Friday, December 11, 2009

Batik, The Google Economy dan Inovasi


Posting untuk My Note di Facebook, Sabtu, 12 Desember 2009


“Jangan menjadi pionir yang miskin.”

Itulah tutur teman FB saya asal Inggris yang pakar ekonomi kreatif kelas dunia, David Parrish. Untuk melindungi karya-karya kepioniran Anda dari incaran para predator, maka daftarkanlah karya inovasi Anda itu. Baik sebagai paten, hak cipta atau pun pendaftaran merek.

Ujaran David Parrish itu berkelebat di kepala ketika menjadi saksi saat lima pengusaha batik UMKM Yogyakarta mendaftarkan merek mereka yang difasilitasi Deperindagkoptan Kota Yogyakarta dan Klinik HKI DIY Yogyakarta. Lokasi di Gedung UMKM, Jl. Taman Siswa, di tengah berlangsungnya gelar karya batik “Batik Jogja Untuk Indonesia,” 4-6 Desember 2009 yang lalu.

Saya bisa hadir antara lain karena berjabatan sebagai speech writer pocokan berkat orderan Persada Promosindo, penyelenggara acara itu. Wah, rada lucu juga, teks berisi visi saya seputar dunia batik Indonesia masa kini yang saya ketik di Wonogiri, bisa dipidatokan dan sekaligus menjadi materi buku pengantar acara itu.

“Dunia kini kan dunia datar,” kata kolumnis Thomas Friedman. Akibatnya, berkat Internet inovasi kini bisa muncul di mana saja. Gerakan perlawanan Cicak vs Buaya di Facebook yang sukses merekrut pendukung melewati angka sejuta itu toh tidak muncul di Jakarta. Bukan pula tercetus dari insan kampus-kampus universitas mapan.

Salah seorang blogger favorit saya, Jeff Jarvis, pengarang buku What Would Google Do?, menyebutkan bahwa di era web 2.0. ini Anda dan kita semua berpeluang mampu membangun aplikasi, produk atau pun perusahaan seperti Google, Amazon, eBay atau Etsy atau piranti open source sebagai platform tanpa butuh uang, tak perlu kredit, juga tak butuh kontrol terhadapnya.

Tegasnya : “Apa yang Anda butuhkan adalah apa yang lajim Anda butuhkan untuk meraih sukses di dunia rasional yang kita kenal : kecerdasan, wawasan, inovasi dan keberanian. Semua formula itu tidaklah berubah.”

Terima kasih, Pak Jarvis.

Apakah inovasi di dunia batik pun kini juga akan mengalami fenomena yang sama ? Yang saya tahu, batik kini juga dapat dibuat di mana saja. Itulah pula yang membuat saya kejeblos di tengah acara itu. Sikap sok tahu yang membawa bencana.

Saat saya mencoba membatik kain sebesar sapu tangan warna biru (foto di atas), dengan tulisan “ Trah Martowirono,” hadir seorang bule perempuan. Lalu saya ajak dia untuk mencoba menjajal canting dan membatik. Oh, ternyata ia seorang pakar batik.

brigitte willach

Pembatik dari Jerman. “Saya sudah membatik sejak 40 tahun yang lalu,” kata si bule yang bernama Brigitte Willach itu. Pada kartu namanya terdapat label : Batik-Atelier. Nampak dalam foto ia didampingi Shinta Pertiwi, ST (kiri) dan Antik Anggreni dari stan Gama Blue Indigo ND.

Kota asalnya adalah Hannover, Jerman. “Duh, ini kota asal Robert Enke, kiper timnas Jerman yang kronis dirundung depresi dan bunuh diri menabrakan diri ke kereta api, 10 November yang lalu”.

Lalu kami bisa mengobrol. Tentang batik. Bukan tentang Robert Enke yang tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahir saya. Bila ada waktu ceritanya dapat Anda klik di sini.

Pulang dari Yogya saya dihantui niat : apa godaan berat ingin membuat blog (lagi) seputar ekonomi kreatif yang terkait dengan hak cipta, apa bisa saya bendung gelegaknya di hari-hari mendatang ini ?


Wonogiri, 12/12/2009

No comments:

Post a Comment