saya di Wonogiri ? Kalau jadi, ia adalah mahasiswa Unpad yang kedua yang mau jauh-jauh dari Bandung untuk mencari info langsung tentang EI. Kalau boleh memilih, dia kan bisa wawancara via email saja ?

Saturday, December 11, 2010

Menulis Itu Magic,Menulis Itu Senjata Dahsyat!


Dikirimkan ke Milis Epistoholik Indonesia, Minggu, 12 Desember 2010


Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Dear sobat warga Epistoholik Indonesia,
Salam episto ergo sum !
Semoga sehat-sehat.

Apa “sarapan” pagi Anda di hari Minggu, 12/12/2010 ini ?

Saya tadi pagi jalan kaki ke kawasan Waduk Gajah Mungkur(GM), Wonogiri. Berangkat jam 04.45, sampai rumah kembali jam 07.30.

Sempat memotret posisi kamera/webcam dari situs Solo City View, yang dipasang untuk memantau pintu air (spill way) bendungan waduk Gajah Mungkur melalui Internet. Saya juga memotret papan pengumuman “Dilarang Membuang Sampah Ke Sungai” yang juga mencantumkan nama diler sepeda motor sebagai sponsor. Terpasang di bibir sungai.

Tentu saja, sampah yang dibuang ke sungai sudah tidak lagi berbekas di tempat itu. Tetapi larangan tersebut membawa dampak lain : tumpukan sampah justru bertimbun di sekitar papan pengumuman itu terpasang. Jadi pesan pengumuman itu benar-benar tepat sasaran !

Aktivitas lain, sekitar setengah jam saya membaca-baca bukunya Andrias Harefa. Happy Writing (2010). Di bibir waduk, dengan di depan saya adalah hamparan air, dan sinar matahari membias keemasan di permukaan. Juga satu perahu. Mirip lukisan Cina yang hening itu.

Buku itu berisi 50 tips agar aktivitas menulis bisa “ngasyik.” Buku ini hadiah dari Stube-HEMAT, saat saya menjadi narasumber pelatihan menjadi komunikator yang positif bagi mahasiswa di Yogya, 4-5/12/2010. Terima kasih, Widiaji (“nama dia 2-3 kali disebut di buku itu” – kali ini sebagai figuran :-), moga lain kali jadi pemain utama). Terima kasih untuk mBak Ariani yang sudi menuliskan pesan kenangan di buku itu pula.

Sampai di rumah, sesudah mandi, antena wi-fi sudah hidup. Langsung fasilitas hotspot di rumah ini menjadi tiga titik ketika saya menghidupkan komputer. Sempat membaca berita penguburan Elizabeth Edwards (61), mantan istri calon wakil presiden dari Partai Demokrat dalam Pilpres AS 2004, John Edwards.

Liz Edwards itu punya ketegaran dalam mengarungi kehidupan. Ketika anak lelakinya meninggal dalam kecelakaan mobil di usia 16, dirinya mengidap kanker payudara, lalu suaminya selingkuh dan memiliki anak dari pacarnya. [Saya memiliki folder untuk Elizabeth Edwards, yang penulis dua buku laris itu].

Saya juga menerima empat email, satu email sampah, pagi itu. Satu dari Mas Darminto M Sudarmo (Semarang), mantan redaktur majalah HumOr. Ia menulis catatan di akun FB-nya, menanggapi ide saya kemarin agar 30 Desember (2010) didaulat sebagai Hari Humor Nasional.

Sekaligus untuk memperingati hari wafat dan mutiara warisan humor Gus Dur (2009) dan meninggalnya Dono Warkop (2001). Di blog saya sebut kata-kata mutiara tentang makna penting humor, antara lain : “Humor lenyap, kebudayaan lenyap.” Kalau Anda ada waktu, silakan klik : disini.

Email lain dari Widiaji (Yogya). Ia saya minta untuk mem-FWD email saya ke temannya, Rudhita, berisi jawaban saya tentang bukunya Howard Gardner, The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach (1991).

Dengan gegabah bisa saya katakan, kalau guru atau pendidik yang tidak pernah membaca atau menerapkan isi buku ini, resikonya adalah : Anda hanya akan membuat “otak muridnya tak pernah bersekolah.” Saya pernah menuliskannya, di surat pembaca harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 29 November 2005

Email berikutnya dari rekan kuliah saya, Bakhuri Jamaluddin (Tangerang). Ia yang pernah mengirimi saya buku karyanya, kini menagih imbalan : minta dikirimi buku
Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010). Tunggu, Bakh. Mas Joko Suprayoga (Kendal) yang mengatakan penasaran dengan buku ini, moga-moga sudah memperoleh jawaban. Semoga toko-toko buku utama di Semarang sudah memajangnya !

Email keempat, kabar bagus dan menarik, dari Nurfita Kusuma Dewi. Entah, kirim emailnya dari Yogya atau dari Semarang, yang pasti ia mengabarkan bahwa artikelnya hari ini telah dimuat di harian Solopos, di kolom Jeda. Judulnya : Eksistensi Wayang Di Pengungsian Merapi. Silakan klik : disini.

Walah, di tengah hujan abu dan banjir lahar dingin, si mBak yang bekerja di Departemen Keuangan ini (“walau cita-cita terdalamnya adalah menjadi guru”), banyak bercerita tentang pelbagai pentas wayang di daerah Magelang-Yogya seusai Merapi mengamuk. Juga bercerita cukup menukik tentang lima peran wayang. Sebagai sarana komunikasi sosial, pentas drama, suara kebudayaan, hiburan dan industri.

Bagi saya, yang lumayan nyenggol diri saya sebagai kaum epistoholik, adalah ketika Nurfita cerita tentang kaitan wayang dengan industri. Saya pernah menulis surat pembaca menyikut hal itu sebagai berikut ini :

Wayang, Membunuh Demokrasi ?
Dimuat : Kompas Jawa Tengah, Kamis, 27 Maret 2008 : D


Dalang sebagai seniman, bila menurut Rendra, seharusnya berumah di angin. Ia seorang resi yang tidak lagi berorientasi ke hal-hal duniawi, senantiasa menyuarakan kebenaran dan hati nurani rakyat. Wahana untuk itu terbuka ketika berlangsungnya adegan goro-goro yang menampilkan para punakawan, Semar dan anak-anaknya. Semar yang konon setengah manusia dan setengah dewa itu merupakan personifikasi “suara rakyat adalah suara Tuhan” pula.

Tetapi di jaman industri dewasa ini banyak resi alias dalang wayang yang juga ingin kaya raya. Maka pesan-pesan dalam pertunjukan wayangnya pun tidak luput dari filosofi “maju tak gentar, membela yang bayar.”

Saya pernah mendengarkan adegan Limbukan yang seluruh isi adegannya memuji-muji kebijakan pimpinan perusahaan besar yang menyewa dalang bersangkutan. Padahal perusahaan itu memproduksi barang-barang yang bila dikonsumsi berpotensi mengancam kesehatan.

Kini pun marak fenomena aneh lainnya, ketika resi di depan kelir atau layar itu ternyata pejabat pemerintahan. Atau tokoh politik. Jadi mudah dibayangkan, wayang terkooptasi menjadi abdi atau pelayan agenda para pejabat bersangkutan. Barangkali bisa disebut sebagai wayang top-down. Wayang yang dibajak pengusaha dan pejabat.

Merujuk fakta itu kita mudah ingat analisis klasik ahli politik George McTurnan Kahin yang berujar bahwa salah satu penghalang demokrasi di Indonesia adalah kultur politik masyarakat yang senantiasa menyandarkan segala sesuatu kepada arahan dari atas.

Jadi pertunjukan wayang yang diperkirakan semakin marak menjelang dan selama kampanye Pilgub Jawa Tengah 2008 nanti, ujung-ujungnya justru menyerimpung dan bahkan membunuh kehidupan demokrasi di Indonesia ?

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612

Bagian lain dari isi email Nurfita yang menggelitik adalah saat ia merujuk isi Solopos (Minggu, 5 Desember 2010) yang memprofilkan komunitas Epistoholik Indonesia kita. Tulisan itu, menurutnya, mengesankan bahwa kiprah menulis surat pembaca adalah ranah dominannya kaum-kaum kasepuhan.

Tetapi yang lebih menarik, ia bersemangat ingin melakukan upaya regenerasi, agar menulis surat-surat pembaca itu kini juga menjadi aksi gaul para kaum muda.

Terima kasih, Nurfita. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Widiaji/Stube-HEMAT yang tergerak mengajak dan membimbing mahasiswa untuk bergairah dalam aktivitas penulisan surat-surat pembaca. Kalau regenerasi di EI dinilai tidak berjalan secara baik, saya kira benar adanya. Kita memang belum pernah membuat semacam gerakan secara bersama untuk itu. Mungkin karena dengan menulis di koran atau blog sudah kita anggap sebagai contoh dan perbuatan nyata. Beberapa kali liputan media tehadap keberadaan EI, juga di radio, merupakan contoh promosi yang lain. Memang belum ideal.

Apalagi, menulis itu tak bisa diajarkan, tetapi bisa dipelajari. Artinya, yang dituntut untuk aktif adalah sang pelaku itu sendiri. Tetapi saya yakin, masing individu warga EI, dengan karya dan karisma :-) masing-masing sudah memiliki fans setia dan di antara mereka akan hadir penulis-penulis surat pembaca yang baru. Memang tidak pakai gembar-gembor, saya sendiri tak jarang mengirimi SMS untuk para penulis surat pembaca (diluar EI) yang karyanya pantas memperoleh apresiasi.

Kebetulan, wacana terkait hebatnya aktivitas menulis surat, kemarin saya menonton film The Hurricane (1999) yang mengharukan. Surat seorang pelajar SMA kepada petinju kulit hitam yang dijebloskan ke penjara melalui peradilan yang bias, curang dan membunuh keadilan, membuat semangatnya yang luruh untuk bangkit dan berjuang. “Menulis itu magic, keajaiban. Menulis adalah senjata yang dahsyat,” begitu antara lain dialog yang bernas dan menggugah dalam film itu.

Mari kita bercermin. Banyak di antara kita sebagai warga EI, mungkin banyak yang tidak menyadari kekuatan dahsyat yang kita miliki dengan kemampuan menulis itu. Kita tak acuh, menelantarkan, meneledorkan senjata itu, tidak mengasahnya, mungkin karena keangkuhan, menunggu pujian, menuntut imbalan uang, dibelenggu rasa iri, dengki, mindset scarcity mentality, dan kemalasan. Pilihan itu diam-diam akan menjerembabkan kita bahwa ketidakmampuan menulis yang menginspirasi (baik surat, surat pembaca, blog, buku, dll) sebagai hal yang kita anggap biasa-biasa saja.

Bila itu yang terjadi,walau dari luar nampak segar-bugar dan hidup, yakinlah ada lampu yang telah padam di dalam diri kita.

Janganlah tragedi itu terjadi.
Salam episto ergo sum !


Bambang Haryanto
Bukunya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010) telah beredar awal Desember 2010 ini. Jangan sampai kehabisan !

Monday, October 04, 2010

Sindrom Ogilvy, Upaya Mengenang Guru dan Dosen Kita

Dikirimkan ke Milis Epistoholik Indonesia, Senin, 4 Oktober 2010


Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com



Mabuk masa lalu. Salam episto ergo sum ! Anda mengenal nama David Ogilvy ? Dia bukan penulis surat pembaca top. Tetapi sosok yang dikenal sebagai "nabi" periklanan.

Dalam buku yang disebut sebagai kitab suci insan perklanan sampai kini, Confessions of an Advertising Man (1963), Ogilvy menjawab pertanyaan tentang apa saja kelemahan dirinya yang paling parah. Dalam salah satu jawabannya, nomor 3, ia bilang : "Like everyone my age I talk too much about the past. " Seperti halnya orang-orang seusia saya, saya terlalu banyak membicarakan masa lampau.

Ogilvy berkata demikian saat berumur 75.
Saat ini saya berumur 57 tahun. Tetapi rupanya saya sudah sangat sering dan parah terkena "Sindrom Ogilvy" tersebut. Karena di milis ini saya akan cerita tentang masa lalu pula.

Pemicunya, di akun Facebook saya, seorang teman kuliah (kini Dekan di UIN Jakarta), menuliskan kabar bahwa dosen saya di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI (kini FIB), Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak, (foto di bawah) meninggal dunia, di usia 85 tahun. Wafat tanggal 28 September 2010 yang lalu.


Sumber besar kepala. Tanggal 3-4 Februari 1982, Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI menyelenggarakan Loka Karya Pemanfaatan Media Teknologi Untuk Promosi Perpustakaan Perguruan Tinggi.

Moderator untuk salah satu presentasi makalah saat itu antara lain adalah Ibu Rusina, dan saya yang masih berstatus mahasiswa saat itu menjadi nara sumbernya.

Sebagian teman konon kemudian berkasak-kusuk bahwa "sejak presentasi itu Bambang punya tingkah laku, gaya berjalan dan memiliki ukuran kepala yang berbeda. Bahkan gaya merokoknya pun berbeda, karena kini ujung yang dihisap adalah ujung rokok yang menyala :-(

Saya segera membongkar-bongkar gudang buku saya, alias kamar saya juga, untuk menemukan buku harian saya tahun 1980. Masa lalu, 30 tahun yang lewat itu, momen-momennya segera berparade di depan mata. Ada nama Nurul Oetomo. Upik Syahrir. Widhiana Laneza. Juga Hotel Blambangan di Semarang. Lagunya duo America, "A horse with no name" dan duo Simon & Garfunkel, "The only living boy in New York."

Barangkali, itulah untungnya bila Anda memiliki buku harian. Anda bisa merasa "muda" lagi, setiap kali. Minimal memudakan, membugarkan otak Anda karena lebih mampu me-recall atau me-rewind secara rinci apa yang Anda alami dalam hidup Anda di masa lalu itu. Filmnya Julia Roberts dan Kevin Sutherland, Flatliners, juga kurang lebih bercerita seputar topik itu pula.

Tetapi kabar duka semacam itu kadang terus meninggalkan buntut. Masih merujit-rujit sisi terdalam hati saya. Juga saat menulis catatan ini. Kenapa aku baru menulis kenangan untuknya, ketika beliau sudah kembali keharibaan Allah ? Kenapa kita tidak menulisnya ketika beliau-beliau, para dosen kita itu, saat masih bisa bertegur sapa dengan kita, walau pun hanya lewat dunia maya ?

Setahun lalu, Rabu, 2 September 2009, saya pernah memposting tulisan bermisi serupa di milis kita ini. Sebelumnya juga saya kirimkan ke Kompas Jawa Tengah, tetapi tidak dimuat. Saya refresh lagi, moga berguna.

Reuni dan Jasa Guru Kita

Hari Raya Idul Fitri sering identik momen kegiatan reuni. Baik sesama mantan pelajar sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dalam ajang silaturahmi itu sering juga diundang para mantan guru-guru mereka. Sungguh, kegiatan yang mulia dan membekaskan kenangan.

Sayang, reuni itu lebih banyak porsi pesta nostalgianya. Alangkah baiknya bila diberi sentuhan edukatif, misalnya dengan menghimpun kenangan para mantan siswa terhadap teman dan juga guru-guru mereka dalam bentuk buku atau blog. Teknologi kini memungkinkan kita menerbitkan buku secara print on demand atau blog di Internet yang relatif murah dan mudah.


Sekadar ilustrasi, dalam beberapa posting dalam blog, saya telah menulis tentang Pak Mufid Martohadmojo (foto), mantan guru bahasa Inggris saya di SMP Negeri 1 Wonogiri tahun 1969.

Setelah berpisah puluhan tahun, suatu momen yang berkesan saat kami bisa bertemu di Perpustakaan Daerah Wonogiri. Walau sudah lama pensiun, beliau tidak berhenti untuk terus belajar.

Dalam reuni unik itu saya bisa gantian menjadi "guru" beliau. Dengan memanfaatkan akses Internet perpustakaan, saya dapat menunjukkan apa saja yang telah saya tulis tentang beliau. Termasuk mencatat jasa beliau dalam menanamkan kecintaan terhadap bahasa Inggris sebagai sarana untuk mereguki luasnya khasanah ilmu pengetahuan dunia, yang lalu bisa disumbangkan kepada kemaslahatan bersama.

Selamat bereuni. Jangan lupa, dokumentasikan juga kenangan terhadap para guru-guru kita. Suatu umpan balik yang nilainya tidak seberapa bila dibandingkan dengan dedikasi guru-guru kita dalam mendidik kita di masa lalu.

Itulah posting/surat pembaca saya tentang usulan upaya mengenang jasa guru/dosen-dosen kita di masa lalu. Foto kami berdua, saya dan Pak Mufid di atas, dijepret tanggal 27 November 2008, dengan latar belakang rak-rak buku di perpustakaan

Kalau Anda ada waktu, tulisan kenangan tentang dosen saya itu dapat Anda klik di artikel EE 105/Oktober 2010 : JIP 1980 dan Ibu Rusina Dalam Kenangan Saya.

Kabar lain lagi : Epistoholik Indonesia kini memiliki logo baru. Apa bentuknya, akan saya ceritakan di masa mendatang.

Selamat terus menulis.
Juga (mulai) menulis buku harian Anda !


Bambang Haryanto

[Diketik pagi hari diiringi lagu "Kashmir"-nya Led Zeppelin, "Rain" dari The Beatles, "Everybody Hurts"-nya The Corrs dan "Claire de lune"-nya Claude Debussy].


Wonogiri, 4-5 Oktober 2010

Wednesday, April 21, 2010

Wawancara Annida Online Dengan Epistoholik Indonesia





Catatan : Sebuah portal berita Annida Online telah melakukan wawancara melalui email kepada Bambang Haryanto sebagai pendiri komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia.

Hasil wawancara itu yang rencananya akan dipajang dalam rubrik "Aksara" telah dilangsungkan tanggal 5 April 2010 yang lalu. Tanya-jawab secara lengkap disajikan di bawah ini.

Semoga bermanfaat.


Tanya : Apa yang menjadi latar belakang pendirian Epistoholik Indonesia (EI)?

Jawab : Epistoholik Indonesia (EI) digagas sebagai komunitas dan wahana jaringan antarpenulis surat-surat pembaca se-Indonesia.

Istilah epistoholik saya peroleh dari majalah TIME (6 April1992) yang menjuluki Anthony Parakal (72 tahun), warga Evershine Nagar, Mumbay, India, karena prestasi hebatnya dengan menulis surat pembaca di pelbagai surat kabar India sebanyak 5.000 surat berbahasa Inggris.

Parakal telah menulis surat-surat pembaca sejak tahun 1955. Istilah itu merupakan paduan dari kata “epistle”, yang berarti surat dan imbuhan “oholic” yang berarti kecanduan.

Melalui wahana Epistoholik Indonesia ini antarpenulis surat pembaca dapat saling mengenal, kemudian dalam semangat asah-asih-asuh saling menyemangati sesamanya untuk menghasilkan karya surat-surat pembaca yang kritis dan bermanfaat bagi masyarakat.

Epistoholik Indonesia merupakan jaringan orang-orang bebas untuk bebas berpikir dan bebas bersuara melalui tulisan. Istilah sok keren-nya, sebagai kumpulan intelektual jalanan (street smart intellectuals). Kami bersepakat untuk saling bersaing dalam “mengompori” guna menghasilkan karya-karya surat pembaca yang bermanfaat bagi masyarakat.

Kami selalu mendorong siapa saja, baik sesama warga Epistoholik Indonesia (kami menyebutnya bukan anggota, karena tak ada kartu anggota) atau pun bukan, untuk berani mengutarakan gagasan melalui kolom terhormat ini.

Antara lain berkat terbantu kehadiran media berbasis Internet, yaitu blog, selain untuk mendokumentasikan karya surat-surat pembaca warga Epistoholik Indonesia, juga diharapkan dapat menjadi sumber ilham atau rujukan bagi para penulis surat pembaca generasi berikutnya.

Secara tidak langsung pula, warga Epistoholik Indonesia ikut bersama mendorong dan mempromosikan menulis, aktivitas melahirkan gagasan dalam bentuk tertulis, sebagai salah satu media pembelajaran seumur hidup bagi setiap insan.

Secara spesifik, mengingat kebanyakan para penulis surat pembaca adalah warga senior (pensiunan), maka dengan sarana Internet seperti ini berpeluang dibukakan interaksi lintas generasi. Sehingga perbendaharaan dan pengalaman hidup yang kaya dari para generasi senior itu terbuka untuk didialogkan dengan generasi yang lebih muda, juga dalam suasana dan semangat asah-asih-asuh.

Epistoholik Indonesia terbuka untuk siapa saja yang berkehendak secara tulus memberikan sumbangsih guna semakin memperkaya wawasan, pengetahuan dan keterampilan semua warga Epistoholik Indonesia.

Persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan dengan institusi (pelayanan publik oleh birokrasi dan swasta, konsumen, dll) bagaimana yang bisa dijadikan surat pembaca?

J : Semua masalah, baik terkait dengan layanan publik atau swasta, dapat menjadi subjek penulisan surat pembaca. Utamanya bila terjadi kesenjangan antara janji dengan realitas yang dampaknya merugikan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu dalam beragam transaksi yang terjadi.

Apakah surat pembaca itu langkah pertama setelah mendapat keluhan atau ada langkah lain sebelum melayangkan surat pembaca tersebut? Kalau ada, langkah apa yang sebaiknya dilakukan sebelum itu ?

J : Surat pembaca biasanya ditulis sebagai sarana/media/wahana individu dan atau kelompok masyarakat untuk menyampaikan keluhan. Mengenai apa hal itu sebagai langkah pertama atau bukan, tidak menjadi masalah. Bahkan biasanya penulisan surat pembaca dinilai sebagai langkah solusi yang terakhir, ketika keluhan atau negosiasi yang terjadi melalui jalan dialog menemui jalan buntu.

Pengirim surat pembaca sering pada akhirnya mendapat masalah. Dari sisi perlindungan hukum di Indonesia, bagaimana negara menempatkan surat pembaca saat ini?

J : Kasus mengenai penulisan surat pembaca yang kemudian berkembang menjadi masalah hukum, mencuat dengan kasus Khoe Seng Seng akhir-akhir ini. Secara teori, negara wajib melindungi warganya dalam menyatakan pendapat. Tetapi dalam prakteknya hal ideal itu bisa jadi tidak terjadi.

Kami, warga Epistoholik Indonesia (EI), khususnya saya sendiri yang setiap saat menjalin kontak dengan Khoe Seng Seng saat itu, bisa bersyukur. Karena berkat Internet terjadilah mobilisasi pendapat masyarakat yang ikut membela posisi Khoe Seng Seng, termasuk ketika ia memperoleh Anugerah Tasrif Award dari Asosiasi Jurnalis Independen (AJI).

Bagaimana media massa sebagai mediator antara dua pihak yang berkepentingan memberikan perlindungan bagi pengirim surat pembacanya?

J : Salah satu bentuk perlindungan dari fihak media adalah dengan tidak mencantumkan nama dan alamat pengirim surat pembaca untuk kasus-kasus tertentu. Tetapi, hemat saya, hal semacam itu kini jarang terjadi. Sementara itu oleh media untuk fihak yang dikeluhkan, telah disediakan hak jawab berupa kesempatan memberikan tanggapan untuk dimuat pada kolom yang sama.

Apa kekuatan dari seseorang yang menuliskan gagasannya di surat pembaca?

J : Kebenaran. Surat pembaca harus ditulis berdasarkan fakta, dan bukan berupa fitnah atau pemutarbalikan fakta. Selebihnya, surat pembaca harus ditulis dengan mematuhi norma sopan-santun dan etika, mampu menguraikan masalah secara jernih, tanpa dibumbui dengan vonis atau hujatan yang tidak konstruktif guna memperoleh pemecahan masalah secara adil.

Beberapa kasus (misal si Aseng) yang menuliskan masalah yang dihadapinya melalui surat pembaca di sebuah harian, ditanggapi negatif oleh pihak2 tertentu? Mengapa ini bisa terjadi?

J : Khoe Seng Seng ketika mengurai kasus yang membelitnya, ia secara ksatria telah memberikan tips bagi para penulis surat pembaca agar tidak terbelit kasus seperti dirinya. Antara lain, ketika menulis surat pembaca berupa keluhan atas produk/layanan jasa dari pelaku usaha, gunakan kata-kata yang tidak berkonotasi negatif, dan hindari rangkaian kalimat yang berarti menuduh pelaku usaha berbuat sesuatu.

Hindari penggunaan kata "ditipu", "tertipu", "menipu", "bohong", "berbohong", "dibohongi", "mencuri", "dicuri", dan sebagainya, karena kata-kata ini bisa membawa akibat penulis dipidanakan dan digugat.

Pelaku usaha yang memang berniat berbuat curang akan menyatakan belum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan pelaku usaha ini menipu, berbohong, ataupun mencuri. Jadi tidak bolehlah penulis menghujat dengan menuduh bahwa pelaku usaha ini menipu, berbohong, ataupun mencuri. Jika penulis tetap ingin menggunakan kata-kata ini, tambahkanlah kata "diduga" di depan kata-kata di atas. Jadi susunan katanya menjadi "diduga menipu", "diduga berbohong", ataupun "diduga mencuri".

Apakah surat pembaca berikut komunitasnya seperti EI telah dianggap sebuah kekuatan yang menentukan kebijakan/kepentingan publik dalam hal-hal tertentu?

J : Saya kira, kurang-lebihnya, memang demikian. Emanuel Rosen dalam The Anatomy of Buzz : How To Create Word-of-Mouth Marketing (2000) menyebutkan bahwa di Amerika Serikat para penulis surat pembaca termasuk golongan orang Amerika yang berpengaruh.

Mereka merupakan warga negara pilihan karena keterlibatannya dalam kegiatan publik, politik atau pun sosial. Jadi senyatanya suatu kehormatan dan kebanggaan sebagai seorang epistoholik di negara yang memerlukan warganya harus terus cerewet untuk mengontrol tegaknya demokrasi dan jalannya roda pemerintahan.

Apakah ada kaitan kritisme seseorang yang disampaikan ke publik lewat media massa ( surat pembaca) dengan perkembangan kesadaran literasi yang harus dimiliki masyarakat?

J : Kaitannya erat sekali. Masyarakat yang semakin kuat bangunan budaya literasinya, atau budaya baca-tulisnya, akan memandang isi surat-surat pembaca tersebut sebagai bagian dari eksistensi mereka sebagai warga sebuah masyarakat yang demokratis. Bahkan, sesuai tesis dari Rebecca McKinnon, surat pembaca dapat dijadikan sebagai media pembelajaran masyarakat terhadap beragam isu yang terjadi.

Rebbeca MacKinnon, seorang blogger dan peneliti di Universitas Harvard yang mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo itu pernah berujar bahwa seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik.

Misalnya untuk mensosialisasikan pemilu dan individu caleg bersangkutan, sebaiknya para birokrat partai dan para caleg itu mengajari rakyat untuk menulis di beragam media. Baik artikel atau surat-surat pembaca di media massa, atau pun di blog-blog di Internet. Termasuk membebaskan mereka untuk menuliskan kritik untuk para caleg bersangkutan.

Dengan demikian maka papan peraga kampanye para caleg di jalanan itu bukan sebagai media indoktrinasi, yang searah, yang membodohi rakyat. Melainkan lebih merupakan undangan awal bahwa caleg bersangkutan bersedia membuka telinga untuk mendengar aspirasi rakyat atau konstituen mereka.

Bagaimana perkembangan surat pembaca saat ini di media massa, terutama dikaitkan dengan perkembangan media komunikasi dan informasi lewat internet yang sangat pesat?

J : Ketika media cetak mengalami benturan dan goncangan akibat kehadiran Internet, tentu saja berpengaruh terhadap kolom surat pembaca dan para penulis surat pembaca. Saya sendiri, sekarang lebih banyak menyalurkan opini dan atau ekspresi melalui media blog di Internet dibanding menulis surat-surat pembaca di media cetak. Karena lebih cepat, lebih bebas dari kontrol redaksi media cetak, dan relatif lebih mudah untuk memperoleh tanggapan.

Hemat saya, kebanyakan media massa cetak itu terlalu konservatif dan terlalu defensif, sehingga pelbagai kelebihan Internet itu tidak mampu mereka kelola secara cerdas untuk menjadikan kolom-kolom surat pembaca itu sebagai media percakapan yang hidup antara media, pembaca dan fihak yang menjadi sasaran dalam isi surat-surat pembaca tersebut.

Sekadar dugaan, karena kebanyakan pengelola kolom surat-surat pembaca adalah para wartawan yang mendekati pensiun, dan kadang-kadang gaptek pula, sehingga mereka tidak tersentuh oleh realitas kemajuan jaman yang serba cepat dewasa ini.


Boleh ditambahkan hal-hal yang ingin ditambahkan.

mandom resolution award 2004,bambang haryanto,sarlito wirawan sarwono

J : Sejak tahun 2004, saya telah mengajak warga Epistoholik Indonesia untuk mengelola blog masing-masing di Internet. Obsesi saya ini kemudian saya ikutkan dalam lomba Mandom Resolution Award 2004 di Jakarta, dan menang. Dalam foto saya berdiri nomor empat dari kanan. Paling kanan adalah Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, ketua juri.

Tetapi tidak mudah mengenalkan media baru ini kepada teman-teman EI saya tersebut. Padahal saya punya cita-cita bahwa menulis surat pembaca di media massa cetak itu merupakan appetizer, umpan tekak, bagi pembaca. Sedang main course, hidangan utamanya, adalah di blog-blog tersebut.

Di blog kita bisa menulis lebih leluasa, dan juga dapat dilangsungkan diskusi/percakapan dengan para pembaca. Cita-cita ini tidak mudah terlaksana, karena sebagian besar media cetak akan menghilangkan data alamat situs (url) blog yang tertera menyertai surat-surat pembaca kita.


Profil Bambang Haryanto terkait dengan komunitas Epistoholik Indonesia telah dimuat di Majalah Intisari (“Masuk Buku Rekor Karena Surat Pembaca,” Juli 2004), Harian Solopos (“Mengenal Komunitas Penulis Surat Pembaca,” 10/11/2004) dan tayangan Bussseeet ! di TV7 (20/3/2005 dan 18/5/2005).

Majalah MataBaca (“Episto Ergo Sum : Saya Menulis Surat Pembaca Karena Saya Ada !,” Oktober 2005), Mingguan Seputar Semarang (“Epistoholik Indonesia, Komunitas Penulis Surat Pembaca : Obat Ampuh Menghilangkan Stres,” 27 Juni 2006), Harian Media Indonesia (“Manusia, Radio, Dan Satu Gelombang,” 10 September 2006), Harian Republika (“Saya Ada Karena Surat Pembaca,” 21 April 2007), Harian Kontan (“Jurnalisme Warga Epistoholik,” 29 Mei 2007) dan Koran Tempo edisi Jateng/DIY (“Candu Itu Surat Pembaca,” 29 januari 2010).

Juga menjadi isi mata acara Saga yang disiarkan secara nasional oleh Jaringan Kantor Berita Radio 68H Jakarta (6/11/2006) dan Saga Interaktif di Radio Utan Kayu, Jakarta (11/12/2006).

Blog Epistoholik Indonesia di : http://episto.blogspot.com. Sementara blog yang memajang tulisan Bambang Haryanto sebagai pencetus EI adalah Esai Epistoholica, di : http://esaiei.blogspot.com. Pada tanggal 27 Januari 2005, bertepatan dengan pengesahan Rekor MURI kepada saya sebagai pendiri komunitas EI, pada hari itu pula dicanangkan sebagai Hari Epistoholik Nasional.



Wonogiri, 5 April 2010

Friday, April 09, 2010

Indonesia, Homo Homini Lupus, Perjuangan Kita


Pesan melalui Facebook kepada Jerry Gogapasha, ventrilokuis Surabaya, 9/4/2010


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Thanks, Jerry untuk obrolannya tadi sore. Memang benar, untuk sukses itu kita tak bisa sendirian. Kita harus lebih dulu mendidik orang lain, agar mereka juga pandai, dan baru sesudah itu kita bisa ramai-ramai mampu meraih sukses secara bersama.

Sayangnya, televisi di Indonesia belum ada greget untuk melatih para penulis komedi. Aku baru bisa melakukan apa yang bisa aku lakukan.

Mungkin karena hal itu membuat ajaran luhur Stephen R. Covey, bahwa dunia ini melimpah ruah dengan berkah, belum mengakar dalam dunia komedi kita. Dunia komedi kita berprinsip sebaliknya, dunia ini serba langka, maka prinsip yang subur adalah kita harus saling membandingkan dan saling memperebutkan. Sukses bagi si A, merupakan neraka bagi saya.

Akibatnya, di dunia komedi kita itu kadang masih kuat sikap mental homo homini lupus. Untuk survive kita harus saling mencakar. Saling “membunuh.”

Mengapa ?

Karena teknik mengkreasi lawakan belum dikuasai triknya, sehingga membuat materi lawakan menjadi langka. Akibatnya, mereka lalu cenderung hanya bisa saling mengintip kreasi lawakan satu sama lainnya untuk ditiru, atau dimodifikasi.

Perjuangan kita masih panjang.
Sukses selalu untuk Jerry.


Bambang Haryanto


Wonogiri, 9/4/2010