SIARAN VOA DAN BBC DI RADIO PTPN SOLO :
SERING DIPUTUS DI TENGAH JALAN DAN MENGECEWAKAN !
Dikirim via e-mail ke
VOA/Voice of America (Washington), BBC (London) dan Radio PTPN Solo
17/12/2003
Hari ini, Rabu 17/1//2003, saya kecewa berat ketika siaran sore (Jam 19.00) Radio VOA diputus di tengah jalan oleh Radio PTPN Solo yang merelaynya. Saat itu sedang disiarkan bahasan mengenai buku tentang impian warga Asia-Amerika di Amerika, karya Helen Shia (?). Sebagai pencinta buku, saya berminat mengikuti sampai tuntas. Sayang, bahasan itu belum tuntas, lalu siaran VOA pun putus.
Mengecewakan !
Sebab ketika VOA (1/12/2003) menyiarkan bahasan mengenai buku karya Prof. Elizabeth Warren dari Harvard Law School dan putrinya Amelia Warren Tyagi, yang berjudul The Two-Income Trap: Why Middle-Class Mothers & Fathers are Going Broke, saya pun tergerak mencari info komplit tentang buku tersebut dari Internet. Jadi terputusnya siaran VOA itu juga berarti memutus akses saya terhadap informasi yang saya nilai penting.
Kebiasaan mengecewakan dari Radio PTPN Solo itu juga tak jarang terjadi ketika merelay Radio BBC, terutama dalam bagian akhir siaran Jam 20.00. Padahal dalam bagian akhir ini adalah siaran yang saya sukai, karena menyajikan berita-berita olahraga.
Hello, Radio PTPN, mengapa Anda mengecewakan salah satu pendengar Anda ?
Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
-----------------
KESENJANGAN DIGITAL DAN PEMILU 2004
Dikirimkan tanggal 17/12/2003 ke Harian Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Majalah Tempo
Pemimpin Indonesia banyak yang gagap teknologi. Ini terbukti dengan kemangkiran presiden kita dalam Konferensi Tingkat Tinggi Masyarakat Informasi yang berlangsung di Jeneva, Swiss, pertengahan Desember 2003 yang lalu. Ketidakhadiran itu seolah menunjukkan tiadanya komitmen pemerintah secara maksimal untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam bidang teknologi informasi.
Setelah digempur dengan hasil riset mancanegara yang menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara pemuncak dalam gelimang budaya korupsi, disusul potret buramnya kualitas sumber daya manusia, kini negara besar ini juga tidak elok dalam hal penetrasi teknologi informasi. Tergambar jelas, bahwa penggunaan komputer baru 1 di antara 100 penduduk dan akses Internet hanya menjangkau 4 juta di antara 200 juta penduduk Indonesia.
Kesenjangan digital (digital divide) di Indonesia ini ternyata mengusik kepedulian beberapa perusahaan asing. Mereka tergerak melakukan aktivitas untuk mengenalkan anak didik kita terhadap sarana teknologi informasi, yaitu komputer dan Internet. Contoh ini seharusnya segera disusul oleh pelbagai perusahaan lokal kita, misalnya dengan mengadakan pusat-pusat belajar TI bagi anak-anak dari karyawan mereka sendiri. Atau menyumbangkan komputer-komputer lama untuk perpustakaan lokal, sampai mengirim pegawainya untuk jadi relawan mengajari pegawai perpustakaan dan anak-anak dengan keterampilan dasar mengoperasikan komputer dan memanfaatkan Internet.
Dalam helat besar nasional Pemilu 2004 mendatang, semoga ada partai yang mau mengangkat isu krusial yang juga ikut mempertaruhkan masa depan bangsa ini. Bahkan kalau boleh usul, tirulah aksi kandidat dari Partai Demokrat AS, Howard Dean dan John F. Kerry, yang sukses spektakuler mengeksploitasi Internet dalam menggalang gerakan rakyat, grassroot, untuk menghadang George Walker Bush di Pemilu AS, November 2004 nanti. Kunci sukses Dean dan Kerry adalah dengan justru memberi kebebasan pendukungnya mengeksploitasi Internet dalam menunjang kampanye mereka. Pesan moral dari Internet : biarlah rakyat bicara dan para kandidatlah yang harus menjadi pendengarnya, untuk kemudian melaksanakannya.
Kedahsyatan Internet sebagai tulang punggung demokrasi seperti di atas mungkin di Indonesia justru ditakuti oleh para calon presiden kita. Buktinya, tak ada yang canggih mengeksploitasi Internet sebagai senjata kampanye mereka. Jadi, begitulah wajah para pemimpin kita : sudah gaptek ditambah takut terhadap teknologi yang berpeluang membawa rakyatnya memperkuat otot-otot demokrasi !
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
--------------------
MATILAH PEMERINTAH ! HIDUPLAH PEMERINTAH !
Dikirimkan tanggal 17/12/2003 ke Harian Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Majalah Tempo
Postmodernisme dipercaya telah melakukan dekonstruksi terhadap dominasi atau hegemoni negara. Kini negara bukan lagi diterima sebagai satu-satunya kekuasaan yang sah. Hegemoni seperti itu sudah lewat, sebab sekarang sentra legitimasi sudah menyebar kemana-mana, dan kehidupan pun berubah menjadi majemuk. Perkembangan tersebut di Indonesia semakin dipercepat karena rendahnya prestasi negara dan pemerintahan dalam memenuhi pelayanan kepada masyarakat secara baik, di bidang ekonomi, keamanan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.
Merespons aksi pemerintah yang banyak gagal itu maka masyarakat tidak dapat dibendung untuk tidak mencari solusinya sendiri. Mereka tidak memberontak kepada negara, tetapi bersikap “lupakanlah negara, lupakanlah pemerintah, marilah kita bertindak”. Oleh sosiolog hukum Satjipto Rahardjo, gerakan di atas disebut sebagai kekuatan sosial otentik dalam masyarakat yang tidak ingin larut dalam keterpurukan. Kini gerakan itu sedang menggeliat, bergerak dan makin kuat, dan harus kita jaga dan memupuknya sehingga menjadi kekuatan alternatif di luar pemerintahan.
Tetapi di masyarakat kita juga terjadi anomali. Bahkan ironi. Pemerintahan yang gagal itu ternyata tetap mempunyai magnet kuat. Sekedar contoh, terjadi di daerah saya : lowongan pegawai negeri sipil di Solo yang hanya 200-300-an posisi, telah diserbu sampai 60 puluhan ribu pelamar, mengentak kita : ada apa dengan anak-anak muda kita ? Mengapa mereka antusias ingin menjadi pegawai negeri yang selalu dicitrakan sebagai pekerja yang lamban, birokratis, dan juga korup itu ?
Apakah badai reformasi yang membuat semua sendi kehidupan jadi labil, gonjang-ganjing hingga kini, justru mendorong mereka untuk mencari tempat berlindung yang ia rasa aman, dengan menjadi pegawai negeri ? Kalau anak-anak muda saja tidak berani ambil resiko, lalu dari siapa kita mampu berharap adanya perubahan ?
Matilah pemerintah ! Hidup pemerintah !
Bambang Haryanto
Warga Jaringan Epistoholik Indonesia
------------------
PENULIS SURAT PEMBACA SE-INDONESIA, BERGABUNGLAH !
Dikirimkan tanggal 17/12/2003 ke Harian Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Majalah Tempo
Majalah internasional Time (6/4/1992) pernah memuat profil seorang epistoholik, istilah Time untuk seseorang yang keranjingan menulis surat-surat pembaca (letter to the editor) di pelbagai media massa. Tokoh unik dan mengesankan itu adalah Anthony Parakal (kini 72 tahun) dari India yang sudah melakoni hobinya sejak tahun 1953. Saat muncul di Time, koleksi surat pembaca karyanya sudah mencapai : 3.760 surat !
Adakah penulis surat pembaca di Indonesia yang memiliki rekor mendekati angka setinggi itu ? Antara lain untuk mendata prestasi semacam, saya sebagai seorang epistoholik berharap para penulis surat pembaca di Indonesia sudi bergabung dalam wadah jaringan Epistoholik Indonesia (EI). Seperti halnya karakter sebuah jaringan (network), EI bukan organisasi formal. Semangat antarwarganya egaliter, sebagai wahana bersosialisasi, bertukar gagasan, berasas asah-asih-asuh, guna saling mendukung semua warganya dalam kiprah intelektual menyebarkan gagasan kritis melalui media surat-surat pembaca.
Di masa depan, diangankan EI mampu menyusun direktori berisi data diri warga jaringan, spesialisasi minat masing-masing, sampai upaya membuat album elektronik untuk seluruh karya surat pembaca tiap individu anggota jaringan. Baik yang telah dimuat atau pun yang tidak dapat dimuat, sehingga dapat diakses oleh para peminat setiap saat.
Aktivitas menulis adalah intellectual exercise yang berguna bagi kebugaran otak, menyehatkan rohani dan jasmani, yang baik sekali dilakukan oleh siapa saja tidak memandang usia. Aktivitas menulis adalah upaya pembelajaran sepanjang hayat bagi setiap individu, yang seharusnya digencarkan sejak SD hingga PT kita. Kolom surat-surat pembaca di media adalah salah satu wahana penting untuk tujuan mulia tersebut.
Mari bergabung dalam keluarga jaringan Epistoholik Indonesia. Untuk memperoleh info awal realisasi gagasan ini, silakan Anda kirimkan surat ke alamat saya, berisi data diri peminat, satu contoh surat pembaca Anda yang pernah dimuat, dan usulan/harapan Anda. Untuk balasan, sertakan 2 buah perangko @ Rp. 1.500,00. Atau terkirim melalui e-mail bersubjek “Epistoholik/12” ke alamat e-mail : epsia@plasa.com. Terima kasih.
Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
-----------------
KRL HANTU BOGOR-JAKARTA
DAN SUPORTER SEPAKBOLA INDONESIA
Diposkan ke Milis ASSI, 17/12/2003
Bogor geger. Diserang UFO ?
Makhluk-makhluk aliens itu konon tidak menyerang Istana Bogor atau ikut mengeduk harta karun di Istana Batutulis, juga bukan mengobrak-abrik pepohonan tinggi atau makam mBah Jeprak di Kebon Raya Bogor. Melainkan beraksi di Stasiun Bogor, minggu lalu.
Aksinya menakjubkan : dini hari tiba-tiba KRL Bogor-Jakarta, tanpa awak dan tanpa penumpang, bisa jalan sendiri. Atas kesigapan penjaga lintasan pertama di Bogor yang mengontak penjaga-penjaga lintasan berikutnya, membuat kereta api slononk boy itu mampu mencapai Manggarai, Jakarta, dan tidak mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.
Apakah aliens yang menyopiri KRL ajaib itu ? Ataukah hantu ?
Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Tapi ngomong-ngomong, apakah Anda punya pengalaman unik tentang KRL Bogor-Jakarta itu ? Saya pernah terjatuh di Stasiun Cawang. Gara-garanya, akibat berjubelnya penumpang, saya terlambat turun. Saya loncat ketika kereta sudah kembali bergerak. Saya kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kelingking tangan kiri agak terkilir. Hanya itu. Tentu saja, malu jadi tontonan banyak orang. Tetapi saya yakin, orang-orang itu akan kembali berfokus pada isi benak masing-masing. Artinya, musibah yang saya alami itu bakal tidak menjadi hal penting bagi mereka. Juga tidak berharga untuk jadi sekedar gurauan atau bahan cerita di kantor mereka.
Tetapi di bulan Agustus 2001, di Asrama Haji Cempaka Putih saat menjelang Deklarasi ASSI, saya mendengar kisah sedih seputar KRL Bogor-Jakarta yang sama. Salah seorang pentolan suporter Jakarta tewas akibat kecelakaan menyangkut KRL tersebut. Bahkan kalau dirunut ke belakang lagi, juga tercatat peristiwa kecelakaan tertabrak KRL Bogor-Jakarta hingga menewaskan enam suporter PSIS (Panser Biru belum lahir, bukan ?) dan juga seorang suporter kelompok yang sama harus tewas karena dihakimi massa di stasiun Manggarai.
Kereta api di Indonesia rupanya tak sepi dari cerita-cerita menyangkut ulah suporter sepakbola Indonesia. Bagi saya sebagai warga Pasoepati, interaksi dengan PT KAI terasa monumental. Yaitu ketika pertama kali Pasoepati melawat ke Surabaya, 6/4/2000. Dengan tema From Solo With Love kita mencarter 12 rangkaian gerbong senilai 27 juta rupiah yang bahkan disebut sebagai Kereta Api Luar Biasa Pasoepati.
KLB ini berangkat dan pulang berdasarkan jam yang ditentukan oleh Pasoepati sendiri. Esoknya pun, Pasoepati dapat bonus. Harian Surya (7/4/2000) memuat pernyataan Sugeng Priyono, Wakil Kepala Stasiun Kereta Api Gubeng. Ia semula merasa was-was ketika melihat kedatangan ribuan suporter Pelita Solo. Maklum saja, ribuan suporter fanatik tersebut mengenakan kaos merah dengan dandanan aneh-aneh sambil mengibarkan bendera kesebelasan yang didukungnya. “Tapi alhamdullilah, ternyata mereka tidak bertingkah macam-macam. Baru kali ini saya melihat suporter bersikap santun”, ujar Sugeng Priyono.
Tetapi toh di sebalik cerita manis di atas juga ada berita lain yang tak masuk koran. Tapi masuk Tabloid BOLA (14/4/2000) : sekitar 10 menit kereta meninggalkan Stasiun Gubeng menuju pulang, kereta mendapatkan sambitan batu. Tiga baris kursi di depan saya, seorang warga suku Pasoepati Lovina (Jagalan), Rudi, alis kirinya harus dijahit karena tersambar batu-batu tersebut.
Peristiwa yang menimpa Rudi di kereta api tadi pasti hanya cerita kecil sekali bila dibandingkan dengan cerita-cerita yang dimuat dalam buku berjudul Bonek : Berani Karena Bersama (Hipotesa, 1997), yang menyajikan cerita dan analisis seru mengenai pendukung fanatik tim runner-up Piala Emas Bang Yos 2003 yang baru usai itu. Buku ini saya beli di kaki lima Stasiun Cawang, 15 Agustus 2002. Terdapat 13 tulisan di dalamnya.
Buku tipis dengan sampul berwarna kehijauan dan merah, didominasi gambar bola yang superimpose dengan gambar tengkorak, merupakan kumpulan artikel dari pelbagai kalangan di Jawa Timur. Ada akademisi, pejabat, anggota LSM dan wartawan. Bagi saya yang menarik, adalah tulisan Guru Besar Hukum Unair, Prof. Soetandyo Wignyosoebroto. Saya pribadi belum kenal Prof. Tandyo, tetapi Ibu Tandyo pernah mengikuti kelas di mana saya menjadi asisten mata kuliah fotografi untuk presentasi audio-visual di kampus Rawamangun, Jakarta, sebelum pindah ke Depok.
Kalau di artikel sebelumnya muncul pernyataan keras dari Basofi Sudirman, Gubernur Jawa Timur saat itu yang menyebut para bonek juga sebagai boling (bondho maling) yang harus ditindak keras, maka Prof. Soetandyo menuliskan bahwa “tindakan tegas saja tak cukup”. Menurutnya, para bonek itu toh anak-anak kita, sehingga harus direngkuh dan di-openi, sebab mereka bagian dari warga masyarakat kita yang terampas. Terampas sumber dayanya, pendidikannya, asosiasi sosialnya, dan pertumbuham kejiwaannya.
Bahkan disebutnya, yang masuk kategori bonek itu bukan hanya suporter sepak bola. Anak-anak muda yang suka bertualang seperti mendaki tebing sampai arung jeram pun, termasuk bonek. Juga anak-anak muda Surabaya yang ikut memanggul bedil dalam revolusi. Bedanya, jiwa petualang para bonek satu ini masih terarah. Sedangkan bonek yang ngeluruk ke Stadion Senayan, nonton sepakbola, selain tidak terarah, juga termasuk kategori bonek akut dan kronis.
Bonek akut dan kronis, menurut Prof Tandyo, memerlukan pendekatan khusus. Mereka dibimbing untuk terwadahi dalam organisasi fans club, memiliki aktivitas konkret, terstruktur dan diakui keberadaannya. Saluran semacam itu akan lebih positif daripada membiarkan mereka mengorganisir diri dan memberikan kesempatan munculnya tindak anti-ketertiban.
Pendekatan terhadap bonek akut dan kronis seharusnya dilakukan dalam dua bentuk. Untuk mereka yang akut dan sering jadi trouble maker, tindakan tegas kepadanya pantas dilakukan. Tetapi untuk bonek kronis, tindakan tegas saja tidak cukup. Mereka harus pula dibimbing, diorganisir, diarahkan dan diawasi.
Pendeknya, faktor-faktor tertentu yang membentuk struktur perilaku bonek harus diputus rantainya. Itu artinya, mengatasi bonek merupakan pekerjaan raksasa karena tak ada bedanya dengan program pemerintah dalam mengentas kemiskinan.
Apakah ada kemiripan antara problem bonek yang diutarakan oleh Prof. Tandyo tadi dengan persoalan dalam kelompok suporter Anda ? Silakan Anda bercerita. Sementara itu, bagian lainnya dari buku itu, semoga dapat saya ceritakan lagi kepada Anda, di lain kesempatan. Sekian dulu obrolan saya, minggu ini.
Au Revoir !
Sobat Anda,
Bambang Haryanto
Penulis Buku HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA MATI
Wonogiri 17/12/2003
P.S. Mengapa saya memakai salam Au Revoir, berbahasa Perancis ? Bukan karena ikut demam film Eifel…I’m In Love (novel dan skenarionya ditulis cewek tingkat satu program diploma bahasa Perancis UI), tetapi karena organisasi saya Epistoholik Indonesia ternyata juga diminati seseorang madame yang nulis e-mail dari Paris !
Wednesday, December 17, 2003
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment