Friday, March 05, 2004

Wonogiri, 5 Maret 2004


Yth. Pengelola Acara Selamat Datang Pagi di RCTI,

Salam sejahtera. Agar sajian SDP makin sukses, makin menarik, dan makin bermanfaat bagi pemirsanya, saya mau kirim uneg-uneg mengenai acara SDP hari Kamis (4/3/2004) yang bertopik kanker pada anak-anak. Topik yang menarik, walau bahasannya masih bisa ditingkatkan lagi bobotnya. Tetapi menurut saya, ada beberapa hal yang tidak serasi dalam suguhan SDP kali ini.


MIING MERUSAK SDP !
Bintang tamu saat itu, pelawak Miing, sosok citra mau pun ucapannya serasa tidak harmoni dengan topik yang dibahas. Antara lain, seperti halnya perilaku adiknya Didin (yang juga pernah jadi bintang tamu SDP), dirinya selalu ingin nyeletuk untuk menampilkan lawakan-lawakan “blue material”, low taste jokes, cenderung porno. Saya tidak anti terhadap humor-humor blue, tetapi harus mempertimbangkan topik dan audiensnya. Penampilan Miing saat itu sungguh tidak serasi dengan topik mau pun mood acara SDP hari itu.

Apalagi pada ending acara SDP kali ini, entah ini ulah improvisasi Miing pribadi atau memang sudah direncanakan oleh tim kreatif SDP, terasa tidak harmoni dengan pesan yang ingin disampaikan dalam perbincangan serius sebelumnya. Mungkin Miing begitu gatal ingin melawak tetapi membuat pesan total acara SDP yang sampai kepada penonton, antara lain, menunjukkan ketidakseriusan, kurang peka, karena tidak berempati dengan mereka yang menderita kanker. Semoga hal ini menjadi perhatian ketika memilih bintang tamu di SDP yang akan datang.

FERDY HASAN VS BLUE MATERIAL
Oh ya, ini usul-usil kecil untuk Bung Ferdy Hasan. Begini bung, saya harap Anda sudi berfikir ketika tiba-tiba gatal tergoda untuk mencoba berimprovisasi dengan meluncurkan humor atau celetukan yang menyerempet “blue material”. Seperti dulu pernah Anda celetukkan, misalnya “burung saya selalu bersamaku” sampai “melemparkan celana dalam Becky ke atas genting agar tidak turun hujan”.

Mengapa Anda sebaiknya berhati-hati ? Karena lelucon porno itu dalam vocabulary para komedian disebut sebagai hack, alias rahasia umum, di mana ending leluconnya sudah banyak diketahui. Jadi 90-an persen tak lucu lagi. Apalagi, tidak banyak orang yang mampu menuturkan lelucon secara cermat dan berhasil meledakkan tawa.

Terlebih lagi, menyangkut diri pribadi Anda, sosok dan image pribadi Anda itu tidak fit, tidak match, tidak cocok dengan lelucon porno. Biarkan topik itu menjadi porsinya Miing atau Didin. Kalau orang Jawa, Anda dan mBak Becky itu pantesnya adalah sebagai priyayi. Yaitu sebagai orang terhormat yang imejnya adalah pribadi-pribadi yang terjaga sopan-santunnya, baik hati, bertingkah laku dan bertutur kata yang terpuji. Usul saya : pertahankan imej Anda itu dengan memilih lelucon-lelucon yang clean. Seperti lelucon keluarga dari The Cosby Show yang melegenda itu. Bisa tentang anak-anak, binatang, pokoknya bukan seks yang vulgar.

Tetapi kalau Anda memang ingin benar-benar serius ingin melucu di SDP atau ketika jadi MC, pakailah resep ampuh (tetapi mungkin amat menakutkan) ini : “talk about your own fears and faults...” Suhu saya dalam menulis humor, Judy Carter, bilang : “We (comedian) think differently. Normal people express their sense of humor by memorizing jokes ; comedian transform their life experiences into punch lines and write their own jokes....Most people (terutama selebritis - BH) hide their defects, we comedians show them to the world”. Anda, berani ?

SDP DAN PROFIT ZONE : PELUANG BISNIS RCTI
Seorang pakar pemasaran AS bernama Adrian J. Slywotzky, pernah bilang : “ For any product on the market, there exists a larger economic content or equation, of which the product itself is only a subset”. Kalau Anda ingin tahu lebih lanjut, tanyakan kepada Pak Hermawan Kartajaya atau Rhenald Kasali. Atau beli bukunya di QB World of Books, saya pernah melihatnya tersedia di cabangnya, Jl. Sunda, deket Sarinah, Jakarta Pusat.
Merujuk ajaran di atas, acara SDP adalah subset, sehingga menurut saya acara SDP itu berpeluang dikembangkan untuk menjadi lahan bisnis sampingan RCTI lebih lanjut. Yang terlintas saat ini di kepala saya : menerbitkan buku berisikan kiat-kiat yang selama ini dimunculkan dalam SDP ini, baik kesehatan, psikologi, karier, gaul sehat, dan lain-lainnya. Juga membangun komunitas, yang bila sudah terbentuk maka terbuka segala hal yang memungkinkan terciptanya peluang-peluang baru ke depan.


MOHON BANTUAN INFORMASI : WHO WANT...MILLIONAIRE DAN LUGAS
Acara mega kuis Who Wants To Be A Millionaire, punya sedikit perubahan menarik. Yaitu di awal acara kini disertakan intro mengenai sesuatu topik “santapan rohani”. Sekedar pertanyaan : kepada siapakah di RCTI saya dapat mencoba mengirimkan contoh-contoh tulisan “intro”, yang saya harapkan dapat menyemarakkan acara mega kuis tersebut ?

Juga saya tertarik dengan rencana penayangan acara “Lugas”, variety show menyambut masa kampanye Pemilu 2004. Ijinkanlah saya minta informasi : kepada siapakah di RCTI saya dapat mengirimkan contoh rutin (naskah monolog komedi) untuk bisa mengisi acara Lugas tersebut ?

Terima kasih untuk bantuan Anda.

BUNUH DIRI ITU WABAH
Beberapa hari yang lalu SDP menampilkan topik bunuh diri. Topik yang relevan. Untuk sekedar berbagi cakrawala mengenai topik ini, ijinkanlah bersama surat ini saya sertakan artikel bertopik serupa yang pernah saya tulis beberapa waktu lalu. Semoga ada manfaatnya.


Mohon maaf bila surat ini terlalu panjang. Harap maklum, saya adalah seorang epistoholik (orang yang kecanduan menulis surat, terutama surat untuk media massa) dan kini membentuk komunitas Epistoholik Indonesia. Anda bisa melongoki situs saya : http://beha.blogspot.com atau situs Epistoholik Indonesia, http://epsia.blogspot.com.


Sekian dulu obrolan ini. Sukses selalu untuk SDP dan juga RCTI !

Hormat saya,

Bambang Haryanto
Penulis/Humoris/Konsultan Komunikasi


------------------------------------

BUNUH DIRI SEBAGAI EPIDEMI


Oleh : Bambang Haryanto


Heryanto (12), siswa kelas VI SDN Sanding IV, Garut, akhir Agustus 2003 lalu mencoba mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Ia melakukan hal tragis itu karena terdorong rasa malu sesudah mengetahui ibunya tidak memiliki uang sebesar Rp. 2.500 yang ia minta untuk membayar kegiatan ekstrakurikuler sekolahnya. Lalu Bambang Surono Suratman (11 tahun), siswa kelas V SDN Bulusan 01-02 Tembalang, Semarang, tewas dengan menggantung diri pula (Suara Merdeka, 8/10/03).

Eksekutif utama perusahaan Hyundai, Chong Mong-hun, bunuh diri. Dia resah dituduh terlibat skandal suap di balik KTT Korea Utara dan Korea Selatan tahun 2000. Dia dituduh menyuap pemimpin Korut. Chung tewas bunuh diri dengan melompat dari lantai 12 kantor Hyundai di Seoul, 4 Agustus 2003. Sehari kemudian, usahawan tekstil Grup Texmaco, Marimutu Manimaren, ditemukan tewas karena terjun dari kamarnya di lantai 56 di Hotel Aston, Jakarta Selatan.

Apakah Bambang Surono bunuh diri karena tertular percobaan bunuh dirinya Heryanto ? Apakah Manimaren juga melakukan bunuh diri akibat tertular perbuatan bunuh dirinya Chong Mong-hun, sehari sebelumnya ? Sosiolog David Phillips dari Universitas California di San Diego, pasti menjawabnya dengan positif. Dia adalah pencetus utama teori menggegerkan, bahwa seseorang bunuh diri karena tertular oleh orang lain yang bunuh diri.

Dalam risetnya ia membuat daftar cerita bunuh diri yang dimuat di halaman depan surat kabar terkemuka selama 20 tahun (1940-1960) dan mencocokkannya dengan statistik bunuh diri untuk rentang waktu yang sama. Ia ingin tahu apakah di antara keduanya terdapat hubungan. Hasilnya, mengejutkan. Menurutnya, tidak lama setelah cerita bunuh diri muncul, bunuh diri di daerah pemasaran koran tersebut melonjak. Apabila kisah itu berskala nasional, angka bunuh diri secara nasional pun meningkat. Seperti dikutip Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point (2000), kematian Marylin Monroe (1926-1962) selama beberapa waktu diikuti kenaikan angka bunuh diri nasional sampai 12 persen.

Phillips berpendapat, keputusan seseorang yang terkenal untuk mengakhiri hidupnya itu memiliki efek membujuk yang halus, keputusan itu memberi ijin kepada orang lain, terutama mereka yang mudah terpengaruh, entah karena belum dewasa atau bermental lemah, untuk juga melakukan perbuatan menyimpang. Cerita bunuh diri adalah semacam iklan alami tentang salah satu cara memecahkan masalah. Kalau khotbah agama merupakan iklan pemecahan masalah secara relijius, nonton televisi sebagai cara untuk lari dari masalah, sedangkan cerita tentang bunuh diri tentunya juga menjadi alternatif pemecahan masalah pula. Orang yang mati bunuh diri itu menjadi pemicu, yang kematiannya seolah-olah sebuah “izin” untuk mati, hingga mengakibatkan meluasnya epidemi bunuh diri.

Dalam kajian lanjutannya, Phillips mengaitkan kasus bunuh diri dengan kecelakaan lalu lintas. Ia mengambil kisah bunuh diri di koran Los Angeles Times dan San Francisco Chronicle, kemudian membandingkannya dengan kematian akibat kecelakaan lalu lintas di negara bagian California, asal terbit keduanya. Satu hari setelah kisah bunuh diri diterbitkan, jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas rata-rata naik 5,9 persen dari taksiran. Dua hari kemudian, naiknya 4,1 persen. Tiga hari setelah itu, naiknya 3,1 persen dan empat hari kemudian 1,8 persen. Selewat sepuluh hari, angka kematian itu kembali normal.

Phillips menemukan pola yang jelas. Kisah-kisah tentang bunuh diri berakibat meningkatnya kecelakaan lalu lintas tunggal dengan pengemudi sebagai korban. Kisah bunuh diri disertai pembunuhan berakibat meningkatnya kecelakaan berganda yang mencelakai atau menewaskan pengemudi berikut penumpang. Kisah tentang pelaku bunuh diri yang masih muda berakibat kecelakaan lalu lintas fatal di kalangan usia muda. Kisah tentang pelaku bunuh diri yang sudah tua berakibat kecelakaan lalu lintas fatal yang melibatkan orang tua. Dengan kata lain, “izin” yang diberikan lewat tindakan bunuh diri pertama bukan hanya sebuah ajakan umum bagi mereka yang rentan. Fungsinya lebih seperti seperangkat petunjuk sangat rinci, khusus bagi orang tertentu dalam situasi tertentu, yang memilih mati dengan cara tertentu. Peristiwa bunuh diri itu bukan isyarat atau perintah, tetapi lebih seperti ceramah.

Dalam studi lain, kembali dikutip Gladwell (2000), peneliti Inggris tahun 1960-an menganalisis 135 orang yang dirawat di RSJ setelah gagal bunuh diri. Studi menemukan, secara sosial kelompok itu saling terhubung dengan kuat, kebanyakan merupakan anggota perkumpulan yang sama. Menurut kesimpulan, ini bukan kebetulan. Bagi orang-orang ini bunuh diri pada dasarnya menjadi seperti sebuah “bahasa tersendiri” di antara sesama anggota subkultur yang sama.

“Bahasa tersendiri” itu kini semakin mencemaskan ketika berwujud sebagai bom bunuh diri. Berbeda dengan bunuh diri yang lajim, kematian pelaku pengebom bunuh diri itu sengaja ditujukan untuk membunuh fihak yang dianggapnya sebagai musuh, sebanyak-banyaknya. Dan kini, modus yang mengerikan itu semakin meruyak di dunia. Meledak tiga kali di Riyadh 12/5/2003, di Casablanca, Maroko, 16/5/2003. Tanggal 4/7/2003 di Quetta, Pakistan, bom bunuh diri menewaskan 53 orang dan sehari sesudahnya, tanggal 5/7/2003, dua perempuan melakukan bom bunuh diri di festival rock terbuka di Bandara Tushino Moskwa, menewaskan 20 orang. Kemudian bom bunuh diri meledak di Hotel JW Marriott Jakarta, 5/8/2003, dan disusul markas PBB di Baghdad, 19/8/2003, mengalami pula bencana maut yang sama !

Tindak kekejaman beruntun di beragam tempat itu semakin menunjukkan bahwa bom bunuh diri benar-benar menjadi epidemi. Sekali terjadi bom bunuh diri, di mana pun di bagian dunia ini, mau tak mau Indonesia harus juga bersiap dan waspada. Sebagai konsekuensi globalisasi, kita kini tidak kebal lagi terhadap penularan epidemi dahsyat yang satu ini !

* Bambang Haryanto, penulis dan konsultan komunikasi. Alumnus UI.

No comments:

Post a Comment