Wednesday, November 19, 2003

VOICE OF AMERICA : ADAKAH ORGANISASI SEPERTI EI DI AMERIKA ?
Die-mailkan, 19/11/2003


Wonogiri, 19/11/2003


Yth. Redaksi Radio Voice of America
(voaindonesia@voanews.com).

Salam sejahtera. Sehubungan dengan perintisan pendirian Epistoholik Indonesia (EI), yaitu jaringan komunikasi para penulis surat pembaca di Indonesia, saya mohon bantuan info dari Anda :

Apakah di AS ada organisasi serupa ? Kalau ada, mohon dapat Anda jelaskan segala hal tentangnya. Juga alamat situs webnya, kalau ada.

Oh ya, situs blog Epistoholik Indonesia adalah : http//epsia.blogspot.com
E-mail : epsia@plasa.com

Terima kasih. Salam hangat dari Tanah Air.


Bambang Haryanto
-------------

PENULIS SURAT PEMBACA SE-INDONESIA, BERGABUNGLAH !
Dimuat di Solopos, 28/10/2003 dan Suara Merdeka, 2/11/2003.


Majalah internasional Time (6/4/1992) pernah memuat profil seorang epistoholik, istilah manis untuk seseorang yang hobi atau “kecanduan” menulis surat pembaca di pelbagai media massa. Tokoh unik dan mengesankan itu adalah Anthony Parakal (60 tahun) dari India yang sudah melakoni hobinya sejak tahun 1953. Saat ia muncul di Time, koleksi surat pembaca karyanya sudah mencapai : 3.760 surat !

Adakah penulis surat pembaca di Indonesia yang memiliki rekor mendekati angka setinggi itu ? Antara lain untuk mengetahui prestasi semacam, saya sebagai seorang epistoholik berharap para penulis surat pembaca di Indonesia sudi bergabung dalam jaringan Epistoholik Indonesia (EI) yang sedang dirintis pendiriannya. Seperti halnya karakter sebuah network, jaringan, ini bukan organisasi formal.

Semangatnya egaliter, sebagai wahana bersosialisasi, bertukar gagasan, berazaskan saling asah-asih-asuh. Saya angankan, nanti kita bersama mampu menyusun direktori berisi data diri warga jaringan, spesialisasi minat masing-masing, sampai upaya membuat album elektronik untuk seluruh karya-karya surat pembaca tiap-tiap anggota jaringan, baik yang telah dimuat atau pun yang tidak dapat dimuat, yang dapat diakses peminat setiap saat.

Aktivitas menulis adalah intellectual exercise yang berguna bagi kebugaran otak, menyehatkan rohani dan jasmani, baik sekali dilakukan oleh siapa saja tidak memandang usia. Aktivitas menulis adalah upaya pembelajaran sepanjang hayat bagi setiap individu, yang seharusnya digencarkan sejak SD hingga PT kita. Kolom-kolom surat pembaca di media adalah salah satu wahana penting untuk tujuan mulia itu.

Untuk memperoleh info awal realisasi gagasan ini, silakan Anda kirimkan e-mail ke alamat saya, berisi data diri peminat, satu contoh surat pembaca Anda yang pernah dimuat, dan usulan/harapan Anda.

Terima kasih, selamat bergabung dalam keluarga jaringan Epistoholik Indonesia !

Bambang Haryanto
E-mail : epsia@plasa.com
P.S. Di bawah ini beberapa surat pembaca saya yang mutakhir.

-----------------------------------------------

GEOFFREY MOORE DAN SAJIAN KOLOM TEKNOLOGI INFORMASI
DI HARIAN KOMPAS
Dikirimkan tanggal 10/10/2003.


Yth. Pengasuh kolom “Teknologi Informasi” di Harian Kompas
hal-ti@kompas.com


Dengan hormat,
Saya ikut senang karena Kompas kini menyediakan kolom untuk membahas TI secara teratur, tiap hari Senin dan liputan khususnya muncul secara berkala. Agar sajian dalam kolom TI itu semakin menarik, terutama bagi pembaca koran umum, saya ingin mengajukan usulan.

Menurut hemat saya, kita dapat mengutip pendapat konsultan bisnis Geoffrey Moore mengenai perbedaan mendasar antara orang-orang yang memicu sebuah tren dan orang-orang di kelompok mayoritas yang pada akhirnya mengikuti jejak mereka. Kedua kelompok ini mungkin tidak saling berjauhan dalam rangkaian gethok tular (word of mouth), akan tetapi mereka tidak berkomunikasi dengan baik.

Kedua kelompok pertama, disebut Innovator dan Early Adopter (EA) , orang yang memiliki visi, membeli teknologi terbaru sebelum teknologi itu cukup sempurna, atau ketika harganya masih mahal. Mereka bersedia menanggung resiko. Lalu ada kelompok Early Majority (EM), yang mayoritas, yang kuatir sesuatu perubahan akan merusak keseimbangan dalam tatanan kompleks yang sudah mapan dalam hidup mereka.

Moore berpendapat, perilaku EA dan EM, saling tidak berkesesuaian. Inovasi tidak berpindah begitu saja dari kelompok EA ke EM, ada jurang cukup lebar antara keduanya (maka bukunya Moore ini berjudul puitis, Crossing The Chasm). Apabila sebuah produk teknologi tinggi tidak berhasil menyebar keluar dari kelompok EA, itu karena perusahaan pembuatnya tidak menemukan cara untuk mengubah gagasan yang mudah diterima oleh EA menjadi gagasan lain yang mudah diterima oleh anggota EM.

Menurut pendapat saya, tulisan-tulisan yang tersaji di kolom TI-nya Kompas selama ini baru ditulis oleh dan untuk kelompok Innovator dan EA semata. Foto-foto isi “jeroan” komputer, seperti miniatur lanskap kota itu, mungkin spektakuler bagi insan-insan EA, tetapi menurut saya yang awam ini itu bukan foto yang menarik.

Hemat saya, sajian tulisan di kolom TI-nya Kompas itu belum membuat kelompok mayoritas (pembaca Kompas ?) yang EM, secara memadai terlayani. Terlebih lagi banyak tulisan yang (mungkin terpaksa harus) “dimonopoli” oleh Bapak “RLP” sendiri, walau sebagus apa pun, tetapi tetap membuat perspektif tulisannya kurang beragam. Kalau saya sendiri, saya menyukai tulisan-tulisan TI seperti kolomnya Stewart Alsop di majalah Fortune dan tulisannya Nicholas Negroponte di majalah Wired (sayang sudah lama terhenti).

Usulan lain, apa bisa suguhannya dibuat spesifik. Misal minggu 1 mengupas peranti keras, minggu 2 – peranti lunak, minggu –3 Internet, dan minggu – 4 mengupas wacana TI lainnya.

Semoga usulan dan komentar ini bermanfaat. Mohon maaf apabila ada salah di sana-sini.


Hormat saya,


Bambang Haryanto



--------------------------------------------------


REUNI DENGAN MANTAN MURID
GARA-GARA TULISAN DI INTISARI !
Dikirimkan ke Redaksi Intisari, 10/10/2003


Dengan hormat,
Salam sejahtera. Saya tertarik atas artikel yang menarik dari Sdr. Sri Hastjarjo, mahasiswa Universitas Newcastle, Australia, yang dimuat di Intisari (Oktober 2003). Like father, like son. Kalau saya tak salah ingat, ayah dari Sri Hastjarjo itu dulu juga sering menulis di Intisari. Beliau adalah Prof. Dr. Sri Hastanto, Skar.

Saya mengenal Sri Hastjarjo, walau besar kemungkinan ia tidak mengenal.diri saya. Atau sudah lupa. Kejadiannya memang sudah lama, di tahun 1979-1980. Saat itu saya sebagai organisatoris (pimpinan) workshop melukis anak-anak Gallery Mandungan depan Kraton Surakarta. Ada ratusan anak-anak yang ikut serta, dan salah satunya adalah Sri Hastjarjo itu. Kami pernah memamerkan karya lukisan Dian Kurniasih, pelukis cilik Yogya yang sohor saat itu, di sanggar kami. Foto Dian (berdiri dekat lukisannya) dan para anak didik kami, terdapat dalam attachment. Sedang sosok Sri Hastjarjo nomor empat dari kanan (bersepatu merah).

Menyambung cerita dia mengenai keajaiban Internet, maka bersama ini saya mohon agar sudilah kiranya Redaksi Intisari mem-forward surat ini dan 2 foto tersebut kepada e-mailnya Sri Hastjarjo. Moga-moga bisa menjadi kejutan yang menggembirakan dia di rantau orang !

Terima kasih, Intisari.

Oh ya, bulan September 2003 lalu Intisari hadir dengan laporan utama mengenai strategi berburu pekerjaan. Menyusul heboh berdesak-desakannya para pencari kerja di acara Bursa Kerja Career Days 2003 di Hotel Kartika Chandra (15/7/03), sajian Intisari itu berniat mulia.

Tetapi menurut saya, maaf, pendekatan Intisari masih klasik, konvensional. Yaitu bahwa hal pertama dan utama dari strategi cari kerja harus dimulai dari surat lamaran. Pada hal, seperti kata Carole Hyatt (penulis buku Shifting Gears : Mastering Career Change), bahwa 99 persen pencari kerja itu kesulitan menulis resume/cv dan surat lamaran.
Hal konvensional lainnya adalah, berburu kerja harus melalui sumber rujukan iklan-iklan lowongan. Tom Jackson, pakar strategi berburu pekerjaan (penulis buku Guerrilla Tactics In The New Job Market) bilang, lowongan yang masuk iklan hanya 15 persen, sisanya 85 persen justru tersembunyi. Karena mayoritas pencari kerja melulu terkonsentrasi merubungi roti 15 persen yang memang nampak di depan mata itulah maka timbul anggapan bahwa persaingan mencari kerja itu sangat ketat dan lowongan kerja teramat langka. Padahal yang benar : pencari kerja itu banyak, tetapi sebenarnya lowongan kerja juga banyak !

Untuk meluruskan persepsi-persepsi yang salah kaprah dan keliru dalam berburu pekerjaaan, kini saya sedang menulis buku tentang hal itu. Dan apabila suatu saat nanti Intisari ingin menulis lagi bab kiat-kiat sukses job hunting, atau menyediakan kolom regular tersendiri, saya bersedia membantu dengan tulisan, semampu saya.

Moga obrolan ini bermanfaat. Terima kasih untuk atensi dan bantuan Anda.


Hormat saya,


Bambang Haryanto
Pemegang Rekor MURI
Sebagai Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli.
Menulis buku Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati (dalam pertimbangan penerbit).


----------------------------------

BUDAYA MEMBACA MASIH DI AWANG-AWANG
Dimuat di Suara Merdeka, 3/10/2003.


Saya terkesan dengan artikel yang berjudul sama dengan surat ini, yang ditulis Muh. Muslih (Suara Merdeka, 3/9/2003). Budaya membaca memang masih memprihatinkan pada masyarakat kita. Hal ini sangat mengherankan, apakah memang pendidikan kita selama ini tidak mampu membekali peserta didiknya untuk menyukai aktivitas intelektual yang disebut membaca itu ? Kalau pendidikan gagal dalam hal vital ini, lalu apa yang bakal jadi bekal bagi peserta didiknya dalam mengarungi masa depan yang penuh guncangan dan perubahan sangat cepat itu ?

Konsultan karier Carole Hyatt dalam bukunya Shifting Gears : Mastering Career Change and Find the Work That’s Right for You (1990), menulis bahwa begitu lulus PT maka ilmu para wisudawan itu sebenarnya telah daluwarsa. Agar setiap individu selalu mutakhir ilmunya, dirinya dituntut untuk terus-menerus belajar. Dan satu-satunya cara belajar itu adalah dengan membaca .Bagaimana budaya membaca ditumbuhsuburkan ?

Menurut hemat saya, salah satunya adalah dengan menumbuhkan budaya menulis pada anak-anak sejak dini. Jadi, menumbuhkan budaya baca saja tidaklah cukup. Ajak dan dorong anak-anak untuk menulis puisi, menceritakan pengalamannya secara tertulis, dan memajang karyanya di majalah dinding rumah atau sekolah. Kenalkan sejak dini untuk menggunakan komputer sebagai alat bantu menulis. Anak-anak itu lebih cerdas dalam menggunakannya dibanding kita-kita para orang tua. Dorong pula untuk menulis di kolom-kolom surat pembaca, baik di majalah anak-anak/remaja atau media massa umum.

Saya sendiri saat ini merintis gerakan serupa, dengan menampung puisi anak-anak untuk ditayangkan di situs web di Internet. Selain menyuburkan budaya menulis, anak-anak itu secara alamiah akan mengenal pula manfaat teknologi informasi. Sayang sedikit, beberapa sekolah dasar di Solo pernah saya kirimi ajakan tentang gagasan ini, ternyata belum ada yang menyambutnya Kalau Anda tertarik membangun antoloji puisi anak didik Anda di Internet, silakan kontak kami. Sertakan perangko secukupnya bila Anda mengontak melalui surat.

Mari kita budayakan membaca pada diri anak-anak lewat cara memupuk budaya menulis pada diri mereka !

Bambang Haryanto
Pemerhati Strategi Berburu Pekerjaan

---------------------------------------

JEBAKAN MITOS-MITOS MENCARI KERJA
Dikirimkan ke Kedaulatan Rakyat, Solopos dan Suara Merdeka, 9/9/2003.


Banyak anak muda Indonesia begitu lulus kuliah mengharapkan segala jerih payahnya dalam menuntut ilmu segera dan otomatis memperoleh imbalan atau hadiah, yaitu pekerjaan. Harapan itu akan hanya sia-sia belaka. Sebab pekerjaan bukan hadiah. Ia haruslah diburu dengan segenap keteguhan hati, semangat pantang menyerah, rela berkorban dan terutama harus berbekal strategi yang rata-rata belum pernah mereka kenali, yaitu wawasan dan keterampilan berburu pekerjaan yang andal.

Kebutaan atau miskinnya keterampilan vital tersebut membuat mereka selalu mudah terjebak dalam aneka asumsi yang merugikan diri mereka sendiri. Sekedar contoh, seperti diungkap oleh Sdri. Wiryanti asal Baki Sukoharjo (Solopos, 5/9/2003), telah mengeluhkan sulitnya para sarjana memperoleh pekerjaan karena ia menilai semua pekerjaan itu mengutamakan pengalaman kerja di mana para lulusan (fresh graduate) justru tidak memilikinya.

Dari interaksi dengan banyak para pencari kerja pemula, asumsi Wiryanti itu umum dijumpai. Asumsi menjebak lainnya, antara lain bahwa orang ber-IP dan ber-IQ tinggi itu pasti sukses dan mudah mendapatkan pekerjaan. Juga pendapat umum bahwa mereka yang mendapatkan pekerjaan lewat jalur koneksi adalah mereka yang prestasi akademisnya rendah dan kemampuannya kurang. Semua itu hanya mitos.

Yang bukan mitos dan harus dicamkan adalah, tidak benar semua lowongan kerja membutuhkan pengalaman beberapa tahun. Tidak benar pula bahwa mencari kerja itu susah dan kesempatan kerja yang tersedia itu terbatas. Yang lebih tepat, pencari kerja memang banyak, tetapi peluang kerja juga banyak. Hanya saja, pencari kerja yang banyak itu mayoritas tidak tahu di mana peluang kerja itu berada atau ke mana harus mencarinya. Celakanya lagi, sebagian besar pencari kerja tidak mengetahui kualitas dirinya yang unik, bahkan saat wawancara pertama kebanyakan mereka tidak mampu menginventarisasi minimal 10 (sepuluh) kelebihan yang ia miliki untuk bisa dijual atau diejawantahkan sebagai aktivitas bisnis yang mampu memberikan keuntungan bagi perusahaan yang ia lamar.

Kesimpulannya, kesuksesan seseorang ditentukan oleh kejeliannya mencari peluang. Peluang selalu terbuka kalau dirinya mampu mencari dan mencuri kesempatan, dengan dukungan kreativitas dan kemampuan menyesuaikan diri secara sosial. Selain itu sukses pribadinya ditentukan juga oleh kemampuan membina sifat-sifat positif.

Tom Jackson, seorang ahli strategi berburu pekerjaan dalam bukunya Guerrilla Tactics In The New Job Market (1991) memberi garis bawah nasehat di atas : It is not the most qualified person who gets the best job ; it is the person who is most skilled in job finding. Bukan seseorang dengan kualifikasi tertinggi yang bakal memperoleh pekerjaan terbaik, melainkan seseorang yang paling terampil dalam (berburu) menemukan pekerjaan. Semoga Wiryanti dan teman-teman senasibnya mampu menangkap pesan penting ini.


Bambang Haryanto
Pemerhati Strategi Berburu Pekerjaan

---------------------------------------

RCTI TIDAK BERBUDAYA !
Dimuat di Solopos, 1 September 2003.



Acara kuis Secret Mission (SM) yang ditayangkan RCTI setiap hari Minggu Malam nyata-nyata melecehkan produk budaya yang berfungsi sebagai perekam ilmu pengetahuan manusia, yaitu buku. Pada beberapa kuis SM yang terakhir, dipaksakan ada adegan para agen diminta mencari foto-foto yang tersimpan dalam jajaran buku-buku di rak perpustakaan. Karena dibatasi waktu, maka cara “biadab” yang harus dipilih para agen SM adalah dengan memberantakkan buku-buku yang ada. Buku-buku jadi berserakan di lantai, seolah tiada harganya sama sekali.


Adegan yang ditayangkan secara nasional, menjangkau jutaan pemirsa itu, dapat memberikan sinyal yang salah terhadap buku. Juga terhadap lembaga pelestari dan diseminasi informasi, yaitu perpustakaan. Di negara Indonesia di mana budaya menulis, membaca dan membeli buku masih sangat rendah, adegan tidak berbudaya dalam kuis SM tersebut merupakan undangan untuk tidak menghargai buku. Undangan untuk terjun bebas menuju kebodohan.

Sedang perpustakaan, menurut Thomas Carlyle, (1795-1881) sejarawan dan filsuf politik Skotlandia, adalah universitas yang sebenar-benarnya masa kini. Sekadar info pula, koleksi bahan pustaka di perpustakaan disusun menurut sistematika tertentu dengan aturan yang hampir sama di seluruh dunia Tujuannya, agar mudah ditemukan kembali bila diminta untuk dibaca atau dipinjam konsumen. Dengan memberantakkan susunan yang ada berarti juga telah mem-blok akses banyak orang terhadap informasi dan ilmu pengetahuan.

Yang jadi pertanyaan, apakah fihak kreatif SM itu tidak dapat menggagas tebakan yang lebih kreatif dan lebih menantang untuk kecerdasan para agen dan terutama pula untuk para pemirsa ? Memberantakkan buku-buku di rak adalah pekerjaan mudah bagi orang yang paling bodoh sekali pun, walau ternyata pada tayangan-tayangan yang terakhir para agen SM tersebut selalu gagal menjalankan misinya setelah mengobrak-abrik bahan pustaka yang ada !

Selamat hari ulang tahun RCTI !


Bambang Haryanto
POETRYSOLO

-------------------------------

SOLUSI KEMELUT PERSIS, PSFC DAN PASOEPATI
Dimuat di Solopos, 21/8/2003


Pelita Solo datang ke Solo dan pergi dari Solo karena alasan bisnis. Persijatim lalu datang ke Solo juga dengan alasan sama. Mereka merangkul Pasoepati, dan bukan dengan Persis, juga dengan alasan bisnis. Pada konstelasi terakhir ini, segitiga antara PSFC, Pasoepati dan Persis, ternyata banyak ganjelan. Ketika sebagai pemrasaran saat dilangsungkan diskusi “Kiat Hebat Menjual Persis Solo” di Hotel Kusuma Sahid (18/1/2003) sudah saya utarakan bahwa kehadiran PSFC adalah “musuh” utama Persis dalam memperebutkan atensi komunitas sepakbola di Solo.

Bahkan secara kurang ajar dan nakal, saya usulkan pula saat itu agar nama Persis dilikuidasi. Lalu diganti nama lain yang lebih marketable dan berorientasi ke masa depan, demi upaya memenangkan perang perebutan atensi itu. Alasan pergantian nama itu telah saya tulis dalam buku Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati yang kini dalam pertimbangan penerbit.

Saat itu, ketika forum membincangkan problem berat Persis (baca : dana !), saya ingat Ketua Umum Persis hanya memberikan sasmito, tidak berterus terang dan lugas, menyatakan bahwa sebenarnya Persis membutuhkan dukungan PSFC, fihak yang saat itu hanya diwakili para pentolan Pasoepati yang merupakan Panpel PSFC. Warning Ketua Umum Persis ini rupanya tidak sampai ke sasaran.

Saya tidak tahu, apakah sesudah diskusi itu lalu ada rembugan lanjutan yang serius antara kedua belah fihak itu. Tetapi mencermati kiprah Pasoepati selama jadi Panpel yang ternyata belum menerapkan transparansi untuk warganya sendiri, maka saya kira mereka juga tidak ada kontak dengan Persis untuk mencari jalan terbaik guna tercapainya tujuan mengembangkan sepakbola Solo dengan pendekatan win-win antara mereka. Sebab tahu-tahu, kita terkaget, dengan meledaknya pernyataan Walikota agar PSFC hengkang dari Solo seusai LI 2003.

Apakah keputusan ini sudah final, tak ada diskusi lagi ? Saya tidak tahu. Tetapi kalau saya boleh usul, dari kacamata seorang suporter, dalam menyikapi kemelut ini sebaiknya Pasoepati legowo dan mau berkorban. Kuncinya, mau kembali ke khittah semula, Pasoepati sebagai suporter sejati saja. Jangan tanyakan apa yang bisa Solo berikan pada kita, tapi tanyakan pada diri apa yang bisa kita berikan untuk Solo tercinta !

Bisnis ke-panpel-an seyogyanya diserahkan menjadi proyeknya Persis Solo. Kalau pun ada tenaga Pasoepati yang ingin terus mencari rejeki jadi panpel, silakan, tetapi masuklah melalui koridor dan atas nama Persis Solo. Bukan atas nama Pasoepati. Lalu, silakan Persis Solo, PSFC, Pemkot dan DPRD, duduk satu meja, mencari jalan terbaik untuk semua fihak, satu momen penting yang selama ini rasanya belum pernah terjadi. Saya berharap, usulan di atas akan baik bagi Pasoepati, Persis dan Solo FC di hari-hari mendatang. Kalau PSFC tak jadi pergi, Pasoepati juga tidak jadi mati, bukan ?

Umpama usulan ini tidak menjadi kenyataan, saya tidak apa-apa. Hanya sangat menyayangkan, bila perginya PSFC nanti harus ada yang merasa luka hati. Sebab Persis Solo yang kini lagi menggeliat kecil, di masa depan bebannya akan tambah berat. Dalam menyangga beban berat, alangkah baiknya, bila fihak Persis bercakrawala pemikiran sebagai insan olahraga yang lebih menasional, bukan sebagai politikus dengan Soloisme yang sempit, dengan lebih dini dan intensif menggalang network, teman, sahabat dan bukan membuat musuh-musuh baru yang tidak perlu. Seribu teman kurang banyak, satu musuh itu sudah terlalu banyak !

Suka atau tidak suka, di jajaran PSFC toh terdapat jaringan personil yang lebih dulu malang-melintang di sepakbola di Indonesia. Sehingga jauh lebih baik bila mereka nanti berdiri di belakang kita pada saat Persis membutuhkan bantuan atau advokasi, ketimbang mereka hanya sebagai fihak yang pernah kita sakiti yang suatu saat tergoda “bayar utang” yang tak perlu atas hal-hal yang pernah kita lakukan terhadap mereka walau atas nama heroisme, demi Solo atau Persis sekali pun !


Bambang Haryanto
Suporter Pasoepati
Sedang merampungkan buku
Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati


--------------------------------------------------------------

SATU PEKERJAAN, 1.470 SURAT LAMARAN !
Dikirimkan ke Kompas, Kedaulatan Rakyat, Solopos dan Suara Merdeka,
Senin, 21 Juli 2003.


Membeludaknya pencari kerja dalam Pameran Bursa Kerja Career 2003 (Kompas, 16/7/2003), merupakan cerminan buruknya kepedulian lembaga pendidikan kita terhadap para lulusannya. Lembaga pendidikan hanya nampak kemaruk merekrut calon-calon mahasiswa, lalu berusaha cepat-cepat meluluskannya (termasuk menghapus ketentuan menulis skripsi), tetapi tidak membekali peserta didiknya dengan keterampilan menyiasati tuntutan dunia nyata.

Apakah lembaga pendidikan kita telah membekali calon lulusannya, misalnya dengan strategi dan keterampilan berburu pekerjaan secara memadai dan sesuai tuntutan jaman ?

Membeludaknya pencari kerja dalam acara bursa kerja tadi, yang tidak lebih merupakan arena perjudian nasib belaka, sekaligus menunjukkan rendahnya penguasaan metode ilmiah yang pernah mereka reguk di bangku pendidikan untuk diaplikasikan di dunia nyata. Sebab, strategi berburu pekerjaan seharusnya dilakukan secara sistematis, persis seperti halnya ketika mereka menulis skripsi.

Diawali dari tahap atau langkah penentuan topik skripsi (dalam langkah berburu pekerjaan adalah melakukan self-assessment guna menentukan sasaran pekerjaan yang sesuai bakat, minat, temperamen dirinya pribadi, cita-cita), meriset literatur (meriset kualifikasi pekerjaan sampai detil informasi pelbagai perusahaaan sasaran), pengumpulan data (wawancara dengan karyawan yang pekerjaan atau karirnya ingin diterjuni, menggalang networking), sampai ujian skripsi (tes wawancara kerja).

Metode sistematis yang lebih agresif dan efektif ini, tidak berbau main untung-untungan. Teknologi komunikasi dan informasi, kini juga tersedia untuk digunakan. Peluang keberhasilannya pun jauh lebih besar, dibandingkan misalnya dengan metode membalas iklan-iklan lowongan di koran-koran. Sebab lowongan yang muncul dalam iklan senyatanya hanyalah 15 persen dari seluruh lowongan yang tersedia.

Apalagi statistik menunjukkan, dengan mengandalkan surat lamaran semata maka pekerjaan akan diperoleh bagi mereka yang telah mengirimkan 1.470 pucuk surat lamaran. Apabila dirinya setiap hari mengirim sepucuk surat lamaran, maka waktu yang dibutuhkan adalah 4 tahun lebih. Kemudian, apabila satu pucuk surat lamaran menghabiskan biaya Rp. 10.000,00 maka dibutuhkan biaya sebesar Rp. 14.700.000,00 !

Berburu pekerjaan bermetode ilmiah seperti dianjurkan para pakar strategi berburu pekerjaan kelas dunia seperti Richard Nelson Bolles, John Crystal, Tom Jackson, Daniel Porot, Carole Hyatt, Marilyn Moats Kennedy, John Truitt, Jason Robertson, Paul Hellman, membekali tiap diri pencari kerja dengan keyakinan baja. Bahwa diri pencari kerja adalah pemecah persoalan, problem solver, bagi perusahaan yang diincarnya.

Sayang sekali, mayoritas pencari kerja suka mendudukkan diri hanya sebagai fihak pencipta persoalan, problem maker, pengemis pekerjaaan. Mereka-mereka itu tidak mampu mengenali dirinya sendiri, tidak mengenali kelebihan atau pun kekurangannya, juga tak tahu menahu tentang tuntutan pekerjaan atau pun bisnis inti perusahaan sasaran, yang lajimnya terwakili oleh pribadi-pribadi pencari kerja dengan metode usang dan tradisional.

Termasuk di dalamnya sebagian besar, mereka yang mengundang iba karena rela terjun dalam hiruk pikuk berburu kerja di tengah bursa tenaga kerja yang heboh, yang tidak lebih merupakan upaya jalan pintas yang sangat sarat aroma perjudian nasib semata !

Bambang Haryanto
Pemerhati Strategi Berburu Pekerjaan


-------------------------------------------------


HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA (KEMBALI) MATI
Dikirimkan ke Tabloid BOLA, Juni 2003


Apa yang salah dari sepakbola Indonesia ?

Dari daftar keluaran FIFA bulan Juni 2003, Indonesia berada di peringkat 89. Di atasnya Thailand, 65, dan jangan coba bandingkan dengan Jepang atau Korea Selatan yang sudah kelas dunia. Keduanya sama-sama nangkring anggun di peringkat 24. Tetapi peringkat itu bagi Indonesia tidak ada artinya sama sekali. Bahkan anomali.

Terbukti, timnas U-23 Pra-Olimpiade Athena digusur tim lemah Lebanon dengan agregat 2-5, bulan Juni 2003 lalu. Padahal Lebanon hanya berperingkat 121. Lalu timnas U-18 kita juga gagal dalam turnamen ASEAN Football Federation (AFF) 2003 di Ho Chi Minh City, Vietnam. Timnas itu hanya menang 1-0 atas Kamboja (peringkat 170) dan Filipina (184), tetapi dibantai 0-3 tuan rumah Vietnam yang sebenarnya juga berperingkat lebih rendah (95).

Ironi terbaru meledak pada Kejuaraan Sepakbola Liga Champions ASEAN LG Cup 2003, di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Wakil Indonesia, Persita Tangerang dan Petrokimia Putra, disingkirkan oleh satu tim yang sama, Kingfisher East Bengal (India) dengan 1-2 dan 7-8 pada perempat final dan semifinal. Dari tayangan televisi nampak kedua tim wakil Indonesia itu benar-benar kalah kelas, juga kalah cerdas, walau India dalam peringkat FIFA sesungguhnya berada pada nomor 129. Atau 40 tingkat di bawah Indonesia.

Itulah, kita tak bisa tutup mata, kesebelasan wakil-wakil Indonesia berguguran, digusur habis oleh tim-tim asal negara yang dalam peringkat FIFA justru berada di bawah kita. Mengapa hal buruk itu terjadi ? Mungkinkah FIFA begitu goblog dalam menentukan peringkat Indonesia yang senyatanya ?

Cermin lain yang mungkin lebih akurat untuk melihat bopeng diri sendiri adalah data terbaru keluaran UNDP (Program Pembangunan PBB) mengenai peringkat pembangunan manusia 2003. Terkuak, Indeks Pembangunan Indonesia berada pada nomor 112 dari 175 negara. Di Asia Tenggara, Indonesia terpuruk di bawah Thailand (74), Filipina (85) dan Vietnam (109), walau masih di atas Kamboja (130) atau pun Myanmar (131).

Pembangunan manusianya terpuruk, demikian pula sepakbolanya. Hari- hari menyedihkan, hari-hari sepakbola Indonesia mati, masih saja belumlah usai sampai hari ini.


Bambang Haryanto
humorline@hotmail.com