Nyanyian Angsa Untuk Kompas Jawa Tengah
Untuk milis Epistoholik Indonesia, 23 Desember 2010
Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com
Salam episto ergo sum,
Selamat bersiap merayakan Hari Natal untuk Mas FX Triyas Hadi Prihantoro di Solo, Mas Kukuh Widyatmoko di Malang, juga Mas Thomas Sutasman di Cilacap, dan warga EI yang siap merayakannya.
Juga untuk redaksi dan wartawan Harian Kompas Jawa Tengah yang siap menyambut Natal, Tahun Baru 2011, dan juga situasi baru koran ini pula.
Kemarin, Rabu 22 Desember 2010, saya memperoleh SMS dari Mas Joko Suprayoga (Kendal) : “Kabar buruk pak BH, mulai 2 Jan 2011 nanti Kompas Jateng akan ‘ditutup,’ semua akan dinasionalkan, jadi benar kata pak BH, saatnya buat blog untuk menulis.” [10.23.17].
Balasan saya : “Tks. Wah kok ya sedih juga. 7 mug yll itu salam perpisahan ? Kita lihat 2/1/11 nanti. Ttp ngeblog hrs terus/dimulai, demi terus memperkuat otot2 menulis kita, bukan ?” [10.59.25].
Swan song, itu salah satu lagu dari The Bee Gees.
Nyanyian angsa, itu salah satu judul puisinya Rendra.
Intinya sama : lagu perpisahan.
Warga Epistoholik Indonesia (EI) yang berdomisili di Jawa Tengah, akan segera (atau sudah ?) mendengarkan lagu perpisahaan, sembari didera rasa kehilangan salah satu mitra terdekat sekaligus lahan bhakti untuk berkiprah, ketika nanti tak ada lagi lembaran Kompas Jawa Tengah yang bisa kita pergoki setiap pagi ?
Ada seorang tokoh berpendapat, bila sebuah koran yang paling jelek pun mati, hal itu merupakan kabar buruk bagi demokrasi. Lalu bagaimana kita harus bersikap ketika koran sebaik Kompas ternyata memutuskan untuk melikuidasi edisi Jawa Tengah-nya dan seperti kata Mas Joko, lalu “menasional”-kan diri ?
Apakah hal itu akan membuat kiprah kita sebagai kaum epistoholik, utamanya yang tinggal di Jawa Tengah, menjadi kehilangan arena untuk ikut menyumbangkan pikiran sebagai pengejawantahan mekanisme checks and balances dalam kehidupan berdemokrasi ?
Kita lihat pada tanggal 2 Januari 2011 nanti.
Tetapi seperti tergambar dalam paparan profil komunitas Epistoholik Indonesia di koran Solopos (5/12/2010), kita harus membuka mata betapa kolom surat pembaca di pelbagai surat kabar nampak kian hari, kian menyusut. Ada yang menghapuskannya, ketika kaplingnya laku dijual untuk iklan. Bentuk kolomnya juga sering “pletat-pletot” ketika dijepit sana-sini untuk pemajangan iklan-iklan pula.
Kapling yang menyusut, membuat semangat kita (minimal saya) untuk menulis juga ikutan mengkerut. Rupanya “penyakit” ini diam-diam juga menyebar, sehingga saya sudah dua kali mendapat info dari “orang dalam” surat kabar itu sendiri : ketika stok surat pembaca tidak ada sama sekali, terpaksa muncul surat pembaca “banjelan,” yang hasil rekayasa, karena ditulis oleh sang wartawan surat kabar itu sendiri.
Baguskah ini semua untuk demokrasi ?
Pendapat Anda kami tunggu.
Yang pasti, harapan saya, kondisi eksternal, yang diluar kuasa kita, boleh saja berubah. Tetapi kini tiba saatnya kita harus menanggapi semua perubahan itu secara kreatif. Ketika satu pintu tertutup, semoga masih banyak lagi jendela-jendela lainnya yang akan terbuka.
Seperti diingatkan kembali oleh Mas Joko Suprayoga, kita dapat saja terus menulis dengan media blog, seperti telah saya berusaha kampanyekan selama ini.
Jadi kalau Mas Triyas, seperti dikutip di Solopos Minggu (5/12/2010) telah bilang bahwa media blog adalah media alternatif, maka kini tiba saatnya mendaulat blog itu sebagai episenter aktivitas menulis kita sebagai warga e-pistoholik.
Huruf “e” sengaja saya pisah, sebagai penekanan betapa kepanjangannya, yaitu “electronic,” akan mengantar (Anda semua tahu) buah-buah pemikiran kita yang kita tulis di media digital itu mampu,secara teoritis, merangkul audien dunia.
Harapan saya : kalau Anda selama ini mampu menulis surat-surat pembaca atau artikel di media-media berbasis atom (baca =kertas) dengan cinta, dengan bersemangat, maka hal serupa juga dibutuhkan ketika Anda menulis untuk media-media berbasis bits, sinyal-sinyal elektronik, yaitu blog-blog Anda.
Karena tanpa cinta, tanpa semangat, tanpa passion, tanpa adanya panggilan hati, gagasan-gagasan itu tidak akan mampu terbang jauh untuk menyelinap ke sanubari pembaca-pembaca Anda.
D. H. Lawrence (1885–1930), novelis dan penyair Inggris, telah bilang : “Duduk-duduk manis sajalah bila kau tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi bila panggilan hati menggerakkanmu, katakanlah yang harus kau katakan, dan katakan semuanya dengan sepenuh gelora.”
Bermediakan blog, dimana Anda adalah penulis, editor, penerbit, sekaligus sebagai pemilik media, ujaran D.H. Lawrence itu dapat Anda lakukan secara paripurna. Sekarang juga !
Salam episto ergo sum !
Bambang Haryanto
PS : Apakah saya sebagai warga EI sebaiknya tinggal di kota besar ? Saya baru saja dapat SMS dari “Putri” mahasiswa Ilmu Komunikasi Unpad Bandung. Ia mendapat tugas kuliah, menulis features, dan ia memilih topik kiprah kaum epistoholik. Dalam SMS ia bertanya : “kapan saya bisa mewawancarai Bapak ?”
SMSnya belum saya balas.
Apakah ia kira-kira tahu kalau domisili saya di Wonogiri ? Kalau jadi, ia adalah mahasiswa Unpad yang kedua yang mau jauh-jauh dari Bandung untuk mencari info langsung tentang EI. Kalau boleh memilih, dia kan bisa wawancara via email saja ?
No comments:
Post a Comment