Bangsa Sakit Megalomania
Dikirimkan sebagai surat pembaca ke Harian Kompas Jawa Tengah, 1 September 2009
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia tercekik budaya megalomania, kecenderungan kita untuk membesar-besarkan bahkan mengagung-agungkan sesuatu wacana dan peristiwa.
Misalnya, terkait penyanyi mBah Surip. Kita dibuat heboh seputar besarnya royalti, bahkan dalam bilangan milyaran rupiah, untuk karyanya setelah dia meninggal. Tetapi akhirnya, dalam bahasa Jawa mak plekethis, ternyata royalti itu tak sebesar dalam kehebohan semula.
Kemudian kita ingat ingar-bingar di benak kita saat menonton langsung siaran penyergapan terhadap pelaku tindak terorisme di Temanggung. Hebohnya memekakkan telinga, walau ternyata yang tewas bukan Noordin M Top. Terakhir, khayalan pun kita melambung ketika wakil Indonesia dalam kontes Miss Universe, Zizi L. Siregar, disebut-sebut sebagai favorit, tetapi akhirnya ia pun pulang dengan tanpa gelar sama sekali.
Biang kerok merebaknya budaya megalomania itu, ya siapa lagi, kalau bukan pejabat kita. Ketika kepopuleran adalah mantra ajaib untuk meraih kekuasaan, dari wakil rakyat sampai presiden, semua orang ingin menjadi selebritis. Suka ritus, karnaval dan perayaan, seperti ritus selebritis yang menu kehidupannya adalah festival kehebohan.
Tetapi buaian demi buaian dari angan-angan yang jauh panggang dari api dari kenyataan itu akan mudah memicu kita menjadi kecewa. Mereka yang kecewa, mereka yang merasa sakit itu, bila disuntik ajaran-ajaran yang bernuansa ke-Ilahian yang juga mengawan, yang mereka rasa mampu membebaskan rasa kecewanya di dunia, maka berbarislah calon-calon baru pelaku tindak terorisme yang siap menghantui kita-kita semua !
Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612
No comments:
Post a Comment