Thursday, September 02, 2004

GEMPA BUMI 10,5 RICHTER !
Dimuat di kolom Redaksi Yth – Harian Kompas Jawa Tengah, 2/9/2004


Di Bithoor, Uttar Pradesh, India Utara, ada layanan becak istimewa. Becak Internet. Bentuknya mirip kereta penjual roti kelilingan itu,tetapi yang diangkut di dalamnya adalah seperangkat komputer yang mampu mengakses Internet tanpa kabel dan berkecepatan tinggi. Seperti halnya perpustakaan keliling yang menggunakan mobil (di Wonogiri belum ada), becak Internet yang djuluki infothela (gerobak informasi) itu keliling dan mangkal di sekolah-sekolah atau balai desa. Tujuannya untuk meningkatkan pendidikan, akses informasi kesehatan dan pertanian, bagi penduduk di daerah pedesaaan.

India memang terkenal agresif mengenalkan rakyatnya manfaat teknologi informasi (TI). Kalau di Indonesia rakyatnya mengalir ke luar negeri untuk jadi TKI, sering jadi korban tindak kekerasan, pemerasan sampai pemerkosaan, di India justru pekerjaan dari negara maju yang mengalir kesana.

Dikenal dengan istilah outsourcing, beberapa perusahaan TI asal AS memindahkan sebagian unit kerjanya untuk dikerjakan oleh pekerja India secara jarak jauh. Kalau Anda menelpon perusahaan yang bermarkas di AS, yang bakal menjawab dan melayani Anda adalah orang India dan bertempat tinggal di India pula. Itulah contoh kelebihan dari TI, di mana kini orang bisa bekerja dari mana saja di belahan bumi ini.

Contoh lain, di Garut, seorang guru Deny Suwarja dan muridnya dari SMP Cibatu, juga aktif menggunakan Internet. Mereka dari desanya berkolaborasi dengan seorang guru, Chona L. Maderal dan muridnya dari Makati Science High School, Filipina, menggalang proyek bersama untuk dipresentasikan dalam Konferensi IV Asia Europe Classroom di Gromitz, Jerman, 27 September-1 Oktober 2004 mendatang.

Pak Deny yang hebat itu dan para muridnya setiap kali harus berkunjung ke warnet, yang jauhnya 6 kilometer dari desanya. Ujar beliau, seperti dikutip Kompas (30/7/2004) : kelak anak-anak akan banyak belajar sendiri dengan menggunakan Internet.

Betul, Pak Deny. Internet membawa perubahan dahsyat dalam pendidikan. Seperti kata begawan digital dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Nicholas Negroponte, Internet adalah gempa bumi berkekuatan 10,5 skala Richter yang mengguncang sendi-sendi ekonomi dan peradaban.

Tetapi seberapa banyak kalangan guru–guru di Jawa Tengah, sudah melek Internet ? Juga mampu secara proaktif dan produktif memanfaatkan keguncangan dahsyat yang sedang terjadi ini hingga dapat memberi manfaat besar bagi sekolah, siswa dan diri mereka sendiri ?

Kisah gerobak info dari India dan pandangan masa depan yang hebat dari Pak Deny Suwarja tadi, semoga mampu menjadi inspirasi bagi kita semua.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

------------


BANTAI KREATIVITAS ANAK KITA !
Dimuat di kolom Redaksi Yth – Harian Kompas Jawa Tengah, 31/8/2004



Sebagai mantan mentor melukis anak-anak, saya prihatin atas maraknya kegiatan seni lukis anak-anak yang tidak terkait dengan pengembangan kreativitas anak-anak. Kegiatan itu adalah lomba lukis anak-anak dan lomba mewarnai yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan acara non-seni, entah dikaitkan dengan peringatan hari nasional tertentu, peresmian gedung, perintah birokrat, ulang tahun perusahaan atau peluncuran produk tertentu.

Dalam pandangan pengembangan kreativitas anak-anak, lomba seperti itu berpotensi merusak kreativitas dan rasa percaya diri anak-anak. Apalagi hal itu terjadi dalam masa emas, masa-masa paling berkesan dalam hidup dan pertumbuhan mereka. Dampak negatifnya akan tergurat sepanjang hayat.

Aktivitas melukis yang seharusnya mendorong anak-anak berkreasi bebas, dalam lomba mewarnai mereka didorong untuk berkompromi. Mereka cenderung memberi warna sesuai patron, misalnya tokoh kartun yang ia kenal, gambar pemandangan yang bercorak realis, atau bahkan warna logo suatu produk atau perusahaan yang sudah baku. Tak tersisa lagi untuk pengembaraan imajinasi dan dorongan mencipta bagi mereka.

Dr. Ashfaq Ishaq dari ICAF (International Child Art Foundation) di AS menulis, di Indonesia terdapat 20 juta anak-anak (1998) yang beresiko besar terkikis habis daya kreativitasnya (risk of diminishing creativity) ketika bersekolah, pada usia 8-12 tahun.

Ia sebutkan, anak-anak itu ketika duduk di kelas 4 SD mengalami apa yang disebut sebagai fourth-grade slump, karena cenderung mulai berkompromi, tidak berani lagi ambil resiko, takut bermain-main ide dan luntur spontanitasnya. Cara pencegahannya adalah, dengan memaksimalkan usia sebelum 8 tahun untuk ditumbuhsuburkan daya-daya kreativitasnya secara benar.

Merujuk rekomendasi ICAF di atas, maka sungguh menyedihkan dan juga mengerikan betapa kita secara besar-besaran terus melakukan pembantaian terhadap daya-daya kreativitas anak-anak kita, justru sebelum mereka memasuki bangku TK. Sayangnya pula, fenomena kritis semacam tak pernah digubris oleh kalangan seniman, akademisi, mahasiswa seni rupa atau pun guru-guru seni rupa !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia


---------------


SUKSES CARI KERJA A LA THREE MUSKETEERS
Dimuat di kolom Redaksi Yth-Harian Kompas Jawa Tengah, 24/8/2004


Sebagai pengunjung setia perpustakaan, saya sering mengamati anak-anak muda yang menyimaki iklan-iklan lowongan pekerjaan di pelbagai koran. Di antaranya banyak yang saling kenal, tetapi perilakunya nampak canggung ketika bersama, sepertinya saling gengsi untuk mengaku kalau mereka kini sedang menganggur dan mencari lowongan pekerjaan. Mereka seperti tak tertarik menggalang kerja sama atau menggalang network antarmereka.

Tabiat ini mungkin akibat pola pikir yang membekas saat mereka di bangku sekolah/kuliah. Sesama murid adalah pesaing yang berebut jadi nomor satu. Sikap mental individualis semacam, sejujurnya, justru tidak kondusif bila nanti dipraktekkan di dunia kerja yang mementingkan kerja tim. Juga sangat tidak menguntungkan diri mereka saat mereka berburu pekerjaan.

Konsultan strategi berburu pekerjaan Richard Lathrop dalam bukunya Who’s Hiring Who ? (1989) memberi nasehat : daripada bersaing, sebenarnya sesama pencari kerja dapat saling membantu. Bentuklah klub pencari kerja.

Tulus berbagi informasi, baik data diri dan lowongan. Tulis dalam kartu indeks, 12,5 cm x 7,5 cm, berisi data nama, alamat, data lulusan, pekerjaan sasaran, dan data penting lainnya. Satu kartu satu orang. Lebih baik sertakan fotokopi curriculum-vitae (CV) dan gambaran perusahaan yang diinginkan. Saling kontak lewat SMS atau e-mail, bila ada lowongan.

Dalam wawancara, kalau suasananya enak, jelaskan bahwa Anda juga siap memberikan informasi adanya pelamar yang mungkin dibutuhkan oleh perusahaan bersangkutan. Kalau peluang terbuka, sodorkan fotokopi CV rekan se-klub Anda.

Kunci sukses kerjasama dalam klub pencari kerja ini dapat mengambil ilham dari kekompakan tiga tokoh rekaan Alexander Dumas, Three Musketeers, yang bersemboyan bagus. Tous pour un, un pour tous. Semua untuk satu, satu untuk semua. Selamat mencoba !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia