Wednesday, January 19, 2011

Revolusi Locavore, Harga Cabe dan EI Kita



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Salam episto ergo sum.
Anda sudah mengenal istilah ini : locavore ?
Saya ketabrak istilah itu gara-gara cabe.

Ceritanya, kemarin saya memperoleh cerita tentang cabe itu dari penjual mi ayam Mas Jan di Wonogiri. mBaknya baru pulang dari pasar, dan mengeluh. Ia baru saja membeli cabe seperempat kilogram dengan harga gila-gilaan.

"Satu kilogram cabe rawit, kini masih seratus ribu rupiah," katanya.

Pagi ini (20/1/2011), mungkin karena masih dihantui harga cabe, ketika buka-buka situs koran The Jakarta Globe, saya menemukan istilah locavore itu dalam artikel yang inspiratif. Tentang revolusi memperkuat pengadaan pangan.

Disitu, penulisnya, Magfirah Dahlan-Taylor yang kandidat PhD bidang perencanaan, tatalaksana dan globalisasi dari Virginia Tech (AS), membahas gagasan revolusi memperkuat daya tahan pengadaan pangan di negara kita ini melalui upaya pemanfaatan halaman kebun rumah-rumah kita.

Ia lalu merujuk ikhtiar Ibu Negara AS, Michelle Obama, yang berkebun tanaman sayuran di kompleks Gedung Putih. Aksi mulia Ibu Negara AS itu sejalan dengan tren gerakan masyarakat di AS yang berlabel locavore (ada yang menyebut localvore). Gerakan itu pada intinya berusaha mendekatkan sumber makanan kepada konsumen yang selama ini terbiasa mengambil makanan dari rak-rak di pasar-pasar swalayan ketimbang langsung dari tanaman.

Dengan gerakan ini kita diajak mengonsumsi makanan-makanan hasil budi daya lokal. Selain lebih murah, karena tidak terbebani biaya transportasi [baca kisah mBak Bea yang kini tinggal di Perancis ketika kangen makanan asal Indonesia], kita juga diajak/diajar untuk mengetahui ikhtiar apa saja yang membuat tanaman itu tumbuh. Misalnya, apakah memakai pupuk kimia ataukah pupuk organik ?

Dengan rendah hati, bersama ini saya ajak warga EI untuk mengabarkan revolusi pola pikir locavore yang luhur ini kepada siapa saja. Saya yakin, Mas Joko Suprayoga yang di artikel-artikelnya di Kompas Jawa Tengah sering dengan bangga menyebut sebagai anak petani, akan mampu memperkaya gagasan ini dengan cerita dan panduan yang lebih komprehensif. Beri kami, kalau bisa, bimbingan untuk menjadi gerakan.

Sehingga ketika Anda bersedia membaca berita berikut ini yang mengabarkan harga cabe mampu mencapai seperempat juta rupiah per kilogramnya, semoga tanda bahaya itu, yang juga bisa menjalar ke komoditas pertanian lainnya, mampu menginspirasi kita untuk mulai bergerak. Dimulai dari hal kecil, dari diri kita, dari rumah kita, dan sekarang juga.

Bisnis benih epistoholik. Bagi saya, imbauan seperti ini bukan hal baru. Sedikit bernostalgia, di tahun 1998 ketika badai krisis moneter menggebuk Indonesia yang membuat saya harus pulang kampung ke Wonogiri setelah ngendon di Jakarta lebih dari 18 tahun, saya sempat membuat isu dan gerakan berkebun tanaman sayuran di halaman rumah sendiri. Juga saya sebarkan dan promosikan melalui kolom-kolom surat pembaca.

Saya mengajak pembaca, dengan memanfaatkan kaleng-kaleng bekas cat, untuk berkebun tanaman cabe, sawi, kangkung, sampai kacang panjang. Saya bahkan berbisnis benih-benih tanaman sayuran itu, juga pupuk organik, melalui jasa pos.

Cerita jadul itu sempat saya tulis di blog Esai Epistoholica pada bulan Agustus 2005 : "Bisnis pertanian melalui surat pembaca juga pernah saya terjuni. Akibat krismon di awal 1998, saya pun harus hengkang dari Jakarta. Kembali mudik ke Wonogiri.

Dalam perjalanan bis Solo-Wonogiri, saya temukan penjaja asongan yang menawarkan produk unik. Yaitu paket kecil berisi sepuluh jenis biji-bijian, benih tanaman sayuran. Ada bayam, kangkung, lombok, sawi, tomat, gambas sampai mentimun. Saya membeli dan minta alamat penjualnya. Dirinya tinggal di daerah Sukoharjo. Harga satu paket, Rp. 1.000. Kalau belinya banyak, harganya Rp. 600 per paket.

Pertanian adalah subjek yang saya buta sama sekali. Saya anak tentara, bukan anak petani. Selama 18 tahun saya pun tinggal di Jakarta. Kini tiba saatnya, pikir saya, untuk belajar menjadi petani. Saya segera mencari info ke Departemen Pertanian. Bahkan kemudian menemukan tempat yang menjual pupuk organik. Juga membaca-baca majalah pertanian Trubus yang terkenal itu.

Di masa krisis moneter itu cabe harganya mencapai puluhan ribu per kilogram, aku pikir, gerakan swadesi alias mencukupi kebutuhan diri sendiri model Mahatma Gandhi sebaiknya dicoba untuk dipromosikan."

Dalam artikel ini sempat muncul pula topik obrolan tentang "partai epistoholik indonesia" yang gagasan Mas Purnomo Iman Santoso, artikel ini juga membuat saya dapat kejutan di tahun 2010, ditelepon adik dari seseorang yang cantik, yang saya rasani di artikel ini pula. Kalau Anda ada waktu, cerita komplitnya bisa Anda klik disini.

Sekian dulu obrolan saya tentang harga cabe, gerakan locavore, dan inspirasi dari Mahatma Gandhi ini.Terima kasih untuk atensi Anda.

Salam episto ergo sum !


PS : Saat ini saya memelihara 6-7 tanaman cabe. Walau tak begitu lebat, saya masih bisa mengonsumsi sayuran favorit ini, untuk diganyang menemani tempe mendoan.

bh

Thursday, January 13, 2011

Thomas Sutasman, FS Hartono dan Pesan Moral Anthony Parakal



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Salam episto ergo sum !
Pertama, semoga Anda warga Epistoholik Indonesia, sehat-sehat semua.
Kedua, terima kasih untuk Pak Thomas Sutasman di Cilacap.
Karena beliau yang mengajar di SMP Pius Cilacap itu telah sudi berbaik hati, mengirimkan hasil scan halaman majalah Utusan, edisi Januari 2011.

Isinya menarik : tentang profil penulis surat pembaca dari Purwosari, Sinduadi,Mlati, Yogyakarta, yang bernama Bapak Floribertus Soeryo Hartono (72).

Apakah warga EI sudah mengenal beliau, yang sering menulis dengan nama terkenalnya FS Hartono ?

Seingat saya, beliau sering menulis untuk kolom surat pembaca di Majalah Tempo. Isinya bernas, daya kritiknya tajam, mengiris, dan inspiratif [lihat contoh di bawah]. Beberapa waktu lalu saya pernah berkorespondensi dengan beliau, tetapi melalui surat dan sms.


Kalau hari Lebaran, beliau yang seorang pemeluk Katholik (baru saya ketahui dari info majalah Utusan tadi),seringkali mengirimi saya kartu Lebaran. Terima kasih, Pak FS Hartono.

Waktu Radio Geronimo Yogyakarta meminta nara sumber dari EI untuk acaranya, Agustus 2010, selain Mas Tuwarji, saya juga sms ke Pak Hartono (foto). Kiranya, yang punya cukup waktu saat itu adalah Mas Tuwarji.

Kalau Anda sempat melongoki blog Epistoholik Indonesia kita [http://episto.blogspot.com], nama beliau sudah terpajang di sana sebagai warga Epistoholik Indonesia pula.Sekali lagi, terima kasih, Mas Thomas untuk kiriman infonya yang menarik.

Pesan moral Pak Parakal. Mungkin sebagai kebetulan, sebelum membuka email dari Cilacap itu, pagi harinya saya meriset situs majalah TIME. Mau mencari kisah Pak Anthony Parakal, di edisi 6 April 1992.

Inilah majalah yang menginspirasi berdirinya komunitas EI kita ini. Majalahnya sih ketemu, termasuk juga gambar sampulnya (foto), tetapi artikel tentang Pak Parakal kok malah tidak ketemu.

Dari sumber lainnya,situs DNAIndia edisi 27 Januari 2006 ["ajaib, karena tanggalnya bertepatan satu tahun deklarasi EI dan penetapan sebagai Hari Epistoholik Nasional" :-)] saya kemudian memperoleh info mutakhir tentang beliau.

Pak Parakal sudah pensiun menulis surat pembaca. Selain sepuh, gangguan penyakit gulanya juga menjadi penghalang untuk berkarya. Anaknya, dua perempuan dan satu lelaki, semuanya berpendidikan tinggi. Tetapi tak ada yang meneruskan "karier"-nya sebagai epistoholik.

Malah keponakannya, Anup Mathew (20), mengikuti jejak beliau sebagai penulis surat pembaca. "Sepertinya warisan saya akan tetap ada yang meneruskan," canda Pak Parakal.

Pak Parakal sudah pula menulis surat pembacanya yang terakhir pada majalah TIME, edisi 12 Desember 2005. Isinya, sarat banget sentuhan keprihatinan beliau yang mendalam tentang nasib umat manusia.Benar-benar tulisan seorang epistolaureate, seorang empu penulis surat pembaca.

Petikannya :

"Satu hal yang mengherankan, mengapa manusia yang mampu berjalan di bulan dan mengeksplorasi planet Mars, tetapi tidak mampu mencegah planet bumi kita menjadi benar-benar sebuah neraka.."

Lengkapnya :

"This world is blessed with enough human and material resources for every human being to live in peace and prosperity. Yet human suffering continues to grow. Most disheartening is the fact that many precious resources that should have been used for human welfare have been wasted on war.

One wonders why man, who has walked on the moon and explored Mars, cannot prevent Earth from becoming a virtual hell."

Anthony Parakal
Bombay

Terima kasih, Pak Parakal. Semoga inspirasi dan keteladanan dari Pak FS Hartono dan Pak Anthony Parakal itu selalu mampu memperteguh pegangan pena kita dalam menggurat pesan, menyumbangkan sesuatu bagi kemaslahatan bersama.

Salam episto ergo sum.
Selamat terus menulis, sahabat.
Semoga obrolan ini bermanfaat.


Wonogiri, 13/1/2011

Arsip surat-surat pembaca Bapak FS Hartono :

Berfikirlah Positif, majalah Tempo, 29 November 2010.
Melecehkan Profesi Legal, majalah Tempo, 3 Mei 2010.
Mawas Diri, majalah Tempo, 22 Februari 2010.
THR Untuk Pejabat, Koran Tempo, 22 September 2008.

bh

Friday, January 07, 2011

Kompas Jateng Pergi, Tribun Jateng Menanti ?



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Salam episto ergo sum !
Semoga Anda sehat-sehat di tahun yang baru, 2011.

Sebagai kaum epistoholik, awal tahun saya membaca koran pertama kali, yaitu Kompas 3/1/2011. Tampak tipis. Sudah tidak ada lagi lembaran Jawa Tengah.

Di halaman pertama,terpajang manifesto dari Pemrednya, Rikard Bagun, mengenai dihapuskannya lembaran daerah itu. Kompas, katanya, ingin "tetap" atau ingin "kembali" sebagai koran nasional.

Toh, tetap ada sesuatu perasaan yang hilang ketika tak bisa melihat lembaran Kompas Jawa Tengah itu lagi. Boleh jadi, karena lembaran itu, ketika baru terbit di tahun 2004, dapat dikatakan sebagai mitra dekat komunitas Epistoholik Indonesia kita.

Saat-saat itu Mas Joko Suprayoga, Mas Triyas dan saya, disusul Mas Purnomo Iman Santoso, seperti berlomba berkontribusi melalui kolom terhormat tersebut. Sehingga sampai ada penulis surat pembaca dari Semarang perlu meresensi sabetan pedang-pedang pena dari trio pendekat EI itu.

Muncul tahun 2004 dan surut tahun 2011, melewati masa 7 tahun. Mungkin angka ini yang membuat beberapa aktifis EI memperoleh cenderamata perpisahan, berupa 7 mug Kompas itu. Terima kasih, Kompas.

Alfa-Omega.
Awal dan akhir.

Kolom surat pembaca Kompas Jawa Tengah, sebagai catatan sejarah komunitas EI kita, untuk penerbitan yang terakhir kalinya, 31 Desember 2010, telah dihiasi oleh tulisan Mas FX Triyas Hadi Prihantoro. Judulnya, "Tahun Baru, Etika Baru." Salut Mas Triyas untuk pesan perpisahan yang mencerahkan.

Menatap ke masa depan. Seperti kabar dari Nurfita, mungkin Kompas Jawa Tengah akan digantikan dengan koran baru, Tribun Jawa Tengah. Begitukah ?

Saya baru saja baca-baca situs Kompas, mengenai laporan aktivitas menyambut Liga Premier Indonesia di Solo sore nanti (8/1/2011) yang ditulis wartawan Tribun Jogja. Apakah koran Tribun Jogja sudah terbit ?

Merujuk data dari media maya itu, sepertinya dugaan Nurfita itu akan jadi kenyataan. Sebagai kaum epistoholik di Jawa Tengah, mungkin kita akan memperoleh mitra baru, wahana baru untuk berkarya.

Ada cerita ekstra. Saat beli Kompas itu, saya sempat melongoki koran Suara Merdeka, 3/1/2011. Halaman untuk surat pembaca tidak ada. Karena diduduki oleh iklan berita duka. Satu halaman sendiri.

"Orang yang meninggal tetapi mendatangkan uang, rupanya lebih baik daripada karya orang yang hidup tetapi tidak menghasilkan uang," gitu celetuk jahil saya.Sori, Mas Kukrit. Tak apa-apalah.

Peniadaan halaman semacam ini, bagi saya seperti menjadi ironi. Utamanya bila merujuk heboh baru tentang Gayus Tambunan yang pergi lagi ke Singapura, Makau dan Kuala Lumpur itu.

Orang ini kekuatan negosiasinya, hebat bener. Sampai-sampai di Facebook saya tulis, karena kagum atas powernya yang satu itu, sehingga membuat ia bisa pergi-pergi kemana saja ia mau.Saya tulis,bahwa kepergiannya kali ini membawa misi mulia.

"Gayus lagi melaksanakan tugas/mandat dari Sekjen PBB, Ban Ki-moon. Untuk mendamaikan konflik Korea Utara vs Korea Selatan."

Mas Pur berbaik hati, menimpali cerita lebay itu dengan ha-ha-ha...

Tetapi Anda tahu siapa pemicu kabar heboh tentang Gayus itu lagi ? Saat ia keluyuran di Bali, pengungkapnya wartawan foto Kompas, Agus Susanto. Kali ini pemicunya, Devina, yang menulis surat pembaca di Kompas Minggu, 2/1/2011.

Gumam saya : kalau ada kolom sehebat itu manfaatnya, seperti pula isi surat pembaca Hendra NS yang bikin geger RI-1 karena mengkritisi aksi sewenang-wenang pengawal presiden, mengapa koran-koran kita justru terkesan berlomba untuk menghapuskannya ?

Anda punya jawaban ?
Saya nantikan.
Salam episto ergo sum,


Bambang Haryanto

PS : Saat ini saya lagi mabuk baca-baca surat jenis lainnya. Yaitu surat berisi rayuan untuk menjadi kaya-raya tanpa perlu bekerja.Kalau di kotak sampah email Anda menemukan surat dari orang tak Anda kenal, tapi menawari Anda uang jutaan dollar hanya dengan mengirim data diri sampai nomor rekening bank Anda, itulah surat resep kaya a la Nigeria. Istilah lainnya, "scam 419" sampai "nigerian scam." Ketik saja di Google, Anda akan kebanjiran cerita tentang surat-surat ajaib itu.

Saya mabuk, bukan karena ingin meniru hal itu. Tetapi saya sedang berusaha mencari celah-celah kreatif untuk mencari sisi-sisi humornya. Baik bagi kreatornya mau pun dari sisi korbannya. Karena setiap hari, setiap membuka email, surat gaya Nigeria itu selalu saja ada.Bahkan tak hanya satu-dua surat. Itu menandakan : bisnis mereka itu berjalan dengan sentosa.

Siapa tahu, aktivitas ini bisa mengisi kegiatan ketika kolom-kolom surat pembaca di koran-koran kita sudah dihapus kaplingnya sama sekali :-((

Terkait humor, kabar tak penting, buku saya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania, 2010), masih belum jelas situasinya. Syukurlah, ada kabar bagus dari Bandung, bahwa "serapannya lumayan di toko Togamas Bandung." Mungkin ini gara-gara saya dibantu promosi oleh Putri Adityowati, mahasiswi jurnalistik Unpad, yang jadi mewawancarai saya di Wonogiri untuk pengin tahu tentang EI, beberapa hari yang lalu.

Saat mengobrol ekstra, ia saya beri bonus, tentang kiat penguatan memory muscle, myelin (kata pak Rhenald Kasali), yang kiranya wajib dilakukan oleh para penulis, jurnalis dan juga kaum epistoholik. "Menulislah setiap hari !," begitu ajakan saya untuk Putri.Menulis secara "berdarah-darah," bukan menulis a la status di Facebook, atau berkomentar seperti "xixixi" atau "wakakakkka" dan sejenisnya itu.

Ketamuan Putri yang mahasiswi Unpad itu, rupanya lalu menular hingga saya punya kaitan dengan Badui U. Subhan, alumnus Sastra Indonesia, dari Unpad juga. Ia telah berbaik hati menulis resensi untuk buku humor politik saya di atas.

Bila Anda punya waktu dan minat, silakan segera klik disini.

Mungkin Mas Purnomo Iman Santoso saja yang sudah tahu akan isi resensi itu, sehingga berbaik hati menulis komentar di status saya di FB. Kabarnya, dirinya telah membeli buku Komedikus Erektus. Terima kasih, Mas Pur. Moga bisa jadi inspirasi warga EI untuk menulis buku juga.

Kembali bab EI. Dua tahun lalu, Hendro,kakak angkatannya Putri, juga mau bersusah-susah tur cari info bab EI sampai Wonogiri. Kayaknya EI klop banget sama Unpad ? Tetapi belum "klop" sama Undip, UKSW, UNS, sampai UGM ?


Wonogiri, 8/1/2011