Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com
Pahala terbaik ketika menulis, termasuk menulis di Facebook, adalah ketika kita menuliskannya. Komentar pembaca hanya bonus.
Tetapi kiranya banyak pemilik akun Facebook tidak tahu hal itu.Karena mereka suka menulis secara pendek-pendek, atau hanya mengunggah foto tanpa caption jelas dan komplit, sehingga informasinya hanya bisa difahami oleh yang bersangkutan.
Menulis pendek itu membatasi imajinasi, memperpendek petualangan dalam benak.Aktivitas tersebut akhirnya kurang merangsang otak untuk bekerja dan menjadi lebih terasah.
Hari Rabu kemarin (8/5/2012), saya banyak mengoceh di Facebook. Topiknya beragam. Antara lain :
Wakil rakyat koruptor. “Wakil rakyat alias anggota DPR-DPRD, ternyata memuncaki daftar mereka yang diindikasikan melakukan tindak korupsi di tahun 2012 ini.
Halo, Marzuki Alie sang Ketua DPR, omongan Anda tentang alumni PTN yang terlibat korupsi itu trik sulap untuk membelokkan perhatian, bukan ?”
Tautannya : Klik disini.
Rasis di tengah kita. “Menurut psikolog anak, orang tua yang mendorong anaknya untuk bertingkah laku rasis sebenarnya dirinya justru merusak anak-anaknya secara psikologis.”
Sumber : @RacismFacts
PS : Saya pernah melihat anak-anak tingkat PAUD
diajari gurunya yel-yel rasis.
Heboh Habib Homo. Kedatangan tokoh Irshad Manji, penulis buku Allah, Liberty, and Love, asal Kanada mendapat desakan dari organisasi masyarakat tertentu.
Bahkan acara peluncuran bukunya yang digelar di Salihara, Jakarta Selatan, Jumat (4/5/2012), dibubarkan oleh polisi atas desakan ormas tersebut.
Ormas yang mengatasnamakan Islam itu menuding bahwa buku Irshad Manji itu menyebarkan gay dan lesbian. Tudingan tersebut telah ia bantah.
Seorang teman Facebook saya, Hendro Wicaksono, telah menulis status :
“Buat yang ngedukung hak2 lesbian dan gay, pada belum punya anak ya? Kalau sudah punya anak, monggo coba anaknya dicekoki bahwa gay dan lesbian itu halal. Berani kaga ente?”
Banyak rekannya menimpali, sebagian besar bersetuju dengan pendapatnya. Tetapi obrolan menjadi menarik ketika Bagus Utomo menimbrung dalam diskusi itu : “gak boleh menghakimi juga. banyak yg memang bukan pilihan kok. yg bahaya justru yg keliatan gak gay, tapi melakukan pelecehan. banyak yg malah jadi tokoh agama.”
Pendapat Bagus ini tiba-tiba memicu ingatan saya, bahwa kemarin (7/5/2012), saya menemukan informasi yang relevan sebagai bahan diskusi ini. Kemarin saya pergi ke Apotik Kimia Farma Sukoharjo, Jl. Veteran 11, dekat alun-alun. Saya membeli cream pemelihara kesehatan.
Saat mau pulang ke Wonogiri, saya sempat mampir di Perpustakaan Daerah Sukoharjo. Saya ingin tahu, apa perpustakaan itu juga buka di hari Minggu. Saya masuk, memergoki tumpukan buku dan majalah yang diberi label sebagai koleksi terbaru. Saya menemukan majalah Gatra dengan sampul mencolok, berbunyi : “Doktrin Cabul Sang Habib.”
Saya lalu tuliskan hal itu di komentar.
Bambang Haryanto : "Pro Bagus Utomo : Majalah Gatra kan baru saja mengangkat topik, seperti kata Anda : "yg bahaya justru yg keliatan gak gay, tapi melakukan pelecehan. banyak yg malah jadi tokoh agama."
Tautan : Eksploitasi Birahi Berjubah Wali.
Bagus Utomo : “ya temen saya ada yg jadi korban ustadz kok waktu kecil. ustadznya bebas, skrg entah kemana. temen saya sampe gangguan jiwa berat sampe sekarang. yg tertutup itu malah yg bahaya. kasihan juga kan, udah jadi korban, hak2nya gak dihargai sebagai manusia.”
Bambang Haryanto : “Prof. Sarlito W. Sarwono dalam twitnya menulis : "Yang benar: dlm agama ada etika. Tapi etika bukan agama. Agama tanpa etika: teror, seks, premanisme, rampok dll dg. dalih agama.
Laporan Gatra dan kisah Mas Bagus Utomo tentang ustad/habib yang homoseks, mengilustrasikan betapa kejam bila moralitas itu dibajak atas nama agama.”
Bagus Utomo : “saya bukan ahlinya soal ini sih. tapi ini pengalaman saya aja mendampingi penderita gangguan jiwa. gak semua orang beruntung hidupnya mulus2 aja. gak semua orang punya pilihan. kadang sesuatu terjadi begitu saja. karena itu jangan mudah menghakimi. kisah hidup manusia sangat beraneka ragam.
trus sex itu kebutuhan dasar, sulit ditekan, bahkan dengan dogma agama masih meledak juga kayak ustadz/habib tadi. itu bahayanya kalo tertutup. blom lagi anak2 jalanan yg masuk kelompok resiko. saya bisanya cuma berdoa agar para pemimpin pandangannya luas dan bijaksana. agar ada jalan tengah yg baik. sehingga jangan terjadi lagi kasus seperti yg tadi.”
Gadis cantik : Ninik. Saya selanjutnya menulis cerita agak panjang di grup Facebook tempat alumni SMP Negeri I Wonogiri Angkatan 1981 suka ngerumpi. Sebenarnya, saya lulusan sekolah yang sama, tetapi jauh lebih awal. Lebih tua, karena saya lulus tahun 1969.Karena teman seangkatan saya belum muncul di Facebook, saya ikut bergabung di grup angkatan yang jauh lebih muda. Biar ketularan awet muda :-).
Angkatan saya yang bisa saya temui di Facebook akhir-akhir ini adalah Bambang Pur (nomo Untung Sabdodadi) yang wartawan harian Suara Merdeka.Kontak di FB belum terjadi, walau sering berhalo bila ketemu di jalanan. Juga Muhammad Nurdin, lulusan Universitas Grenoble, Perancis dan kini dosen di ITB. Nurdin sudah konfirm di Facebook, saya sudah pula menulis di wall-nya dan kirim pesan, tetapi belum ada komentar baliknya :-(.
Juga teringat ada nama Laksamana Madya Gunadi. Sempat satu kelas di 1B, di mana waktu di SMP ia satu rumah dengan Budiman, di rumah sebelah barat Jurang Gempal. Saya pernah beberapa kali main ke sini. Beliau belum saya temukan di Facebook.
Melalui rekan Sugeng Sudewo (teman sama-sama di SD III Wonogiri dan di SMPN 1 pula), saya dapat nama Gembong (Giritirto), Edy Darmojo (Donoharjo),dan lulusan SD 6 Wonogiri yang mengajarkan di masa awal awal remaja saya :-) tentang gadis yang cantik : Ninik. Di grup alumni SMP Negeri 1 Wonogiri Angkatan 1981 itu saya menulis hal berikut ini :
Geger bacot Marzuki Alie. “Orang satu ini kalau cangkemane tidak bikin risi orang lain mungkin akan sakit mag atau ambeyen. Dialah : Marzuki Alie.
Saat berbicara di acara bertajuk “Masa Depan Pendidikan Tinggi di Indonesia,” di kampus UI, Marzuki Alie ngablak bahwa koruptor itu adalah orang-orang pintar, bahkan lulusan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.
“Para koruptor itu bisa dari anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, anggota Himpunan Mahasiswa Islam, lulusan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan lainnya. Tidak ada orang bodoh,” katanya.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Arindra A. Zainal tak setuju dengan cara berpikir Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie. Dengan pernyataan Marzuki Alie itu, kata dia, sama halnya dengan menganalogikan bahwa semua maling di Indonesia yang berada di penjara adalah orang Islam.
Atau misalnya di negara lain Eropa seperti Italia, yang penghuni penjaranya warga beragama Katolik.
"Lalu, apa yang disalahkan agamanya? Kan tidak demikian," ujar dia. Ketua Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) UI ini menuturkan, "Korupsi itu kan tergantung pada orang-orangnya. Jangan menggeneralisasi," kata dia.
Logika berpikirnya politikus Partai Demokrat itu bikin saya ingat isi lelucon komedian muslim AS, Azhar Usman. Dalam akun Twitternya 13 April 2012 yang lalu, di mana saya jadi makmumnya ia, bilang : “Menvonis Islam berdasar tingkah laku para teroris seperti menghakimi kapitalisme berdasar kelakuan Bernie Maddoff. Goblog.”
Ulah Marzuki Alie itu kini menebar badai. Panen gugatan. Sementara itu KPK justru menyatakan, betapa wakil rakyat alias anggota DPR-DPRD, ternyata memuncaki daftar mereka yang diindikasikan melakukan tindak korupsi di tahun 2012 ini.
Halo, Marzuki Alie sang Ketua DPR, omongan Anda tentang alumni PTN yang terlibat korupsi itu apa trik sulap Anda untuk membelokkan perhatian, bukan ? Kapan-kapan Anda silakan datang di gedung DPRD Wonogiri, karena di sini terjadi tindak “korupsi” besar-besaran.
Padahal kantor ini sepertinya setiap hari menjadi jujugan dan pula jadi tongkrongan para wartawan, tetapi mereka sepertinya tetap engga “ngeh” juga. Kenapa ya ? Mungkin ini ilustrasi yang cocok, mencocoki, karena dicoba dicocok-cocokkan untuk fenomena itu.
Alkisah, suatu hari saya pernah di sebuah warnet menemukan amplop kosong. Kop amplopnya : DPRD Wonogiri. Lalu ada tulisan tangan, bahwa amplop itu diberikan kepada seorang wartawan.
Saya tersenyum kecil, dan bersyukur sedikit. “Untung saya hanya seorang blogger, fesbuker, dan bukan seorang wartawan.”
Di benak lalu tergambar ucapan pengacara muda idealis Rudy Baylor yang dibintangi Matt Damon dalam film The Rainmaker (1997) :
“Setiap pengacara, minimal dalam satu kasus, dirinya merasa telah menyeberangi batas yang tidak sengaja ia lakukan. Itu terjadi begitu saja. Tetapi apabila Anda kemudian ternyata berkali-kali menyeberangi batas itu, maka batas tersebut akan lenyap selamanya. Dan Anda kemudian akan menjadi bukan siapa-siapa lagi, kecuali menjadi pengacara dagelan. Anda masuk barisan sebagai seekor hiu lainnya lagi untuk berenang-renang dalam air comberan.”
Tapi ngomong-ngomong, apa sih bentuk ‘korupsi’ di kantor DPRD Wonogiri ? Saya ingin tanya Mas Bambang Tri Subeno, kode pos kelurahan Anda, Wuryorejo, 57614. Kelurahane mas bupati, di mana warna cat rumahnya dan cat pagar garasi bisnya kini “menulari” habis-habisan pohon-pohon dan tempat sampah di pelbagai lokasi di Wonogiri, punya kode pos : 57681.
Lalu Wonokarto, rumahnya Mas Anto (yang masih waris sama saya), adalah : 57612. Ternyata masih sama dengan kodepos rumahnya Mas Mujtahid dan kampung saya yang sama-sama masuk Kalurahan Giripurwo.
Lalu kantor DPRD Wonogiri yang juga masuk Giripurwo, mengapa punya kode pos tersendiri ? Aturan normalnya, se-Indonesia, kode pos itu 5 digit, kok di kantor para wakil rakyat Kota Gaplek ini justru pethakilan menjadi 6 digit ? Menjadi : 576551 !
Mungkin (ide gerundelan liar) itu kode pos untuk daerah eksotis Wonogiri yang tidak terjangkau oleh pengawasan rakyat, di mana uang, politik, kekuasaan dan keserakahan, bergelut dan terpilin menjadi menu mereka sehari-hari.
Wakil rakyat, wakil rakyat.
Kodepos wae melu-melu keno mark-up !”
Wonogiri, 8 Mei 2012
Tuesday, May 08, 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)