Sindrom Ogilvy, Upaya Mengenang Guru dan Dosen Kita
Dikirimkan ke Milis Epistoholik Indonesia, Senin, 4 Oktober 2010Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com
Mabuk masa lalu. Salam episto ergo sum ! Anda mengenal nama David Ogilvy ? Dia bukan penulis surat pembaca top. Tetapi sosok yang dikenal sebagai "nabi" periklanan.
Dalam buku yang disebut sebagai kitab suci insan perklanan sampai kini, Confessions of an Advertising Man (1963), Ogilvy menjawab pertanyaan tentang apa saja kelemahan dirinya yang paling parah. Dalam salah satu jawabannya, nomor 3, ia bilang : "Like everyone my age I talk too much about the past. " Seperti halnya orang-orang seusia saya, saya terlalu banyak membicarakan masa lampau.
Ogilvy berkata demikian saat berumur 75.
Saat ini saya berumur 57 tahun. Tetapi rupanya saya sudah sangat sering dan parah terkena "Sindrom Ogilvy" tersebut. Karena di milis ini saya akan cerita tentang masa lalu pula.
Pemicunya, di akun Facebook saya, seorang teman kuliah (kini Dekan di UIN Jakarta), menuliskan kabar bahwa dosen saya di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI (kini FIB), Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak, (foto di bawah) meninggal dunia, di usia 85 tahun. Wafat tanggal 28 September 2010 yang lalu.
Sumber besar kepala. Tanggal 3-4 Februari 1982, Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI menyelenggarakan Loka Karya Pemanfaatan Media Teknologi Untuk Promosi Perpustakaan Perguruan Tinggi.
Moderator untuk salah satu presentasi makalah saat itu antara lain adalah Ibu Rusina, dan saya yang masih berstatus mahasiswa saat itu menjadi nara sumbernya.
Sebagian teman konon kemudian berkasak-kusuk bahwa "sejak presentasi itu Bambang punya tingkah laku, gaya berjalan dan memiliki ukuran kepala yang berbeda. Bahkan gaya merokoknya pun berbeda, karena kini ujung yang dihisap adalah ujung rokok yang menyala :-(
Saya segera membongkar-bongkar gudang buku saya, alias kamar saya juga, untuk menemukan buku harian saya tahun 1980. Masa lalu, 30 tahun yang lewat itu, momen-momennya segera berparade di depan mata. Ada nama Nurul Oetomo. Upik Syahrir. Widhiana Laneza. Juga Hotel Blambangan di Semarang. Lagunya duo America, "A horse with no name" dan duo Simon & Garfunkel, "The only living boy in New York."
Barangkali, itulah untungnya bila Anda memiliki buku harian. Anda bisa merasa "muda" lagi, setiap kali. Minimal memudakan, membugarkan otak Anda karena lebih mampu me-recall atau me-rewind secara rinci apa yang Anda alami dalam hidup Anda di masa lalu itu. Filmnya Julia Roberts dan Kevin Sutherland, Flatliners, juga kurang lebih bercerita seputar topik itu pula.
Tetapi kabar duka semacam itu kadang terus meninggalkan buntut. Masih merujit-rujit sisi terdalam hati saya. Juga saat menulis catatan ini. Kenapa aku baru menulis kenangan untuknya, ketika beliau sudah kembali keharibaan Allah ? Kenapa kita tidak menulisnya ketika beliau-beliau, para dosen kita itu, saat masih bisa bertegur sapa dengan kita, walau pun hanya lewat dunia maya ?
Setahun lalu, Rabu, 2 September 2009, saya pernah memposting tulisan bermisi serupa di milis kita ini. Sebelumnya juga saya kirimkan ke Kompas Jawa Tengah, tetapi tidak dimuat. Saya refresh lagi, moga berguna.
Reuni dan Jasa Guru Kita
Hari Raya Idul Fitri sering identik momen kegiatan reuni. Baik sesama mantan pelajar sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dalam ajang silaturahmi itu sering juga diundang para mantan guru-guru mereka. Sungguh, kegiatan yang mulia dan membekaskan kenangan.
Sayang, reuni itu lebih banyak porsi pesta nostalgianya. Alangkah baiknya bila diberi sentuhan edukatif, misalnya dengan menghimpun kenangan para mantan siswa terhadap teman dan juga guru-guru mereka dalam bentuk buku atau blog. Teknologi kini memungkinkan kita menerbitkan buku secara print on demand atau blog di Internet yang relatif murah dan mudah.
Sekadar ilustrasi, dalam beberapa posting dalam blog, saya telah menulis tentang Pak Mufid Martohadmojo (foto), mantan guru bahasa Inggris saya di SMP Negeri 1 Wonogiri tahun 1969.
Setelah berpisah puluhan tahun, suatu momen yang berkesan saat kami bisa bertemu di Perpustakaan Daerah Wonogiri. Walau sudah lama pensiun, beliau tidak berhenti untuk terus belajar.
Dalam reuni unik itu saya bisa gantian menjadi "guru" beliau. Dengan memanfaatkan akses Internet perpustakaan, saya dapat menunjukkan apa saja yang telah saya tulis tentang beliau. Termasuk mencatat jasa beliau dalam menanamkan kecintaan terhadap bahasa Inggris sebagai sarana untuk mereguki luasnya khasanah ilmu pengetahuan dunia, yang lalu bisa disumbangkan kepada kemaslahatan bersama.
Selamat bereuni. Jangan lupa, dokumentasikan juga kenangan terhadap para guru-guru kita. Suatu umpan balik yang nilainya tidak seberapa bila dibandingkan dengan dedikasi guru-guru kita dalam mendidik kita di masa lalu.
Itulah posting/surat pembaca saya tentang usulan upaya mengenang jasa guru/dosen-dosen kita di masa lalu. Foto kami berdua, saya dan Pak Mufid di atas, dijepret tanggal 27 November 2008, dengan latar belakang rak-rak buku di perpustakaan
Kalau Anda ada waktu, tulisan kenangan tentang dosen saya itu dapat Anda klik di artikel EE 105/Oktober 2010 : JIP 1980 dan Ibu Rusina Dalam Kenangan Saya.
Kabar lain lagi : Epistoholik Indonesia kini memiliki logo baru. Apa bentuknya, akan saya ceritakan di masa mendatang.
Selamat terus menulis.
Juga (mulai) menulis buku harian Anda !
Bambang Haryanto
[Diketik pagi hari diiringi lagu "Kashmir"-nya Led Zeppelin, "Rain" dari The Beatles, "Everybody Hurts"-nya The Corrs dan "Claire de lune"-nya Claude Debussy].
Wonogiri, 4-5 Oktober 2010