Ancaman Penulis Surat Pembaca “Bodreks,” Pembakaran Buku dan Epistoholik Indonesia
Diposting untuk milis Epistoholik Indonesia, 9 September 2009
Salam episto ergo sum,
Semoga Anda semua sehat-sehat selalu. Selamat menjalankan Ibadah Puasa yang sudah mendekati akhir 10 hari yang kedua, bagi Anda yang menunaikannya.
Anda mengenal Pak Ambijo ? Kalau Anda sering menulis surat pembaca untuk Suara Merdeka, Anda akan sering memergoki tulisan beliau yang senantiasa bertopik tentang kotanya : Kebumen. Beliau tahun 2007 sempat kirim surat kepada saya, pakai mesin tulis di mana huruf “e”-nya hilang.
Bapak Ambijo (67) yang memiliki hobi membaca, menulis dan melukis, dalam suratnya, beliau yang pensiunan Bank BNI 1946 itu mengibarkan bendera sebagai epistoholik spesialis. Karena khusus memfokuskan tulisan-tulisannya untuk membahas seluk-beluk kota beliau. Spesialisasi ini membuat saya menjuluki beliau sebagai seorang e-place-toholik.
Kalau Anda punya waktu, obrolan tentang beliau, surat, dan juga foto beliau, dapat Anda klik dari posting saya berjudul “Reinventing Indonesia, Bengawan Solo dan Ide Kaum Epistoholik Yang Tidak Mengalir Sampai Jauh” di blog Esai Epistoholica edisi No. 47/Juli 2007.
Pak Ambijo baru saja menulis surat kepada saya. Ditulis tangan. Beliau mengabarkan hal yang menarik : baru saja meluncurkan komunitas penulis surat pembaca Kebumen. Namanya Forum Penulis Surat Pembaca Suara Merdeka Kebumen. Mohon saya minta tolong via Mas Udjie Prijatno, agar bisa Anda sampaikan kepada Pak Ambijo : bahwa saya mendukung dan memberikan penghargaan atas diluncurkannya komunitas ini.
Semoga misi komunitas intelektual jalanan, street smart intellectual a la Kebumen ini sukses. Saya juga menaruh salut kepada Pak Ambijo dan kawan-kawan yang berniat menularkan virus menulis surat pembaca kepada warga Kebumen. Hallo, warga EI, kapan virus gagasan dari Pak Ambijo ini juga mampu menular ke kota Anda ?
Tanggal 14 Agustus 2009, saya mencoba menularkan virus menulis (surat pembaca) kepada anak-anak Gunung Brengos, Nawangan, Pacitan. Mereka memiliki pancatan untuk mulai yang baik, karena surat-surat mereka itu yang ditujukan kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono, terhimpun dalam sebuah buku, yang bagi saya gagah dan mewah.
Tentu, saya tidak yakin, ajakan saya itu akan berbuah segera. Ajakan itu sebuah investasi jangka panjang. Pendek kata, benih telah ditaburkan. Kalau Anda sempat melongoki situs Indonesia Buku, liputan dolan-dolan saya ke Pacitan itu didokumentasikan (plus bonus lainnya) di situsnya mBak Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan dkk itu. Termasuk foto di bawah patung Jenderal Sudirman. Saya tambah teman baru : para penulis buku yang hebat-hebat itu.
Saking eratnya, walau baru kenal, saya rela ikutan mendukung dari jauh aksi demo mBak Diana AV Sasa dkk di Surabaya, 7/9/2009, untuk mengecam aksi barbar pembakaran buku, 2 September 2009 yang lalu. Di sidebar blog buku saya, saya ikut menulis poster dukungan untuknya.
Kabar lain, pagi tadi, saya ketamuan wartawan Tempo News Room, Ahmad Rafiq. Ia mau cari info seputar Jamu Jago, yang asal-muasal berkokoknya memang dari Wonogiri. Dinasti Suprana, berasal dari Wonogiri. Mungkin karena hal itu, komunitas EI jadi “lebih mudah” untuk tercatat di Rekor MURI akibat KKN berbau kedaerahan sentris ini ?
Obrolan dengan Mas Rafiq ini, memunculkan istilah “penulis surat pembaca bodreks.” Ia yang meluncurkan istilah itu. Saya kaget juga atas penemuan istilah yang menggigit ini.
Istilah ini merujuk kepada oknum penulis surat pembaca yang memiliki motif kurang terpuji, yaitu menggunakan kolom surat pembaca untuk melakukan black mail, pemerasan. Sasarannya adalah perusahaan, utamanya perusahaan yang memiliki produk atau jasa yang berada di “kawasan abu-abu.”
Artinya, produk itu memiliki sesuatu cacat, misalnya mengklaim memiliki prestasi sesuatu tetapi bila dikaji lebih lanjut sering tidak sesuai kenyataan, atau memiliki unsur atau kandungan yang berbahaya tetapi disamarkan. Nah, penulis surat pembaca yang cerdas dan julig itu, yang sekaligus memiliki motif kurang terpuji itu, dapat “menghantam” produsen produk-produk tersebut.
Kena “hantaman” di kolom surat pembaca, mereka jadi kelimpungan. Mereka, bos perusahaan itu lalu, biasanya, memilih berusaha main aman. Mereka akan bersilaturahmi dengan sang penulis surat pembaca, sambil membawa “oleh-oleh” tertentu. Nah, saya kuatirkan, sang penulis surat pembaca itu lalu bisa “pasang harga” atau “main gertak.”
Misalnya, dengan klaim bahwa dirinya memiliki “bala tentara” para penulis surat pembaca yang dapat mereka kerahkan untuk menguliti segala cacat cela sesuatu produk dan perusahaan tertentu itu. Pemerasan atas nama para penulis surat pembaca, saya kuatirkan akan terjadi. Apakah Anda rela bila skenario yang saya ceritakan itu telah terjadi ?
Saya yakin, komunitas yang dibentuk oleh Pak Ambijo, sama sekali tidak ada niatan untuk melakukan aksi penulisan surat-surat pembaca dengan motif tercela itu.
Saya sendiri ? Silakan membaca-baca surat-surat pembaca yang saya kirim ke media massa, lalu Anda bisa menentukan apakah ada motif terselubung aksi pemerasan di sebalik surat-surat pembaca saya. Silakan pula cermat membaca isi surat-surat pembaca dari para penulis lainnya.
Di EI ada kode etik tak tertulis, agar kita berusaha saling asah-asih dan asuh kepada warga lainnya. Mari kita saling bertegur sapa, demi kebaikan bersama. Antara lain dengan ringan tangan memberi kabar bila ingin melakukan sesuatu yang menyangkut nama baik komunitas kita bersama. Syukurlah, selama ini, baik-baik saja adanya.
Sekian dulu kabar dari Wonogiri. Selamat bergiat terus, menulis surat-surat pembaca. Salam episto ergo sum !
Sobat Anda,
Bambang Haryanto
No comments:
Post a Comment