Thursday, July 22, 2004

KAMPANYE ANTI ROKOK MODEL SINGAPURA
Diemailkan ke Harian Bernas (Yogyakarta), 22/7/2004


Singapura, negeri mini yang mempunyai nilai indeks pengembangan manusia yang jauh di atas Indonesia, mempunyai kepedulian tinggi terhadap kesehatan warganya. Salah satu bukti dari komitmen yang ditunjukkan adalah lebih majunya kampanye anti merokok di sana.

Tercatat mulai tanggal 16 Juli 2004, pemerintah Singapura mengharuskan produsen rokok memasang foto yang menggambarkan dampak buruk kebiasaan merokok pada setiap bungkus rokok. Foto-foto itu bagi mereka yang peduli betapa bernilainya kesehatan, memang nampak mengerikan. Misalnya pada slogan peringatan yang berbunyi, merokok dapat mengakibatkan serangan stroke (Warning : Smoking Causes Stroke) terdapat foto yang menggambarkan pecahnya pembuluh darah di otak. Slogan peringatan lainnya antara lain, merokok dapat mengakibatkan kanker paru-paru, merokok merusak kesehatan keluarga Anda, merokok mengakibatkan beragam penyakit mulut, merokok dapat membunuh bayi-bayi dan juga merokok mengakibatkan kematian yang menyakitkan.

Hal positif lainnya dari peringatan tersebut adalah dicantumkannya ajakan untuk berhenti merokok dengan dibukanya saluran telepon bebas pulsa bagi siapa saja yang ingin berkonsultasi untuk berhenti dari kebiasaan merokok yang terbukti merugikan kesehatan si pengisap dan insan-insan tak berdosa di sekitarnya. Kapan kampanye serupa segera diberlakukan di Indonesia ?

Dalam rangka ikut berperanserta mengkampanyekan isu di atas, kami dari Epistoholik Indonesia mengimbau kepada para penulis surat pembaca yang peduli atas bahaya merokok untuk sudi bergabung dalam jaringan EI. Dengan bersenjatakan pena dan niatan mulia, mari kita saling bersinergi untuk aktif mengkampanyekan isu kesehatan yang penting tetapi justru sering dipandang sebelah mata oleh pemerintah kita selama ini.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

------------------


KAMPANYE MELEK KOMPUTER UNTUK LANSIA
Dimuat di kolom Media Anda Harian Media Indonesia (Jakarta), 18/7/2004
Dimuat di kolom Redaksi Yth. Harian Kompas Edisi Jawa Tengah, 19/7/2004
Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Suara Merdeka (Semarang), 20/7/2004


Penguasaan teknologi informasi, yaitu komputer dan jaringannya yang mendunia, yaitu Internet, dipercayai sebagai senjata dan bekal imperatif tiap insan guna mampu memenangkan persaingan dalam kehidupan antarbangsa. Di negara kita, selama ini, yang sering terdengar adalah upaya pembekalan keterampilan di atas untuk generasi muda kita. Hal itu, tentu tidak salah. Kini ijinkanlah saya mengajukan usul tambahan, mengenai juga pentingnya kampanye pengenalan dan praktek pemanfaatan komputer & Internet bagi lansia.

Begawan digital dari MIT (AS), Nicholas Negroponte dalam buku tersohornya, Being Digital , mengatakan bahwa di Amerika Serikat, terdapat 30 juta anggota AARP (organisasi kaum pensiunan, seperti PWRI) sebagai sumber kolektif ilmu pengetahuan dan kearifan yang masih terbengkalai. Dengan bantuan komputer & Internet maka harta karun pengetahuan dan kearifan jutaan kaum lansia dapat dikomunikasikan dengan generasi anak-cucu mereka, hanya dengan beberapa ketuk tombol mesin ketik saja.

Merujuk cita-cita di atas, alangkah bijak bila mulai kini pimpinan lembaga tempat asal kaum lansia dulu bekerja atau institusi terkait seperti PWRI dan lainnya, tergerak menindaklanjuti ide Negroponte tadi. Misalnya dengan me-lungsur-kan komputer lama untuk organisasi pensiunannya, melakukan penataran penggunaan komputer dan Internet secukupnya, dan aktivitas lainnya yang menunjang.

Saya sebagai pencetus Epistoholik Indonesia (EI), yaitu komunitas penulis surat-surat pembaca di media massa yang kebetulan banyak warganya para pensiunan, salah satu misi EI adalah mengenalkan komputer dan Internet untuk mereka. Yang saya lakukan adalah, koleksi surat-surat pembaca kaum lansia yang kaya kearifan dan canggih-canggih itu, telah saya album di Internet (http://epsia.blogspot.com) agar mudah diakses peminat dari mana pun di dunia. Semoga gagasan sederhana ini memperoleh sambutan dan pengayaan secukupnya. Terima kasih.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------------

KONTES AFI DI PERPUSTAKAAN WONOGIRI
Dimuat di kolom Redaksi Yth.
Harian Kompas Edisi Jawa Tengah, 13/7/2004


Mirip mekanisme kontes AFI atau Indonesian Idol, Perpustakaan Umum Wonogiri menempuh kebijakan serupa yang patut dipuji, dengan memberi kebebasan kepada anggota dan pengunjung perpustakaan mengajukan pilihan buku yang diinginkannya untuk menjadi koleksi perpustakaan. Peluang untuk memilih buku itu terbuka di bulan Juni –Juli 2004 ini !

Oleh karena itu, kepada warga Wonogiri yang haus ilmu pengetahuan demi meningkatkan kualitas diri dengan gigih belajar terus tanpa henti, saya imbau untuk memanfaatkan peluang emas ini. Sebab seperti kata sejarawan dan filsuf politik Skotlandia, Thomas Carlyle (1795-1881), the true University of these days is a collection of books atau universitas sejati masa kini adalah perpustakaan, maka biasakanlah berkunjunglah ke perpustakaan yang berada di kompleks bagian depan GOR Wonogiri ini. Termasuk kali ini, silakan ajukan data buku yang Anda inginkan agar menjadi koleksinya dan suatu saat akan Anda reguk ilmunya.

Untuk pengadaan tahun anggaran 2005 mendatang yang memperoleh penekanan untuk dikoleksi adalah buku-buku bersubjek pendidikan dan kewiraswastaan. Anda dapat mengajukan buku bersubjek penting di atas bila kebetulan Anda sudah memiliki data bibliografinya (nama pengarang, penerbit, tahun terbit dan harga). Atau silakan memeriksa pelbagai katalog penerbit yang sudah tersedia di sana untuk membantu menentukan pilihan Anda.

Sementara itu, untuk warga Wonogiri yang sudah sukses dan kini merantau, tak ada salahnya Anda kini ikut berperanserta dalam pengembangan sumber daya generasi muda Wonogiri dengan menyumbangkan buku-buku untuk perpustakaan Wonogiri. Jangan lupa, tuliskan data nama Anda di buku tersebut, sehingga kami akan selalu mampu mengenang amal dan kebaikan Anda di dalam hati kami. Siapa tahu, suatu saat nanti kami akan meneladani perbuatan bijak dan mulia Anda tersebut. Terima kasih.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
dan Suporter Perpustakaan Wonogiri


---------------------


“SEPARATISME” MODEL KOMPAS
Dimuat di kolom Redaksi Yth. Harian Kompas Edisi Jawa Tengah, 10/7/2004


Sebagai orang yang pernah sekolah/tinggal di Yogya, Solo, Jakarta dan kini tinggal di Wonogiri, saya memperoleh kecocokan dengan harian ini. Harian ini saya beli, saya kliping berita atau artikelnya yang menarik, bahkan sebagai epistoholik saya pun mengirimkan surat pembaca atau artikel di Kompas.

Saya senang ketika terbit suplemen Kompas edisi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Harapan saya saat itu, semoga halamannya ditambah. Tetapi baru-baru ini, mungkin bermotifkan niat untuk memperbesar kue iklannya, muncul semangat “separatisme “ dalam diri pengelola Kompas Jawa Tengah/Yogyakarta. Pemisahan edisi tersebut, dimana edisi Jawa Tengah dan edisi Yogya terbit tersendiri, menimbulkan rasa aneh. Rasa kehilangan. Saya yang di Wonogiri menjadi kehilangan sentuhan Yogya. Mungkin rasanya seperti saat Timor Timur terpisah dari NKRI dulu-dulu itu.

Hal lain, Kompas suka menulis topik dengan berpanjang-panjang, seperti terbitan tiap Sabtu. Panjangnya sih OK saja, tetapi Kompas menulisnya tidak diimbangi dari perspektif pembaca. Saya bandingkan dengan kolom News You Can Use dari majalah US News & World Report, di sana disajikan artikel (istilah kerennya : service journalism) yang benar-benar berguna dan dapat dimanfaatkan pembaca. Jadi, kalau Kompas menulis bab pemberantasan korupsi atau perusakan lingkungan, harap sajikan pula informasi, kiat atau tips, yang mendorong tiap individu pembaca mampu tergerak melakukan sesuatu aksi (betapa pun kecilnya) yang sesuai dengan misi tulisan-tulisan itu. Jadi modelnya seperti mekanisme kontes AFI atau Indonesian Idol, di mana penonton rela mengeluarkan uang untuk beli pulsa karena aksi dan eksistensinya merasa dihargai sebagai fihak yang terlibat secara signifikan dalam suatu aksi, pertunjukan atau perubahan !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia


-----------------

MESIN REPRESIF ORBA ITU MUNCUL LAGI !
Diemailkan ke Harian Bernas (Yogyakarta), 31/5/2004


Sebagai rakyat, saya mendukung reaksi keras tokoh masyarakat dan LSM yang mencemaskan pernyataan Kepala BIN Hendropriyono yang mengandung intimidasi terhadap sejumlah organisasi masyarakat dan perorangan yang sedang menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia di Tanah Air. Tokoh terhormat itu antara lain, Nurcholish Madjid, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Bambang Harymurti, Nono Anwar Makarim, Ulil Abshar Abdalla dan lainnya di Jakarta (Kompas, 31/5/2004).

Sebelumnya, Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) di depan komisi I DPR (25/5) membeberkan 20 LSM DN atau pun LN yang diduga bisa mengganggu keamanan. BIN menilai, antara lain, bahwa Sidney Jones (aktivis International Crisis Group/ICG) atau siapa pun juga orang Indonesia yang merugikan bangsanya sendiri, yang menjual untuk dapat uang, akan dicatat dan bukan akan dibiarkan.

Para tokoh tadi menilai, pernyataan itu mengulangi cara-cara lama untuk menciptakan rasa takut, dengan tidak menyebut secara spesifik fihak yang dituju, sehingga semua orang caling curiga. Keadaan ini menghidupkan kembali mesin represi dengan alasan keamanan. Di jaman Orde Baru yang represif, cara lama serupa adalah dilontarkannya eksistensi organisasi tanpa bentuk (OTB) yang mengancam negara. Jargon jadi ledekan mahasiswa ITB dan memelesetkannya sebagai singkatan Oinstitut Teknologi Bandung.

Sementara itu bagi pemerhati strategi karier masa depan, justru sosok OTB itulah yang merupakan lahan berkarier/bekerja yang ideal di masa masa depan. Simak bukunya professor Harvard, Rosabeth Moss Kanter dalam When The Giants Learn to Dance (1989), disebutkan bahwa perusahaan masa depan itu sosoknya mirip proyek penggarapan film di Hollywood. Para pekerjanya tidak ada yang berstatus pegawai tetap, dipilih karena reputasi dan profesionalitas yang telah ditunjukkan sebelumnya, dan setelah proyek filmya selesai maka bubarlah organisasi itu. Itulah OTB a la Hollywood, dan Anda tahu, karya-karya mereka selalu menguasai dunia !

Sayang sekali, anak-anak muda kita yang membanjiri pelbagai bursa kerja yang lagi mode saat ini, entah karena kepicikan yang ia timba dari alma maternya, rasanya OTB a la Hollywood itu belum nyantol di benak mereka. Semua cenderung berparadigma karier lama, pengin kayak pegawai negeri dan jadi pegawai tetap sampai pensiun tiba. Benarkah ?

Ilustrasi di atas menyiratkan betapa kita, kalau tak waspada, suka cenderung memakai pola lama dalam mengantisipasi masa depan. Menakut-nakuti rakyat a la mesin represi Orde Baru yang kini terdengar lagi itu, adalah juga pola lama yang harus terus dikritisi demi lajunya penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Bumi Pertiwi.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-------------------------


FENOMENA AFI DAN CALON PRESIDEN KITA
Diemailkan ke Harian Bernas (Yogyakarta), 31/5/2004


Sungguh menarik analisis sobat saya sesama warga Epistoholik Indonesia, Dion Desembriarto (http://dionds.blogspot.com) di Bernas, 26 April 2004, mengenai hiruk-pikuk anak-anak muda Indonesia yang bernafsu menjadi selebriti secara instan melalui ajang Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Dion malah menuliskan, kita mungkin akan banyak melihat generasi berikutnya yang mempunyai cita-cita sebagai artis, selebritis, penyanyi dan sejenisnya. Kita mungkin tidak akan menemui lagi anak-anak yang bercita-cita untuk menjadi guru, profesor atau tentara….

Bagi saya, fenomena AFI atau pun Indonesian Idol itu hanyalah fads, mode sekejap saja, dari dunia hiburan televisi. Di LN menunjukkan, penyanyi hasil karbitan ajang semacam itu tidak berumur lama. Easy come, easy go. Hiruk-pikuk dan demam semacam akan segera surut, dan sebagian besar orang akan selalu menyetujui bahwa proses alami menuju sukses yang berkelanjutan itu tidak bisa diraih secara instan. Silakan baca artikel saya berjudul Budaya Selebritis, Budaya Kriminalitas (Kompas edisi Jateng-Jogia, 22/5/2004).

Psikolog Richard W. Brislin dalam bukunya The Art of Getting Things Done : A Practical Guide to the Use of Power (Praeger, 1991), pantas disimak. Brislin telah mengkaji keputusan para orang tua dari kalangan atas menengah dalam memberi bekal untuk kesuksesan anak-anaknya di masa depan. Bekal penting itu bukan keterampilan menyanyi, melainkan keterampilan menulis dan lancar berbicara di depan umum.

Merujuk kedua keterampilan penting di atas, coba simak sosok para calon presiden dan calon wakil presiden kita. Menurut saya, para capres/cawapres yang memiliki keterampilan menulis yang mumpuni adalah Amien Rais, Siswono Yudhohusodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Shalahudin Wahid. Yang terampil dan menarik ketika bicara di depan umum adalah Amien Rais, Siswono Yudhohusodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Hazim Musadi.

Anda boleh tidak menyetujui analisis saya di atas dan Anda tetap boleh memilih capres/cawapres yang pintar menyanyi atau pun yang pelit dalam berkata-kata. Saya tunggu komentar Anda di kolom terhormat harian Bernas ini. Teruslah Anda mengamuk, dengan terus menulis. Salam Epistoholik Indonesia !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia

-----------------------

SINETRON GOOD COP-BAD COP DAN MILITERISME
Dikirimkan ke Majalah Tempo (Jakarta), 14/5/2004

Kebrutalan polisi terhadap mahasiswa UMI Makassar yang berdemo menentang kembalinya militer di kancah politik Indonesia, adalah sebuah fenomena gunung es. Sebab polisi sebelumnya juga menyerang demo mahasiswa pada saat keputusan mengenai kasasi kasus Akbar Tanjung dijatuhkan oleh Mahkamah Agung.

Menurut tesis psikolog Richard Brislin dalam bukunya The Art of Getting Things Done : A Practical Guide to The Use of Power (1991), menunjukkan militer dan polisi saat ini sedang memainkan sinetron good cop-bad cop, polisi baik dan polisi jahat, untuk memuluskan kembalinya militer di gelanggang politik Indonesia. Polisi kita saat ini dalam menghadapi kasus-kasus demo yang mengangkat isu penentangan terhadap militer, diskenariokan tampil sebagai sosok polisi jahat. Polisi pula yang harus pasang badan, baik dalam melakukan tindak represi, lalu menerima kecaman dan hukuman.

Di jaman rezim Soeharto, sosok-sosok bad cop pernah dimainkan oleh Mendagri Amir Machmud, tetapi yang paling masif adalah dimainkan oleh Pangkopkamtib sejak dari Soedomo sampai Benny Moerdani.

Untuk memahaminya, Anda mungkin masih ingat film seri Miami Vice atau Starsky & Hutch, dimana ditampilkan dua sosok polisi yang kepribadiannya saling bertentangan tetapi mampu bersinergi. Salah satunya berperilaku kasar, pemarah dan suka mengancam ketika menginterogasi seseorang tersangka. Ketika selesai melakukan interogasi, ia akan keluar ruang sembari mengancam akan memperlakukan si tersangka lebih kejam lagi.

Sesaat kemudian, datanglah sosok polisi satunya. Polisi satu ini, disebut polisi baik, tampil lebih tenang, penuh perhatian, dan sopan. Ia pun berkata, “dia selalu begitu dan jangan dimasukkan dalam hati. Tetapi, kalau boleh saya berterus terang, ia bisa bertindak lebih brutal lagi”. Si tersangka ketika mendapat perlakuan manis dan merasakan pengalaman berbeda antara kedua polisi itu, akhirnya tergerak untuk mengaku dan memberikan informasi-informasi penting kepada polisi baik itu.

Lalu, siapakah sosok good cop dalam konteks perpolitikan di Indonesia ? Tentu saja, militer. Simak saja, akhir-akhir ini senantiasa terdengar suara-suara “merdu” dari Panglima TNI yang berkali-kali menyatakan, misalnya militer tak akan kembali ke politik, militer akan bersikap netral dalam Pemilu sampai pernyataan bahwa para capres yang berlatar belakang pensiunan militer (SBY dan Wiranto) tidak mewakili institusi militer dan dilarang membawa gerbong militer untuk mendukung, dan sejenisnya. Sementara itu pula, dari pintu lainnya mesin kehumasan terus berjalan dengan mengusung citra bahwa kedua capres yang jenderal pensiunan itu adalah good cop, polisi-polisi yang baik.

Sokurlah, antene para mahasiswa kita telah juga mengendus skenario sinetron semacam ini. Ilmuwan seperti Mochtar Pabottinggi, Ikrar Nusa Bhakti dan tokoh masyarakat sipil lainnya terus berkali-kali memberikan sinyal yang sama betapa ancaman militer yang kepingin kembali ke gelanggang politik bukan isapan jempol belaka.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

-----------------------------

IKLAN ROKOK TERSELUBUNG DI TELEVISI
Dimuat di kolom Redaksi Yth Harian Kompas Edisi Jateng/Jogia,29/5/2004


Stasiun tv RCTI (7/5/2003 dan 28/4/2004) menayangkan film 3000 Miles to Graceland, berkisah tentang sekawanan perampok kasino berdandan a la penyanyi legendaris yang meninggal di WC karena overdosis obat bius, Elvis Presley. Adegan mencoloknya adalah banyak tokohnya yang tak henti-hentinya merokok. Ada tokoh Murphy, sementara tokoh lainnya, Michael, juga merokok dan malah tampak permisif mengajari anak di bawah umur untuk merokok. Belum lagi detektifnya juga tak kalah dalam hal seringnya merokok. Apakah tukang pilih film di RCTI tidak terusik oleh adegan-adegan merokok yang sangat mencolok itu ? Atau memang film ini sengaja dipilih (!) atas pesanan terselubung industriawan rokok yang kaya-kaya itu untuk mengiklankan kebiasaan merokok ? Sinetron Dara Manisku, juga di RCTI, mencolok adegannya yang mengumbar pelakunya seperti saling berlomba-lomba dalam merokok !

Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam upaya kampanye global anti-rokok telah mengimbau kalangan produser film di Hollywood dan Bollywood dan kalangan industri mode untuk menghentikan tayangan yang mengglamorisasikan aksi merokok. Caranya dengan menghindari adegan film yang menayangkan aksi merokok yang nampak penuh gaya dan meminta industri fashion untuk tidak menggunakan rokok sebagai asesorinya.

Survei tentang Bollywood, ternyata 320 dari 400 film India menayangkan adegan merokok sebagai sesuatu hal yang cool untuk dilakukan. Rokok bisa mencitrakan kejantanan atau feminitas, canggih atau kasar, sexy atau sporty, semuanya karena kecerdikan strategi pemasaran. Dua dari konteks yang mendukung citra tersebut adalah industri film dan mode. Disebutnya, kalangan film dan fashion memang tidak dapat dituding sebagai penyebab kanker, tetapi seharusnya mereka tidak mempromosikan produk-produk yang menyebabkan kanker.

“Merokok itu tidak cool, yang nampak cool adalah perokoknya”, simpul Gladwell (2002) yang mengkampanyekan strategi radikal dalam kampanye anti-merokok yang selaras dengan langkah WHO di atas. Jadi selayaknyalah bila stasiun TV, terutama RCTI, berlaku bijak dengan tidak mempromosikan kebiasaan merokok secara penuh gaya dalam film-film tayangannya pada jam-jam iklan rokok tidak diijinkan untuk ditayangkan. Epistoholik Indonesia (EI) saat ini juga mengundang untuk bergabung para penulis surat pembaca yang sudi concern mengkritisi kampanye/promosi rokok yang tanpa etika itu.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

-----------------------

PEREMPUAN, FOBI TEKNOLOGI INFORMASI ?
Diposkan ke Majalah Kartini (Jakarta), 15/5/2004
Diemailkan ke Harian Bernas (Yogyakarta), 27/5/2004


Teknologi Informasi : Industri Tanpa Perempuan. Itulah judul artikel Kendra Mayfield di situs gaya hidup teknologi informasi Wired (1/12/2001), yang menggambarkan minimnya perempuan berkiprah dalam industri TI di Eropa Barat. Fenomena buram itu juga meruyak di Indonesia. Kajian BPPT memperkirakan kaum perempuan Indonesia yang memanfaatkan Internet pada tahun 2002 hanya 24,14 persen. Sementara itu peran kaum Kartini kita pun dalam ketenagakerjaan TI lebih dominan pada posisi administratif, seperti menangani surat elektronik, memasukkan data, atau operator komputer. Masih sedikit sekali perempuan pada posisi tenaga ahli dan profesional, apalagi dalam struktur pengambilan keputusan dalam industri TI. Bahkan tidak banyak perempuan berperan sebagai ilmuwan komputer dan programmer.

Mengapa karier bidang TI tidak menarik kalangan perempuan ? Antara lain, karena selama ini citra TI yang tertanam dalam pandangan murid-murid perempuan adalah terlalu geeky, sangar campur aneh, dan bukan sesuatu yang glamor dan memincut hati wanita. Juga akibat adanya kesenjangan jender yang selama ini terjadi pada mereka di sekolah dan di rumah. Anak perempuan sering ditakut-takuti angkernya pelajaran sains dan matematika, tidak hanya oleh sekolah, tetapi juga oleh orang tua mereka. Beragam isyarat atau teror halus yang tidak direncanakan itu, baik oleh guru, baik pria atau pun wanita, dan juga orang tuanya, berdampak serius dengan terciptanya harapan yang lebih rendah di kalangan pelajar perempuan untuk terpacu menguasai sains dan teknologi.

Bagaimana solusi terbaiknya ? Saya sebagai seorang epistoholik, orang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca di media, baru mampu memunculkan problema kronis ini di Harian Bernas ini. Semoga bermanfaat adanya, sokurlah bila dapat memancing diskusi. Saya akan bersenang hati bila ada fihak yang sudi bergabung dalam EI dan mau menyisihkan perhatian dengan menulis surat-surat pembaca bertopik perempuan Indonesia dalam kaitannya dengan penguasaan teknologi informasi. Saya tunggu !


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia