Wednesday, April 21, 2010

Wawancara Annida Online Dengan Epistoholik Indonesia





Catatan : Sebuah portal berita Annida Online telah melakukan wawancara melalui email kepada Bambang Haryanto sebagai pendiri komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia.

Hasil wawancara itu yang rencananya akan dipajang dalam rubrik "Aksara" telah dilangsungkan tanggal 5 April 2010 yang lalu. Tanya-jawab secara lengkap disajikan di bawah ini.

Semoga bermanfaat.


Tanya : Apa yang menjadi latar belakang pendirian Epistoholik Indonesia (EI)?

Jawab : Epistoholik Indonesia (EI) digagas sebagai komunitas dan wahana jaringan antarpenulis surat-surat pembaca se-Indonesia.

Istilah epistoholik saya peroleh dari majalah TIME (6 April1992) yang menjuluki Anthony Parakal (72 tahun), warga Evershine Nagar, Mumbay, India, karena prestasi hebatnya dengan menulis surat pembaca di pelbagai surat kabar India sebanyak 5.000 surat berbahasa Inggris.

Parakal telah menulis surat-surat pembaca sejak tahun 1955. Istilah itu merupakan paduan dari kata “epistle”, yang berarti surat dan imbuhan “oholic” yang berarti kecanduan.

Melalui wahana Epistoholik Indonesia ini antarpenulis surat pembaca dapat saling mengenal, kemudian dalam semangat asah-asih-asuh saling menyemangati sesamanya untuk menghasilkan karya surat-surat pembaca yang kritis dan bermanfaat bagi masyarakat.

Epistoholik Indonesia merupakan jaringan orang-orang bebas untuk bebas berpikir dan bebas bersuara melalui tulisan. Istilah sok keren-nya, sebagai kumpulan intelektual jalanan (street smart intellectuals). Kami bersepakat untuk saling bersaing dalam “mengompori” guna menghasilkan karya-karya surat pembaca yang bermanfaat bagi masyarakat.

Kami selalu mendorong siapa saja, baik sesama warga Epistoholik Indonesia (kami menyebutnya bukan anggota, karena tak ada kartu anggota) atau pun bukan, untuk berani mengutarakan gagasan melalui kolom terhormat ini.

Antara lain berkat terbantu kehadiran media berbasis Internet, yaitu blog, selain untuk mendokumentasikan karya surat-surat pembaca warga Epistoholik Indonesia, juga diharapkan dapat menjadi sumber ilham atau rujukan bagi para penulis surat pembaca generasi berikutnya.

Secara tidak langsung pula, warga Epistoholik Indonesia ikut bersama mendorong dan mempromosikan menulis, aktivitas melahirkan gagasan dalam bentuk tertulis, sebagai salah satu media pembelajaran seumur hidup bagi setiap insan.

Secara spesifik, mengingat kebanyakan para penulis surat pembaca adalah warga senior (pensiunan), maka dengan sarana Internet seperti ini berpeluang dibukakan interaksi lintas generasi. Sehingga perbendaharaan dan pengalaman hidup yang kaya dari para generasi senior itu terbuka untuk didialogkan dengan generasi yang lebih muda, juga dalam suasana dan semangat asah-asih-asuh.

Epistoholik Indonesia terbuka untuk siapa saja yang berkehendak secara tulus memberikan sumbangsih guna semakin memperkaya wawasan, pengetahuan dan keterampilan semua warga Epistoholik Indonesia.

Persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan dengan institusi (pelayanan publik oleh birokrasi dan swasta, konsumen, dll) bagaimana yang bisa dijadikan surat pembaca?

J : Semua masalah, baik terkait dengan layanan publik atau swasta, dapat menjadi subjek penulisan surat pembaca. Utamanya bila terjadi kesenjangan antara janji dengan realitas yang dampaknya merugikan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu dalam beragam transaksi yang terjadi.

Apakah surat pembaca itu langkah pertama setelah mendapat keluhan atau ada langkah lain sebelum melayangkan surat pembaca tersebut? Kalau ada, langkah apa yang sebaiknya dilakukan sebelum itu ?

J : Surat pembaca biasanya ditulis sebagai sarana/media/wahana individu dan atau kelompok masyarakat untuk menyampaikan keluhan. Mengenai apa hal itu sebagai langkah pertama atau bukan, tidak menjadi masalah. Bahkan biasanya penulisan surat pembaca dinilai sebagai langkah solusi yang terakhir, ketika keluhan atau negosiasi yang terjadi melalui jalan dialog menemui jalan buntu.

Pengirim surat pembaca sering pada akhirnya mendapat masalah. Dari sisi perlindungan hukum di Indonesia, bagaimana negara menempatkan surat pembaca saat ini?

J : Kasus mengenai penulisan surat pembaca yang kemudian berkembang menjadi masalah hukum, mencuat dengan kasus Khoe Seng Seng akhir-akhir ini. Secara teori, negara wajib melindungi warganya dalam menyatakan pendapat. Tetapi dalam prakteknya hal ideal itu bisa jadi tidak terjadi.

Kami, warga Epistoholik Indonesia (EI), khususnya saya sendiri yang setiap saat menjalin kontak dengan Khoe Seng Seng saat itu, bisa bersyukur. Karena berkat Internet terjadilah mobilisasi pendapat masyarakat yang ikut membela posisi Khoe Seng Seng, termasuk ketika ia memperoleh Anugerah Tasrif Award dari Asosiasi Jurnalis Independen (AJI).

Bagaimana media massa sebagai mediator antara dua pihak yang berkepentingan memberikan perlindungan bagi pengirim surat pembacanya?

J : Salah satu bentuk perlindungan dari fihak media adalah dengan tidak mencantumkan nama dan alamat pengirim surat pembaca untuk kasus-kasus tertentu. Tetapi, hemat saya, hal semacam itu kini jarang terjadi. Sementara itu oleh media untuk fihak yang dikeluhkan, telah disediakan hak jawab berupa kesempatan memberikan tanggapan untuk dimuat pada kolom yang sama.

Apa kekuatan dari seseorang yang menuliskan gagasannya di surat pembaca?

J : Kebenaran. Surat pembaca harus ditulis berdasarkan fakta, dan bukan berupa fitnah atau pemutarbalikan fakta. Selebihnya, surat pembaca harus ditulis dengan mematuhi norma sopan-santun dan etika, mampu menguraikan masalah secara jernih, tanpa dibumbui dengan vonis atau hujatan yang tidak konstruktif guna memperoleh pemecahan masalah secara adil.

Beberapa kasus (misal si Aseng) yang menuliskan masalah yang dihadapinya melalui surat pembaca di sebuah harian, ditanggapi negatif oleh pihak2 tertentu? Mengapa ini bisa terjadi?

J : Khoe Seng Seng ketika mengurai kasus yang membelitnya, ia secara ksatria telah memberikan tips bagi para penulis surat pembaca agar tidak terbelit kasus seperti dirinya. Antara lain, ketika menulis surat pembaca berupa keluhan atas produk/layanan jasa dari pelaku usaha, gunakan kata-kata yang tidak berkonotasi negatif, dan hindari rangkaian kalimat yang berarti menuduh pelaku usaha berbuat sesuatu.

Hindari penggunaan kata "ditipu", "tertipu", "menipu", "bohong", "berbohong", "dibohongi", "mencuri", "dicuri", dan sebagainya, karena kata-kata ini bisa membawa akibat penulis dipidanakan dan digugat.

Pelaku usaha yang memang berniat berbuat curang akan menyatakan belum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan pelaku usaha ini menipu, berbohong, ataupun mencuri. Jadi tidak bolehlah penulis menghujat dengan menuduh bahwa pelaku usaha ini menipu, berbohong, ataupun mencuri. Jika penulis tetap ingin menggunakan kata-kata ini, tambahkanlah kata "diduga" di depan kata-kata di atas. Jadi susunan katanya menjadi "diduga menipu", "diduga berbohong", ataupun "diduga mencuri".

Apakah surat pembaca berikut komunitasnya seperti EI telah dianggap sebuah kekuatan yang menentukan kebijakan/kepentingan publik dalam hal-hal tertentu?

J : Saya kira, kurang-lebihnya, memang demikian. Emanuel Rosen dalam The Anatomy of Buzz : How To Create Word-of-Mouth Marketing (2000) menyebutkan bahwa di Amerika Serikat para penulis surat pembaca termasuk golongan orang Amerika yang berpengaruh.

Mereka merupakan warga negara pilihan karena keterlibatannya dalam kegiatan publik, politik atau pun sosial. Jadi senyatanya suatu kehormatan dan kebanggaan sebagai seorang epistoholik di negara yang memerlukan warganya harus terus cerewet untuk mengontrol tegaknya demokrasi dan jalannya roda pemerintahan.

Apakah ada kaitan kritisme seseorang yang disampaikan ke publik lewat media massa ( surat pembaca) dengan perkembangan kesadaran literasi yang harus dimiliki masyarakat?

J : Kaitannya erat sekali. Masyarakat yang semakin kuat bangunan budaya literasinya, atau budaya baca-tulisnya, akan memandang isi surat-surat pembaca tersebut sebagai bagian dari eksistensi mereka sebagai warga sebuah masyarakat yang demokratis. Bahkan, sesuai tesis dari Rebecca McKinnon, surat pembaca dapat dijadikan sebagai media pembelajaran masyarakat terhadap beragam isu yang terjadi.

Rebbeca MacKinnon, seorang blogger dan peneliti di Universitas Harvard yang mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo itu pernah berujar bahwa seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik.

Misalnya untuk mensosialisasikan pemilu dan individu caleg bersangkutan, sebaiknya para birokrat partai dan para caleg itu mengajari rakyat untuk menulis di beragam media. Baik artikel atau surat-surat pembaca di media massa, atau pun di blog-blog di Internet. Termasuk membebaskan mereka untuk menuliskan kritik untuk para caleg bersangkutan.

Dengan demikian maka papan peraga kampanye para caleg di jalanan itu bukan sebagai media indoktrinasi, yang searah, yang membodohi rakyat. Melainkan lebih merupakan undangan awal bahwa caleg bersangkutan bersedia membuka telinga untuk mendengar aspirasi rakyat atau konstituen mereka.

Bagaimana perkembangan surat pembaca saat ini di media massa, terutama dikaitkan dengan perkembangan media komunikasi dan informasi lewat internet yang sangat pesat?

J : Ketika media cetak mengalami benturan dan goncangan akibat kehadiran Internet, tentu saja berpengaruh terhadap kolom surat pembaca dan para penulis surat pembaca. Saya sendiri, sekarang lebih banyak menyalurkan opini dan atau ekspresi melalui media blog di Internet dibanding menulis surat-surat pembaca di media cetak. Karena lebih cepat, lebih bebas dari kontrol redaksi media cetak, dan relatif lebih mudah untuk memperoleh tanggapan.

Hemat saya, kebanyakan media massa cetak itu terlalu konservatif dan terlalu defensif, sehingga pelbagai kelebihan Internet itu tidak mampu mereka kelola secara cerdas untuk menjadikan kolom-kolom surat pembaca itu sebagai media percakapan yang hidup antara media, pembaca dan fihak yang menjadi sasaran dalam isi surat-surat pembaca tersebut.

Sekadar dugaan, karena kebanyakan pengelola kolom surat-surat pembaca adalah para wartawan yang mendekati pensiun, dan kadang-kadang gaptek pula, sehingga mereka tidak tersentuh oleh realitas kemajuan jaman yang serba cepat dewasa ini.


Boleh ditambahkan hal-hal yang ingin ditambahkan.

mandom resolution award 2004,bambang haryanto,sarlito wirawan sarwono

J : Sejak tahun 2004, saya telah mengajak warga Epistoholik Indonesia untuk mengelola blog masing-masing di Internet. Obsesi saya ini kemudian saya ikutkan dalam lomba Mandom Resolution Award 2004 di Jakarta, dan menang. Dalam foto saya berdiri nomor empat dari kanan. Paling kanan adalah Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, ketua juri.

Tetapi tidak mudah mengenalkan media baru ini kepada teman-teman EI saya tersebut. Padahal saya punya cita-cita bahwa menulis surat pembaca di media massa cetak itu merupakan appetizer, umpan tekak, bagi pembaca. Sedang main course, hidangan utamanya, adalah di blog-blog tersebut.

Di blog kita bisa menulis lebih leluasa, dan juga dapat dilangsungkan diskusi/percakapan dengan para pembaca. Cita-cita ini tidak mudah terlaksana, karena sebagian besar media cetak akan menghilangkan data alamat situs (url) blog yang tertera menyertai surat-surat pembaca kita.


Profil Bambang Haryanto terkait dengan komunitas Epistoholik Indonesia telah dimuat di Majalah Intisari (“Masuk Buku Rekor Karena Surat Pembaca,” Juli 2004), Harian Solopos (“Mengenal Komunitas Penulis Surat Pembaca,” 10/11/2004) dan tayangan Bussseeet ! di TV7 (20/3/2005 dan 18/5/2005).

Majalah MataBaca (“Episto Ergo Sum : Saya Menulis Surat Pembaca Karena Saya Ada !,” Oktober 2005), Mingguan Seputar Semarang (“Epistoholik Indonesia, Komunitas Penulis Surat Pembaca : Obat Ampuh Menghilangkan Stres,” 27 Juni 2006), Harian Media Indonesia (“Manusia, Radio, Dan Satu Gelombang,” 10 September 2006), Harian Republika (“Saya Ada Karena Surat Pembaca,” 21 April 2007), Harian Kontan (“Jurnalisme Warga Epistoholik,” 29 Mei 2007) dan Koran Tempo edisi Jateng/DIY (“Candu Itu Surat Pembaca,” 29 januari 2010).

Juga menjadi isi mata acara Saga yang disiarkan secara nasional oleh Jaringan Kantor Berita Radio 68H Jakarta (6/11/2006) dan Saga Interaktif di Radio Utan Kayu, Jakarta (11/12/2006).

Blog Epistoholik Indonesia di : http://episto.blogspot.com. Sementara blog yang memajang tulisan Bambang Haryanto sebagai pencetus EI adalah Esai Epistoholica, di : http://esaiei.blogspot.com. Pada tanggal 27 Januari 2005, bertepatan dengan pengesahan Rekor MURI kepada saya sebagai pendiri komunitas EI, pada hari itu pula dicanangkan sebagai Hari Epistoholik Nasional.



Wonogiri, 5 April 2010

Friday, April 09, 2010

Indonesia, Homo Homini Lupus, Perjuangan Kita


Pesan melalui Facebook kepada Jerry Gogapasha, ventrilokuis Surabaya, 9/4/2010


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Thanks, Jerry untuk obrolannya tadi sore. Memang benar, untuk sukses itu kita tak bisa sendirian. Kita harus lebih dulu mendidik orang lain, agar mereka juga pandai, dan baru sesudah itu kita bisa ramai-ramai mampu meraih sukses secara bersama.

Sayangnya, televisi di Indonesia belum ada greget untuk melatih para penulis komedi. Aku baru bisa melakukan apa yang bisa aku lakukan.

Mungkin karena hal itu membuat ajaran luhur Stephen R. Covey, bahwa dunia ini melimpah ruah dengan berkah, belum mengakar dalam dunia komedi kita. Dunia komedi kita berprinsip sebaliknya, dunia ini serba langka, maka prinsip yang subur adalah kita harus saling membandingkan dan saling memperebutkan. Sukses bagi si A, merupakan neraka bagi saya.

Akibatnya, di dunia komedi kita itu kadang masih kuat sikap mental homo homini lupus. Untuk survive kita harus saling mencakar. Saling “membunuh.”

Mengapa ?

Karena teknik mengkreasi lawakan belum dikuasai triknya, sehingga membuat materi lawakan menjadi langka. Akibatnya, mereka lalu cenderung hanya bisa saling mengintip kreasi lawakan satu sama lainnya untuk ditiru, atau dimodifikasi.

Perjuangan kita masih panjang.
Sukses selalu untuk Jerry.


Bambang Haryanto


Wonogiri, 9/4/2010