Saturday, September 26, 2009

Bila Penulis Surat Pembaca Dikejar Macan !


Surat pembaca dikirimkan ke Harian Suara Merdeka, 27 September 2009


Meminta penghargaan. Isu mengenai “tuntutan” adanya penghargaan bagi penulis surat pembaca, muncul lagi. Terakhir hal itu diungkap oleh Muh. Mahfudin asal Kebumen di kolom “Surat Pembaca” harian Suara Merdeka, 25/9/2009 yang lalu.

Ia mengaku sebagai seorang penulis surat pembaca pemula, yang juga berkata bahwa tanggapan pembaca melalui email untuknya ikut pula mendorong motivasi dirinya untuk terus menulis.

Isu di atas mengingatkan saya akan ujaran Putu Wijaya, sastrawan terkemuka Indonesia. Ketika di tahun 80-an, saat saya masih belajar di Universitas Indonesia di Rawamangun, saya mengikuti ceramah sastra di arena pekan buku Indonesia di Balai Sidang Jakarta. Sastrawan dan dramawan asal Tabanan Bali itu berkata bahwa ada dua jenis penulis di dunia ini.

Pertama, mereka yang dikejar macan dari dalam, dan yang kedua, penulis yang diuber macan dari luar. Macan dari dalam adalah keinginan utama untuk berekspresi, menyuarakan hati nurani, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kepada dunia. Sementara macan dari luar adalah tuntutan untuk memperoleh imbalan, berupa materi. Kedua jenis penulis itu juga termasuk penulis surat pembaca.

Sebagai penulis surat pembaca sejak 1973, saya berusaha menapaki jejak sebagai penulis jenis yang pertama. Karena saya berkeyakinan, menulis itu pahala terbesarnya tercurah pada diri saya ketika saya sedang menulis itu pula. Reward is in the doing.

Ada pengembaraan yang mengasyikan ketika mampu meloncat dari ide satu ke ide lain, menabrakkannya, atau mensintesakannya, sehingga menjadi sebuah tulisan. Ada ekstasi, rasa mabuk yang nikmat seperti memperoleh anugerah dari Sang Maha Kuasa ketika tulisan itu selesai.

Sedang bila kelak dapat dimuat, itu hanya bonus. Bila tak dimuat di koran, kini saya dapat memajangnya di blog. Bila tulisan itu dibaca atau ditanggapi oleh orang lain, itu juga hanya bonus semata.

Alat pemerasan. Kalau saya menulis surat pembaca dengan tujuan untuk memperoleh penghargaan, baik itu materi, uang sampai tanggapan, pastilah saya sudah berhenti menulis sejak puluhan tahun yang lalu. Walau akhir-akhir ini saya menengarai adanya surat-surat pembaca yang patut diduga sebagai alat untuk melakukan pemerasan terhadap sesuatu perusahaan yang kiprah bisnisnya di daerah abu-abu.

Terakhir, ketika menjadi finalis Lomba Karya Tulis Teknologi dan Telekomunikasi Indonesia(LKT3I) III/1999 di Jakarta yang diselenggarakan oleh PT Indosat, saya memperoleh asupan hikmah dari mantan Hakim Agung, Bismar Siregar.

Beliau bilang, bahwa “setetes tinta dari seorang penulis itu lebih mulia dibanding darah yang tertumpah dari seorang syuhada." Ucapan itu berasal dari seorang ulama klasik, Ibnul Qayim Aljauziyah.

Hemat saya, moga-moga ucapan ini dapat didengar para pengikut Noordin M Top yang berjihad dengan bom dan aksi kekerasan, juga oleh rekan-rekan penulis surat pembaca yang menulis dengan motivasi ingin memperoleh penghargaan.


Bambang Haryanto
Pendiri Komunitas Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612


beha

Wednesday, September 16, 2009

Surat Pembaca, Buku dan Kiprah Intelektual Warga Epistoholik Indonesia


Diposting untuk milis Epistoholik Indonesia, 16 September 2009


Lebaran kunang-kunang. Semoga Anda sehat-sehat adanya. Bagaimana suasana kota Anda, mendekati hari Lebaran ? Di jalanan kota saya, Wonogiri, rasanya semakin sesak oleh orang. Pasar penuh orang. Antrean ATM penuh orang. Toko penuh orang.

Sementara Perpustakaan Wonogiri, yang mudah ditemui, tetap saja wajah-wajah yang sama. Familiar strangers.

Wajah-wajah yang lalu lalang di luar perpustakaan, adalah wajah-wajah asing. Perfect strangers. Juga kendaraan mereka yang bernomor bukan aseli Wonogiri. “Selamat pulang kampung sobat, saudara-saudara saya yang di hari-hari normal berkiprah, berkarya dan berkrida di luar Wonogiri.”

Adakah acara khusus bagi Anda, apabila Anda ikut merayakan Hari Kemenangan, di hari Fitri nanti ? Tahun ini saya akan merayakannya bersama kunang-kunang.

Ceritanya, ada seorang nenek yang mendongeng kepada cucu-cucunya. Tentang serpih-serpih tulang rawan hasil guntingan kuku-kuku jari dan kaki. Ia katakan, sebaiknya serpihan itu dipendam di pojok rumah. Bila malam, serpihan itu akan berubah menjadi kunang-kunang.

Cucu-cucu itu, walau takjub atas dongengan itu, tetap saja memendam rasa tidak percaya. Tetapi mereka tetap saja mengingatnya, bahkan setelah berpuluh tahun kemudian. Ada orang bilang, ucapan guru atau orang tua itu melesat dalam kecepatan cahaya untuk sampai ke telinga anak didik atau seseorang anak.

Tetapi makna dari ucapan itu sampai ke hati atau pemahaman, akan berjalan dengan kecepatan suara. Jauh lebih lambat dibanding kecepatan cahaya. Tetapi pesan itu tetap akan sampai. Entah beberapa bulan, beberapa puluh tahun kemudian, atau bahkan ketika sang anak, si penerima pesan itu, sudah berada di tepi kematian.

Dongeng tentang kunang-kunang itu, yang secara ilmu biologi atau fisika sebagai tak mungkin, mungkin dirancang sebagai sebuah metafora. Kiasan. Saya memaknainya kini, betapa bagian sekecil apa pun dari diri kita bila ditanam akan menumbuhkan cahaya, kebaikan, keindahan. Apalagi dalam kegelapan.

Kebetulan ketika saya mengetikkan kata firefly, kunang-kunang, dalam peranti lunak The Oxford Dictionary of Quotations (2002), muncul lema/entri menarik :

Kepala suku Indian Kaki Hitam, Crowfoot (c. 1830–1890), sebelum meninggal dunia pada tanggal 25 April 1890, seperti dikutip oleh John Peter Turner dalam bukunya The North-West Mounted Police: 1873–93 (1950), antara lain sempat mengatakan :

What is life? It is a flash of a firefly in the night.
Apakah hidup itu ? Ia adalah pendar nyala kunang-kunang di waktu malam.

Nenek yang mendongeng tentang kunang-kunang itu berasal dari Kedunggudel, Sukoharjo. Namanya Jiah Martowirono. Ia nenek saya dan dongeng tentang kunang-kunang itu menjadi salah satu tema Reuni Trah Martowirono XXIII/2009, yang akan dilangsungkan 23 September 2009.

Lokasi : Museum Benteng Vredeburg, Djokdjakarta. Anak cucu-cicit Trah Martowirono, dari seantero Nusantara, bersiap melakukan Serangan Oemoem guna mendoedoeki selama Enam Djam di Djokdja. Cerita terkait dapat Anda klik di : http://trah.blogspot.com.

Surat-surat pembaca yang kita tulis, saya ibaratkan juga sebagai nyala kunang-kunang. Tidak semua orang akan merasa takjub atau mampu memahami sinar yang ia pancarkan. Tetapi bagi orang tertentu, bila terjadi “klik,” surat pembaca itu dapat menjadi cahaya yang bermakna bagi banyak orang.

Apalagi bila cahaya itu memiliki voltase yang tinggi. Misalnya memiliki relevansi, nilai-nilai moral, bukan slogan, tetapi ketukan yang mampu menyapa hati. Bagi saya, agar mampu menulis surat pembaca yang bervoltase tinggi itu, seringkali, mau tak mau harus merujuk kepada sumber-sumber cahaya yang tertentu. Utamanya : buku.

Maaf, sebagai pembaca surat-surat pembaca, saya kadang merasa kurang nyaman bila memergoki surat pembaca atau artikel yang merujuk kepada sumber tertentu tetapi ditulis dengan data bibliografi yang pincang. Misalnya data judul buku rujukan tidak ditulis, nama pengarang dikaburkan, dan tahun terbit disepelekan karena tidak dicantumkan.

Maaf lagi, iritasi ringan ini memang dipicu cara berpikir model digital. Semua ilmu pengetahuan itu harus tersambung, connected, sehingga dapat dicek dan di-ricek oleh orang lain, untuk sama-sama diuji kebenaran atau validitasnya. Jalan pikiran ini pula yang mendasari raksasa internet, Google, meluncurkan proyek gigantik : berusaha mendigitalkan semua buku-buku di dunia, sehingga bisa diakses oleh sesama umat manusia.

Syukurlah, ketidaknyamanan saya tentang data bibliografi itu masih kelas ringan kok. Karena dalam surat-surat pembaca, yang sering isinya menyangkut isu-isu aktual dan kurang dituntut adanya pendalaman, sehingga tidak terlalu menuntut hadirnya parade atau obral kutipan dari buku-buku (baru ?) tertentu.

Tetapi realitas semacam ini juga bisa sebagai tabir, untuk menutupi hal yang bisa (bila mau) diperdebatkan : apakah seorang penulis surat pembaca juga seorang maniak, pembaca buku, atau justru tidak menyukai buku ? Mungkin ini penilaian subyektif : bagi saya, rasanya selama ini, tidak mudah menemukan obrolan tentang sesuatu buku dalam surat-surat pembaca.

Akibatnya, salah satu cita-cita saya sebagai pendiri komunitas EI/Epistoholik Indonesia, sepertinya masih di awan. Gerakan menjadikan surat pembaca sebagai salah satu media untuk mem-buzzing info dan isi buku-buku (baru ?), kiranya masih belum memancarkan daya tarik optimal untuk memantik minat sesama warga komunitas EI ini.

Minimal untuk semakin meminati, mencintai buku. Sehingga sumber info, asupan bagi gelegak kawah intelektual kita, bukan kliping-kliping koran semata. Anda punya pendapat ? Saya tunggu.

Untuk menggelorakan cinta buku itu, walau seorang Jeff Gomez menerbitkan buku Print Is Dead : Books in Our Digital Age (2007, http://printisdeadblog.com), saya kini mencoba menghidupkan lagi blog buku saya yang lama terbengkalai.

Sekian dulu, obrolan dari Wonogiri. Setelah hiruk-pikuk Lebaran usai, saya punya PR. Menyiapkan makalah guna merayu mahasiswa baru agar memiliki wawasan baru betapa keterampilan menulis (surat pembaca, blog, artikel, surat cinta, sd surat lamaran) adalah senjata survival mereka dalam percaturan dunia datar yang mengglobal ini.

Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer Sinar Nusantara, Solo, tanggal 30 September 2009, memberi saya podium untuk berbagi wawasan dengan mereka. Terima kasih untuk Sadrah Sumariyarso dari PasarSolo yang telah memberi saya kepercayaan yang mulia ini.

Bocoran : di depan mahasiswa itu saya akan bercerita tentang kisah sukses non-linear dari pacarnya Sherina, yang menulis buku berjudul Babi Ngesot : Datang Tak Diundang, Pulang Tanpa Kutang.

Hal lain : saya memimpikan bisa membaca buku baru, terbitan Harvard (2009), karya John Mullins dan Randy Komisar, Getting The Plan B : Breaking Through to a Better Business Model.

Isinya membahas rahasia dibalik sukses iPod-nya Apple, Skype sampai Paypal. Siapa tahu, dengan ditulis akan membuat impian ini lebih mudah direalisasikan.

Terakhir : Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Sejahtera bagi Anda semua dan keluarga.

Wassalam,


Bambang Haryanto

Sunday, September 13, 2009

Ancaman Penulis Surat Pembaca “Bodreks,” Pembakaran Buku dan Epistoholik Indonesia


Diposting untuk milis Epistoholik Indonesia, 9 September 2009


Salam episto ergo sum,

Semoga Anda semua sehat-sehat selalu. Selamat menjalankan Ibadah Puasa yang sudah mendekati akhir 10 hari yang kedua, bagi Anda yang menunaikannya.

Anda mengenal Pak Ambijo ? Kalau Anda sering menulis surat pembaca untuk Suara Merdeka, Anda akan sering memergoki tulisan beliau yang senantiasa bertopik tentang kotanya : Kebumen. Beliau tahun 2007 sempat kirim surat kepada saya, pakai mesin tulis di mana huruf “e”-nya hilang.

Bapak Ambijo (67) yang memiliki hobi membaca, menulis dan melukis, dalam suratnya, beliau yang pensiunan Bank BNI 1946 itu mengibarkan bendera sebagai epistoholik spesialis. Karena khusus memfokuskan tulisan-tulisannya untuk membahas seluk-beluk kota beliau. Spesialisasi ini membuat saya menjuluki beliau sebagai seorang e-place-toholik.

Kalau Anda punya waktu, obrolan tentang beliau, surat, dan juga foto beliau, dapat Anda klik dari posting saya berjudul “Reinventing Indonesia, Bengawan Solo dan Ide Kaum Epistoholik Yang Tidak Mengalir Sampai Jauh” di blog Esai Epistoholica edisi No. 47/Juli 2007.

Pak Ambijo baru saja menulis surat kepada saya. Ditulis tangan. Beliau mengabarkan hal yang menarik : baru saja meluncurkan komunitas penulis surat pembaca Kebumen. Namanya Forum Penulis Surat Pembaca Suara Merdeka Kebumen. Mohon saya minta tolong via Mas Udjie Prijatno, agar bisa Anda sampaikan kepada Pak Ambijo : bahwa saya mendukung dan memberikan penghargaan atas diluncurkannya komunitas ini.

Semoga misi komunitas intelektual jalanan, street smart intellectual a la Kebumen ini sukses. Saya juga menaruh salut kepada Pak Ambijo dan kawan-kawan yang berniat menularkan virus menulis surat pembaca kepada warga Kebumen. Hallo, warga EI, kapan virus gagasan dari Pak Ambijo ini juga mampu menular ke kota Anda ?

Tanggal 14 Agustus 2009, saya mencoba menularkan virus menulis (surat pembaca) kepada anak-anak Gunung Brengos, Nawangan, Pacitan. Mereka memiliki pancatan untuk mulai yang baik, karena surat-surat mereka itu yang ditujukan kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono, terhimpun dalam sebuah buku, yang bagi saya gagah dan mewah.

Tentu, saya tidak yakin, ajakan saya itu akan berbuah segera. Ajakan itu sebuah investasi jangka panjang. Pendek kata, benih telah ditaburkan. Kalau Anda sempat melongoki situs Indonesia Buku, liputan dolan-dolan saya ke Pacitan itu didokumentasikan (plus bonus lainnya) di situsnya mBak Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan dkk itu. Termasuk foto di bawah patung Jenderal Sudirman. Saya tambah teman baru : para penulis buku yang hebat-hebat itu.

Saking eratnya, walau baru kenal, saya rela ikutan mendukung dari jauh aksi demo mBak Diana AV Sasa dkk di Surabaya, 7/9/2009, untuk mengecam aksi barbar pembakaran buku, 2 September 2009 yang lalu. Di sidebar blog buku saya, saya ikut menulis poster dukungan untuknya.

Kabar lain, pagi tadi, saya ketamuan wartawan Tempo News Room, Ahmad Rafiq. Ia mau cari info seputar Jamu Jago, yang asal-muasal berkokoknya memang dari Wonogiri. Dinasti Suprana, berasal dari Wonogiri. Mungkin karena hal itu, komunitas EI jadi “lebih mudah” untuk tercatat di Rekor MURI akibat KKN berbau kedaerahan sentris ini ?

Obrolan dengan Mas Rafiq ini, memunculkan istilah “penulis surat pembaca bodreks.” Ia yang meluncurkan istilah itu. Saya kaget juga atas penemuan istilah yang menggigit ini.

Istilah ini merujuk kepada oknum penulis surat pembaca yang memiliki motif kurang terpuji, yaitu menggunakan kolom surat pembaca untuk melakukan black mail, pemerasan. Sasarannya adalah perusahaan, utamanya perusahaan yang memiliki produk atau jasa yang berada di “kawasan abu-abu.”

Artinya, produk itu memiliki sesuatu cacat, misalnya mengklaim memiliki prestasi sesuatu tetapi bila dikaji lebih lanjut sering tidak sesuai kenyataan, atau memiliki unsur atau kandungan yang berbahaya tetapi disamarkan. Nah, penulis surat pembaca yang cerdas dan julig itu, yang sekaligus memiliki motif kurang terpuji itu, dapat “menghantam” produsen produk-produk tersebut.

Kena “hantaman” di kolom surat pembaca, mereka jadi kelimpungan. Mereka, bos perusahaan itu lalu, biasanya, memilih berusaha main aman. Mereka akan bersilaturahmi dengan sang penulis surat pembaca, sambil membawa “oleh-oleh” tertentu. Nah, saya kuatirkan, sang penulis surat pembaca itu lalu bisa “pasang harga” atau “main gertak.”

Misalnya, dengan klaim bahwa dirinya memiliki “bala tentara” para penulis surat pembaca yang dapat mereka kerahkan untuk menguliti segala cacat cela sesuatu produk dan perusahaan tertentu itu. Pemerasan atas nama para penulis surat pembaca, saya kuatirkan akan terjadi. Apakah Anda rela bila skenario yang saya ceritakan itu telah terjadi ?

Saya yakin, komunitas yang dibentuk oleh Pak Ambijo, sama sekali tidak ada niatan untuk melakukan aksi penulisan surat-surat pembaca dengan motif tercela itu.

Saya sendiri ? Silakan membaca-baca surat-surat pembaca yang saya kirim ke media massa, lalu Anda bisa menentukan apakah ada motif terselubung aksi pemerasan di sebalik surat-surat pembaca saya. Silakan pula cermat membaca isi surat-surat pembaca dari para penulis lainnya.

Di EI ada kode etik tak tertulis, agar kita berusaha saling asah-asih dan asuh kepada warga lainnya. Mari kita saling bertegur sapa, demi kebaikan bersama. Antara lain dengan ringan tangan memberi kabar bila ingin melakukan sesuatu yang menyangkut nama baik komunitas kita bersama. Syukurlah, selama ini, baik-baik saja adanya.

Sekian dulu kabar dari Wonogiri. Selamat bergiat terus, menulis surat-surat pembaca. Salam episto ergo sum !


Sobat Anda,

Bambang Haryanto

Reuni dan Jasa Guru Kita


Dikirimkan sebagai surat pembaca ke Harian Kompas Jawa Tengah, 2 September 2009


Hari Raya Idul Fitri sering identik momen kegiatan reuni. Baik sesama mantan pelajar sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dalam ajang silaturahmi itu sering juga diundang para mantan guru-guru mereka. Sungguh, kegiatan yang mulia dan membekaskan kenangan.

Sayang, reuni itu lebih banyak porsi pesta nostalgianya. Alangkah baiknya bila diberi sentuhan edukatif, misalnya dengan menghimpun kenangan para mantan siswa terhadap teman dan juga guru-guru mereka dalam bentuk buku atau blog. Teknologi kini memungkinkan kita menerbitkan buku secara print on demand atau blog di Internet yang relatif murah dan mudah.

Sekadar ilustrasi, dalam beberapa posting dalam blog, saya telah menulis tentang Pak Mufid Martohadmojo (foto : kiri), mantan guru bahasa Inggris saya di SMP Negeri 1 Wonogiri tahun 1969. Setelah berpisah puluhan tahun, suatu momen yang berkesan saat kami bisa bertemu di Perpustakaan Daerah Wonogiri. Walau sudah lama pensiun, beliau tidak berhenti untuk terus belajar.

Dalam reuni unik itu saya bisa gantian menjadi “guru” beliau. Dengan memanfaatkan akses Internet perpustakaan saya dapat menunjukkan apa saja yang telah saya tulis tentang beliau. Termasuk mencatat jasa beliau dalam menanamkan kecintaan terhadap bahasa Inggris sebagai sarana untuk mereguki luasnya khasanah ilmu pengetahuan dunia, yang lalu bisa disumbangkan kepada kemaslahatan bersama.

Selamat bereuni. Jangan lupa, dokumentasikan juga kenangan terhadap para guru-guru kita. Suatu umpan balik yang nilainya tidak seberapa bila dibandingkan dengan dedikasi guru-guru kita dalam mendidik kita di masa lalu.


Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia
Wonogiri

Mudik Lebaran dan Sedekah Buku


Dikirimkan sebagai surat pembaca ke Harian Kompas Jawa Tengah, 2 September 2009


Hari Lebaran adalah magnet yang menggerakkan jutaan manusia untuk pulang mudik, penuh warna suka dan duka. Ritus kembali ke akar itu menyehatkan nurani pelakunya yang mencoba menemukan oasis di daerah asalnya sebagai bekal mengarungi kehidupan di tahun-tahun berikutnya. Jangan lupa, mudiknya mereka juga berdampak ekonomi. Uang dari kota menjadi beredar di desa-desa.

Merujuk fenomena positif itu memantik gagasan : bagaimana kalau mudiknya jutaan kaum mboro itu dirancang mampu menggoreskan sentuhan yang berdimensi intelektual yang berguna, juga awet, bagi warga daerah asalnya ? Ringkas kata : mereka dihimbau membawa buku-buku untuk disumbangkan ke perpustakaan di daerahnya. Baik perpustakaan sekolahnya dulu, atau perpustakaan umum di kotanya.

Gerakan mudik bersedekah buku ini sebaiknya juga berusaha dikobarkan ke dada anak-anak dan cucu kaum mboro itu. Sehingga mereka diharapkan memiliki ikatan batin dengan anak-anak segenerasinya yang tinggal di desa atau kota kecil tempat ayah-ibu atau kakek-neneknya berasal, yang mungkin tidak seberuntung kehidupan yang ia jalani di kota. Sedekah unik ini tidak hanya buku, bisa saja berupa komputer atau laptop, yang terbeli secara patungan.

Untuk sesama warga Epistoholik Indonesia, di mana pun Anda berada, mohon kampanye ini digencarkan sepanjang Ramadhan ini demi makmurnya perpustakaan dan mekarnya olah intelektualitas di kota-kota Anda.


Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia
Wonogiri

Bangsa Sakit Megalomania


Dikirimkan sebagai surat pembaca ke Harian Kompas Jawa Tengah, 1 September 2009


Akhir-akhir ini bangsa Indonesia tercekik budaya megalomania, kecenderungan kita untuk membesar-besarkan bahkan mengagung-agungkan sesuatu wacana dan peristiwa.

Misalnya, terkait penyanyi mBah Surip. Kita dibuat heboh seputar besarnya royalti, bahkan dalam bilangan milyaran rupiah, untuk karyanya setelah dia meninggal. Tetapi akhirnya, dalam bahasa Jawa mak plekethis, ternyata royalti itu tak sebesar dalam kehebohan semula.

Kemudian kita ingat ingar-bingar di benak kita saat menonton langsung siaran penyergapan terhadap pelaku tindak terorisme di Temanggung. Hebohnya memekakkan telinga, walau ternyata yang tewas bukan Noordin M Top. Terakhir, khayalan pun kita melambung ketika wakil Indonesia dalam kontes Miss Universe, Zizi L. Siregar, disebut-sebut sebagai favorit, tetapi akhirnya ia pun pulang dengan tanpa gelar sama sekali.

Biang kerok merebaknya budaya megalomania itu, ya siapa lagi, kalau bukan pejabat kita. Ketika kepopuleran adalah mantra ajaib untuk meraih kekuasaan, dari wakil rakyat sampai presiden, semua orang ingin menjadi selebritis. Suka ritus, karnaval dan perayaan, seperti ritus selebritis yang menu kehidupannya adalah festival kehebohan.

Tetapi buaian demi buaian dari angan-angan yang jauh panggang dari api dari kenyataan itu akan mudah memicu kita menjadi kecewa. Mereka yang kecewa, mereka yang merasa sakit itu, bila disuntik ajaran-ajaran yang bernuansa ke-Ilahian yang juga mengawan, yang mereka rasa mampu membebaskan rasa kecewanya di dunia, maka berbarislah calon-calon baru pelaku tindak terorisme yang siap menghantui kita-kita semua !


Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612

Menulis Untuk Mencerdaskan


Dimuat di kolom Surat Pembaca
Harian Kompas Jawa Tengah,
Senin, 31 Agustus 2009 : D


Esensi pendidikan adalah mempersiapkan anak didik agar mereka terus mampu belajar, sepanjang hayat. Perkembangan iptek yang cepat membuat pengetahuan dan keterampilan tiap individu juga cepat sekali usang, walau sering tidak kita sadari.

Salah satu cara belajar yang terbaik adalah menulis, karena menulis mempersyaratkan pelakunya harus juga membaca. Pembaca tidak selalu penulis, tetapi penulis pastilah seorang pembaca.

Merujuk hal penting di atas, saya menaruh salut atas kreasi guru dan murid SD Muhammadiyah Program Khusus Kotabarat Solo. Mereka mengadakan lomba menulis surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jumat (21/8). Ratusan surat-surat mereka itu ditempel pada spanduk putih dan surat yang terbaik akan dikirimkan kepada Presiden SBY.

Sebagai penggerak komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia, saya usulkan agar semua surat mereka itu didokumentasikan dalam bentuk CD atau buku dan disimpan di perpustakaan sekolah. Sehingga dokumen berharga itu tidak hanya berumur sehari.

Sekadar info, tanggal 14 Agustus 2009, saya diminta untuk memberikan motivasi kepada ratusan anak-anak pelajar, SD sd SLTA, Desa Pakisbaru, Nawangan, Pacitan. Mereka telah mendokumentasi surat-surat mereka yang ditujukan kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam bentuk buku yang menarik sebagai bacaan.

Kreasi mereka pantas ditiru dan Epistoholik Indonesia senantiasa menyebarkan virus kegemaran menulis ini, yang dimulai dari menulis surat, untuk menggembleng generasi Indonesia agar cinta kegiatan menulis dan membaca demi terus mengasah kecerdasan diri mereka. [Dalam pemuatan surat pembaca ini telah dilakukan penyuntingan].


Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia
Wonogiri