Saturday, December 11, 2010

Menulis Itu Magic,Menulis Itu Senjata Dahsyat!


Dikirimkan ke Milis Epistoholik Indonesia, Minggu, 12 Desember 2010


Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Dear sobat warga Epistoholik Indonesia,
Salam episto ergo sum !
Semoga sehat-sehat.

Apa “sarapan” pagi Anda di hari Minggu, 12/12/2010 ini ?

Saya tadi pagi jalan kaki ke kawasan Waduk Gajah Mungkur(GM), Wonogiri. Berangkat jam 04.45, sampai rumah kembali jam 07.30.

Sempat memotret posisi kamera/webcam dari situs Solo City View, yang dipasang untuk memantau pintu air (spill way) bendungan waduk Gajah Mungkur melalui Internet. Saya juga memotret papan pengumuman “Dilarang Membuang Sampah Ke Sungai” yang juga mencantumkan nama diler sepeda motor sebagai sponsor. Terpasang di bibir sungai.

Tentu saja, sampah yang dibuang ke sungai sudah tidak lagi berbekas di tempat itu. Tetapi larangan tersebut membawa dampak lain : tumpukan sampah justru bertimbun di sekitar papan pengumuman itu terpasang. Jadi pesan pengumuman itu benar-benar tepat sasaran !

Aktivitas lain, sekitar setengah jam saya membaca-baca bukunya Andrias Harefa. Happy Writing (2010). Di bibir waduk, dengan di depan saya adalah hamparan air, dan sinar matahari membias keemasan di permukaan. Juga satu perahu. Mirip lukisan Cina yang hening itu.

Buku itu berisi 50 tips agar aktivitas menulis bisa “ngasyik.” Buku ini hadiah dari Stube-HEMAT, saat saya menjadi narasumber pelatihan menjadi komunikator yang positif bagi mahasiswa di Yogya, 4-5/12/2010. Terima kasih, Widiaji (“nama dia 2-3 kali disebut di buku itu” – kali ini sebagai figuran :-), moga lain kali jadi pemain utama). Terima kasih untuk mBak Ariani yang sudi menuliskan pesan kenangan di buku itu pula.

Sampai di rumah, sesudah mandi, antena wi-fi sudah hidup. Langsung fasilitas hotspot di rumah ini menjadi tiga titik ketika saya menghidupkan komputer. Sempat membaca berita penguburan Elizabeth Edwards (61), mantan istri calon wakil presiden dari Partai Demokrat dalam Pilpres AS 2004, John Edwards.

Liz Edwards itu punya ketegaran dalam mengarungi kehidupan. Ketika anak lelakinya meninggal dalam kecelakaan mobil di usia 16, dirinya mengidap kanker payudara, lalu suaminya selingkuh dan memiliki anak dari pacarnya. [Saya memiliki folder untuk Elizabeth Edwards, yang penulis dua buku laris itu].

Saya juga menerima empat email, satu email sampah, pagi itu. Satu dari Mas Darminto M Sudarmo (Semarang), mantan redaktur majalah HumOr. Ia menulis catatan di akun FB-nya, menanggapi ide saya kemarin agar 30 Desember (2010) didaulat sebagai Hari Humor Nasional.

Sekaligus untuk memperingati hari wafat dan mutiara warisan humor Gus Dur (2009) dan meninggalnya Dono Warkop (2001). Di blog saya sebut kata-kata mutiara tentang makna penting humor, antara lain : “Humor lenyap, kebudayaan lenyap.” Kalau Anda ada waktu, silakan klik : disini.

Email lain dari Widiaji (Yogya). Ia saya minta untuk mem-FWD email saya ke temannya, Rudhita, berisi jawaban saya tentang bukunya Howard Gardner, The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach (1991).

Dengan gegabah bisa saya katakan, kalau guru atau pendidik yang tidak pernah membaca atau menerapkan isi buku ini, resikonya adalah : Anda hanya akan membuat “otak muridnya tak pernah bersekolah.” Saya pernah menuliskannya, di surat pembaca harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 29 November 2005

Email berikutnya dari rekan kuliah saya, Bakhuri Jamaluddin (Tangerang). Ia yang pernah mengirimi saya buku karyanya, kini menagih imbalan : minta dikirimi buku
Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010). Tunggu, Bakh. Mas Joko Suprayoga (Kendal) yang mengatakan penasaran dengan buku ini, moga-moga sudah memperoleh jawaban. Semoga toko-toko buku utama di Semarang sudah memajangnya !

Email keempat, kabar bagus dan menarik, dari Nurfita Kusuma Dewi. Entah, kirim emailnya dari Yogya atau dari Semarang, yang pasti ia mengabarkan bahwa artikelnya hari ini telah dimuat di harian Solopos, di kolom Jeda. Judulnya : Eksistensi Wayang Di Pengungsian Merapi. Silakan klik : disini.

Walah, di tengah hujan abu dan banjir lahar dingin, si mBak yang bekerja di Departemen Keuangan ini (“walau cita-cita terdalamnya adalah menjadi guru”), banyak bercerita tentang pelbagai pentas wayang di daerah Magelang-Yogya seusai Merapi mengamuk. Juga bercerita cukup menukik tentang lima peran wayang. Sebagai sarana komunikasi sosial, pentas drama, suara kebudayaan, hiburan dan industri.

Bagi saya, yang lumayan nyenggol diri saya sebagai kaum epistoholik, adalah ketika Nurfita cerita tentang kaitan wayang dengan industri. Saya pernah menulis surat pembaca menyikut hal itu sebagai berikut ini :

Wayang, Membunuh Demokrasi ?
Dimuat : Kompas Jawa Tengah, Kamis, 27 Maret 2008 : D


Dalang sebagai seniman, bila menurut Rendra, seharusnya berumah di angin. Ia seorang resi yang tidak lagi berorientasi ke hal-hal duniawi, senantiasa menyuarakan kebenaran dan hati nurani rakyat. Wahana untuk itu terbuka ketika berlangsungnya adegan goro-goro yang menampilkan para punakawan, Semar dan anak-anaknya. Semar yang konon setengah manusia dan setengah dewa itu merupakan personifikasi “suara rakyat adalah suara Tuhan” pula.

Tetapi di jaman industri dewasa ini banyak resi alias dalang wayang yang juga ingin kaya raya. Maka pesan-pesan dalam pertunjukan wayangnya pun tidak luput dari filosofi “maju tak gentar, membela yang bayar.”

Saya pernah mendengarkan adegan Limbukan yang seluruh isi adegannya memuji-muji kebijakan pimpinan perusahaan besar yang menyewa dalang bersangkutan. Padahal perusahaan itu memproduksi barang-barang yang bila dikonsumsi berpotensi mengancam kesehatan.

Kini pun marak fenomena aneh lainnya, ketika resi di depan kelir atau layar itu ternyata pejabat pemerintahan. Atau tokoh politik. Jadi mudah dibayangkan, wayang terkooptasi menjadi abdi atau pelayan agenda para pejabat bersangkutan. Barangkali bisa disebut sebagai wayang top-down. Wayang yang dibajak pengusaha dan pejabat.

Merujuk fakta itu kita mudah ingat analisis klasik ahli politik George McTurnan Kahin yang berujar bahwa salah satu penghalang demokrasi di Indonesia adalah kultur politik masyarakat yang senantiasa menyandarkan segala sesuatu kepada arahan dari atas.

Jadi pertunjukan wayang yang diperkirakan semakin marak menjelang dan selama kampanye Pilgub Jawa Tengah 2008 nanti, ujung-ujungnya justru menyerimpung dan bahkan membunuh kehidupan demokrasi di Indonesia ?

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612

Bagian lain dari isi email Nurfita yang menggelitik adalah saat ia merujuk isi Solopos (Minggu, 5 Desember 2010) yang memprofilkan komunitas Epistoholik Indonesia kita. Tulisan itu, menurutnya, mengesankan bahwa kiprah menulis surat pembaca adalah ranah dominannya kaum-kaum kasepuhan.

Tetapi yang lebih menarik, ia bersemangat ingin melakukan upaya regenerasi, agar menulis surat-surat pembaca itu kini juga menjadi aksi gaul para kaum muda.

Terima kasih, Nurfita. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Widiaji/Stube-HEMAT yang tergerak mengajak dan membimbing mahasiswa untuk bergairah dalam aktivitas penulisan surat-surat pembaca. Kalau regenerasi di EI dinilai tidak berjalan secara baik, saya kira benar adanya. Kita memang belum pernah membuat semacam gerakan secara bersama untuk itu. Mungkin karena dengan menulis di koran atau blog sudah kita anggap sebagai contoh dan perbuatan nyata. Beberapa kali liputan media tehadap keberadaan EI, juga di radio, merupakan contoh promosi yang lain. Memang belum ideal.

Apalagi, menulis itu tak bisa diajarkan, tetapi bisa dipelajari. Artinya, yang dituntut untuk aktif adalah sang pelaku itu sendiri. Tetapi saya yakin, masing individu warga EI, dengan karya dan karisma :-) masing-masing sudah memiliki fans setia dan di antara mereka akan hadir penulis-penulis surat pembaca yang baru. Memang tidak pakai gembar-gembor, saya sendiri tak jarang mengirimi SMS untuk para penulis surat pembaca (diluar EI) yang karyanya pantas memperoleh apresiasi.

Kebetulan, wacana terkait hebatnya aktivitas menulis surat, kemarin saya menonton film The Hurricane (1999) yang mengharukan. Surat seorang pelajar SMA kepada petinju kulit hitam yang dijebloskan ke penjara melalui peradilan yang bias, curang dan membunuh keadilan, membuat semangatnya yang luruh untuk bangkit dan berjuang. “Menulis itu magic, keajaiban. Menulis adalah senjata yang dahsyat,” begitu antara lain dialog yang bernas dan menggugah dalam film itu.

Mari kita bercermin. Banyak di antara kita sebagai warga EI, mungkin banyak yang tidak menyadari kekuatan dahsyat yang kita miliki dengan kemampuan menulis itu. Kita tak acuh, menelantarkan, meneledorkan senjata itu, tidak mengasahnya, mungkin karena keangkuhan, menunggu pujian, menuntut imbalan uang, dibelenggu rasa iri, dengki, mindset scarcity mentality, dan kemalasan. Pilihan itu diam-diam akan menjerembabkan kita bahwa ketidakmampuan menulis yang menginspirasi (baik surat, surat pembaca, blog, buku, dll) sebagai hal yang kita anggap biasa-biasa saja.

Bila itu yang terjadi,walau dari luar nampak segar-bugar dan hidup, yakinlah ada lampu yang telah padam di dalam diri kita.

Janganlah tragedi itu terjadi.
Salam episto ergo sum !


Bambang Haryanto
Bukunya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010) telah beredar awal Desember 2010 ini. Jangan sampai kehabisan !

No comments:

Post a Comment