Tuesday, December 29, 2009

Mengapa Waktu Cepat Berlalu


Diposting di My Note Facebook, Rabu, 30 Desember 2009


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Tiba-tiba kita sudah diujung tahun 2009.

Penyair Inggris, Ralph Hodgson (1871–1962) menyebut waktu sebagai old gipsy man, jipsi tua yang mengembara, dan tidak mau berhenti barang sehari pun. Waktu kita untuk tahun 2009 menjelang habis, dan ia tak akan kembali.

Setiap menjelang pergantian tahun, saya mudah ingat artikel yang saya temukan di Perpustakaan LIA Jakarta, 14 Mei 1992.

Judulnya, “Why time flies and how to slow down”, ditulis Bruce Schechter, penulis sains bergelar Ph.D Fisika yang tinggal di New York. Dimuat di majalah McCall’s (10/1991).

Bruce Schechter menulis, “waktu [psikologis itu] dapat melesat terbang atau merangkak lamban, tergantung bagaimana kita mengisinya. Semenit menunggu lift terasa lebih lama dari sepuluh menit saat coffee break. Tetapi kalangan psikolog mencacat bahwa satuan waktu yang lebih besar, bulan atau tahun, terasa melesat lebih cepat ketika umur seseorang bertambah.”

Ilmuwan menyebut hal terakhir ini sebagai fenomena “akselerasi waktu subyektif yang terkait dengan penuaan.” Salah satu teori pendukungnya berupa matematika sederhana. Satu tahun bagi anak berumur 5 tahun adalah 20 persen dari hidupnya, dan bagi mereka berussia 50 tahun hanya 2 persen saja. Jadi, setahun itu lebih lama bagi anak-anak dibanding bagi orang dewasa.

Lalu ada faktor lain yang merubah persepsi kita tentang waktu. Charles E. Joubert, psikolog Universitas North Alabama, yang juga mengkaji akselerasi waktu mencatat bahwa semakin waktu itu terstruktur, berisi skedul dan janji, semakin cepat pula waktu itu melintas.

Sebagai contoh : seharian di kantor itu tak ada apa-apanya dibanding seharian bersantai di pantai wisata. Oleh karena sebagian besar kita lebih sedikit menghabiskan waktu di pantai, tetapi lebih banyak di kantor seiring meningkatnya umur, maka peningkatan waktu yang terstruktur itu pantas dituding sebagai biang kerok mengapa waktu terasa semakin cepat terbang seiring bertambahnya umur kita.

Akselerasi atau bergegasnya waktu, mungkin juga diakibatkan oleh fenomena fisiologis. Di tahun 1932, istri Hudson Hoagland, seorang ahli ilmu faal, terserang flu. Ketika suhu tubuhnya mencapai 104 derajat Fahrenheit, Hoagland segera bergegas menuju apotik untuk membeli obat.

Perjalanannya hanya selama 20 menit, tetapi istrinya justru marah-marah, mengatakan lebih lama. Kalau suami lain pasti masalah ini mampu memicu saling tarik urat, Hoagland justru menaruh perhatian secara serius terhadap keluhan istrinya.

Hoagland pernah membaca bukunya psikolog Perancis, Henri Pieron, bahwa kecepatan proses psikologis seseorang itu dipengaruhi oleh suhu, demikian pula persepsinya tentang waktu. Karena semakin meningginya suhu akan pula meningkatkan reaksi kimia lebih cepat, hingga Pieron menyimpulkan bahwa waktu pun akan terasa lewat lebih cepat dibanding yang senyatanya.

Hoagland lalu melakukan tes untuk teori di atas, dengan meminta istrinya menghitung angka sampai 60 dengan keras-keras. Ia memperkirakan satu hitungan memakan waktu satu detik. Ia mengukurnya dengan stopwatch. Yang terjadi, istrinya menghitung paling cepat ketika demamnya meninggi, yang menjelaskan mengapa istrinya tersebut merasakan waktu senyatanya berjalan begitu lamban.

Kita sebagai babi hutan. Ekspektasi dan keakraban juga membuat waktu terasa lebih cepat melesat. Hampir semua orang merasakan pengalaman ketika berkendara menuju tempat yang terasa asing. Dikepung pemandangan yang belum dikenal, dengan tanpa bayangan kapan akan sampai di tujuan, perjalanan terasa begitu lama.

Tetapi ketika kembali, walau jarak kilometernya tetaplah sama, nampak waktu tempuh terasa lebih pendek rasanya. Hal-hal baru dalam perjalanan kemudian seakan-akan menjadi rutin.

Apalagi kemudian rata-rata orang cenderung menjadi nyaman dengan rutinitas, ibarat bertabiat model babi hutan atau celeng. Binatang ini konon ketika pergi atau pulang selalu melewati rute yang sama, bertahun-tahun, waktu pun akhirnya terasa seperti cepat berlalu. Sehingga apabila kita setiap kali berinisiatif mengambil rute perjalanan yang berbeda, hal tersebut membuat kita seperti mampu memperlambat waktu.

Tatkala hari-hari yang kita lalui saling identik satu sama lain, ibarat bulir-bulir tasbih yang bergerombol dalam satu rangkaian, berkelompok bersama, maka waktu sebulan pun hanya nampak seperti satu hari belaka. Tidak aneh bila waktu kemudian nampak seperti cepat sekali melejit pergi.

Untuk menangkis penggerombolan hari, maka buatlah setiap hari hidup kita seunik sidik jari. Sebagaimana dikatakan oleh Joubert bahwa struktur cenderung membuat waktu cepat berlalu. Oleh karena itu, carilah cara cerdik untuk menginterupsi struktur hari-hari Anda, untuk menghentikan laju terbangnya, ibarat kita melakukan rehat kopi di tengah jam-jam kerja kita.

Bruce Schechter memberi contoh seseorang wanita yang punya pekerjaan sibuk, tetapi saat makan siang ia memutuskan untuk menjelajah kota tempat ia berkarier itu.

Ia mengunjungi kebun binatang, yang merupakan kunjungannya yang pertama. Piknik kecil-kecilan tersebut, sekadar lepas dari tuntutan kerja kantornya, telah memberikan waktu rehat yang pantas untuk dikenang, yang bila tidak maka hari-hari-hari kerjanya hanya merupakan segumpal blok yang identik satu sama lainnya.


Jangan Takut Jadi Pemula. Mempelajari sesuatu hal yang baru merupakan cara ampuh lain untuk memperlambat gerak terbangnya waktu. Salah satu alasan mengapa hari-hari ketika kita masih muda terasa penuh dan panjang, karena hari-hari tersebut dipenuhi dengan masa kegairahan untuk belajar dan menemukan.

Learning and discovery.

Bagi kebanyakan kita, masa-masa belajar itu memang terkadang selesai begitu kita meninggalkan bangku sekolah atau kuliah. Tetapi bagi seorang Ronald Graham, matematikawan terkenal dari AT&T Bell Laboratories, punya kiat jitu untuk mengerem waktu : “Jangan takut menjadi pemula”.

Graham pun selalu gigih berburu keterampilan baru untuk ia kuasai. Dalam masa waktu 40 tahun terakhir Ronald Graham mampu menguasai bahasa Cina, main piano, juggling, akrobat, menulis lusinan makalah ilmiah, dan berwisata sampai ke pojok-pojok dunia.


Mengurai masa lalu. Bruce Schechter memperluas cakarawala kita ketika ia mengatakan bahwa mengerem laju jarum jam tidak hanya berlaku untuk masa kini, tetapi juga ketika meninjau masa lalu.

Menulis buku harian (saya lakukan setiap hari), menulis otobiografi dan menulis blog, merupakan cara bagus untuk menyortir kekaburan masa-masa lalu. Sehingga masa lalu tidak lagi hanya berupa satu gumpal campur aduk segala hal tanpa makna.

Masa-masa lalu tersebut dapat diurai untuk membentuk pola tertentu yang membahagiakan, membanggakan, baik susunan yang terdiri dari kejadian atau pun prestasi-prestasi tertentu.

“Mendekati usia 65 tahun”, begitu tutur Bruce Schechter, “ayah saya memulai menulis kenangan hidupnya”. Ia semula beranggapan tulisan itu hanya pendek saja, tetapi ternyata tiap kenangan itu beranak pinak dengan kenangan lainnya. Karya tulisnya kemudian membengkak memenuhi sebuah buku.

Anak-anaknya kemudian membelikannya sebuah komputer, kini tulisan kenangan tersebut mencapai 400 halaman yang menghadirkan pola kehidupan yang telah ia lalui, betapa indah dan ajaib kehidupan yang telah ia jalani.”

Candu dan boros waktu? Kehidupan yang indah dan ajaib itu, saya tidak tahu apakah dapat saya (kita) bekukan dan abadikan dalam tulisan-tulisan status dan komentar-komentar yang saya tulis di Facebook ini.

Saya juga tidak tahu, apakah tulisan semacam di Facebook tersebut akan bermanfaat di masa depan. Penulis Julie Weishaar menyebut Facebook sebagai ” too easy to become addicted and wastes time”. Memicu kita untuk mudah kecanduan dan buang-buang waktu.

Tulisan-tulisan di Facebook yang sepertinya sering ditulis tanpa pikir panjang, tanpa renungan, semudah meludah itu, bila kelak saya himpun dan suatu saat dibaca-baca kembali, mampukah mengurai jumble, gumpal-gumpal campur aduk waktu, yang telah saya lewati ? Saya tidak tahu.


Selamat Tahun Baru 2010.
Semoga sukses dan sejahtera senantiasa memayungi Anda semua.

Wonogiri, 30 Desember 2009

PS : Versi lebih panjang dari tulisan ini dapat Anda klik di : http://esaiei.blogspot.com/2006/01/mengapa-waktu-cepat-sekali-berlalu.html

Friday, December 11, 2009

Batik, The Google Economy dan Inovasi


Posting untuk My Note di Facebook, Sabtu, 12 Desember 2009


“Jangan menjadi pionir yang miskin.”

Itulah tutur teman FB saya asal Inggris yang pakar ekonomi kreatif kelas dunia, David Parrish. Untuk melindungi karya-karya kepioniran Anda dari incaran para predator, maka daftarkanlah karya inovasi Anda itu. Baik sebagai paten, hak cipta atau pun pendaftaran merek.

Ujaran David Parrish itu berkelebat di kepala ketika menjadi saksi saat lima pengusaha batik UMKM Yogyakarta mendaftarkan merek mereka yang difasilitasi Deperindagkoptan Kota Yogyakarta dan Klinik HKI DIY Yogyakarta. Lokasi di Gedung UMKM, Jl. Taman Siswa, di tengah berlangsungnya gelar karya batik “Batik Jogja Untuk Indonesia,” 4-6 Desember 2009 yang lalu.

Saya bisa hadir antara lain karena berjabatan sebagai speech writer pocokan berkat orderan Persada Promosindo, penyelenggara acara itu. Wah, rada lucu juga, teks berisi visi saya seputar dunia batik Indonesia masa kini yang saya ketik di Wonogiri, bisa dipidatokan dan sekaligus menjadi materi buku pengantar acara itu.

“Dunia kini kan dunia datar,” kata kolumnis Thomas Friedman. Akibatnya, berkat Internet inovasi kini bisa muncul di mana saja. Gerakan perlawanan Cicak vs Buaya di Facebook yang sukses merekrut pendukung melewati angka sejuta itu toh tidak muncul di Jakarta. Bukan pula tercetus dari insan kampus-kampus universitas mapan.

Salah seorang blogger favorit saya, Jeff Jarvis, pengarang buku What Would Google Do?, menyebutkan bahwa di era web 2.0. ini Anda dan kita semua berpeluang mampu membangun aplikasi, produk atau pun perusahaan seperti Google, Amazon, eBay atau Etsy atau piranti open source sebagai platform tanpa butuh uang, tak perlu kredit, juga tak butuh kontrol terhadapnya.

Tegasnya : “Apa yang Anda butuhkan adalah apa yang lajim Anda butuhkan untuk meraih sukses di dunia rasional yang kita kenal : kecerdasan, wawasan, inovasi dan keberanian. Semua formula itu tidaklah berubah.”

Terima kasih, Pak Jarvis.

Apakah inovasi di dunia batik pun kini juga akan mengalami fenomena yang sama ? Yang saya tahu, batik kini juga dapat dibuat di mana saja. Itulah pula yang membuat saya kejeblos di tengah acara itu. Sikap sok tahu yang membawa bencana.

Saat saya mencoba membatik kain sebesar sapu tangan warna biru (foto di atas), dengan tulisan “ Trah Martowirono,” hadir seorang bule perempuan. Lalu saya ajak dia untuk mencoba menjajal canting dan membatik. Oh, ternyata ia seorang pakar batik.

brigitte willach

Pembatik dari Jerman. “Saya sudah membatik sejak 40 tahun yang lalu,” kata si bule yang bernama Brigitte Willach itu. Pada kartu namanya terdapat label : Batik-Atelier. Nampak dalam foto ia didampingi Shinta Pertiwi, ST (kiri) dan Antik Anggreni dari stan Gama Blue Indigo ND.

Kota asalnya adalah Hannover, Jerman. “Duh, ini kota asal Robert Enke, kiper timnas Jerman yang kronis dirundung depresi dan bunuh diri menabrakan diri ke kereta api, 10 November yang lalu”.

Lalu kami bisa mengobrol. Tentang batik. Bukan tentang Robert Enke yang tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahir saya. Bila ada waktu ceritanya dapat Anda klik di sini.

Pulang dari Yogya saya dihantui niat : apa godaan berat ingin membuat blog (lagi) seputar ekonomi kreatif yang terkait dengan hak cipta, apa bisa saya bendung gelegaknya di hari-hari mendatang ini ?


Wonogiri, 12/12/2009

Friday, October 23, 2009

Placeblogger,Blogger Bekasi dan Demokratisasi


Dorongan untuk peresmian Komunitas Blogger Bekasi,17 Oktober 2009


Oleh : Bambang Haryanto
Komunitas BloWn/Blogger Wonogiri


Suara blogger terdengar. Tirai kain yang menutup kedai-kedai makanan itu sungguh mengusik saya. Kedai-kedai itu berada persis di depan gedung SMP Negeri 1 Wonogiri. Ini sekolah alma mater saya. Saya mencatat lima dari tujuh kedai makanan tempat pelajar jajan saat rehat itu berupa kain-kain besar yang mempromosikan rokok.

Pemandangan itu saya potret, juga saya tulis uneg-uneg saya tentang hal ganjil itu di blog The Morning Walker, blog yang mengupas tentang kota Wonogiri, kota tempat saya tinggal. Misi keci saya itu rupanya berhasil. Kedai-kedai makanan yang semula berada di luar komplek sekolah, ditarik masuk. Tirai-tirai kain yang memromosikan rokok juga ikut lenyap dari pemandangan. Saya sebagai seorang placeblogger merasa memiliki arti dengan keberhasilan kecil semacam ini.

Ada tahu makna dari istilah placeblogger tersebut ?

Istilah ini pertama kali saya temui ketika majalah TIME edisi 25 Desember 2006 telah mendaulat pembacanya, “You,” Anda, sebagai tokoh pilihan mereka tahun itu. Walau selama ini, utamanya ketika berkuliah dan tinggal di Jakarta, saya hanya mampu membeli majalah itu dari penjual majalah bekas.

Sejak tahun 90-an, utamanya kalau main ke depan Gedung PMI di Jalan Kramat Raya, Jakarta (“moga Pak Yono asal Sragen masih sehat-sehat dan masih jualan majalah bekas di sana”), saya ikut bersorak dalam hati atas pemilihan majalah TIME itu. Kiranya ngeblog saya sejak tahun 2003, rasanya seperti ikut pula kecipratan apresiasi dari majalah terkenal tersebut.

Placeblogger adalah blogger yang tulisannya mengupas topik daerah tempat sang blogger itu tinggal. Posisi kedepannya, menurut saya cukup penting. Anda mungkin mengamati, bahwa interaksi antar warga di daerah Anda itu selama ini kiranya lebih banyak mengandalkan pada media-media arus utama. Utamanya surat kabar. Itu pun seringkali surat kabar terbitan propinsi atau bahkan nasional.

Akibatnya, porsi pemberitaan terkait daerah bersangkutan teramat kecil. Terlebih lagi, karena kaidah nama membuat berita, maka yang sering muncul adalah kutipan-kutipan pernyataan para pejabat semata. Komunikasi model atas bawah.

Belum lagi bila wartawan di daerah itu sangat jarang mengalami rotasi. Mereka yang statis mangkal di daerah yang sama selama belasan atau puluhan tahun itu dapat diduga terancam mengalami “keausan” perspektif dalam melihat persoalan lokal.

Bahkan tidak mungkin, mereka justru menjadi bagian dari masalah karena setengah berkolusi, sehingga nasibnya terjerembab semata hanya menjadi pejabat kehumasan tak resmi dari para elit di daerah.

Membuka perspektif lain. Placeblogger adalah antidot untuk mengimbangi pola komunikasi atas-bawah yang menjadi “nyawa” utama media-media arus utama selama ini. Blog-blog yang ditulis oleh aktivis atau blogger daerah, setidaknya diharapkan mampu memunculkan perspektif lain, dari kacamata arus bawah, dalam memandang persoalan lokal yang sama.

Oleh karena itu keberadaan placeblogger, dan bahkan komunitas yang menghimpun serta memberi wadah bagi mereka untuk saling berinteraksi, seperti Komunitas Blogger Bekasi ini, merupakan langkah maju yang pantas memperoleh apresiasi.

Apalagi tren positif yang sama nampak semakin marak. Bagi saya, sungguh menggembirakan melihat betapa makin riuhnya kecenderungan para rekan-rekan blogger untuk mendirikan komunitas blogger dengan ikatan kedaerahan. Ijinkanlah, saya dari Wonogiri ini, ingin ikut serta mengompori keberadaan komunitas yang sama, di mana pun Anda berada.

Ayo para placeblogger, kini saatnya Anda semakin nyaring bersuara. Untuk ikut serta dalam membangun daerah Anda. Suara-suara kritis Anda, blog-blog Anda, sungguh merupakan pilar demi tegaknya kehidupan yang demokratis. Bukankah kita menyetujui makna ungkapan dari James Buchanan (1791-1868), presiden AS ke-15, yang menyatakan : “Saya suka gaduhnya demokrasi ?”

Blog adalah media sosial yang egaliter, dimana semua orang mampu menjadi produsen informasi. Rebbeca MacKinnon, seorang blogger dan peneliti di Universitas Harvard yang mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo, memiliki pendapat menarik tentang dampak positif fenomena ini.

Menurutnya, “seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opininya tentang hal bersangkutan di ruangan publik.”

Dengan demikian, semakin banyak blogger akan semakin banyak pula warga yang mampu memahami secara cerdas terkait wacana yang sedang terjadi. Hemat saya, untuk hal mulia itu maka Komunitas Blogger Bekasi harus pula memiliki agenda untuk memacu pengembangbiakan blogger-blogger baru di Bekasi.

Akhirnya, saya berbangga bisa berkenalan dan serasa mampu bahu-membahu dengan sejawat dari Komunitas Blogger Bekasi ini. Untuk berinteraksi dengan semangat saling asah-asih dan asuh guna memberi warna dan kebisingan bagi kehidupan berdemokrasi di negeri tercinta kita ini.


Bambang Haryanto
Blog Esai Epistoholica (http://esaiei.blogspot.com)

Saturday, September 26, 2009

Bila Penulis Surat Pembaca Dikejar Macan !


Surat pembaca dikirimkan ke Harian Suara Merdeka, 27 September 2009


Meminta penghargaan. Isu mengenai “tuntutan” adanya penghargaan bagi penulis surat pembaca, muncul lagi. Terakhir hal itu diungkap oleh Muh. Mahfudin asal Kebumen di kolom “Surat Pembaca” harian Suara Merdeka, 25/9/2009 yang lalu.

Ia mengaku sebagai seorang penulis surat pembaca pemula, yang juga berkata bahwa tanggapan pembaca melalui email untuknya ikut pula mendorong motivasi dirinya untuk terus menulis.

Isu di atas mengingatkan saya akan ujaran Putu Wijaya, sastrawan terkemuka Indonesia. Ketika di tahun 80-an, saat saya masih belajar di Universitas Indonesia di Rawamangun, saya mengikuti ceramah sastra di arena pekan buku Indonesia di Balai Sidang Jakarta. Sastrawan dan dramawan asal Tabanan Bali itu berkata bahwa ada dua jenis penulis di dunia ini.

Pertama, mereka yang dikejar macan dari dalam, dan yang kedua, penulis yang diuber macan dari luar. Macan dari dalam adalah keinginan utama untuk berekspresi, menyuarakan hati nurani, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kepada dunia. Sementara macan dari luar adalah tuntutan untuk memperoleh imbalan, berupa materi. Kedua jenis penulis itu juga termasuk penulis surat pembaca.

Sebagai penulis surat pembaca sejak 1973, saya berusaha menapaki jejak sebagai penulis jenis yang pertama. Karena saya berkeyakinan, menulis itu pahala terbesarnya tercurah pada diri saya ketika saya sedang menulis itu pula. Reward is in the doing.

Ada pengembaraan yang mengasyikan ketika mampu meloncat dari ide satu ke ide lain, menabrakkannya, atau mensintesakannya, sehingga menjadi sebuah tulisan. Ada ekstasi, rasa mabuk yang nikmat seperti memperoleh anugerah dari Sang Maha Kuasa ketika tulisan itu selesai.

Sedang bila kelak dapat dimuat, itu hanya bonus. Bila tak dimuat di koran, kini saya dapat memajangnya di blog. Bila tulisan itu dibaca atau ditanggapi oleh orang lain, itu juga hanya bonus semata.

Alat pemerasan. Kalau saya menulis surat pembaca dengan tujuan untuk memperoleh penghargaan, baik itu materi, uang sampai tanggapan, pastilah saya sudah berhenti menulis sejak puluhan tahun yang lalu. Walau akhir-akhir ini saya menengarai adanya surat-surat pembaca yang patut diduga sebagai alat untuk melakukan pemerasan terhadap sesuatu perusahaan yang kiprah bisnisnya di daerah abu-abu.

Terakhir, ketika menjadi finalis Lomba Karya Tulis Teknologi dan Telekomunikasi Indonesia(LKT3I) III/1999 di Jakarta yang diselenggarakan oleh PT Indosat, saya memperoleh asupan hikmah dari mantan Hakim Agung, Bismar Siregar.

Beliau bilang, bahwa “setetes tinta dari seorang penulis itu lebih mulia dibanding darah yang tertumpah dari seorang syuhada." Ucapan itu berasal dari seorang ulama klasik, Ibnul Qayim Aljauziyah.

Hemat saya, moga-moga ucapan ini dapat didengar para pengikut Noordin M Top yang berjihad dengan bom dan aksi kekerasan, juga oleh rekan-rekan penulis surat pembaca yang menulis dengan motivasi ingin memperoleh penghargaan.


Bambang Haryanto
Pendiri Komunitas Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612


beha

Wednesday, September 16, 2009

Surat Pembaca, Buku dan Kiprah Intelektual Warga Epistoholik Indonesia


Diposting untuk milis Epistoholik Indonesia, 16 September 2009


Lebaran kunang-kunang. Semoga Anda sehat-sehat adanya. Bagaimana suasana kota Anda, mendekati hari Lebaran ? Di jalanan kota saya, Wonogiri, rasanya semakin sesak oleh orang. Pasar penuh orang. Antrean ATM penuh orang. Toko penuh orang.

Sementara Perpustakaan Wonogiri, yang mudah ditemui, tetap saja wajah-wajah yang sama. Familiar strangers.

Wajah-wajah yang lalu lalang di luar perpustakaan, adalah wajah-wajah asing. Perfect strangers. Juga kendaraan mereka yang bernomor bukan aseli Wonogiri. “Selamat pulang kampung sobat, saudara-saudara saya yang di hari-hari normal berkiprah, berkarya dan berkrida di luar Wonogiri.”

Adakah acara khusus bagi Anda, apabila Anda ikut merayakan Hari Kemenangan, di hari Fitri nanti ? Tahun ini saya akan merayakannya bersama kunang-kunang.

Ceritanya, ada seorang nenek yang mendongeng kepada cucu-cucunya. Tentang serpih-serpih tulang rawan hasil guntingan kuku-kuku jari dan kaki. Ia katakan, sebaiknya serpihan itu dipendam di pojok rumah. Bila malam, serpihan itu akan berubah menjadi kunang-kunang.

Cucu-cucu itu, walau takjub atas dongengan itu, tetap saja memendam rasa tidak percaya. Tetapi mereka tetap saja mengingatnya, bahkan setelah berpuluh tahun kemudian. Ada orang bilang, ucapan guru atau orang tua itu melesat dalam kecepatan cahaya untuk sampai ke telinga anak didik atau seseorang anak.

Tetapi makna dari ucapan itu sampai ke hati atau pemahaman, akan berjalan dengan kecepatan suara. Jauh lebih lambat dibanding kecepatan cahaya. Tetapi pesan itu tetap akan sampai. Entah beberapa bulan, beberapa puluh tahun kemudian, atau bahkan ketika sang anak, si penerima pesan itu, sudah berada di tepi kematian.

Dongeng tentang kunang-kunang itu, yang secara ilmu biologi atau fisika sebagai tak mungkin, mungkin dirancang sebagai sebuah metafora. Kiasan. Saya memaknainya kini, betapa bagian sekecil apa pun dari diri kita bila ditanam akan menumbuhkan cahaya, kebaikan, keindahan. Apalagi dalam kegelapan.

Kebetulan ketika saya mengetikkan kata firefly, kunang-kunang, dalam peranti lunak The Oxford Dictionary of Quotations (2002), muncul lema/entri menarik :

Kepala suku Indian Kaki Hitam, Crowfoot (c. 1830–1890), sebelum meninggal dunia pada tanggal 25 April 1890, seperti dikutip oleh John Peter Turner dalam bukunya The North-West Mounted Police: 1873–93 (1950), antara lain sempat mengatakan :

What is life? It is a flash of a firefly in the night.
Apakah hidup itu ? Ia adalah pendar nyala kunang-kunang di waktu malam.

Nenek yang mendongeng tentang kunang-kunang itu berasal dari Kedunggudel, Sukoharjo. Namanya Jiah Martowirono. Ia nenek saya dan dongeng tentang kunang-kunang itu menjadi salah satu tema Reuni Trah Martowirono XXIII/2009, yang akan dilangsungkan 23 September 2009.

Lokasi : Museum Benteng Vredeburg, Djokdjakarta. Anak cucu-cicit Trah Martowirono, dari seantero Nusantara, bersiap melakukan Serangan Oemoem guna mendoedoeki selama Enam Djam di Djokdja. Cerita terkait dapat Anda klik di : http://trah.blogspot.com.

Surat-surat pembaca yang kita tulis, saya ibaratkan juga sebagai nyala kunang-kunang. Tidak semua orang akan merasa takjub atau mampu memahami sinar yang ia pancarkan. Tetapi bagi orang tertentu, bila terjadi “klik,” surat pembaca itu dapat menjadi cahaya yang bermakna bagi banyak orang.

Apalagi bila cahaya itu memiliki voltase yang tinggi. Misalnya memiliki relevansi, nilai-nilai moral, bukan slogan, tetapi ketukan yang mampu menyapa hati. Bagi saya, agar mampu menulis surat pembaca yang bervoltase tinggi itu, seringkali, mau tak mau harus merujuk kepada sumber-sumber cahaya yang tertentu. Utamanya : buku.

Maaf, sebagai pembaca surat-surat pembaca, saya kadang merasa kurang nyaman bila memergoki surat pembaca atau artikel yang merujuk kepada sumber tertentu tetapi ditulis dengan data bibliografi yang pincang. Misalnya data judul buku rujukan tidak ditulis, nama pengarang dikaburkan, dan tahun terbit disepelekan karena tidak dicantumkan.

Maaf lagi, iritasi ringan ini memang dipicu cara berpikir model digital. Semua ilmu pengetahuan itu harus tersambung, connected, sehingga dapat dicek dan di-ricek oleh orang lain, untuk sama-sama diuji kebenaran atau validitasnya. Jalan pikiran ini pula yang mendasari raksasa internet, Google, meluncurkan proyek gigantik : berusaha mendigitalkan semua buku-buku di dunia, sehingga bisa diakses oleh sesama umat manusia.

Syukurlah, ketidaknyamanan saya tentang data bibliografi itu masih kelas ringan kok. Karena dalam surat-surat pembaca, yang sering isinya menyangkut isu-isu aktual dan kurang dituntut adanya pendalaman, sehingga tidak terlalu menuntut hadirnya parade atau obral kutipan dari buku-buku (baru ?) tertentu.

Tetapi realitas semacam ini juga bisa sebagai tabir, untuk menutupi hal yang bisa (bila mau) diperdebatkan : apakah seorang penulis surat pembaca juga seorang maniak, pembaca buku, atau justru tidak menyukai buku ? Mungkin ini penilaian subyektif : bagi saya, rasanya selama ini, tidak mudah menemukan obrolan tentang sesuatu buku dalam surat-surat pembaca.

Akibatnya, salah satu cita-cita saya sebagai pendiri komunitas EI/Epistoholik Indonesia, sepertinya masih di awan. Gerakan menjadikan surat pembaca sebagai salah satu media untuk mem-buzzing info dan isi buku-buku (baru ?), kiranya masih belum memancarkan daya tarik optimal untuk memantik minat sesama warga komunitas EI ini.

Minimal untuk semakin meminati, mencintai buku. Sehingga sumber info, asupan bagi gelegak kawah intelektual kita, bukan kliping-kliping koran semata. Anda punya pendapat ? Saya tunggu.

Untuk menggelorakan cinta buku itu, walau seorang Jeff Gomez menerbitkan buku Print Is Dead : Books in Our Digital Age (2007, http://printisdeadblog.com), saya kini mencoba menghidupkan lagi blog buku saya yang lama terbengkalai.

Sekian dulu, obrolan dari Wonogiri. Setelah hiruk-pikuk Lebaran usai, saya punya PR. Menyiapkan makalah guna merayu mahasiswa baru agar memiliki wawasan baru betapa keterampilan menulis (surat pembaca, blog, artikel, surat cinta, sd surat lamaran) adalah senjata survival mereka dalam percaturan dunia datar yang mengglobal ini.

Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer Sinar Nusantara, Solo, tanggal 30 September 2009, memberi saya podium untuk berbagi wawasan dengan mereka. Terima kasih untuk Sadrah Sumariyarso dari PasarSolo yang telah memberi saya kepercayaan yang mulia ini.

Bocoran : di depan mahasiswa itu saya akan bercerita tentang kisah sukses non-linear dari pacarnya Sherina, yang menulis buku berjudul Babi Ngesot : Datang Tak Diundang, Pulang Tanpa Kutang.

Hal lain : saya memimpikan bisa membaca buku baru, terbitan Harvard (2009), karya John Mullins dan Randy Komisar, Getting The Plan B : Breaking Through to a Better Business Model.

Isinya membahas rahasia dibalik sukses iPod-nya Apple, Skype sampai Paypal. Siapa tahu, dengan ditulis akan membuat impian ini lebih mudah direalisasikan.

Terakhir : Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Sejahtera bagi Anda semua dan keluarga.

Wassalam,


Bambang Haryanto

Sunday, September 13, 2009

Ancaman Penulis Surat Pembaca “Bodreks,” Pembakaran Buku dan Epistoholik Indonesia


Diposting untuk milis Epistoholik Indonesia, 9 September 2009


Salam episto ergo sum,

Semoga Anda semua sehat-sehat selalu. Selamat menjalankan Ibadah Puasa yang sudah mendekati akhir 10 hari yang kedua, bagi Anda yang menunaikannya.

Anda mengenal Pak Ambijo ? Kalau Anda sering menulis surat pembaca untuk Suara Merdeka, Anda akan sering memergoki tulisan beliau yang senantiasa bertopik tentang kotanya : Kebumen. Beliau tahun 2007 sempat kirim surat kepada saya, pakai mesin tulis di mana huruf “e”-nya hilang.

Bapak Ambijo (67) yang memiliki hobi membaca, menulis dan melukis, dalam suratnya, beliau yang pensiunan Bank BNI 1946 itu mengibarkan bendera sebagai epistoholik spesialis. Karena khusus memfokuskan tulisan-tulisannya untuk membahas seluk-beluk kota beliau. Spesialisasi ini membuat saya menjuluki beliau sebagai seorang e-place-toholik.

Kalau Anda punya waktu, obrolan tentang beliau, surat, dan juga foto beliau, dapat Anda klik dari posting saya berjudul “Reinventing Indonesia, Bengawan Solo dan Ide Kaum Epistoholik Yang Tidak Mengalir Sampai Jauh” di blog Esai Epistoholica edisi No. 47/Juli 2007.

Pak Ambijo baru saja menulis surat kepada saya. Ditulis tangan. Beliau mengabarkan hal yang menarik : baru saja meluncurkan komunitas penulis surat pembaca Kebumen. Namanya Forum Penulis Surat Pembaca Suara Merdeka Kebumen. Mohon saya minta tolong via Mas Udjie Prijatno, agar bisa Anda sampaikan kepada Pak Ambijo : bahwa saya mendukung dan memberikan penghargaan atas diluncurkannya komunitas ini.

Semoga misi komunitas intelektual jalanan, street smart intellectual a la Kebumen ini sukses. Saya juga menaruh salut kepada Pak Ambijo dan kawan-kawan yang berniat menularkan virus menulis surat pembaca kepada warga Kebumen. Hallo, warga EI, kapan virus gagasan dari Pak Ambijo ini juga mampu menular ke kota Anda ?

Tanggal 14 Agustus 2009, saya mencoba menularkan virus menulis (surat pembaca) kepada anak-anak Gunung Brengos, Nawangan, Pacitan. Mereka memiliki pancatan untuk mulai yang baik, karena surat-surat mereka itu yang ditujukan kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono, terhimpun dalam sebuah buku, yang bagi saya gagah dan mewah.

Tentu, saya tidak yakin, ajakan saya itu akan berbuah segera. Ajakan itu sebuah investasi jangka panjang. Pendek kata, benih telah ditaburkan. Kalau Anda sempat melongoki situs Indonesia Buku, liputan dolan-dolan saya ke Pacitan itu didokumentasikan (plus bonus lainnya) di situsnya mBak Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan dkk itu. Termasuk foto di bawah patung Jenderal Sudirman. Saya tambah teman baru : para penulis buku yang hebat-hebat itu.

Saking eratnya, walau baru kenal, saya rela ikutan mendukung dari jauh aksi demo mBak Diana AV Sasa dkk di Surabaya, 7/9/2009, untuk mengecam aksi barbar pembakaran buku, 2 September 2009 yang lalu. Di sidebar blog buku saya, saya ikut menulis poster dukungan untuknya.

Kabar lain, pagi tadi, saya ketamuan wartawan Tempo News Room, Ahmad Rafiq. Ia mau cari info seputar Jamu Jago, yang asal-muasal berkokoknya memang dari Wonogiri. Dinasti Suprana, berasal dari Wonogiri. Mungkin karena hal itu, komunitas EI jadi “lebih mudah” untuk tercatat di Rekor MURI akibat KKN berbau kedaerahan sentris ini ?

Obrolan dengan Mas Rafiq ini, memunculkan istilah “penulis surat pembaca bodreks.” Ia yang meluncurkan istilah itu. Saya kaget juga atas penemuan istilah yang menggigit ini.

Istilah ini merujuk kepada oknum penulis surat pembaca yang memiliki motif kurang terpuji, yaitu menggunakan kolom surat pembaca untuk melakukan black mail, pemerasan. Sasarannya adalah perusahaan, utamanya perusahaan yang memiliki produk atau jasa yang berada di “kawasan abu-abu.”

Artinya, produk itu memiliki sesuatu cacat, misalnya mengklaim memiliki prestasi sesuatu tetapi bila dikaji lebih lanjut sering tidak sesuai kenyataan, atau memiliki unsur atau kandungan yang berbahaya tetapi disamarkan. Nah, penulis surat pembaca yang cerdas dan julig itu, yang sekaligus memiliki motif kurang terpuji itu, dapat “menghantam” produsen produk-produk tersebut.

Kena “hantaman” di kolom surat pembaca, mereka jadi kelimpungan. Mereka, bos perusahaan itu lalu, biasanya, memilih berusaha main aman. Mereka akan bersilaturahmi dengan sang penulis surat pembaca, sambil membawa “oleh-oleh” tertentu. Nah, saya kuatirkan, sang penulis surat pembaca itu lalu bisa “pasang harga” atau “main gertak.”

Misalnya, dengan klaim bahwa dirinya memiliki “bala tentara” para penulis surat pembaca yang dapat mereka kerahkan untuk menguliti segala cacat cela sesuatu produk dan perusahaan tertentu itu. Pemerasan atas nama para penulis surat pembaca, saya kuatirkan akan terjadi. Apakah Anda rela bila skenario yang saya ceritakan itu telah terjadi ?

Saya yakin, komunitas yang dibentuk oleh Pak Ambijo, sama sekali tidak ada niatan untuk melakukan aksi penulisan surat-surat pembaca dengan motif tercela itu.

Saya sendiri ? Silakan membaca-baca surat-surat pembaca yang saya kirim ke media massa, lalu Anda bisa menentukan apakah ada motif terselubung aksi pemerasan di sebalik surat-surat pembaca saya. Silakan pula cermat membaca isi surat-surat pembaca dari para penulis lainnya.

Di EI ada kode etik tak tertulis, agar kita berusaha saling asah-asih dan asuh kepada warga lainnya. Mari kita saling bertegur sapa, demi kebaikan bersama. Antara lain dengan ringan tangan memberi kabar bila ingin melakukan sesuatu yang menyangkut nama baik komunitas kita bersama. Syukurlah, selama ini, baik-baik saja adanya.

Sekian dulu kabar dari Wonogiri. Selamat bergiat terus, menulis surat-surat pembaca. Salam episto ergo sum !


Sobat Anda,

Bambang Haryanto

Reuni dan Jasa Guru Kita


Dikirimkan sebagai surat pembaca ke Harian Kompas Jawa Tengah, 2 September 2009


Hari Raya Idul Fitri sering identik momen kegiatan reuni. Baik sesama mantan pelajar sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dalam ajang silaturahmi itu sering juga diundang para mantan guru-guru mereka. Sungguh, kegiatan yang mulia dan membekaskan kenangan.

Sayang, reuni itu lebih banyak porsi pesta nostalgianya. Alangkah baiknya bila diberi sentuhan edukatif, misalnya dengan menghimpun kenangan para mantan siswa terhadap teman dan juga guru-guru mereka dalam bentuk buku atau blog. Teknologi kini memungkinkan kita menerbitkan buku secara print on demand atau blog di Internet yang relatif murah dan mudah.

Sekadar ilustrasi, dalam beberapa posting dalam blog, saya telah menulis tentang Pak Mufid Martohadmojo (foto : kiri), mantan guru bahasa Inggris saya di SMP Negeri 1 Wonogiri tahun 1969. Setelah berpisah puluhan tahun, suatu momen yang berkesan saat kami bisa bertemu di Perpustakaan Daerah Wonogiri. Walau sudah lama pensiun, beliau tidak berhenti untuk terus belajar.

Dalam reuni unik itu saya bisa gantian menjadi “guru” beliau. Dengan memanfaatkan akses Internet perpustakaan saya dapat menunjukkan apa saja yang telah saya tulis tentang beliau. Termasuk mencatat jasa beliau dalam menanamkan kecintaan terhadap bahasa Inggris sebagai sarana untuk mereguki luasnya khasanah ilmu pengetahuan dunia, yang lalu bisa disumbangkan kepada kemaslahatan bersama.

Selamat bereuni. Jangan lupa, dokumentasikan juga kenangan terhadap para guru-guru kita. Suatu umpan balik yang nilainya tidak seberapa bila dibandingkan dengan dedikasi guru-guru kita dalam mendidik kita di masa lalu.


Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia
Wonogiri

Mudik Lebaran dan Sedekah Buku


Dikirimkan sebagai surat pembaca ke Harian Kompas Jawa Tengah, 2 September 2009


Hari Lebaran adalah magnet yang menggerakkan jutaan manusia untuk pulang mudik, penuh warna suka dan duka. Ritus kembali ke akar itu menyehatkan nurani pelakunya yang mencoba menemukan oasis di daerah asalnya sebagai bekal mengarungi kehidupan di tahun-tahun berikutnya. Jangan lupa, mudiknya mereka juga berdampak ekonomi. Uang dari kota menjadi beredar di desa-desa.

Merujuk fenomena positif itu memantik gagasan : bagaimana kalau mudiknya jutaan kaum mboro itu dirancang mampu menggoreskan sentuhan yang berdimensi intelektual yang berguna, juga awet, bagi warga daerah asalnya ? Ringkas kata : mereka dihimbau membawa buku-buku untuk disumbangkan ke perpustakaan di daerahnya. Baik perpustakaan sekolahnya dulu, atau perpustakaan umum di kotanya.

Gerakan mudik bersedekah buku ini sebaiknya juga berusaha dikobarkan ke dada anak-anak dan cucu kaum mboro itu. Sehingga mereka diharapkan memiliki ikatan batin dengan anak-anak segenerasinya yang tinggal di desa atau kota kecil tempat ayah-ibu atau kakek-neneknya berasal, yang mungkin tidak seberuntung kehidupan yang ia jalani di kota. Sedekah unik ini tidak hanya buku, bisa saja berupa komputer atau laptop, yang terbeli secara patungan.

Untuk sesama warga Epistoholik Indonesia, di mana pun Anda berada, mohon kampanye ini digencarkan sepanjang Ramadhan ini demi makmurnya perpustakaan dan mekarnya olah intelektualitas di kota-kota Anda.


Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia
Wonogiri

Bangsa Sakit Megalomania


Dikirimkan sebagai surat pembaca ke Harian Kompas Jawa Tengah, 1 September 2009


Akhir-akhir ini bangsa Indonesia tercekik budaya megalomania, kecenderungan kita untuk membesar-besarkan bahkan mengagung-agungkan sesuatu wacana dan peristiwa.

Misalnya, terkait penyanyi mBah Surip. Kita dibuat heboh seputar besarnya royalti, bahkan dalam bilangan milyaran rupiah, untuk karyanya setelah dia meninggal. Tetapi akhirnya, dalam bahasa Jawa mak plekethis, ternyata royalti itu tak sebesar dalam kehebohan semula.

Kemudian kita ingat ingar-bingar di benak kita saat menonton langsung siaran penyergapan terhadap pelaku tindak terorisme di Temanggung. Hebohnya memekakkan telinga, walau ternyata yang tewas bukan Noordin M Top. Terakhir, khayalan pun kita melambung ketika wakil Indonesia dalam kontes Miss Universe, Zizi L. Siregar, disebut-sebut sebagai favorit, tetapi akhirnya ia pun pulang dengan tanpa gelar sama sekali.

Biang kerok merebaknya budaya megalomania itu, ya siapa lagi, kalau bukan pejabat kita. Ketika kepopuleran adalah mantra ajaib untuk meraih kekuasaan, dari wakil rakyat sampai presiden, semua orang ingin menjadi selebritis. Suka ritus, karnaval dan perayaan, seperti ritus selebritis yang menu kehidupannya adalah festival kehebohan.

Tetapi buaian demi buaian dari angan-angan yang jauh panggang dari api dari kenyataan itu akan mudah memicu kita menjadi kecewa. Mereka yang kecewa, mereka yang merasa sakit itu, bila disuntik ajaran-ajaran yang bernuansa ke-Ilahian yang juga mengawan, yang mereka rasa mampu membebaskan rasa kecewanya di dunia, maka berbarislah calon-calon baru pelaku tindak terorisme yang siap menghantui kita-kita semua !


Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612

Menulis Untuk Mencerdaskan


Dimuat di kolom Surat Pembaca
Harian Kompas Jawa Tengah,
Senin, 31 Agustus 2009 : D


Esensi pendidikan adalah mempersiapkan anak didik agar mereka terus mampu belajar, sepanjang hayat. Perkembangan iptek yang cepat membuat pengetahuan dan keterampilan tiap individu juga cepat sekali usang, walau sering tidak kita sadari.

Salah satu cara belajar yang terbaik adalah menulis, karena menulis mempersyaratkan pelakunya harus juga membaca. Pembaca tidak selalu penulis, tetapi penulis pastilah seorang pembaca.

Merujuk hal penting di atas, saya menaruh salut atas kreasi guru dan murid SD Muhammadiyah Program Khusus Kotabarat Solo. Mereka mengadakan lomba menulis surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jumat (21/8). Ratusan surat-surat mereka itu ditempel pada spanduk putih dan surat yang terbaik akan dikirimkan kepada Presiden SBY.

Sebagai penggerak komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia, saya usulkan agar semua surat mereka itu didokumentasikan dalam bentuk CD atau buku dan disimpan di perpustakaan sekolah. Sehingga dokumen berharga itu tidak hanya berumur sehari.

Sekadar info, tanggal 14 Agustus 2009, saya diminta untuk memberikan motivasi kepada ratusan anak-anak pelajar, SD sd SLTA, Desa Pakisbaru, Nawangan, Pacitan. Mereka telah mendokumentasi surat-surat mereka yang ditujukan kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam bentuk buku yang menarik sebagai bacaan.

Kreasi mereka pantas ditiru dan Epistoholik Indonesia senantiasa menyebarkan virus kegemaran menulis ini, yang dimulai dari menulis surat, untuk menggembleng generasi Indonesia agar cinta kegiatan menulis dan membaca demi terus mengasah kecerdasan diri mereka. [Dalam pemuatan surat pembaca ini telah dilakukan penyuntingan].


Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia
Wonogiri

Thursday, August 27, 2009

Being Digital Sampai Surat Cinta Berabjad Rusia : Wawancara


Wawancara tertulis Bambang Haryanto oleh Redaktur Indonesia Buku, Diana AV Sasa, 21 Agustus 2009


Catatan : Media digital adalah media limpah ruah. Anasirnya yang terbuat dari sinyal-sinyal elektronik, tidak terbatas keberadaan maupun stoknya untuk mampu dieksploitasi setinggi imajinasi yang dapat dijangkau oleh manusia.

Suatu karunia, saya sebagai seorang epistoholik, mendapat kehormatan untuk menjadi subjek wawancara Redaktur Indonesia Buku, Diana AV Sasa. Hasil akhirnya berupa tulisan berjudul Bambang Haryanto: Membaca dan Menulis Seperti Donor Darah. Tulisan yang komprehensif.

Sesuai dengan fitrah media digital dan berniat mengunggah limbah atau cipratan-cipratan warna yang tersisa dari tulisan di atas, dalam blog ini saya sajikan jawaban saya secara penuh dalam wawancara melalui email tersebut. Semoga bisa melengkapi lanskap yang telah ada (BH).

Informasi terkait :

  • Bambang Haryanto: Membaca dan Menulis Seperti Donor Darah
  • Inilah 5 Buku Favorit Presiden Epistoholik Indonesia
  • Kaum Epistoholik Punya 5 Blog Tongkrongan
  • Virus Obama Menyebar di Puncak Brengos
  • Surat dari Presiden Rakyat Epistoholik



  • Sejak kapan senang menulis ? Jawab : Sejak SMP, sekitar tahun 1968. Saya mengirimkan lelucon ke majalah Kartika Chandrakirana, majalahnya ibu saya (Sukarni) sebagai istri TNI-AD. Lelucon saya dimuat, mendapatkan honor. Rp. 200,00. Bonusnya : tak jarang ibu saya mengungkap kembali lelucon yang saya tulis itu dalam pertemuan keluarga. Saya malu mendengarnya, tapi ya, senang juga.

    Sebelum momen itu, menulis surat dan menulis reportase pertandingan sepakbola. Surat itu surat cinta (monyet), berbahasa Indonesia tetapi abjadnya Rusia. Kebetulan ayah saya saat itu dengar-dengar mau dikirim belajar ke Rusia, ia belajar otodidak, dan saya ikut membaca-baca buku pelajarannya.

    Sementara yang reportase, sesudah menguping radio tetangga saat siaran pertandingan sepakbola, saya tergerak untuk menuliskannya. Walau untuk dibaca-baca sendiri. Isi majalah Ibu saya itu juga memicu saya untuk menulis cerpen, kisah tentara gerilya dan kekasihnya. Tapi tak selesai. Di SMP Negeri 1 Wonogiri, ketika puisi saya dipajang oleh guru saya di papan majalah dinding, itu momen yang menggetarkan saya.

    Biasanya menulis apa ? Macam-macam, sampai saat ini. Waktu SMP dan STM Negeri 2 Yogyakarta, saya menulis lelucon untuk majalah Aktuil dan Varia Nada. Waktu kuliah di IKIP Surakarta (saat itu)/UNS Sebelas Maret, pernah menulis artikel sosial di majalahnya ITB, Scientiae. Pernah menjadi wartawan lepas, menulis tentang musik dan teater di Solo. Juga mengirim berita budaya ke Kompas sampai menulis cerpen ke Sinar Harapan dan majalah Gadis.

    Saat ini, saya pernah menulis di kolom Teroka-nya Kompas tiga kali : dua bertopik komedi dan satunya, sepakbola. Topik terakhir ini juga pernah saya tulis di Tabloid BOLA. Topik media sosial di Internet dan terorisme, baru saja muncul di harian Solopos, Solo. Dua buku kumpulan lelucon, terbit tahun 1987. Tentu saja, sejak 1973, terus saja menulis surat-surat pembaca.

    Apa fungsi/manfaat menulis buat Anda ? Dengan menulis, kita mengekpresikan gagasan dan jati diri. Episto ergo sum. Saya menulis (surat pembaca) karena saya ada. Manfaat menulis adalah membuat karunia Allah yang paling demokratis dan ada di antara kedua kuping kita itu berfungsi baik, syukur bila berfungsi sebaik-baiknya.

    Menulis juga bermanfaat bagi kesehatan. Dengan menulis, saat kita berderma pengetahuan, justru akumulasi pengetahuan yang ada pada diri kita bertambah awet dan bertambah banyak ketika kita membagikannya.

    Tahun 1999 ketika saya menjadi finalis Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi dan Informasi (LKT3I)-nya Indosat di Jakarta, saya ingat wejangan mantan Hakim Agung Bismar Siregar. Beliau bilang, mengutip Al Quran, bahwa setetes tinta dari penulis itu lebih mulia dibanding darah yang tercurah dari para syuhada. Sayang, sampai saat ini saya belum memperoleh rujukan dari ayat mana dari Al Quran yang meneguhkan pernyataan menggetarkan dari beliau itu.

    Mengapa memilih menulis surat pembaca ? Topiknya mutakhir. Bisa segera “diledakkan” dan bahkan segera pula melihat hasil atau dampaknya. Tahun 1973, ketika melihat sederetan pohon palem muda tak terurus, kering dan merana di Alun-Alun Utara Solo. Hal itu saya tulis di Suara Merdeka. Setelah dimuat, tanaman itu nampak disirami dan terawat. Momen ini yang menuntun diri saya menjadi seorang epistoholik, pencandu penulisan surat-surat pembaca. Sampai kini.

    Seberapa sering menulis surat pembaca ? Tergantung topik dan suasana hati. Saya pernah menulis surat pembaca, sekali kirim 8 surat pembaca. Ini taktik agar ngirit, karena koran bersangkutan saat itu masih gaptek, tidak mau menerima surat pembaca via email. Untuk yang mau menerima kiriman surat pembaca via email, biasanya saya kirim 3 surat sekali kirim.

    Dikirim ke mana saja ? Ketika saya tinggal dan berkuliah di UI, Jakarta, saya kirimkan ke The Jakarta Post, Kompas, Pelita, Jayakarta, Media Indonesia, Sinar Harapan, Suara Karya, beragam tabloid dan juga beragam majalah berita plus majalah hiburan.

    Saat tinggal di Wonogiri sekarang ini, saya mengirimkannya ke Kompas Jawa Tengah. Kadang ke Kompas Jawa Timur. Ada koran di Jawa Tengah yang sepertinya memboikot surat-surat pembaca saya, jadi saya kini tak mengirimkan ke sana. Tak apa-apa. Toh saya kini mengelola beberapa blog dengan topik beragam. Jadi energi menulis surat pembaca ke koran itu, tetap tersalurkan melalui blog-blog saya.

    Dimana kepuasannya ? Seperti kata Presiden AS ke-15, James Buchanan, yang bilang “Saya suka gaduhnya demokrasi,” maka surat pembaca saya itu berusaha ikut meramaikan karnaval kegaduhan demokrasi di Indonesia kita. Dengan cara yang elegan, melalui tulisan. Adu otak, bukan adu otot.

    Menulis surat pembaca itu, bagi saya, seperti tetesan air di permukaan batu. Kalau terus saja menetes, permukaan batu itu kelak akan menjadi berlubang, tak terasa. Dalam bahasa pemasaran, menulis surat pembaca itu merupakan strategi personal branding, menancapkan merek diri kita sendiri. Dengan frekuensi pemuatan yang bisa lebih sering dibanding pemuatan opini, aksi berderma ilmu yang dilakukan dengan cinta itu akan membuahkan sesuatu umpan balik yang tak terkirakan di masa depan.

    Topik apa saja yang ditulis di surat pembaca ? Saya penulis surat pembaca kelas omnivora, pemamah segala hal. Kebetulan saya dididik di perguruan tinggi yang khusus mengkaji seluk-beluk informasi, membuat diri saya mampu sebagai a hound dog (bisa juga : hound docs) yang terlatih dalam memburu dan menemukan informasi. Dengan keterampilan ini saya menjadi terbantu untuk mampu menulis surat pembaca segala topik.

    Apa bedanya menulis di surat pembaca dan kolom opini ? Menulis surat pembaca adalah menulis ledakan. Harus pendek, menggigit dan pesannya segera sampai. Sementara menulis opini membutuhkan renungan yang lebih panjang, disiplin berpikir yang lebih ketat dan teratur. Lebih sering ditolak, kadang alasannya bikin jengkel dan menyiutkan nyali untuk menulis lagi. Keduanya pernah dan terus saya jalani sampai kini.

    Apa cita-cita tertinggi mengenai surat pembaca ? Sebagai pendiri komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia, saya ingin setiap orang itu menjadi penulis surat pembaca yang merangkap sebagai blogger juga. Fenomena ini ideal dan bagus bagi demokrasi.

    “Dengan mata yang cukup, kutu pun bisa ditemukan dengan mudah.” Demikian bunyi Hukum Linus, yang diambil dari nama Linus Torvald, penemu piranti lunak open source Linux yang fenomenal. Ia sengaja membuka kode peranti lunaknya itu kepada masyarakat luas sehingga dapat segera ditemukan kutu-kutunya, yaitu cacat, kekurangan, dan kemudian upaya ramai-ramai memperbaikinya.

    Bila semua warga menjadi pelaku jurnalisme warga, mekanisme check and balances dalam kehidupan bernegara, menjadi berjalan. Asal anomali parah seperti kasus yang menimpa Prita Mulyasari dan Khoe Seng Seng dkk. itu tidak terjadi lagi, di mana mereka yang menemukan “kutu-kutu” ketidakadilan dan kecurangan justru terancam ditendang masuk penjara.


    Suka baca buku ? Buku apa yang disuka ? Sebutkan judul dan penulisnya bila ingat. Ya. Saat ini saya suka buku-buku mengenai teknologi informasi (TI). Salah satu buku TI yang inspiratif adalah Being Digital (1995), karya Nicholas Negroponte. John Hagel III dan Arthur G. Armstrong, NetGain (1997), The Tipping Point (2000) karya Malcolm Gladwell, sampai Unleashing The IdeaVirus (2001) karya Seth Godin.

    Sejak kapan suka baca buku ? Saat klas 4-5 SD, tahun 1963-1964, di SD Negeri Wonogiri 3, Wonogiri.

    Buku-buku apa yang dibaca semasa dulu itu ? Komik semisal cerita Baratayudha dan Siti (Wonder Woman) Gahara. Serial Nogososro-Sabuk Inten, yang paling berkesan, karena selain cerita yang menarik, dan proses pembeliannya melibatkan hubungan unik ayah dan anak.

    Ayah saya bertugas di Yogya, setiap Sabtu pulang ke Wonogiri. Kalau ada buku yang ingin saya baca, saya tulis di carik kertas data bukunya, lalu diam-diam saya masukkan ke kantong baju beliau. Minggu depan, saya berharap memperoleh bacaan baru, ketika ayah saya pulang. Saya mengikat cinta dan hormat saya terhadap ayah saya (Kastanto Hendrowiharso) melalui buku dan buku.

    Siapa yang mengenalkan pada membaca ? Sebelum SD, di rumah nenek saya di Kedunggudel, Sukoharjo, ada Pak Lurah mengajak saya untuk melihat papan peraga yang digunakan para tuna aksara, warga buta huruf, untuk belajar membaca.

    Di rumah nenek ini ada tumpukan buku dan majalah Sosiawan (Depsos) dan Penyebar Semangat milik Pakde (Sutono) yang seorang guru. Bacaan itu yang membuat kunjungan ke rumah nenek itu sebagai kegiatan favorit. Ayah saya juga suka mendongeng, dan di rumah kebetulan ada juga koran tetapi tidak ada bacaan.

    Apa makna membaca bagi Anda ? Membuka diri untuk memperoleh virus-virus wawasan baru. Untuk terus-menerus mendidik diri sendiri. Saya ingat nasehat John Howkins dalam bukunya The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001), yang bilang agar kita selalu memperbarui diri sendiri.”Leave school early, if you want, but never stop learning,” tegasnya.

    Sekarang seberapa sering membaca ? Setiap hari, walau yang saya baca itu bukan melulu buku. Informasi hasil unduhan dari Internet kini semakin mendominasi asupan informasi bagi saya.

    Apakah membaca membantu Anda dalam menulis ? Pasti. Menulis dan membaca itu, bagi saya, seperti aktivitas metabolisme dalam tubuh. Dengan menulis, saya seperti melakukan aksi donor darah. Darah saya disedot secukupnya, syukur-syukur kalau bisa secara teratur. Kemudian saat saya membaca, seolah saya memperoleh darah-darah yang baru untuk mengalir di tubuh saya.

    Lima buku favorit ? Seperti saya sebut sebelumnya, antara lain Being Digital (1995) karya Nicholas Negroponte, John Hagel III dan Arthur G. Armstrong, NetGain (1997), The Tipping Point (2000) karya Malcolm Gladwell, sampai Unleashing The IdeaVirus (2001) karya Seth Godin, sampai The Long Tail (2006)-nya Chris Anderson.

    Diantara 5 buku itu mana yang paling menjadi titik kisar dalam hidup? Ceritakan singkat. Being Digital (1995) dari Nicholas Negroponte. Bagi saya, inilah buku TI yang mampu membuat saya menitikkan air mata, sekaligus bangga untuk selalu dan berulang kali menceritakannya.

    Dalam satu artikel di majalah Forbes, Negroponte yang pelopor gerakan One Laptop For Child itu, mengatakan bahwa Internet adalah gempa bumi berkekuatan 10,5 Skala Richter yang mengguncang-guncang sendi-sendi peradaban manusia.

    Buku ini mengantar saya, selain berpikir secara analog, juga membuka cakrawala yang lebih luas dan menantang dalam mencari dan menemukan solusi segala macam masalah dengan cara-cara budaya digital. Kasus Prita itu kasus digital, tetapi solusinya secara analog oleh fihak RS Omni.

    Akibatnya, yang mungkin tidak mereka rasakan, tindakan mempidanakan Prita itu membuat citra dirinya (RS Omni itu) justru hancur lebur dalam ingatan abadi masyarakat yang terekam dalam kenangan digital kita bersama, yang tak bisa terhapuskan selamanya.

    Buku ini membuat saya menangis karena memberi ilham dari sikap optimistis Negroponte bahwa gaya hidup digital akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.

    Yang mampu memberikan kebahagiaan puncak, bukanlah karena buku saya ini menjadi best-seller di mana-mana, tetapi ribuan email yang saya terima dalam tahun-tahun terakhir ini. Para orang tua mengucapkan terima kasih kepada saya ketika menjelaskan apa yang dikerjakan oleh anak-anak mereka kini dan mungkin yang akan datang.

    Para kaum muda mengucapkan terima kasih karena tertular antusias saya. Tetapi kepuasan nyata dan ukuran keberhasilan yang paling bermakna adalah ibu saya yang berumur 79 tahun, sekarang ini mengirimi email kepada saya setiap harinya.

    Alinea terakhir dari buku Being Digital ini yang mampu membuat saya menangis. Sekaligus bangga untuk selalu saja ingin menceritakannya.


    Wonogiri, 21/8/2009

    beha

    Tuesday, August 25, 2009

    Berjalan 56 tahun, Epistoholik Indonesia dan Masa Depan


    Komunikasi SMS Dengan Keluarga dan Sahabat, Senin, 24 Agustus 2009

    Kompas, 24 Agustus 2009

    Patriot Games. Tanggal 24 Agustus adalah hari televisi : TVRI, SCTV dan juga RCTI. Pada tanggal yang sama tahun 1929, pejuang pembebasan Palestina legendaris Yasser Arafat dilahirkan. Juga Ken Hensley di tahun 1945. Ia musikus dari kelompok musik Uriah Heep, yang aku sukai lagunya Time to Live dan July Morning di era 70an. Saat itu saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta.

    Pengarang Brazil Paulo Coelho lahir pada tanggal yang sama tahun 1947, persis sama dengan bintang film setengah umur yang tetap cantik Anne Archer. Ia tampil menawan saat main sebagai istri Harrison Ford dalam film Patriot Games. Musikus Jean-Michael Jarre (1948) yang salah satu nomor musiknya bernuansa Cina, saya dengar tahun 70-an akhir, masih terasa mengebor kepala saya ini. Musikus lain, Ron Holloway, saksofonis tenor Amerika Serikat, lahir tanggal 24 Agustus 1953. Persis sama dengan tanggal kelahiran saya.


    Pasir hidup digital. Pada tanggal yang sama, lima puluh enam tahun kemudian, harian Kompas memajang tajuk berita tentang negara kita yang terjebak dalam impor pangan. Garam saja impor. Sebagai tradisi, setiap ulang tahun aku membeli koran yang terbit pada tanggal 24 Agustus. Sebagai tonggak peringatan apa saja “isi dunia” pada masa itu.

    Di bagian dalam edisi 24 Agutus 2009 ini (foto) terdapat artikel tulisan peneliti LIPI, Jaleswari Pramodhawardani, “RUU Rahasia Negara dan Keamanan Nasional.”

    Salah satu alinea menarik : “Banyak kalangan mengkhawatirkan kehadiran RUU Rahasia Negara. Pertanyaan yang muncul, bagaimana rahasis negara didefinisikan ? Apa saja yang masuk klasifikasi “rahasia negara“ ? Siapa yang memiliki otoritas untuk menggolongkan informasi ke dalam rahasia negara ? Bagaimana membedakan kepentingan negara dengan kepentingan pemerintah yang berkuasa ? Siapa pengontrolnya ? Pers ? Pers dapat dijerat pasal membocorkan rahasia negara.”

    Para penulis surat pembaca, tegakkan antena kewaspadaan Anda. RUU ini kelak, kita cemaskan, berpotensi menjerat kita semua untuk masuk penjara. Apakah menuliskan penyimpangan suatu layanan publik atau indikasi terjadinya korupsi dalam kolom surat pembaca atau blog, nantinya termasuk sebagai usaha membocorkan rahasia negara ?

    Bagi saya, kebijakan ini sebuah ironi di era Internet ini. Upaya yang tidak mungkin. Carl David Woolston & Stephen Palmer dalam makalah tentang revolusi dalam dunia bisnis, berjudul The Hub Mentality (2009) menegaskan untuk para pelaku bisnis bahwa mereka tidak dapat menyembunyikan kesalahan. In the digital age, there is nowhere to hide. Mereka tidak bisa mengumpetkan ketidakbecusan di balik pupur tebal iklan. Para pengusaha itu tidak akan mampu lari dari publisitas yang negatif:


    You can’t hide your mistakes when they spread like a virus through word-of-mouth, email, and blogging networks. You can’t cover up incompetence under thick layers of advertising make-up. You can’t run from negative publicity.

    Tetapi ironi dunia digital ini sedang terjadi di negeri kita. Lihatlah, ketika Prita Mulyasari karena mengirimkan email keluhan dan juga Khoe Seng Seng dan kawan-kawan menuliskan surat pembaca, keduanya diseret ke meja hijau. Mungkin Indonesia masih sebagai negeri [yang pemimpinnya banyak] gaptek, sehingga tidak melek terhadap realitas nyata yang dipaparkan Woolston dan Palmer : The Information Age has stripped you naked and left you exposed, flaws and all. Era informasi pasti membuat Anda, juga korporasi itu, diblejeti pakaiannya untuk tampil telanjang bulat di muka dunia.

    ”You can’t bury customer feedback—all you can do is manage how you respond to it,” tegas Carl David Woolston & Stephen Palmer. Tetapi kedua korporasi yang menyeret Prita dan Khoe itu tidak tahu kalau respon mereka keliru. Akibatnya, kini hari demi hari ulahnya justru membuat diri mereka menjadi semakin berkubang dalam jebakan spiral pasir hidup era digital yang semakin menyeret mereka kedalamnya.

    Jadi korporasi yang menyeret Prita dan Khoe Seng Seng mungkin menang atau dimenangkan di meja hijau, tetapi citranya dalam benak publik yang tergurat abadi di dunia maya dan mesin-mesin pencari, merupakan noktah yang bakal tidak terhapuskan sepanjang jaman.

    Kenangan tak terhapuskan. Pindah ke topik pribadi. Tentang rasa syukur yang saya rasakan. Tentang momen-momen yang saya alami, tanggal 24 Agustus 2009 ini. Ketika saya memperoleh limpahan atensi dan percakapan seperti terekam dalam rantai pesan-pesan pendek di bawah ini.


    Barry Hendriatmo/Jember : Slmat ultah, smg pjang umur, mrh rjki & ttap shat wl afiat. Amin. Salamku Bhd ! OKEY [Minggu, 23/8/2009 : 22.08 : 58]. Balasan BH : Terima kasih. Selamat berpuasa. [Senin, 24/8/2009 : 04.23:03].

    Mustikaningsih/Solo1 : Metpagi met nyiapin mknsahur masBos, moest berdoa+berhrp diHut ke 56 ini mas hepi sehat sll + sukses n senantiasa dlm lindunganNya ya ? Amien. [Senin, 24/8/2009 : 02.33:03]. Balasan BH : Tks, Tika. Lain kali angkanya ga usah disebut2 :-(. Kalau semua angka itu jd lilin klenteng semua, ntar pemadam kebakaran musti siap2, kan ? Sukses selalu. Salam. [Senin, 24/8/2009 : 18.39:54].

    Broto Happy W/Bogor : Ass.wr.wb. lagi sahur Mas ? selamat ulang tahun, semoga panjang umur, sehat, dan sukses selalu. Selamat beribadah puasa. Salam, Happy. [Senin, 24/8/2009 : 03.05:54]. Balasan BH : Terima kasih. Selamat menunaikan ibadah puasa. [Senin, 24/8/2009 : 04.25:08].

    Muhidin M Dahlan/Yogya : pak bambang, keluarga besar indonesia buku dan gelaran buku mengucapkan selamat ulang tahun. [Senin, 24/8/2009 : 04.22:48]. Balasan BH : Terima kasih, Gus Muh. Pesta 24 Agustusnya outsourcing saja, biar dirayakan oleh TVRI, RCTI dan SCTV :-). Salam untuk Ibuku & Gelaran Buku. Sukses selalu. [Senin, 24/8/2009 : 04.32:31].

    FX Triyas Hadi Prihantoro/Solo : Sugeng tanggap warso Mas Bambang. Sukses ya ? [Senin, 24/8/2009 : 12.19:13]. Balasan BH (1) : Tks, Mas Triyas. Pestanya kita rayakan di LSM Commitment yll ya ? Atau di RCTI dll. Mg rs capeknya dr Bali sdh pulih. Salam. [Senin, 24/8/2009 : 12.27:35]. Balasan BH (2) : Info tambahan : bl ada waktu, silakan tengok situs IB : www.indonesiabuku.com. Wawancara IB dgn saya ttg EI, menulis, membaca dan buku, sbg kado utk EI kita + saya. [Senin, 24/8/2009 : 14.35:55].

    Thomas Sutasman/Cilacap : Selamat ulang tahun, semoga hidup semakin bahagia dan mencerahkan orang lain lewat srt pembaca. [Senin, 24/8/2009 : 12.54:21]. Balasan BH (1) Terima kasih, mas Thomas utk limpahan asah asih asuh dr Anda dlm kiprah kita bersama utk berguna bg sesama melalui surat2 pembaca. Terus kita lanjutkan ya ? Salam. [Senin, 24/8/2009 : 14.06:44]. Balasan BH (2) : Info tambahan : bl ada waktu, silakan tengok situs IB : www.indonesiabuku.com. Wawancara IB dgn saya ttg EI, menulis, membaca dan buku, sbg kado utk EI kita & sy.[Senin, 24/8/2009 : 14.34:32].

    Mayor Haristanto/Solo : Happy b’day. Semoga panjang umur dan terus nulis. Salam Myr se klg. [Senin, 24/8/2009 : 13.06:58]. Balasan BH : Terima kasih. Sukses selalu pula. Salam. [Senin, 24/8/2009 : 14.10:24].

    Diana AV Sasa/Surabaya : Pak Bambang, selamat ulang tahun. Panjang usia surat pembaca. Hadiah ulang tahun dari Indonesia Buku ada di situs. Salam. [Senin, 24/8/2009 : 14.09:54]. Balasan BH (1) : Tks, mBak Diana. Td pg sy sd GR, cari2 lilin dan kuenya di situs IB. Kok blm ada ? Pdhal sy pengin bkoar2 ttg hadiah khusus dr IB. Kali krn puasa, sy tdk blh sombong ya ? [Senin, 24/8/2009 : 14.19:04].

    Diana AV Sasa/Surabaya : Saya KO, badan agak kurang fit, baru tadi bisa menulis. Maaf. Biar telat asal dapat. Hehehee…Happy birthday… Wish you all the best.[Senin, 24/8/2009 : 14.21:47].

    Joko Suprayogo/Kendal : Nuwun sewu pak, slamat berulang usia, semoga makin jaya dan tambah bijaksana. Tambah umur pasti tambah makmur, selalu senantiasa begitu. [Senin, 24/8/2009 : 14.34:14]. Balasan BH : bl ada waktu, silakan tengok situs IB : www.indonesiabuku.com. Wawancara IB dgn saya ttg EI, menulis, membaca dan buku, sbg kado utk EI kita & saya.Moga berguna. [Senin, 24/8/2009 : 14.39:40].

    Joko Suprayogo/Kendal : Bagus pak. Membaca dan menulis seperti donor darah.Ups, sedikit info pak, kemarin sempat ngomong2 sm orang (nama koran di Jateng) soal pencekalan pak BH, katanya sih tdk ada pencekalan, hahaha. Makanya pak, kritik terus (nama koran di Jateng) ! [Senin, 24/8/2009 : 14.56:40].

    Basnendar Hps/Solo : Met ultah mas, smoga sukses smua. Ttg cd softwr aq ttp ke mb beti. [Senin, 24/8/2009 : 15.19:06]. Balasan BH : Tks, Bas. Bl ada waktu, bisa tengok situs IB : www.indonesiabuku.com. Wawancara IB yll ttg EI, menulis, membaca + buku jd kado istimewa utk 24/8 ini. Mg brguna. [Senin, 24/8/2009 : 14.44:56].

    Bakhuri Jamaluddin/Tangerang. Info BH : Tks, Bakh. Bl ada waktu, bs tengok situs IB, www.indonesiabuku.com. Wawancara IB ttg EI, menulis, membaca + buku, jd kado istimewa utk 24/8 ini. Maaf, aku poso Facebook :-). [Senin, 24 Agustus 2009 : 16.49 : 02]. Balasan Bakhuri : Ya, sekalian ngabuburit.tks. [Senin, 24 Agustus 2009 : 16.52 : 55].

    Arista Budyono/Jakarta. Info BH : Siap2 buka ? Bl ada waktu, bisa tengok situs IB : www.indonesiabuku.com. Wawancara IB ttg EI, menulis, membaca + buku jd kado unik utk 24/8 ini. Maaf, Arista, aku poso Facebook :-). [Senin, 24 Agustus 2009 : 17.06 : 07]. Balasan Arista : Makasih infonya pak, nti saya cerita kalau dah dimuat di web itu. [Senin, 24 Agustus 2009 : 16.39 : 59].

    Jokowu/Solo. Info BH : Info contoh personal branding : tengok situs IB, www.indonesiabuku.com. Ada cerita2 tt EI, menulis, baca + buku, mg jd info menarik bg blog LSM Commitment yad. Salam. [Senin, 24 Agustus 2009 : 17.16:25].

    Bonny Hastuti YA/Tasikmalaya : “Selamat ulang tahun, semoga panjang umur & bahagia selalu, serta diberi kelancaran & kesuksesan dalam pekerjaan & keluarga. Ditambah rezeki yang barokah. Amien.” dari adik bonny dan keluarga di tazikmalaya. [Senin, 24 Agustus 2009 : 19.46:20]. Balasan BH : Tks untuk ucapan dan doamu. Semoga Allah memberi pahala melimpah untuk kebaikanmu. Selamat berpuasa [Selasa, 25 Agustus 2009 : 03.59:12].


    Bakhuri Jamaluddin/Tangerang : Aku sdh baca2 Indonesiabuku dan belajar beri komentar, bgmn ? Knp lagi puasa FB ? [Senin, 24 Agustus 2009 : 23.03:36]. Balasan BH : Tks ut komentarmu. Maaf, aku br baca nanti siang. Puasa FB krn godaan utk pamer, ingin mengungguli org lain + godaan nafsu mberi komentar2 tak bergizi kuat sekali :-( [Selasa, 25 Agustus 2009 : 04.06:54].

    Putri Sarinande : Selamat bertambah usia Mas, maap telat br tau. Sy pernah jln2 ke blog mas n akhirnya bc artikel seorang relasi. Tokoh ttg mas. Sampai jumpa di email. Putri Sarinande. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 00.21:24]. Balasan BH : Tks, Putri Sarinande/PS utk surprosemu ini. awas lo, lagu PS ini jg mau dibajak Malaysia. BTW, sy punya “kue” HUT di www.indonesiabuku.com. Tks utk kebaikan hatimu. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 04.16 :18].

    Purnomo Iman Santoso/Semarang : Selamat ulang tahun pak Bambang, 24-8-2009. Sehat selalu dan terus berkarya. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 06.18 :25]. Balasan BH : Tks, Mas Pur. Sukses selalu juga utk Anda. BTW, sy punya “kue” HUT di www.indonesiabuku.com. Kl ada waktu silakan ditengok ya. Tks utk kebaikan hati Mas Pur. Salam. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 07.56 :16].

    Purnomo Iman Santoso/Semarang : Ok Pak BH, sy sore ini ke warnet (maklum blm psg speedy). Seharian kemarin saya KO, penyakit turunan saya kumat-flu berat. Saya punya mimpi2, satu diantaranya tentang EI. Bantu doa Pak BH, mimpi2 sy terwujud/come true SEGERA, krn ini saling berkaitan.[Selasa, 25 Agustus 2009 : 08.17:30]. Balasan BH : Tks, Mas pur. Mg sgr sehat+bugar kembali. Ttg impian, apa sy+teman2 EI tak bs dibocori sjk dini ? Atau ini RHS agar jd surprise ? Sy sll dukung Mas Pur. Sukses selalu. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 08.41:02].

    Purnomo Iman Santoso/Semarang : Impian sy tentang EI, mudah2an Pak BH berkenan, EI Go Nasional. Max 2010. Setuju pak ? Ini ada proses2 kreatif yg melibatkan warga EI (nantinya) dan saya yakin bisa. Amin. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 08.45:35]. Balasan BH : Info : Th 1993 ada org Medan membajak mentah2 ide EI, lalu kirim proposal minta dana ke Mensesneg Moerdiono. Untung ia gagal. Berkat TI, EI bs makin menasional. Ayo ! [Selasa, 25 Agustus 2009 : 09.47.19].

    Purnomo Iman Santoso/Semarang : Saya selalu harus ada persetujuan Pak Bambang Haryanto selaku pendiri EI. Dan sy tdk akan menggunakan jalur-jalur berbau KKN, koneksi pejabat dan sejenisnya. Mimpi saya bersifat melengkapi dan melibatkan pendiri dan Warga EI sebagai komunitas adalah utama. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 04.16:18]. Balasan BH : Itu contoh sj. Saya percaya pribadi sd visi-misi Mas Pur demi kebaikan EI kita. Sy bersyukur atas ide hebat Mas Pur. Sy slalu siap ut melangkah bsm, mewujudkannya. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 10.10:53].

    Purnomo Iman Santoso/Semarang : Tks Pak BH atas kepercayaannya. Saya sangat menghargai dan berpihak pada ide inovatif, pionir, genuine. Dan tdk respek pd imitasi mau pun second product. Bantu doanya Pak BH agar Tuhan dengan kuasanya yg tak terbatas berkenan menggenapi dan menyempurnakan langkah dan karya saya, keluarga, Pak BH dan warga EI yg kreatif-inovatif-genuine. Selamat berpuasa. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 10.20:19].

    Terima kasih, Mas Purnomo.

    Gurat di tembok. Terima kasih pula kepada Anda semua yang berbaik hati mengirimkan pesan atau menorehkannya di “tembok” akun Facebook saya. Pesan-pesan di bawah ini saya baca dari email saya. Berhubung saya ingin berpuasa Facebook sebulan ini, maka mohon maaf, saya menjawab ucapan Anda tersebut melalui blog ini pula. Ada nilai plusnya : Di Facebook data Anda tidak tercatat oleh laba-laba mesin pencari Google, sementara di blog ini akan mereka catat sehingga mudah ditemukan.


    Hartati Syukur/HerbaLife-Jakarta : "## S'lamet ulang ta'on, mas hari ## S'moga tambah sehat + sejahtera + HAPPY lahir & bathin :-) ##" [Monday, August 24, 2009 5:16 AM].

    Balasan BH :”Terima kasih, Hartati. Dulu melalui Blue Book, kini melalui Facebook. Kado bluebookmu di tahun 1987 masih utuh lho. Kamus Inggris-Indonesia-nya John M. Echols dan Hassan Shadily, dimana pada halaman 285, abjad “H” telah kau ubah dengan ditambahi tiga huruf lagi dengan tinta merah. Mungkin kini, huruf tambahan itu sebaiknya berubah menjadi “HerbaLife” ya ? Selamat berteman dengan klub Inter Milan, David Beckham, isu-isu menarik seputar kesehatan dan kesejahteraan. Sukses selalu untukmu !”

    Diana Av Sasa-Indonesia Buku/Surabaya : "Selamat Ulang tahun pak Bambang.... panjang usia...terus menulis... hadiahnya ada di situs indonesia buku ya..." [Sunday, August 23, 2009 11:56 PM].


    Balasan BH :”Terima kasih, mBak Diana AV Sasa. Kado istimewa dari Indonesiabuku itu sungguh, weleh-weleh, bisa-bisa membuat topi saya tak lagi muat. Bengkak luarnya. Mabuk di dalamnya. Habis, engga sangka, tiba-tiba muncul reaksi berantai, macam-macam, dan susul-menyusul, setelah saya Anda beri kehormatan untuk mendongeng tentang manfaat plus kesaktian surat dan surat pembaca bagi anak-anak Pakis Baru, 14 Agustus 2009 yang lalu.

    Yang istimewa, seperti saya tulis untuk teman kuliah saya dulu, betapa interaksi saya dengan mBak Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan, membuat “monster buku” yang lama meringkuk dalam hibernasi [istilah ini aku dengar pertama kali dari Anez] kini sepertinya sedang bangun dan mencari mangsa. Terima kasih untuk inspirasinya !”


    Hio Is Ariyanto/OI Bento House Solo : "Atas nama Warga Oi Bento House Solo mengucapkan Selamat ulang tahun Pak Bambang smoga sehat selalu dan selalu eksis dengan semua kegiatanya :)." [Sunday, August 23, 2009 11:27 PM].

    Balasan BH :”Makasih, Is, untuk ucapan dan doaku. Walau kita tak sering ketemu, tetapi melalui media dan hati, kita senantiasa saling mendukung dan mengompori. Banyak visi-misi kita berdua yang sama, sementara aplikasinya menjadi lebih kaya ketika kita memiliki beragam cara untuk menyampaikannya. Salaut dan salam untuk Warga Oi Bento House, Solo ! “

    Thomas Sutasman/Cilacap : "Selamat ulang tahun pak. semoga semakin berbahagia dan yang lebih penting semakin mencerahkan orang lain dengan surat pembacanya" [Sunday, August 23, 2009 10:59 PM].

    Balasan BH :”Terima kasih, Mas Thomas. Maaf, saya belum bisa mengunjungi lagi Segara Anakan sampai Benteng Pendem-nya Jepang di Cilacap. Tetapi terkait dengan aktivitas kita sebagai Warga EI, saya memendam salut dan kekaguman ketika Anda mampu menularkan virus agar anak-anak didik SMP Anda berani menulis surat pembaca.

    Mari hal positif ini kita terus tularkan kepada sejawat guru lainnya, bahwa menulis surat pembaca itu merupakan revolusi yang membawa perubahan bagi anak didik kita dalam memandang sekitar dan memandang dirinya sebagai kontributor perubahan untuk menuju kebaikan bersama. Saya bangga bisa mengenal Anda !”

    Sadrah Deep/Pasarsolo.com – Solo : "Happy Birthday Pak Bambang... :))" [Sunday, August 23, 2009 6:09 PM].

    Balasan BH :”Terima kasih, Sadrah, untuk ucapan, atensi, obrolan dan pertemanan kita selama ini. Tak sangka pertemuan kita saat Solo mencanangkan 30 Juli (2008) sebagai Solo Cyberholic Day, ke depan ini masih bisa kita isi dengan aktivitas yang berguna. Memang secara fisik kita tidak selalu bersama, tetapi saya tahu, kita selalu mengompori demi kemaslahatan bersama. OK ?”

    Panji Kartiko/Jakarta : "Met ulang taun yah mas Bambang... semoga ide-ide dan pemikiran semakin briliantnya ..!!" [Sunday, August 23, 2009 6:02 PM].

    Balasan BH : “Terima kasih, Mas Panji. Waktu terus berjalan, hiruk pikuk kita sebagai suporter Pasoepati, entah di Manahan, di studio Indosiar, di Senayan, sampai saat kita sama-sama mencetuskan 12 Juli (2000) sebagai Hari Suporter Nasional di Palmerah, mungkin terlihat surut.

    Tetapi panggilan untuk berbuat sesuatu, dengan media dan strategi baru, demi kemajuan sepakbola Indonesia, syukurlah, idealisme kita itu masih membara. Mari kita tuangkan bensin kedalamnya dalam perjuangan ke depan secara bersama-sama !”

    Yohanes Yantono/ISI Solo : "Selamat ulang tahun yo, semoga berkat Tuhan selalu melimpah, tambah bahagia dan sejahtera, merdeka..." [Sunday, August 23, 2009 5:31 PM].

    Balasan BH : “Terima kasih, Empu Yantono. Kalau kita reuni, kau bisa membawa keris buatanmu yang berpamor batu bintang, aku membawa pensil dan Martinus Driyarkoro dari Dian Desa Yogyakarta (?) bisa membawa contoh-contoh aplikasi teknologi tepat guna. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberi bimbingan bagi kita, agar menjadi insan yang berguna.”

    Muhidin M Dahlan/Yogyakarta : "Keluarga Besar Indonesia Buku dan Gelaran Buku mengucapkan selamat ulang tahun. Panjang usia surat pembaca. (Pimpinan Sekretariat Pusat)." [Sunday, August 23, 2009 2:26 PM].

    Balasan BH : “Terima kasih, Gus Muh. Mungkin terilhami oleh kegotongroyongan pasukan pengawal Jenderal Sudirman, yang markasnya saat bergerilya di tahun 1947 kita kunjungi 14/8/2009 yang lalu di Sobo, Pakis Baru, Pacitan, maka ucapan Anda pun mengatasnamakan pasukan Indonesia Buku. Bagi saya, ini berkah besar. Terima kasih untuk interaksinya dalam dinginnya udara Pacitan, tetapi panas bergelora dalam seia mengobarkan semangat dan budaya literasi untuk anak-anak bangsa.”

    Bakhuri Jamaluddin/Tangerang : "Dik BH, selamat ultah, semoga sukses selalu, he he klasik ya ? Kapan semua karyanya diterbitkan dlm Otobiografi, tapi jangan dijadikan satu edisi, nanti terlampau tebal melebihi Al-Qur'an.

    Ada edisi humor, edisi epistoholik, edisi suporter, edisi buku masuk desa, edisi komedi, edisi dunia maya, edisi museum rekor, edisi buka buka buku, edisi Persis dan PSSI, etc, etc. Wah bisa jadi Mini Public Library karya "Wong UI bali ndeso Wonogiri". Kamu Pasti Bisa, Doaku Menyertaimu, Insya' Allah !" [Sunday, August 23, 2009 9:22 AM].

    Balasan BH : “Terima kasih, Mas Bakhuri. Cita-cita untuk membuat buku senantiasa naik-turun bagiku. Terkait masalah interaksi dengan penerbit, pernah naskahku “dipendam” oleh penerbit dengan status tidak diterbitkan dan sekaligus juga tidak mau mereka kembalikan. Bahkan berkelit naskah hilang. Setelah surat pembaca aku tulis, mereka lalu memohon-mohon agar kasus ini tidak dibawa ke meja hijau saat mengembalikan naskah yang hilang itu. Hal itu membuatku trauma.

    Problem lain, pergeseran teknologi. Budaya buku, budaya cetak itu, kini menuju kematian. Sampai ada blog yang membahas topik itu : http://printisdeadblog.com/. Berhubung hal itu di luar apa yang bisa saya jangkau, saya mengerjakan saja apa yang bisa saya kerjakan. Kalau ada gagasan pengin menulis, ya menulis saja. Lalu dipajang di blog, media yang karena keajaiban digital menjadi sarana berekspresi yang egaliter.

    Perkara ada yang membaca atau tidak, perkara ada yang mengomentari, baik sedikit, banyak atau tidak ada sama sekali, biarkanlah semua itu terjadi. Proses atau petualangan yang bergolak dalam benda karunia Allah yang paling demokratis dan terletak antara kedua kuping kita itu yang senantiasa memberikan sensasi yang mencandu. “Menulislah sampai jari-jemarimu sakit,” kata komedian Jerry Seinfeld. Saya belum mencapai tahap itu.

    Terima kasih, Bakh. Idemu itu kini sedang bergolak, karena perkembangan teknologi pula yang mampu membuatku, juga kita semua, tak usah lagi bersinggungan dengan para penerbit komersial ketika kita hendak menerbitkan buku. Interaksiku dengan mBak Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan, membuat “monster buku” yang lama meringkuk dalam hibernasi [istilah ini aku dengar pertama kali dari Anez] itu kini sepertinya sedang bangun dan mencari mangsa. Kita bisa bikin sesuatu yang berguna, Bakh, seperti kita saat menuntut ilmu di kampus UI Rawamangun dulu-dulu itu.”


    Estafet gagasan “Ideas won't keep. Something must be done about them,” tegas Alfred North Whitehead (1861–1947), filsuf dan matematikus Inggris. Gagasan mengenai masa depan komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia, memang tak hanya disimpan saja. Bila disimpan, ia hanya akan menjadi mumi belaka. Gagasan itu harus terus disebarluaskan. Harus pula memiliki wajah baru dalam pelakunya dan kreasi-kreasi baru dari mereka.

    Saya harus bersyukur, taman kiprah penulisan surat-surat pembaca itu yang berisikan beragam kembang-kembang gagasan, bisa mekar. Siraman air, belaian sinar matahari dan angin, serta tanah subuh yang menjanjikan untuk diolah, menjadi panorama pada hari ini. Hari hidupku, ketika Yang Maha Kuasa masih memberi patok waktu 56 tahun. Sebagai batu pijak baru, untuk berangkat berjalan lagi.

    Penyair kesayangan mendiang Presiden AS ke 35, John F. Kennedy (1917–1963), yaitu Robert Frost (1874–1963) memiliki puisi indah yang pernah aku tulis dalam skripsiku di tahun 1984 : Stopping by Woods on a Snowy Evening (1923). Dua puluh lima tahun kemudian, kuplet terakhir puisinya itu serasa menyapaku lagi :

    The woods are lovely, dark and deep.
    But I have promises to keep,
    And miles to go before I sleep,
    And miles to go before I sleep.



    Wonogiri, 24-25 Agustus 2009

    Makalah Sumbu Pendek dan Trik Memajang Foto di Facebook


    Email kepada Sadrah/Portal PasarSolo, Minggu, 23 Agustus 2009


    Salam sejahtera,

    Bersama ini aku kirimkan makalah yang aku sampaikan di LSM Commitment, 19 Agt 2009 yang lalu [Sumbu Pendek, Ekor Panjang dan Benturan Peradaban]. Mohon bisa dipajang di blogku, di portal blog PasarSolo ini. Semoga virusnya makin berbiak di pasar ini.Terima kasih untuk bantuanmu.


    Oh ya, ngobrolin tentang foto-foto postinganmu di Facebook dll, kalau boleh aku usul/sarankan : ingatlah dan perhatikanlah [dari kacamata] PEMBACAmu, para penonton foto-fotomu itu. Mereka itu tidak melihat dan tidak mengalami apa yang terjadi terkait dengan foto-fotomu itu.

    Agar bisa merangkul atensi mereka, usahakan bagaimana foto-foto itu dapat mereka fahami. Kalau tidak bisa secara visual, harap bisa dibantu dengan teks.

    Kalau kau sajikan foto dari kacamata dirimu sendiri, yang mengalami peristiwa bersangkutan, yang dari perasaan sampai panca indramu telah “menyatu” dengan pengalaman saat itu, penonton fotomu tak kebagian apa-apa.

    Oleh karena itu, seharusnya ditambahi bingkai cerita, info/ teks 5W+1H tentang peristiwa dalam foto-fotomu tersebut. Facebook dan blog itu mendunia lho, bukan hanya khusus ditonton oleh teman-teman sekampung kita.

    Moga usul-usil ini bermanfaat.
    Wassalam.

    Bambang Haryanto

    beha

    Saturday, August 22, 2009

    Hari Kemerdekaan dan NKRI Wajah Baru


    Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Kompas Jawa Tengah
    Kamis, 20 Agustus 2009 : C.

    kajen,wonogiri,17 agustusan,komersialisasi


    Peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia sering dirayakan sebagai pesta rakyat. Banyak warga mengadakan pelbagai kegiatan perlombaan sampai menghias lingkungan mereka masing-masing.

    Jalanan riuh dengan spanduk, rontek, bendera dan umbul-umbul. Yang menarik untuk disimak, dewasa ini makin sering menonjol pelbagai sarana hiasan itu tertera nama-nama perusahaan atau produk. Ada merek sepeda motor, jamu, bank, suplemen, dan juga rokok.

    Kemerdekaan melahirkan kebebasan. Termasuk kebebasan menarik sponsor komersial guna membiayai pelbagai aktivitas perayaan. Warga republik kita ini memang semakin jadi rasional. Bahkan cenderung semua kegiatan kini terbelenggu arus besar penguangan, monetization, alias semua hal diukur dan diupayakan agar selalu bisa menghasilkan uang.

    Inilah NKRI dalam wujud baru : Negara Komersial Republik Indonesia. Silakan para para ahli sosial memberikan analisis apakah fenomena ini semakin menggerus rasa kegotongroyongan kita, termasuk dalam merayakan 17 Agustusan ?

    Yang pasti, simak saja fenomena banyak demo yang pelakunya menjunjung tinggi UUD (ujung-ujungnya duit). Banyak pejabat publik dipenjara karena korupsi. Juga etos kerja sebagai relawan, volunteership, yang marak di negara-negara kapitalis, justru tidak memperoleh gema hebat pada budaya anak-anak muda kita di negara yang bersendikan Pancasila ini.


    Bambang Haryanto
    Warga Epistoholik Indonesia

    Sumbu Pendek, Ekor Panjang dan Benturan Peradaban


    Makalah Bambang Haryanto ini disampaikan dalam diskusi bertema “Pengaruh Internet dan Blog Terhadap Perkembangan Kehidupan Beragama dan Budaya Bertoleransi di Soloraya” yang diselenggarakan oleh LSM Commitment Solo, 19 Agustus 2009.



    Jebakan persepsi. Gambar perempuan mampu memicu pertengkaran. Satu gambar perempuan muda dan jelita, dan satunya lagi gambar perempuan tua renta.

    Satu kelompok akan bersikukuh bahwa gambar yang mereka lihat itu sosok perempuan muda dan jelita. Kelompok lainnya, melihat gambar yang sama sebagai wajah perempuan tua dan pendiriannya itu akan mereka bela mati-matian pula.

    Kalau Anda pernah membaca bukunya Stephen R. Covey, 7 Habits of Highly Effective People (1989), Anda akan menemukan ilustrasi yang mengejutkan itu. Sementara dalam bukunya yang lebih baru, The 8th Habit (2006), sosok kontroversi itu berupa gambar perempuan muda dan sosok pemain saksofon.

    Inti dari kasus perselisihan ini adalah : betapa dua orang dapat melihat obyek yang sama, saling tidak bersepakat, tetapi keduanya sekaligus sama-sama benar. Simpul Covey adalah : ini semua terjadi bukan terkait dengan logika, melainkan terkait erat dengan hal-hal psikologis.

    Gedor Covey kepada pemahaman kita selama ini : “Kalau kejadian 10 detik saja memiliki dampak begitu dahsyat bagi pemahaman kita terhadap dunia, bagaimana bila pengkondisian itu terjadi terus-menerus dalam sepanjang hidup kita ?”

    Kita ekstrapolasi : bagaimana bila pengkondisian itu ternyata sudah berlangsung ribuan tahun, berlabelkan hal yang kita nilai sebagai sesuatu yang tinggi, sakral, sekaligus sangat peka, yaitu agama ? Bagaimana pula bila pengkondisian dalam agama tersebut, agama apa saja, senantiasa sangat kental diwarnai dengan upaya penyeragaman, uniformitas, yang sekaligus menegasikan keberagaman, pluralitas ?

    Dunia kiranya hanya akan mencatat pelbagai perang dan perang semata. Juga potret-potret tindak kekejaman. Itulah yang terjadi bila ada sebagian umat bersikukuh mendukung doktrin keseragaman, baik agama, ras, budaya, politik sampai ekonomi. Contohnya, adalah Hitler dengan Nazinya, yang mengagungkan ras Arya, telah melahirkan peristiwa Holocaust yang mengerikan. Faham fasis serupa belumlah mati.

    Seragam bila mati. Kita tahu, upaya penyeragaman selalu mengalami kegagalan. “Life is plurality,” begitu kata Octavio Paz (1914-1998), diplomat, penulis dan penyair asal Meksiko. Dan hanya, “death is uniformity,” lanjutnya. Hidup itu beragam, sedang kematian adalah seragam. Apa yang mampu membuat dunia ini berputar, tutur Paz, adalah terjadinya saling memengaruhi antara pelbagai perbedaan, yaitu daya tarik dan daya tolaknya.

    Bila terjadi penindasan terhadap perbedaan dan beragam keunikan, dengan mengenyahkan peradaban dan budaya yang berbeda, kedepannya semua itu semata melemahkan kehidupan karena lebih memilih kepada kematian. Keseragaman sesuatu yang mustahil. Kalau Allah memang menghendaki keseragaman itu sejak semula, niscaya kita semua sekarang ini telah dijadikan dalam satu umat sejak manusia diciptakan olehNya.

    Lebih lanjut…..


    beha

    Thursday, August 20, 2009

    Penulis vs “Kediktatoran” Redaktur Koran


    Email kepada Muhammad Fahmi, Semarang, Jumat 21 Agustus 2009


    Pro : "Mohamad Fahmi"

    Salam sejahtera,

    Terima kasih untuk kiriman kabar via Facebook. Tentang menulis di kolom Forum-nya Kompas Jawa Tengah (KJT), saya terakhir mengirim dua kali dan ditolak. Pertama tentang Solo Batik Carnival di Solo dan yang kedua tentang Jateng sebagai sarang teroris dan strategi memerangi terorisme a la Benjamin Kuipers. Sekarang belum ada gagasan lagi.

    Tetapi dari Redaksi KJT itu ada sedikit perbedaan dalam menangani naskah. Seperti Fahmi tulis di Surat Pembaca mengenai nasib artikel yang tak menentu ketika mendekam lebih sebulan di meja redaksi koran, dan aku kira suratmu itu mewakili banyak suara terpendam (dendam) dari para penulis, syukurlah yang aku alami terakhir dalam penolakan itu rada berbeda.

    Dulunya ya sebulanan itu, tahu-tahu isinya sudah tak relevan, baru dikembalikan. Harap-harap cemasnya berakhir tragis. Padahal nulis itu kan investasi. Kalau cepet-cepet dikembalikan, sementara topiknya masih relevan, siapa tahu bisa kita kirimkan ke koran lainnya ? Pokoknya masih terbuka ada ikhtiar lain, walau peluang untuk dimuat juga semakin mengecil adanya.

    Syukurlah Fahmi secara heroik menggugat “kediktatoran” rejim redaktur koran itu. Khusus untuk KJT yang terakhir aku alami itu, mereka relatif cepat memberitahu penolakannya. Dulu kalau aku kirim ke KJT Semarang, maka yang tanda tangan saat memberitahuan penolakannya (kok) datang dari redaktur Kompas Jogja. Lucu juga. Menghindar. Kini, yang memberitahu penolakan itu redakturnya dari KJT yang di Semarang.

    Tapi KJT itu sudah jauh di atas rata-rata dalam berinteraksi dengan penulis. Mereka memberi tahu penolakan, walau alasannya yang bahkan nyaris sudah seperti template itu, sehingga bagi kita ya kadang seperti mereka itu sok (maha) tahu, sok “tangan di atas,” dan sejenisnya. Mau tak mau. Itulah rezim dari galaksi Gutenberg. Rejim atom bin dan binti kertas. Rejim penganut scarcity mentality.

    Koran-koran yang lain kayaknya lebih “jelek” lagi. Lebih otoriter lagi. Ada yang pasang peraturan, kalau 2 minggu tak dimuat, maka berarti ditolak. OK-lah, itu ketentuan mereka. Hanya saja, saya heran. Sekarang ini kan jaman Internet, masak sih, mengirimkan email penolakan secara cepat saja apa tak bisa ? Sori, aku tak tahu macam apa kesibukan di dapur redaksi terkait pengolahan naskah-naskah yang masuk itu.

    Tetapi dari kacamataku, ini impian muluk, mbok yao, ada petugas khusus dari mereka yang dari sononya sudah baik hati, suka gaul sama penulis, suka atau maniak dalam membalas surat/email (bisa diambil dari kaum epistoholik !) dan rajin memberitahu kalau naskah sudah diterima, syukur-syukur memberitahu kapan akan dimuat [“duh nikmatnya, sehingga kita bisa berkotbah di puncak bukit via FB atau Twitter untuk mengabarkan bahwa tulisan kita akan muncul di koran, tanggal sekian, topiknya bla-bla-bla…”] dan sekaligus cepat memberitahu bila penolakan tiba.

    Syukur-syukur ia juga memberitahu, misalnya, berupa masukan dan saran, misalnya “kayaknya naskah Anda ini lebih cocok dikirim ke koran A,B atau X. Coba deh kontak Mas ini atau mBak itu, ini nomor HP dan emailnya, untuk konsultasi. Kalau ga cocok, kan kita jadi nambah teman ?”

    Dalam paradigma media digital, media interaktif, bila aku bos di koran bersangkutan maka akan aku buat departemen tersendiri yang khusus menangani lalu lintas naskah ini. Pentasnya akan aku desain sebagai “water cooler” (virtual), ini tempat ngerumpi di kantor, yang transparans ibarat akuarium. Kita tahu siapa saja yang berenang dalam akuarium itu, sekaligus kata-kata mereka. Tahu yang hidup, tahu lucu, yang kelenger atau yang mati, itu semua dinamika kehidupan dalam dunia tulis-menulis terkait media koran.

    Ide terakhir ini aku petik dari buku The Internet Strategy Handbook, terbitan Harvard, dibeli di Atlanta (bukan diriku, tapi adikku). Mungkin ide ini terlalu futuristis, mengingat di masa depan ini media berbasis kertas semakin terpuruk nasibnya.

    Oh ya, untuk naskah buku humormu, sudah mencoba ke penerbit Indonesia Tera, di Yogya ? Aku tahu ia menerbitkan buku kumpulan riddle, cangkriman-nya pelawak Setyawan Tiada Tara. Telepon Indonesia Tera : 0274-515940. www.indonesiatera.com. Email : redaksi@indonesiatera.com.

    bambang haryanto

    Masih terkait sama buku, tanggal 13-14/8/2009, aku ikut acara peluncuran buku yang menghimpun surat-surat anak-anak dari Gunung Brengos, Pacitan, yang ditujukan kepada Ibu Negara, Ani Yudhoyono (foto). Atas prakarsa editornya, Diana AV Sasa, sebagai penulis surat pembaca aku diminta mengompori adik-adik kita itu untuk terus menulis. Buku itu diterbitkan oleh Indonesia Buku.

    Peristiwa ini membuatku bersyukur, bisa serumah dan dalam kedinginan Gunung Pacitan, tetapi hangat membicarakan masalah buku, dengan tokohnya : Gus Muh. Muhidin M Dahlan. Momen Pacitan itu menakjubkan. Karena “monster buku” dalam diriku sudah terlalu lama tidur, hibernasi, sejak dua buku kumpulan leluconku terbit tahun 1987. Dan nampaknya monster itu kini bangkit dan mencari mangsa. Kalau ada waktu, ikhtisar singkat momen Pacitan dan buku itu bisa di cek di : beha.blogspot.com.

    Agar saya tak terlalu kelaparan, maka pelampiasannya ya menuliskan obrolan ini. Moga bermanfaat. Terakhir, mohon maaf lahir dan batin. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa.

    Wassalam,


    Bambang Haryanto