Tuesday, December 28, 2010

AFF 2010,Chappy Hakim dan Budaya Korupsi Kita



Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Indonesia mabuk kemenangan. Di arena olahraga yang menjadi favorit berat warganya. Di Piala AFF 2010. Tetapi ketika impian itu terancam terempas, tidak banyak yang mau berusaha menggali akar penyebab mengapa semua bencana itu terjadi.

Di antara warga Indonesia yang terpanggil untuk membedah tragedi kekalahan timnas Indonesia 3-0 ditekuk Malaysia pada laga leg pertama final Piala AFF, di Bukit Jalil 26 Desember 2010, adalah Chappy Hakim. Ia pensiunan marsekal, pernah menjabat sebagai KSAU, dan kini aktif sebagai blogger Kompasiana yang kemudian karya-karyanya diterbitkan sebagai buku.

Ulasan menarik dia berjudul Belajar Dari Tragedi Bukit Jalil, yang antara lain merujuk semacam excuse dari pelatih timnas, Alfred Riedl, yang berkali-kali mengatakan bahwa timnya itu sebagai tim yang "belum jadi."

Chappy Hakim menulis : "Sejatinya,jawaban dari hal tersebut sudah diutarakan oleh sang pelatih Alfred Riedl dari sejak awal. Dia berulang kali mengatakan bahwa tim ini sebagai tim yang “belum jadi”. Maknanya adalah, dalam meraih prestasi olahraga, harus diingat bahwa tidak akan pernah sukses itu diraih dengan tiba-tiba. Sukses dalam olahraga tidak bisa tidak harus dijalani melalui tahapan-tahapan berlapis yang harus dilakoni.

Kematangan satu tim sepak bola hanya akan diperoleh dari pengalaman bertanding yang panjang.Kekompakan dalam kerja sama tim hanya akan dapat diraih dari seringnya mereka bermain bersama, tidak hanya latihan, tetapi juga lebih-lebih dalam bertanding.

Tidak hanya bertanding di kandang sendiri, tetapi juga bertanding di kandang lawan. Tidak hanya satu dua kompetisi yang harus diikuti, tetapi juga harus banyak dan sering mengikutinya.Juara hanya dapat diraih dengan “jam terbang” yang cukup."

Bemper seksi Chappy. Pendapat Chappy Hakim di atas adalah pendapat yang masuk akal. Tetapi nampaknya dia kurang menyadari betapa dunia persepakbolaan Indonesia telah hidup dalam "atmosfir busuk" selama ini. Bukan hanya belitan budaya instan yang hidup di kepala para suporter dan semua pemangku kepentingan dunia sepakbola kita, termasuk melakukan naturalisasi Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim sebagai upaya menelan pil ajaib mendongkrak prestasi, tetapi terdapat "lubang hitam" lainnya yang lebih dahsyat.

Fenomena "lubang hitam" itu sudah sering saya ungkapkan berkali-kali. Tetapi, tidak ada salahnya saya tuliskan lagi,untuk menanggapi buah pemikiran Chappy Hakim tadi. Inilah pendapat saya selengkapnya :

“Bemper” seksi yang dipasang Pak Chappy Hakim (beda dengan milik Jupe) dengan merujuk pendapat Alfred Riedl bahwa timnya adalah tim “yang belum jadi,” menarik untuk terus dibincangkan. Namun ijinkanlah saya ingin menambahi, betapa “penyakit” sepakbola Indonesia lebih serius dan lebih kronis. Sering sekali untuk blog saya, saya mengutip ucapan Sekjen Asian Football Confederation (AFC), Peter Velappan, di majalah Asiaweek (5/6/1998) menjelang Piala Dunia 1998.

Ia tegaskan : “Indonesia adalah Brazilnya Asia. Pesepakbola Indonesia bermain dengan intelejensia dan bakat unik yang tidak ada duanya di dunia. Bakat-bakat mereka lebih baik dibanding pemain Korea atau Jepang. Pada era 50 dan 60-an, tim-tim Asia jangan bermimpi mampu menaklukkan tim Asia Tenggara.” Tetapi dalam setengah abad terakhir tim-tim Asia Tenggara, termasuk Indonesia hanya bisa memble berat.

Karena menurutnya, "akibat pengelolaan manajemen yang amburadul dan dan tidak bisa membersihkan dirinya dari belitan budaya korupsi." Ada foto Rocky Puitiray lagi melompat (ditulis sebagai Perry Sandria), dengan teks : "Pemain Indonesia banyak yang berbakat, tetapi pengaturan skor meruyak dimana-mana."

Penyakit kronis persepakbolaan kita lainnya, kita bisa belajar dari Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, mengungkap bahwa posisi sepak bola Indonesia dalam percaturan dunia kini berada dalam posisi periferi, pinggiran.

Dalam artikel "View from the Periphery : Football in Indonesia" dalam buku Garry Armstrong dan Richard Giulianotti (ed.), Football Cultures and Identities (1999), ia menggarisbawahi keterpurukan prestasi sepakbola Indonesia sebagai akibat masih meruyaknya budaya kekerasan di teater sepak bola kita dan belum kokohnya budaya demokrasi di negeri ini. Seolah memberi garis bawah realitas itu, seorang Emil Salim baru-baru ini menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia ibarat anak-anak yang masih berusia 2-3 tahun.

Tanggal 8/1/2005 dan 16/1/2005, sebagai warga Wonogiri saya ikut mendukung timnas di final Piala Tiger 2004. Baik di Senayan mau pun di Kallang, Singapura. Saat itu saya memakai kaos bertuliskan slogan, "I Believe The Withe Magic." Saya percaya akan kepiawaian pelatih timnas saat itu, Peter Withe yang asal Inggris. Toh kita gagal. Padahal, sebelum melatih timnas kita Peter Withe berjaya melatih tim Thailand.

Kalau dia mampu sukses hebat melatih tim Gajah Putih, mengapa dirinya gagal total ketika melatih tim Indonesia ? Pertanyaan itu dan ucapan Peter Velappan atau pun Freek Colombijn, terus saja berdengung di telinga saya bila timnas berlaga di ajang internasional. Sampai saat ini. Mungkin akan kembali mengeras bila nanti Alfred Riedl gagal membuahkan keajaiban di Senayan, Rabu Malam, 29 Desember 2010."

Apa pendapat Anda ?


Wonogiri, 29 Desember 2010

Thursday, December 23, 2010

Nyanyian Angsa Untuk Kompas Jawa Tengah


Untuk milis Epistoholik Indonesia, 23 Desember 2010


Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Salam episto ergo sum,

Selamat bersiap merayakan Hari Natal untuk Mas FX Triyas Hadi Prihantoro di Solo, Mas Kukuh Widyatmoko di Malang, juga Mas Thomas Sutasman di Cilacap, dan warga EI yang siap merayakannya.

Juga untuk redaksi dan wartawan Harian Kompas Jawa Tengah yang siap menyambut Natal, Tahun Baru 2011, dan juga situasi baru koran ini pula.

Kemarin, Rabu 22 Desember 2010, saya memperoleh SMS dari Mas Joko Suprayoga (Kendal) : “Kabar buruk pak BH, mulai 2 Jan 2011 nanti Kompas Jateng akan ‘ditutup,’ semua akan dinasionalkan, jadi benar kata pak BH, saatnya buat blog untuk menulis.” [10.23.17].

Balasan saya : “Tks. Wah kok ya sedih juga. 7 mug yll itu salam perpisahan ? Kita lihat 2/1/11 nanti. Ttp ngeblog hrs terus/dimulai, demi terus memperkuat otot2 menulis kita, bukan ?” [10.59.25].

Swan song, itu salah satu lagu dari The Bee Gees.
Nyanyian angsa, itu salah satu judul puisinya Rendra.
Intinya sama : lagu perpisahan.

Warga Epistoholik Indonesia (EI) yang berdomisili di Jawa Tengah, akan segera (atau sudah ?) mendengarkan lagu perpisahaan, sembari didera rasa kehilangan salah satu mitra terdekat sekaligus lahan bhakti untuk berkiprah, ketika nanti tak ada lagi lembaran Kompas Jawa Tengah yang bisa kita pergoki setiap pagi ?

Ada seorang tokoh berpendapat, bila sebuah koran yang paling jelek pun mati, hal itu merupakan kabar buruk bagi demokrasi. Lalu bagaimana kita harus bersikap ketika koran sebaik Kompas ternyata memutuskan untuk melikuidasi edisi Jawa Tengah-nya dan seperti kata Mas Joko, lalu “menasional”-kan diri ?

Apakah hal itu akan membuat kiprah kita sebagai kaum epistoholik, utamanya yang tinggal di Jawa Tengah, menjadi kehilangan arena untuk ikut menyumbangkan pikiran sebagai pengejawantahan mekanisme checks and balances dalam kehidupan berdemokrasi ?

Kita lihat pada tanggal 2 Januari 2011 nanti.

Tetapi seperti tergambar dalam paparan profil komunitas Epistoholik Indonesia di koran Solopos (5/12/2010), kita harus membuka mata betapa kolom surat pembaca di pelbagai surat kabar nampak kian hari, kian menyusut. Ada yang menghapuskannya, ketika kaplingnya laku dijual untuk iklan. Bentuk kolomnya juga sering “pletat-pletot” ketika dijepit sana-sini untuk pemajangan iklan-iklan pula.

Kapling yang menyusut, membuat semangat kita (minimal saya) untuk menulis juga ikutan mengkerut. Rupanya “penyakit” ini diam-diam juga menyebar, sehingga saya sudah dua kali mendapat info dari “orang dalam” surat kabar itu sendiri : ketika stok surat pembaca tidak ada sama sekali, terpaksa muncul surat pembaca “banjelan,” yang hasil rekayasa, karena ditulis oleh sang wartawan surat kabar itu sendiri.

Baguskah ini semua untuk demokrasi ?
Pendapat Anda kami tunggu.

Yang pasti, harapan saya, kondisi eksternal, yang diluar kuasa kita, boleh saja berubah. Tetapi kini tiba saatnya kita harus menanggapi semua perubahan itu secara kreatif. Ketika satu pintu tertutup, semoga masih banyak lagi jendela-jendela lainnya yang akan terbuka.

Seperti diingatkan kembali oleh Mas Joko Suprayoga, kita dapat saja terus menulis dengan media blog, seperti telah saya berusaha kampanyekan selama ini.

Jadi kalau Mas Triyas, seperti dikutip di Solopos Minggu (5/12/2010) telah bilang bahwa media blog adalah media alternatif, maka kini tiba saatnya mendaulat blog itu sebagai episenter aktivitas menulis kita sebagai warga e-pistoholik.

Huruf “e” sengaja saya pisah, sebagai penekanan betapa kepanjangannya, yaitu “electronic,” akan mengantar (Anda semua tahu) buah-buah pemikiran kita yang kita tulis di media digital itu mampu,secara teoritis, merangkul audien dunia.

Harapan saya : kalau Anda selama ini mampu menulis surat-surat pembaca atau artikel di media-media berbasis atom (baca =kertas) dengan cinta, dengan bersemangat, maka hal serupa juga dibutuhkan ketika Anda menulis untuk media-media berbasis bits, sinyal-sinyal elektronik, yaitu blog-blog Anda.

Karena tanpa cinta, tanpa semangat, tanpa passion, tanpa adanya panggilan hati, gagasan-gagasan itu tidak akan mampu terbang jauh untuk menyelinap ke sanubari pembaca-pembaca Anda.

D. H. Lawrence (1885–1930), novelis dan penyair Inggris, telah bilang : “Duduk-duduk manis sajalah bila kau tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi bila panggilan hati menggerakkanmu, katakanlah yang harus kau katakan, dan katakan semuanya dengan sepenuh gelora.”

Bermediakan blog, dimana Anda adalah penulis, editor, penerbit, sekaligus sebagai pemilik media, ujaran D.H. Lawrence itu dapat Anda lakukan secara paripurna. Sekarang juga !

Salam episto ergo sum !


Bambang Haryanto

PS : Apakah saya sebagai warga EI sebaiknya tinggal di kota besar ? Saya baru saja dapat SMS dari “Putri” mahasiswa Ilmu Komunikasi Unpad Bandung. Ia mendapat tugas kuliah, menulis features, dan ia memilih topik kiprah kaum epistoholik. Dalam SMS ia bertanya : “kapan saya bisa mewawancarai Bapak ?”

SMSnya belum saya balas.

Apakah ia kira-kira tahu kalau domisili saya di Wonogiri ? Kalau jadi, ia adalah mahasiswa Unpad yang kedua yang mau jauh-jauh dari Bandung untuk mencari info langsung tentang EI. Kalau boleh memilih, dia kan bisa wawancara via email saja ?

Saturday, December 11, 2010

Menulis Itu Magic,Menulis Itu Senjata Dahsyat!


Dikirimkan ke Milis Epistoholik Indonesia, Minggu, 12 Desember 2010


Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Dear sobat warga Epistoholik Indonesia,
Salam episto ergo sum !
Semoga sehat-sehat.

Apa “sarapan” pagi Anda di hari Minggu, 12/12/2010 ini ?

Saya tadi pagi jalan kaki ke kawasan Waduk Gajah Mungkur(GM), Wonogiri. Berangkat jam 04.45, sampai rumah kembali jam 07.30.

Sempat memotret posisi kamera/webcam dari situs Solo City View, yang dipasang untuk memantau pintu air (spill way) bendungan waduk Gajah Mungkur melalui Internet. Saya juga memotret papan pengumuman “Dilarang Membuang Sampah Ke Sungai” yang juga mencantumkan nama diler sepeda motor sebagai sponsor. Terpasang di bibir sungai.

Tentu saja, sampah yang dibuang ke sungai sudah tidak lagi berbekas di tempat itu. Tetapi larangan tersebut membawa dampak lain : tumpukan sampah justru bertimbun di sekitar papan pengumuman itu terpasang. Jadi pesan pengumuman itu benar-benar tepat sasaran !

Aktivitas lain, sekitar setengah jam saya membaca-baca bukunya Andrias Harefa. Happy Writing (2010). Di bibir waduk, dengan di depan saya adalah hamparan air, dan sinar matahari membias keemasan di permukaan. Juga satu perahu. Mirip lukisan Cina yang hening itu.

Buku itu berisi 50 tips agar aktivitas menulis bisa “ngasyik.” Buku ini hadiah dari Stube-HEMAT, saat saya menjadi narasumber pelatihan menjadi komunikator yang positif bagi mahasiswa di Yogya, 4-5/12/2010. Terima kasih, Widiaji (“nama dia 2-3 kali disebut di buku itu” – kali ini sebagai figuran :-), moga lain kali jadi pemain utama). Terima kasih untuk mBak Ariani yang sudi menuliskan pesan kenangan di buku itu pula.

Sampai di rumah, sesudah mandi, antena wi-fi sudah hidup. Langsung fasilitas hotspot di rumah ini menjadi tiga titik ketika saya menghidupkan komputer. Sempat membaca berita penguburan Elizabeth Edwards (61), mantan istri calon wakil presiden dari Partai Demokrat dalam Pilpres AS 2004, John Edwards.

Liz Edwards itu punya ketegaran dalam mengarungi kehidupan. Ketika anak lelakinya meninggal dalam kecelakaan mobil di usia 16, dirinya mengidap kanker payudara, lalu suaminya selingkuh dan memiliki anak dari pacarnya. [Saya memiliki folder untuk Elizabeth Edwards, yang penulis dua buku laris itu].

Saya juga menerima empat email, satu email sampah, pagi itu. Satu dari Mas Darminto M Sudarmo (Semarang), mantan redaktur majalah HumOr. Ia menulis catatan di akun FB-nya, menanggapi ide saya kemarin agar 30 Desember (2010) didaulat sebagai Hari Humor Nasional.

Sekaligus untuk memperingati hari wafat dan mutiara warisan humor Gus Dur (2009) dan meninggalnya Dono Warkop (2001). Di blog saya sebut kata-kata mutiara tentang makna penting humor, antara lain : “Humor lenyap, kebudayaan lenyap.” Kalau Anda ada waktu, silakan klik : disini.

Email lain dari Widiaji (Yogya). Ia saya minta untuk mem-FWD email saya ke temannya, Rudhita, berisi jawaban saya tentang bukunya Howard Gardner, The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach (1991).

Dengan gegabah bisa saya katakan, kalau guru atau pendidik yang tidak pernah membaca atau menerapkan isi buku ini, resikonya adalah : Anda hanya akan membuat “otak muridnya tak pernah bersekolah.” Saya pernah menuliskannya, di surat pembaca harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 29 November 2005

Email berikutnya dari rekan kuliah saya, Bakhuri Jamaluddin (Tangerang). Ia yang pernah mengirimi saya buku karyanya, kini menagih imbalan : minta dikirimi buku
Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010). Tunggu, Bakh. Mas Joko Suprayoga (Kendal) yang mengatakan penasaran dengan buku ini, moga-moga sudah memperoleh jawaban. Semoga toko-toko buku utama di Semarang sudah memajangnya !

Email keempat, kabar bagus dan menarik, dari Nurfita Kusuma Dewi. Entah, kirim emailnya dari Yogya atau dari Semarang, yang pasti ia mengabarkan bahwa artikelnya hari ini telah dimuat di harian Solopos, di kolom Jeda. Judulnya : Eksistensi Wayang Di Pengungsian Merapi. Silakan klik : disini.

Walah, di tengah hujan abu dan banjir lahar dingin, si mBak yang bekerja di Departemen Keuangan ini (“walau cita-cita terdalamnya adalah menjadi guru”), banyak bercerita tentang pelbagai pentas wayang di daerah Magelang-Yogya seusai Merapi mengamuk. Juga bercerita cukup menukik tentang lima peran wayang. Sebagai sarana komunikasi sosial, pentas drama, suara kebudayaan, hiburan dan industri.

Bagi saya, yang lumayan nyenggol diri saya sebagai kaum epistoholik, adalah ketika Nurfita cerita tentang kaitan wayang dengan industri. Saya pernah menulis surat pembaca menyikut hal itu sebagai berikut ini :

Wayang, Membunuh Demokrasi ?
Dimuat : Kompas Jawa Tengah, Kamis, 27 Maret 2008 : D


Dalang sebagai seniman, bila menurut Rendra, seharusnya berumah di angin. Ia seorang resi yang tidak lagi berorientasi ke hal-hal duniawi, senantiasa menyuarakan kebenaran dan hati nurani rakyat. Wahana untuk itu terbuka ketika berlangsungnya adegan goro-goro yang menampilkan para punakawan, Semar dan anak-anaknya. Semar yang konon setengah manusia dan setengah dewa itu merupakan personifikasi “suara rakyat adalah suara Tuhan” pula.

Tetapi di jaman industri dewasa ini banyak resi alias dalang wayang yang juga ingin kaya raya. Maka pesan-pesan dalam pertunjukan wayangnya pun tidak luput dari filosofi “maju tak gentar, membela yang bayar.”

Saya pernah mendengarkan adegan Limbukan yang seluruh isi adegannya memuji-muji kebijakan pimpinan perusahaan besar yang menyewa dalang bersangkutan. Padahal perusahaan itu memproduksi barang-barang yang bila dikonsumsi berpotensi mengancam kesehatan.

Kini pun marak fenomena aneh lainnya, ketika resi di depan kelir atau layar itu ternyata pejabat pemerintahan. Atau tokoh politik. Jadi mudah dibayangkan, wayang terkooptasi menjadi abdi atau pelayan agenda para pejabat bersangkutan. Barangkali bisa disebut sebagai wayang top-down. Wayang yang dibajak pengusaha dan pejabat.

Merujuk fakta itu kita mudah ingat analisis klasik ahli politik George McTurnan Kahin yang berujar bahwa salah satu penghalang demokrasi di Indonesia adalah kultur politik masyarakat yang senantiasa menyandarkan segala sesuatu kepada arahan dari atas.

Jadi pertunjukan wayang yang diperkirakan semakin marak menjelang dan selama kampanye Pilgub Jawa Tengah 2008 nanti, ujung-ujungnya justru menyerimpung dan bahkan membunuh kehidupan demokrasi di Indonesia ?

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612

Bagian lain dari isi email Nurfita yang menggelitik adalah saat ia merujuk isi Solopos (Minggu, 5 Desember 2010) yang memprofilkan komunitas Epistoholik Indonesia kita. Tulisan itu, menurutnya, mengesankan bahwa kiprah menulis surat pembaca adalah ranah dominannya kaum-kaum kasepuhan.

Tetapi yang lebih menarik, ia bersemangat ingin melakukan upaya regenerasi, agar menulis surat-surat pembaca itu kini juga menjadi aksi gaul para kaum muda.

Terima kasih, Nurfita. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Widiaji/Stube-HEMAT yang tergerak mengajak dan membimbing mahasiswa untuk bergairah dalam aktivitas penulisan surat-surat pembaca. Kalau regenerasi di EI dinilai tidak berjalan secara baik, saya kira benar adanya. Kita memang belum pernah membuat semacam gerakan secara bersama untuk itu. Mungkin karena dengan menulis di koran atau blog sudah kita anggap sebagai contoh dan perbuatan nyata. Beberapa kali liputan media tehadap keberadaan EI, juga di radio, merupakan contoh promosi yang lain. Memang belum ideal.

Apalagi, menulis itu tak bisa diajarkan, tetapi bisa dipelajari. Artinya, yang dituntut untuk aktif adalah sang pelaku itu sendiri. Tetapi saya yakin, masing individu warga EI, dengan karya dan karisma :-) masing-masing sudah memiliki fans setia dan di antara mereka akan hadir penulis-penulis surat pembaca yang baru. Memang tidak pakai gembar-gembor, saya sendiri tak jarang mengirimi SMS untuk para penulis surat pembaca (diluar EI) yang karyanya pantas memperoleh apresiasi.

Kebetulan, wacana terkait hebatnya aktivitas menulis surat, kemarin saya menonton film The Hurricane (1999) yang mengharukan. Surat seorang pelajar SMA kepada petinju kulit hitam yang dijebloskan ke penjara melalui peradilan yang bias, curang dan membunuh keadilan, membuat semangatnya yang luruh untuk bangkit dan berjuang. “Menulis itu magic, keajaiban. Menulis adalah senjata yang dahsyat,” begitu antara lain dialog yang bernas dan menggugah dalam film itu.

Mari kita bercermin. Banyak di antara kita sebagai warga EI, mungkin banyak yang tidak menyadari kekuatan dahsyat yang kita miliki dengan kemampuan menulis itu. Kita tak acuh, menelantarkan, meneledorkan senjata itu, tidak mengasahnya, mungkin karena keangkuhan, menunggu pujian, menuntut imbalan uang, dibelenggu rasa iri, dengki, mindset scarcity mentality, dan kemalasan. Pilihan itu diam-diam akan menjerembabkan kita bahwa ketidakmampuan menulis yang menginspirasi (baik surat, surat pembaca, blog, buku, dll) sebagai hal yang kita anggap biasa-biasa saja.

Bila itu yang terjadi,walau dari luar nampak segar-bugar dan hidup, yakinlah ada lampu yang telah padam di dalam diri kita.

Janganlah tragedi itu terjadi.
Salam episto ergo sum !


Bambang Haryanto
Bukunya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010) telah beredar awal Desember 2010 ini. Jangan sampai kehabisan !