Monday, July 27, 2009

Komedi Indonesia, Ekonomi Kreatif, dan Inovasi Komedi
Komentar di Facebook untuk artikel Darminto M Sudarmo, Lawak Indonesia Mau ke Mana?, diunggah Jumat, 24 Juli 2009



Tks, Mas Darminto. Untuk lelucon malapropism a la Tukul, yaitu fish to fish, akan terjadi bila Tukul ketemu Omas. Satu arwana, satunya koki. Di Fakultas Fishologi. Tentang kultur oral, saya juga suka kok. Tetapi sebagai bujangan tua, saya lama tidak mempraktekkan lagi kultur oral satu itu, walau gaya favorit saya adalah gaya “densus 69.”

Tentu mas, saya bukan anti pertemuan lho. Maksud saya, mari kita maksimalkan media, utamanya yang berbasis Internet yang sudah tersedia itu, sebelum dan bahkan sesudah nantinya ada pertemuan itu.

Memperindag Marie Pangestu pernah bilang, ekonomi kreatif itu hanya bisa hidup subur bila tingkat kemelekan komunitas pendukungnya terhadap Teknologi Komunikasi dan Informasi (TKI) yang tinggi. Padahal komedi adalah lahan ekonomi/industri kreatif yang menantang untuk diolah dan dijelajah.

Tidak hanya di televisi, radio, juga media-media baru seperti telepon seluler yang audiensnya melonjak dari hari ke hari. Termasuk fenomena non-linearnya mBah Surip.

Kalau warga komunitas komedi tidak melek TKI, ya progres kita tentu terganjal karenanya. Mau tak mau kita memang harus mau meng-up date diri kita sendiri. Kalau tidak, kita terjebak dalam sindrom menunggu dan hanya menunggu.

Dengan terus berdiskusi, berbisik-bisik di dunia maya, minimal kita berbuat agar dunia komedi itu terus mampu buzzing, mbrengengeng kayak tawon. Berdengung dan berdengung. Siapa tahu bisik-bisik kita itu nanti akan meledak seperti bisik-bisiknya Prita Mulyasari. Untuk itu memang harus ada movement, dimulai dari kelompok-kelompok kecil dulu.

Sejarah menunjukkan, begitu Clay Shirky (bisa dicari di Google) bilang, bahwa inovasi akan muncul “dari kelompok kecil dari sejumlah besar warga yang saling berdiskusi.” Untuk dunia komedi Indonesia, ya Anda semua dan kita-kita ini sebagai warga kelompok kecil itu, dari suku komedi yang harus berdiskusi. Mungkin suku yang aneh dan rada terasing, tetapi semoga saja bukan sebagai suku yang segera terancam punah :-(.

Tentang ide Mas Darminto agar saya ketiban pulung menjadi “tukang dobrak,” kiranya harapan itu berlebihan. Karena begitu banyak poros dalam dunia ini untuk digulirkan. Simak saja apa yang disebutkan oleh Mas Uki Bayu Sedjati, yang bilang “kepingin melibatkan telaah terhadap pelawak ke dalam kehidupan di sekitar kita, misal: kondisi & status sosial-ekonomi-pendidikan, industri & kapitalisasi, peran media massa, dll.”

Luas sekali. Bisa ga, beliau menuliskan uneg-unegnya tersebut ? Mungkin dalam blognya pribadi ? Atau nunut di My Note-nya Mas Dar ini ? Saking luasnya telaah untuk dunia komedi, sering saya tulis, bahwa saya ibarat seekor nyamuk dalam perkampungan kaum nudis. Tahu apa yang saya perbuat, tetapi belum tahu harus dimulai dari mana….Buzz, buzzz, buzz. Nguing, nguing, nguing. Bingung.

Bagaimana bila dimulai dari isu klub komedi amatir tadi ? Engga maksa lho.

Bambang Haryanto
Pengelola Blog Komedikus Erektus ! :
http://komedian.blogspot.com

bh

No comments:

Post a Comment